SENGKETA perburuhan mewarnai awal dasawarsa 1980. Kamis pekan
lalu, seorang buruh PT SCTI (Southern Cross Textile Industry)
yang sempat "melarikan diri" ke DPR melaporkan, salah seorang
pimpinan berkebangsaan asing PT tersebut telah memaksa 263 buruh
yang datang ke DPR sehari sebelumnya untuk membabat rumput di
halaman pabrik. Mereka dipaksa bekerja di tengah hujan sejak jam
09.00 sampai jam istirahat 11.30.
Sehari sebelumnya 263 buruh yang berstatus TEIL (Tenaga Elarian
Lepas) menemui Fraksi Karya Pembangunan untuk meminta bantuan
dan mengadukan perlakuan tidak wajar dari pimpinan perusahaan.
Misalnya, walau mereka telah bekerja antara 3 sampai 8 tahun,
mereka belum juga diangkat sebagai pegawai tetap. Ini merupakan
pengaduan kedua setelah sebelumnya pada 10 Januari lalu mereka
mengadukan kasus yang sama.
Pengaduan susulan itu membuat gusar Rachmat Witular, Ketua
Komisi VI DPR. Tindakan pimpinan SCTI itu dianggapnya penghinaan
pada DPR. Kalau keadaannya memang demikian, pengusaha tersebut
harus dihukum keras. Kalau tindakan pengusaha itu hanya sampai
pada pemotongan gaji karena para buruh dianggap meninggalkan
pekerjaan, ia setuju karena masih dalam batas kewajaran. "Tapi
kalau memang benar sampai diharuskan membabat rumput, itu mah
kelewatan," ujarnya.
Yang gusar bukan cuma Rachmat Witular. Azhar Achmad, Ketua Tim
Bantuan Hukum DPP FBSI, begitu membaca berita itu langsung
mengajukan permohonan pada Kodak Metro Jaya untuk melakukan
pengusutan.
Hamil
Anggota DPR dari F-KP Oka Mahendra, menyatakan pengusaha asing
pimpinan SCTI itu "perlu ditatar P4." Rekannya, Warno Hardjo
yang pekan lalu menerima pengaduan buruh THL SCTI menuding
Direktorat Jenderal Bina Lindung Departemen Tenaga Kerja kurang
gesit hingga kasus ini timbul.
Jumat pekan lalu, beberapa anggota DPK dari F-KP meninjau
sendiri keadaan pabrik dan buruh SCTI di Ciracas, Kecamatan
Cibinong, Kabupaten Bogor. Pada tim F-KP pimpinan SCTI berjanji
untuk mempekerjakan 127 buruh TEIL yang dirumahkan.
Kericuhan buruh bukan hal baru di SCTI. Perusahaan modal Jepang
yang berdiri sejak 1972 dengan modal $12 juta ini memproduksi
900.000 m/bulan kain Caterina dan Southerntex. Jumlah karyawan
tetapnya 1.650 orang, 20 diantaranya tenaga asing (Jepang).
Tahun lalu perusahaan ini membuat heboh setelah memecat seorang
buruhnya gara-gara dianggap membocorkan "rahasia" perusahaan.
Rahasia itu para calon buruh wanita ternyata harus melalui test
kesehatan yang dilakukan dengan membuka pakaian kecuali celana
dalam. Beberapa buruh wanita mengaku "digerayangi" tatkala test
dilakukan. Karyawati yang menikah atau hamil juga harus berhenti
bekerja.
Sengketa pekan lalu terjadi antara perusahaan dengan kelompok
TEIL. Selain karyawan tetap, perusahaan mempekerjakan 314 THL
yang disuplai oleh Samhari, seorang kontraktor tenaga kerja.
Kontrak dengan Samhari biasanya diperpanjang sekali setahun,
tahun ini berakhir 9 Januari lalu.
"Jelas THL ini bukan karyawan pabrik, tapi karyawan kontraktor
Samhari," ujar M. Takamoto, Wakil Presiden Direktur PT SCTI pada
TEMPO. Menurut Takamoto, sejak Agustus 1979 Samhari dinilai
tidak bisa menjalankan tugasnya dengan baik. Misalnya jika
pabrik memesan 200 tenaga, yang bisa disediakan Samhari hanya
150 orang. Juga ada keluhan dari buruh bahwa Samhari memotong
upah buruh terlalu banyak. Dari upah harian Rp 470/hari/orang,
Samhari konon memotong Rp 30/hari/orang.
Berdasarkan pertimbangan itu perusahaan memutuskan untuk tidak
memperpanjang kontrak dengan Samhari dan menggantinya dengan PT
Biemco yang dianggap juga berpengalaman dalam menyediakan
tenaga. "Karena tahu mau didepak itulah Samhari lalu kasak-kusuk
menghasut THL," ujar Direktur Pelaksana SCTI William Budiman.
Hingga ujar Takamoto: "Peristiwa buruh THL ke DPR itu bukan
protes mereka, tapi protes Samhari."
Samhari sendiri 22 November 1979 telah mengadukan nasib buruh
THL yang tergabung dalam "Grup Samhari" pada Departemen Tenaga
Kerja dan FBSI. Dia antara lain melaporkan penderitaan buruh THL
yang hanya menerima Rp 470/hari tanpa uang makan, uang transport
atau uang kesehatan.
Serabutan
Begitu menerima laporan Samhari Kepala Kanwil Ditjen Bina
Lindung Tenaga Kerja DKI J.M. Situmorang langsung mengundang
pihak perusahaan, kelompok Samhari dan Ketua SBTS (Serikat Buruh
Tekstil dan Sandang) SCTI untuk berunding di kantornya.
Sayangnya wakil direksi SCTI yang datang menyatakan tidak berhak
memutuskan sesuatu tentang tuntutan Samhari. Pertemuan
berikutnya antara pihak Kanwil Ditjen Bina Lindung Tenaga Kerja
DKI dengan direktur SCTI tidak memuaskan karena Nakanishi,
Manajer Personalia SCTI hanya menyediakan waktu 5 menit. Tanggal
17 Desember lalu Nakanishi diundang ke Kanwil tapi tak muncul.
"Jadi jelas kita tidak tinggal diam," kata Situmorang menanggapi
kritik pada pihaknya.
Betulkah para buruh THL yang melapor ke DPR dihukum dengan
dipaksa membabat rumput? "Memang benar mereka disuruh mencabut
rumput, tapi bukan dimaksud untuk menghukum," bantah Takamoto.
Para buruh THL ini setiap harinya memang biasa mengerjakan kerja
serabutan.
Takamoto rupanya hanya berkilah. Sebab dari SBTS SCTI keluar
bantahan. "Tidak benar THL kerjanya serabutan. Sekitar 75% dari
mereka ikut proses produksi," ucap Saleh Hentiku, ketua basis
SBTS-SCTI.
Menurut Saleh, adanya THL ini merupakan "trik pengusaha untuk
menekan biaya produksi." Mengapa tidak pihak perusahaan sendiri
yang mengelola THL? "Sulit," jawab Takamoto. THL perlu ditangani
khusus, sedang tidak ada tenaga direksi untuk itu. "Lagipula
mereka tidak diperlukan secara kontinyu dalam jumlah besar,"
lanjutnya.
Mereka juga tidak bisa diangkat jadi karyawan tetap, sebab kata
Takamoto itu bisa menimbulkan protes karyawan tetap yang ada.
"Kalau karyawan protes, kan itu bisa mempengaruhi produksi,"
lanjut William.
Rupanya demi kelangsungan produksi itulah pimpinan SCTI
mendasarkan kebijaksanaannya, walau untuk itu kepentingan buruh
diabaikan. Pekan ini, akan dilangsungkan lagi perundingan antara
pihak SBTS dengan pengusaha.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini