Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tokoh

Dikeroyok anak-anak berkunjung ke kalimantan selatan

Tino sidin, 56, sulit bergerak ketika mengikuti menteri p & k daoed joesoef ke kal-sel. bersama nasyah djamin & sam suharto, mereka berempat merupakan sahabat lama, tino terkenal lewat acaranya di tvri.(pt)

27 Januari 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DALAM kunjungannya ke Kalimantan Selatan 10 Januari lalu, Menteri P & K Daoed Joesoef juga membawa pelukis Tino Sidin. Selain Tino memang sahabatnya dari dulu, juga kataMenteri: "Lewat lukisan saya ingin menumbuhkan rasa spiritual yang besar. Jadi bukan karena saya juga pelukis maka Tino dibawa. " Bukti bahwa Tino Sidin sangat terkenal (lewat TV), bisa dilihat di situ. Barisan penyambut .bahkan tidak mau segera bubar sebelum menyalaminya. Di kuburan jemaah haji yang gugur di Kolombo kemarin, atau di saat diresmikannya Musium Lambung Mangkurat di Banjar Baru, Tino sulit bergerak. Para pramuka, anak-anak, ibu-ibu, semua mengeroyok -- dan petugas keamanan kewalahan. "Banyak orang yang naik, karena temannya naik," tutur Tino. "Saya mungkin begitu juga." Tino Sidin (ini nama asli) lahir di Tebingtinggi Deli, Sumatera Utara, 56 tahun lalu. Pernah jadi anggota Seniman Indonesia Muda tahun 1947, dan pernah bekerja di Kementerian Pembangunan Pemuda dan Kesenian, bagian bikin poster -- dua-duanya di Yogya. Bakatnya dikembangkannya di Akademi Seni Rupa Indonesia di kota itu. Sejak 1970 giat mengasuh anak-anak menggambar dan di Yogya didirikannya Pusat Latihan Lukis Yogyakarta. Mulai 1978 hijrah ke Jakarta untuk mengisi acara mingguan di TVRI. Bukunya Gemar Menggamhar disahkan sebagai buku pegangan guru SD seluruh Indonesia. Di TV dia selalu menganjurkan: "Jangan takut menarik garis." Daoed Joesoef dikenalnya sejak muda, ketika sama-sama merantau di Jawa. Ada sebuah kenang-kenangan yang hingga kini disimpannya potretnya bersama Daoed dan Nasyah Djamin -- pelukis, novelis dan penulis sandiwara yang pernah sangat aktif. "Sebetulnya waktu itu kami berempat," kata Tino. Yang seorang lagi adalah Sam Suharto yang pernah jadi karikaturis harian Indunesia Raya. Sam meninggal dua tahun lalu. Potret bertiga itu mereka lakukan di Senen, Jakarta, setelah ketiganya bertemu kembali di ekor peristiwa hijrah Siliwangi dari Yogya. Mengapa Tino selalu memakai baret? "Saya sudah terlanjur memakainya. Kalau tidak pakai kan tidak lucu." Baret hitam yang ada kuncirnya di tengah itu, Tino punya dua buah. Sebuah hitam asli, dan sebuah lagi hasil celupan. Tapi itu dicari di toko-toko Jakarta atau Yogya ditanggung tidak ada. "Harus di luar negeri," katanya. Dulu ketika Daoed Joesoef pulang dari Eropa, ia diberi oleh-oleh topi. Sayang, kebesaran. Pak Tino adalah ayah 5 orang anak, semua perempuan. Yang terbesar sudah hampir insinyur di Universitas Gajah Mada, dan yang bungsu duduk di SMP.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus