Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Dokter Adaninggar aktif mengedukasi dan memberikan informasi perihal pandemi Covid-19.
Aktivitas dokter Adaninggar mendapat respons negatif dari sebagian orang dan koleganya.
Sempat terjangkit Covid-19, tapi dokter Adaninggar konsisten melawan hoaks pandemi.
Sebagai seorang dokter spesialis penyakit dalam, keseharian R.A. Adaninggar selama masa pandemi ini tentulah harus menghadapi pasien Covid-19. Di masa puncak pandemi pada Januari dan Juli 2021, dokter yang berpraktik di RS Husada Utama dan RS Adi Husada Surabaya ini sempat kewalahan karena antrean pasien membeludak.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam situasi kritis itu, Dokter Ning—panggilan akrab Adaninggar—juga turut merasakan bagaimana rumah sakit tempat ia bekerja tak bisa lagi menampung pasien. Dalam suasana itu, Dokter Ning juga harus menyaksikan beberapa pasiennya mengembuskan napas terakhir saat dirawat di unit gawat darurat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Ada salah satu pasien yang saya kenal akrab karena sudah 15 tahun terakhir ia harus cuci darah. Saat pandemi, ia terkena Covid-19 dan kondisinya ngedrop. Saturasi oksigennya merosot terus dan akhirnya meninggal,” kata Ning kepada Tempo, belum lama ini. Kejadian ini membuat Ning sedih dan menyadari bahwa fasilitas kesehatan di Indonesia tidak mampu menghadapi situasi pandemi.
Kehidupan pribadi dokter lulusan Universitas Airlangga itu juga sempat terganggu. Pada Juli 2020, ia sekeluarga terjangkit Covid-19. Akibatnya, Ning bersama suami dan anak-anaknya harus menjalani isolasi mandiri hingga satu bulan. Ironisnya, dokter Ning tertular virus corona bukan gara-gara pekerjaan. Ia menduga penularan Covid-19 di rumahnya justru berasal dari pembantu rumah tangganya.
“Kami sekeluarga kena. Bahkan saya harus melewati ulang tahun sambil menjalani isolasi mandiri,” kata ibu tiga anak ini. Ning sempat menyesali kejadian itu karena, sejak awal pandemi, Ning sebetulnya aktif memberikan edukasi tentang Covid-19 kepada masyarakat di akun media sosialnya. “Saya aktif mengedukasi ke luar, tapi tidak mengedukasi ke dalam.”
Dokter spesialis penyakit dalam, RA Adaninggar Primadia Nariswari memeriksa pasien di Rumah Sakit Adi Husada Undaan Wetan, Surabaya, Jawa Timur, 14 Agustus 2021. Dok. RA Adaninggar
Meski harus menghadapi berbagai gejolak itu, Dokter Ning tetap aktif memanfaatkan media sosial Instagram untuk menyampaikan informasi kepada khalayak luas. Aktivitas ini rutin ia jalankan hampir setiap hari. Selain membuat konten, menyiarkan acara dialog siaran langsung, ia rutin mengisi acara-acara daring. Sehari, ujarnya, bisa 2-3 acara yang harus ia hadiri.
Aktivitas Ning di media sosial baru benar-benar meningkat selama masa pandemi ini. Sebelumnya, akun Instagram @drningz itu tak terlalu aktif. “Awalnya saya bukan orang yang aktif di media sosial.” Tapi pandemi ini membuka mata Ning ihwal banyaknya misinformasi dan disinformasi di masyarakat. Pemicu utama Ning merasa terpanggil membuat konten edukasi adalah ketika anggota keluarga besarnya banyak yang percaya hoaks dari informasi yang bertebaran di grup percakapan.
Ning membuat konten edukasi yang mendapat respons positif dari orang di sekitarnya. Lama-kelamaan, jumlah pengikutnya terus bertambah, yang hingga kini mencapai 141 ribu akun. Ia juga diajak bergabung bersama Pandemic Talks, komunitas dokter yang rutin memberikan informasi kesehatan kepada masyarakat. Kesibukan baru ini bisa ia jalankan karena, semenjak pandemi, praktik di luar rumah sakit berkurang. Selain itu, Ning kini sedang melanjutkan studi spesialisnya. “Jadi lebih bisa mengatur waktu.”
Niat mulia Ning berbagi informasi yang benar menurut ilmu kedokteran rupanya tetap mendapat tanggapan negatif. Berkali-kali, gara-gara unggahan kontennya, Ning mendapat pesan bernada miring. “Bahkan ada yang memaki dengan kata-kata kotor, sampai mengirim pesan langsung di Instagram.” Tanggapan buruk itu ia dapatkan dari kelompok orang yang antimasker, ketika Ning mengunggah konten mengenai pentingnya memakai masker pada masa pandemi.
Kejadian ini sempat membuat Ning syok. Akun Instagram-nya sempat ia kunci beberapa hari. “Saya sempat takut melanjutkan mengunggah konten edukasi.” Namun Ning berpikir ulang. Selain bertujuan positif, apa yang ia sampaikan merupakan kebenaran. “Untuk apa saya takut mengungkapkan kebenaran?” ujarnya. Meski tetap ada yang berkomentar jelek, bahkan merundungnya di kolom komentar, Ning tetap bersemangat memberikan edukasi dan informasi.
Dokter spesialis penyakit dalam, RA Adaninggar Primadia Nariswari di Rumah Sakit Adi Husada Undaan Wetan, Surabaya, Jawa Timur, 13 Februari 2021. Dok. RA Adaninggar
Ada kalanya Ning merespons komentar negatif dan meladeni orang-orang yang ngeyel. “Itu kalau lagi mood. Tapi kalau sedang malas, biarkan saja.” Lucunya, nyinyiran tak hanya datang dari orang awam. Rekan seprofesinya juga ada yang sempat mengkritik cara Ning menyampaikan informasi. Ning dianggap kurang memperlihatkan sisi ilmiah ketika mengedukasi karena menyampaikan informasi menggunakan bahasa awam.
Mendapat kritik semacam itu, Ning justru berpendapat sebaliknya. “Karena sasaran saya justru orang awam. Dengan memakai bahasa awam, saya berharap banyak orang bisa mengerti apa yang disampaikan. Ini perkara teknis komunikasi saja.” Ning berpendapat bahwa upaya mengedukasi masyarakat oleh dokter justru merupakan bagian dari upaya mengatasi pandemi. “Ini bukan ajang pinter-pinteran sesama dokter. Kalau mau pamer ilmu ya di forum ilmiah.”
Di luar kritik dan nyinyiran, konten edukasi dan gaya Ning berkomunikasi itu disukai banyak orang. Ia pun jadi mendapatkan banyak “pasien” baru yang berkonsultasi langsung dengannya lewat media sosial. Di luar kesibukannya melayani masyarakat, Ning juga menyediakan layanan konsultasi daring melalui aplikasi telemedisin. Dalam sehari, ia bisa menangani hingga 200 pasien.
Tapi kesibukan yang padat sempat membuat Ning berhenti sementara dari aplikasi konsultasi jarak jauh. Apalagi ketika ia sedang sibuk-sibuknya menangani pasien di rumah sakit. Pernah suatu kali sejumlah pasien marah-marah di aplikasi telemedisin karena, dalam suatu saat, Ning harus menghadapi 50 pasien sekaligus. “Akhirnya saya setop dulu. Kondisi ini sangat mengerikan. Jangan sampai terulang lagi.”
Setelah masa kritis pandemi lewat, Ning mengaku sudah lumayan bisa bernapas lega. Ia kini mulai bisa menikmati waktu senggang dengan bermain bersama anak-anaknya di rumah. Satu hal yang benar-benar ia inginkan adalah mudik ke rumah mertuanya di Jawa Tengah. “Sudah setahun enggak ketemu. Mungkin hal pertama yang dilakukan kalau pandemi usai, pulang ke rumah mertua, liburan.”
DIAN YULIASTUTI | PRAGA UTAMA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo