Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DALAM kunjungannya ke Kalimantan Selatan 10 Januari lalu,
Menteri P & K Daoed Joesoef juga membawa pelukis Tino Sidin.
Selain Tino memang sahabatnya dari dulu, juga kataMenteri:
"Lewat lukisan saya ingin menumbuhkan rasa spiritual yang besar.
Jadi bukan karena saya juga pelukis maka Tino dibawa. "
Bukti bahwa Tino Sidin sangat terkenal (lewat TV), bisa dilihat
di situ. Barisan penyambut .bahkan tidak mau segera bubar
sebelum menyalaminya. Di kuburan jemaah haji yang gugur di
Kolombo kemarin, atau di saat diresmikannya Musium Lambung
Mangkurat di Banjar Baru, Tino sulit bergerak. Para pramuka,
anak-anak, ibu-ibu, semua mengeroyok -- dan petugas keamanan
kewalahan.
"Banyak orang yang naik, karena temannya naik," tutur Tino.
"Saya mungkin begitu juga." Tino Sidin (ini nama asli) lahir di
Tebingtinggi Deli, Sumatera Utara, 56 tahun lalu. Pernah jadi
anggota Seniman Indonesia Muda tahun 1947, dan pernah bekerja di
Kementerian Pembangunan Pemuda dan Kesenian, bagian bikin poster
-- dua-duanya di Yogya. Bakatnya dikembangkannya di Akademi Seni
Rupa Indonesia di kota itu. Sejak 1970 giat mengasuh anak-anak
menggambar dan di Yogya didirikannya Pusat Latihan Lukis
Yogyakarta. Mulai 1978 hijrah ke Jakarta untuk mengisi acara
mingguan di TVRI. Bukunya Gemar Menggamhar disahkan sebagai buku
pegangan guru SD seluruh Indonesia. Di TV dia selalu
menganjurkan: "Jangan takut menarik garis."
Daoed Joesoef dikenalnya sejak muda, ketika sama-sama merantau
di Jawa. Ada sebuah kenang-kenangan yang hingga kini disimpannya
potretnya bersama Daoed dan Nasyah Djamin -- pelukis, novelis
dan penulis sandiwara yang pernah sangat aktif. "Sebetulnya
waktu itu kami berempat," kata Tino. Yang seorang lagi adalah
Sam Suharto yang pernah jadi karikaturis harian Indunesia Raya.
Sam meninggal dua tahun lalu. Potret bertiga itu mereka lakukan
di Senen, Jakarta, setelah ketiganya bertemu kembali di ekor
peristiwa hijrah Siliwangi dari Yogya.
Mengapa Tino selalu memakai baret? "Saya sudah terlanjur
memakainya. Kalau tidak pakai kan tidak lucu." Baret hitam yang
ada kuncirnya di tengah itu, Tino punya dua buah. Sebuah hitam
asli, dan sebuah lagi hasil celupan. Tapi itu dicari di
toko-toko Jakarta atau Yogya ditanggung tidak ada. "Harus di
luar negeri," katanya. Dulu ketika Daoed Joesoef pulang dari
Eropa, ia diberi oleh-oleh topi. Sayang, kebesaran.
Pak Tino adalah ayah 5 orang anak, semua perempuan. Yang
terbesar sudah hampir insinyur di Universitas Gajah Mada, dan
yang bungsu duduk di SMP.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo