Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MEMERIKSA suatu perkara rupanya membutuhkan waktu yang cukup
lama di Singapura. Buktinya, sengketa harta karun almarhum H.A.
Thahir, bekas Asisten Umum Dir-Ut Perramina semasa Ibnu Sutowo,
hingga sekarang belum juga memasuki tahap pemeriksaan. Sengketa
uang komisi sebesar Rp 22 milyar lebih yang melibatkan tiga
pihak itu, menurut pengacara Pertamina Albert Hasibuan pekan
lalu, baru akan memasuki tahap penentuan: Apakah gugatan
Pertamina terhadap Ny. Kartika Ratna, istri kedua almarhum akan
diterima atau ditolak oleh Pengadilan Singapura. Juga, akan
ditentukan tanggal dimulainya pemeriksaan kasus tersebut. Itu
akan ditentukan mulai 6 April nanti, dan berlangsung empat hari.
hingga 10 April 1981.
Pengadilan Singapura di bawah pimpinan Hakim Ketua T.S.
Sinnathuray, 50 tahun, pada 11 Maret 1980 telah memutuskan
Pertamina sebagai pihak penggugat. Dan Ny. Kartika Ratna, istri
kedua almarhum H.A. Thahir yang kini bermukim di Swiss, sebagai
pihak tergugat utama. Sedang para ahli waris almarhum dari istri
pertama diputuskan sebagai pihak tergugat kedua.
Adapun gugatan Pertamina yang akan diputuskan dalam persidangan
6 April nanti, merupakan balasan terhadap serangan Ny. Kartika
Ratna pada 7 Juli 1980. Waktu itu, melalui kantor pengacara Drew
& Napier di Singapura, Kartika telah melancarkan suatu jawaban
atas tuntutan Pertamina tertanggal 12 Mei 1980.
Tak Mau Mundur
Di situ, Kartika telah membawa-bawa nama sejumlah pejabat
Pertamina, kalangan bisnis terkemuka di Indonesia, dan
orang-orang penting lain, termasuk Presiden, Ny. Tien Soeharto
serta Letjen Benny Moerdani dari Bakin.
Tuduhan-tuduhan Ny. Kartika sampai sekarang tak disertai bukti
apa pun. Tak heran bila trio pengacara Pertamina -- Albert
Hasibuan, Siva Selvadurai di Singapura dan Michael Sherrad,
Queen's Counsel (QC) di London -- dalam gugatan mereka pada 25
Oktober 1980, menyatakan serangan Ny. Kartika itu "tidak
bonafid", bahkan "bersifat skandal".
Istri muda almarhum Haji Thahir itu yang kini berusia 46 tah,
telah berlalu menuduh Presiden menerima komisi dari pembelian
senjata untuk ABRI pada 1978. Masing-masing 7% dan 5%, dari
Israel dan Jerman Barat. Sedang Ny. Tien Soeharto oleh Kartika
dituduh telah menerima hadiah dua cincin berlian dari almarhum,
seharga Rp 45 juta.
Rebutan harta karun itu sendiri bermula sebagai sengketa
keluarga. Itu terjadi beberapa hari setelah meninggalnya Haji
Thahir, pada 23 Juli 1976. Antara Ny. Kartika dengan anak-anak
Haji Thahir dari istri pertama rupanya tak tercapai kompromi.
Wanita yang di kalangan atas Pertamina dikenal sebagai Tante
Els, menolak ketika anak-anak Haji Thahir menawarkan jalan
damai, membagi harta itu sarang separuh.
Terkenal suka hidup mewah, janda kelahiran Nganjuk, Jawa Timur
itu, rupanya ingin mengambil semuanya. Tapi dia tersandung batu
besar, ketika Pertamina pada bulan Mei 1977 memutuskan simpanan
bersama di Bank Sumitomo itu berasal dari uang komisi yang tidak
sah, dan harus dikembalikan ke kas negara.
Pernah timbul spekulasi di Singapura, Pertamina ingin menempuh
"jalan damai" setelah gebrakan Kartika pada 7 Juli 1980. Tentu
saja pengacara Pertamina menangkisnya. "Jalan damai sudah lama
tertutup buat Kartika," kata Albert Hasibuan.
Pertengahan 1977, dari pihak Kartika pernah ada permintaan, agar
ia diberi separuh. Pemerintah Indonesia menolak. Kabarnya pada 4
Juli, tiga hari sebelum pembelaan Ny. Kartika dimasukkan ke
pengadilan, ia masih juga mencoba untuk diberi "uang damai".
Tapi pemerintah, atas instruksi Presiden sendiri, tak mau
mundur.
Sekalipun demikian, menurut sebuah sumber di Pertamina,
pemerintah merelakan Kartika untuk menerima bunganya.
Diperkirakan bunga simpanan di Bank Sumitomo, Singapura, sudah
mencapai Rp 1,6 milyar. Tapi itu ditolak oleh Kartika. Merasa
jengkel, ia pun melancarkan serangan yang menuduh ke sana sini.
Apakah pengadilan di Singapura akan menerima gugatan Pertamina?
Beberapa sumber yang mengetahui beranggapan begitu. Dalam
gugatannya, Pertamina menyatakan, apa yang dianggap sebagai
kejahatan di Indonesia juga merupakan tindakan kejahatan di
Singapura. Dengan mengatakan demikian, seperti dikatakan Albert
beberapa waktu lalu kepada TEMPO, memang diharapkan "agar
pengadilan di Singapura sependapat dengan kita".
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo