Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Nero Taopik Abdillah mendirikan Komunitas Ngejah pada Juli 2010.
Komunitas Ngejah berkeliling kampung dan mendirikan Pojok Baca demi meningkatkan literasi anak dan remaja.
Komunitas Ngejah membantu kampung mendirikan lembaga PAUD.
RENDAHNYA minat baca di Kampung Sukawangi, Desa Sukawangi, Kecamatan Singajaya, Kabupaten Garut, Jawa Barat, mendorong Nero Taopik Abdillah mendirikan Komunitas Ngejah. Komunitas literasi yang berdiri pada Juli 2010 itu awalnya hanya bertempat di kamar Opik—sapaan Taopik—seluas 12 meter persegi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Opik menata kamarnya dan melengkapinya dengan rak berisi buku-buku. Saat itu, pria kelahiran 15 Juli 1983 tersebut hanya mengajak teman-temannya berkunjung ke kamarnya untuk mengobrol sambil minum kopi. “Saat mau pulang, baru saya rekomendasikan buku,” tuturnya kepada Tempo, Rabu lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Opik baru membentuk kepengurusan Komunitas Ngejah pada Agustus 2011. Ia kemudian rajin menggelar beragam pelatihan jurnalistik dengan materi menulis, nge-blog, hingga konvergensi media. Pelatihan pertama melibatkan pelajar dua madrasah tsanawiyah di Kecamatan Singajaya.
Tahun berikutnya, Komunitas Ngejah menggelar pelatihan serupa yang melibatkan lebih banyak pelajar dan cakupannya lebih luas, yakni dari Kabupaten Tasikmalaya hingga Kota Garut. “Pelatihan jurnalistik bagi pelajar ini menjadi agenda tahunan,” tutur Opik.
Saung Komunitas Ngejah di Kampung Sukawangi, Desa Sukawangi, Kecamatan Singajaya, Kabupaten Garut. Dok. Komunitas Ngejah
Opik mulai membuat saung di depan rumahnya, Kampung Sukawangi, pada 2013. Kamarnya sudah tak memadai lagi untuk dijadikan perpustakaan. Sebab, buku-bukunya makin banyak dan beragam.
Pada akhir 2013, komunitas ini meluncurkan program Gerakan Kampung Membaca. Mulanya, ia dan relawan komunitas berkeliling ke kampung-kampung di Kecamatan Singajaya sembari membawa buku saat akhir pekan atau hari libur. Belakangan, Gerakan Kampung Membaca terus meluas hingga mencapai Kabupaten Tasikmalaya. Misalnya, di Kampung Kebonkai dan Kampung Cidilem, Kecamatan Bojonggambir.
Para relawan biasanya sudah menyusun beragam kegiatan saat turun ke kampung-kampung. Misalnya, dari perkenalan antara relawan dan anak-anak maupun remaja setempat, permainan untuk mencairkan suasana, baca bersama, hingga membaca puisi serta mendongeng. Para relawan juga kerap membagikan buku dan alat tulis bagi anak-anak yang berani maju untuk membaca puisi.
Pelatihan angklung untuk anak-anak Ngejah junior. Dok. Komunitas Ngejah
Komunitas Ngejah juga meluncurkan Gerakan Kampung Membaca Akhir Tahun pada 2014. Program akhir tahun tersebut biasanya digelar selama dua pekan penuh. Para relawan bisa berpindah-pindah hingga 10 kampung. “Kami menginap dan berpindah-pindah kampung,” tutur Opik.
Alumnus pendidikan guru SD dari Universitas Pendidikan Indonesia Tasikmalaya ini kemudian mengembangkan Gerakan Kampung Membaca menjadi Pojok Baca. Komunitas Ngejah membuat rak buku dan menyebarkannya di sejumlah kampung. Rak tersebut juga dilengkapi dengan beragam buku bacaan. Program ini bertujuan memperluas akses buku kepada warga setempat. Kini Komunitas Ngejah memiliki 39 Pojok Baca yang tersebar di sejumlah kampung.
Pandemi Covid-19 membuat Komunitas Ngejah menghentikan Gerakan Kampung Membaca, Pojok Baca, dan pelatihan jurnalistik.
Selain sejumlah program itu, Opik menginisiasi program Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) untuk kejar paket B dan C pada 2018. Tempat belajarnya berada di saung Komunitas Ngejah. Progam itu diluncurkan lantaran di Desa Sukawangi, Kecamatan Singajaya, masih terdapat anak putus sekolah. “Gurunya ada saya, relawan, dan beberapa guru di SMA terdekat,” tutur guru di SD Negeri 2 Cikuya, Kecamatan Culamega, Kabupaten Tasikmalaya, itu.
Pelatihan komputer di sekret Komunitas Ngejah. Dok. Komunitas Ngejah
Pada tahun lalu, sebanyak 11 siswa kejar paket B dan 9 murid kejar paket C telah lulus. Kini jumlah siswa kejar paket B dan C di PKBM itu masing-masing sebanyak 6 dan 13 orang. Murid-murid itu belajar secara tatap muka pada Sabtu dan Ahad. Mereka juga belajar secara online pada waktu yang disepakati bersama gurunya.
Komunitas Ngejah juga membantu dua kampung, yaitu Kampung Ciparanje, Desa Sagara, Kecamatan Cibalong; dan Kampung Sagara Biakta, Desa Sukanagara, Kecamatan Peundeuy, Kabupaten Garut, mendirikan lembaga pendidikan anak usia dini (PAUD). Maktab PAUD di Sagara Biakta berdiri pada 2020, sedangkan PAUD di Kampung Ciparanje berdiri pada tahun lalu.
Opik menuturkan seluruh fasilitas dan kegiatan Komunitas Ngejah dibiayai oleh dirinya. Komunitas ini juga beberapa kali mendapatkan donasi berupa buku dan dana dari para donatur. Kegiatan operasional dibantu relawan yang kini jumlahnya kurang dari 10 orang.
Nero Taopik Abdillah. Dok. Komunitas Ngejah
Kehadiran Komunitas Ngejah dan beragam kegiatannya mendorong minat baca anak-anak dan remaja kampung. Mereka juga lebih bersemangat melanjutkan sekolahnya.
Pengelola Pojok Baca di Kampung Sagara Biakta, Aan Kuswandi, menuturkan Komunitas Ngejah memberikan dua rak dan ratusan buku pada 2017. Anak-anak setempat antusias dengan kehadiran buku-buku tersebut karena saat itu bahan bacaan di kampung ini masih sangat minim. Hingga kini, Pojok Baca di kampung itu masih bertahan.
Opik dan Komunitas Ngejah, Aan menambahkan, juga mendorong agar Kampung Sagara Biakta memiliki lembaga PAUD. Komunitas literasi itu lalu membantu beragam perizinan untuk mendirikan maktab tersebut. Pada Juni 2020, PAUD itu berdiri. “Sekarang muridnya ada 33 orang,” tutur pria berusia 40 tahun yang juga menjadi kepala PAUD tersebut.
GANGSAR PARIKESIT
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo