Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebuah notifikasi surat elektronik muncul di layar ponsel Hugo Nathanael Yuwono pada Mei lalu. Isinya pemberitahuan bahwa ia menjadi penerima The Diana Award 2022 karena kontribusinya melalui organisasi nonprofit, Math for Humanity, yang ia dirikan pada awal masa pandemi, dua tahun lalu. “Saya merasa senang dan bersyukur kepada Tuhan karena kerja kami diapresiasi bukan hanya oleh orang-orang yang kami bantu, tapi juga kancah internasional,” kata remaja berusia 16 tahun ini kepada Tempo, Jumat lalu.
The Diana Award merupakan penghargaan internasional untuk para remaja dan anak muda berusia 9-25 tahun atas kontribusi sosial mereka kepada masyarakat. Penghargaan ini dicetuskan bekas Perdana Menteri Inggris, Gordon Brown, pada 1999 untuk mengenang Putri Diana yang semasa hidupnya mempunyai kepedulian tinggi terhadap isu sosial.
Hugo menginisiasi Math for Humanity untuk berbagi dan mengasihi sesama. Organisasi ini menawarkan les atau kursus matematika dengan biaya terjangkau kepada pelajar sekolah dasar dan menengah pertama. Biaya tersebut seluruhnya digunakan untuk sumbangan ke panti asuhan, yayasan disabilitas, panti jompo, hingga sukarelawan Covid-19. Sejak organisasi ini didirikan, dana sumbangan yang terkumpul mencapai Rp 100 juta.
Peraih penghargaan The Diana Award, Hugo Nathanael Yuwono di Jakarta, 9 September 2022. TEMPO/ Febri Angga Palguna
Pelajar kelas XII di SMAK 1 Penabur Jakarta ini menceritakan sudah dibiasakan sejak kecil untuk berbagi dengan anak-anak kurang beruntung. Misalnya, ketika berulang tahun, Hugo selalu merayakannya bersama anak-anak di panti asuhan. Ketika SMP, ia juga kerap terlibat dalam berbagai aktivitas bersama anak-anak yatim piatu, seperti menyanyi dan membantu mengerjakan pekerjaan rumah matematika.
Ketika pagebluk Covid-19 melanda pada 2020, Hugo tak bisa rutin mengunjungi panti asuhan lantaran adanya aturan pembatasan untuk mencegah penularan virus corona. Semula, ia berencana membantu pelajaran matematika secara daring. Tapi hal itu urung dia lakukan karena infrastruktur Internet dan perangkat di panti asuhan kurang memadai. Maka, tercetuslah ide mengadakan kursus berbayar. “Biayanya saya pakai buat disumbangkan atau didonasikan ke institusi-institusi, seperti panti asuhan,” ujarnya.
Pada tahun pertama, Hugo menjalankan organisasi amal ini sendirian. Ia satu-satunya pengajar. Orang tuanya turut membantu menyebarkan informasi soal les matematika ini di grup-grup orang tua siswa. Jadi, peserta kursus pun merupakan adik teman-teman sekolahnya semasa SD dan SMP. Seiring dengan berjalannya waktu, jumlah peminat les ini bertambah. Ada sekitar 20 murid SD-SMP yang mengikuti kursus berbayar di Math for Humanity.
Hugo lantas mengajak beberapa temannya menjadi coach. Walau tak bisa memberikan insentif dalam bentuk finansial, Hugo meyakinkan rekan-rekannya bahwa kegiatan ini bisa memberikan manfaat untuk diri sendiri. Salah satunya kepuasan ketika bisa membantu orang lain. Juga untuk mengembangkan diri.
Selain Hugo, ada 10 anak yang terlibat dalam Math for Humanity. Mereka adalah Crystal Isabel Yuwono, pelajar kelas IX Sekolah Tunas Muda; Emma Kusuma, mahasiswi semester V; Theodore Bagas Eko Prasetyo, pelajar kelas XII SMA Santa Ursula BSD; serta Marvin Anthony Setiawan, pelajar kelas XII di sekolah swasta Malang.
Lalu ada Filia Cahyadi, pelajar kelas XII SMA Santa Laurensia; Putu Juanita Arianti, pelajar kelas XII Spingfield; Gisselle Vissia Setiawan, pelajar kelas IX di sekolah nasional plus Malang; Birgitta Fidelia Yolanda, pelajar kelas X sekolah swasta Tangerang Selatan; Matthew Adriano, pelajar kelas VIII di sekolah swasta Jakarta Utara; dan Anthony Rafael Tan, pelajar kelas XII SMAK 1 Penabur Jakarta sekaligus teman Hugo.
Tugas mereka beragam dan dibagi menjadi tiga kelompok. Tim pertama adalah pengajar matematika. Berikutnya adalah tim yang mengajarkan bahasa Inggris untuk panti asuhan secara cuma-cuma. Lantas tim ketiga mengkoordinasikan sumbangan. “Mereka mencari tempat atau institusi yang layak dikasih sumbangan dan yang butuh,” ucap sulung dari dua bersaudara ini.
Biaya les matematika dipatok Rp 80 ribu untuk satu kali pertemuan selama satu jam. Setiap akhir bulan, Hugo akan mengontak satu per satu para pengajar. Lalu ia meminta mereka membuat laporan jumlah murid yang mengikuti kursus. Jadi, Hugo dapat mengetahui biaya yang terkumpul dan akan menyalurkannya ke institusi yang membutuhkan bantuan.
Peraih penghargaan The Diana Award, Hugo Nathanael Yuwono di Jakarta, 9 September 2022. TEMPO/ Febri Angga Palguna
Penghargaan The Diana Award, kata Hugo, dapat menjadi motivasi bagi dirinya untuk mengembangkan Math for Humanity lebih lanjut, terutama mendapatkan lebih banyak anak muda yang mau menjadi pengajar. Sebab, ia dan beberapa coach yang seangkatan tengah sibuk mempersiapkan kuliah. “Saya mau coba datangkan lebih banyak orang dan berharap remaja sekarang bisa terketuk hatinya untuk membantu dan ikut serta di organisasi ini.”
Hugo menyukai matematika sejak kelas I SD. Ia menilai matematika adalah bidang ilmu yang dapat melatih logika dan kemampuan berpikir kritis. Setiap kali menghadapi soal yang sulit, pemuda yang hobi membaca novel ini selalu termotivasi untuk memecahkan dan mencari solusi. Ia juga beberapa kali mengikuti lomba dan menjuarai kompetisi matematika tingkat internasional.
Sejak SMA, ia mulai mengembangkan kemampuan lain di bidang komputer, yakni machine learning atau kecerdasan buatan. Bahkan Hugo mulai mengembangkan aplikasi di bidang kesehatan. Ia bercita-cita membangun perusahaan startup yang berkaitan dengan kecerdasan buatan dan diintegrasikan dengan bidang kesehatan.
FRISKI RIANA
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo