Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tokoh

Main paksa di Ciracas

Rachmat witular, mengenai masalah tindakan pimpinan pabrik tekstil jepang di ciracas (pt. scti) terhadap buruh yang dihukum paksa membabat rumput.(pt)

26 Januari 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SENGKETA perburuhan mewarnai awal dasawarsa 1980. Kamis pekan lalu, seorang buruh PT SCTI (Southern Cross Textile Industry) yang sempat "melarikan diri" ke DPR melaporkan, salah seorang pimpinan berkebangsaan asing PT tersebut telah memaksa 263 buruh yang datang ke DPR sehari sebelumnya untuk membabat rumput di halaman pabrik. Mereka dipaksa bekerja di tengah hujan sejak jam 09.00 sampai jam istirahat 11.30. Sehari sebelumnya 263 buruh yang berstatus TEIL (Tenaga Elarian Lepas) menemui Fraksi Karya Pembangunan untuk meminta bantuan dan mengadukan perlakuan tidak wajar dari pimpinan perusahaan. Misalnya, walau mereka telah bekerja antara 3 sampai 8 tahun, mereka belum juga diangkat sebagai pegawai tetap. Ini merupakan pengaduan kedua setelah sebelumnya pada 10 Januari lalu mereka mengadukan kasus yang sama. Pengaduan susulan itu membuat gusar Rachmat Witular, Ketua Komisi VI DPR. Tindakan pimpinan SCTI itu dianggapnya penghinaan pada DPR. Kalau keadaannya memang demikian, pengusaha tersebut harus dihukum keras. Kalau tindakan pengusaha itu hanya sampai pada pemotongan gaji karena para buruh dianggap meninggalkan pekerjaan, ia setuju karena masih dalam batas kewajaran. "Tapi kalau memang benar sampai diharuskan membabat rumput, itu mah kelewatan," ujarnya. Yang gusar bukan cuma Rachmat Witular. Azhar Achmad, Ketua Tim Bantuan Hukum DPP FBSI, begitu membaca berita itu langsung mengajukan permohonan pada Kodak Metro Jaya untuk melakukan pengusutan. Hamil Anggota DPR dari F-KP Oka Mahendra, menyatakan pengusaha asing pimpinan SCTI itu "perlu ditatar P4." Rekannya, Warno Hardjo yang pekan lalu menerima pengaduan buruh THL SCTI menuding Direktorat Jenderal Bina Lindung Departemen Tenaga Kerja kurang gesit hingga kasus ini timbul. Jumat pekan lalu, beberapa anggota DPK dari F-KP meninjau sendiri keadaan pabrik dan buruh SCTI di Ciracas, Kecamatan Cibinong, Kabupaten Bogor. Pada tim F-KP pimpinan SCTI berjanji untuk mempekerjakan 127 buruh TEIL yang dirumahkan. Kericuhan buruh bukan hal baru di SCTI. Perusahaan modal Jepang yang berdiri sejak 1972 dengan modal $12 juta ini memproduksi 900.000 m/bulan kain Caterina dan Southerntex. Jumlah karyawan tetapnya 1.650 orang, 20 diantaranya tenaga asing (Jepang). Tahun lalu perusahaan ini membuat heboh setelah memecat seorang buruhnya gara-gara dianggap membocorkan "rahasia" perusahaan. Rahasia itu para calon buruh wanita ternyata harus melalui test kesehatan yang dilakukan dengan membuka pakaian kecuali celana dalam. Beberapa buruh wanita mengaku "digerayangi" tatkala test dilakukan. Karyawati yang menikah atau hamil juga harus berhenti bekerja. Sengketa pekan lalu terjadi antara perusahaan dengan kelompok TEIL. Selain karyawan tetap, perusahaan mempekerjakan 314 THL yang disuplai oleh Samhari, seorang kontraktor tenaga kerja. Kontrak dengan Samhari biasanya diperpanjang sekali setahun, tahun ini berakhir 9 Januari lalu. "Jelas THL ini bukan karyawan pabrik, tapi karyawan kontraktor Samhari," ujar M. Takamoto, Wakil Presiden Direktur PT SCTI pada TEMPO. Menurut Takamoto, sejak Agustus 1979 Samhari dinilai tidak bisa menjalankan tugasnya dengan baik. Misalnya jika pabrik memesan 200 tenaga, yang bisa disediakan Samhari hanya 150 orang. Juga ada keluhan dari buruh bahwa Samhari memotong upah buruh terlalu banyak. Dari upah harian Rp 470/hari/orang, Samhari konon memotong Rp 30/hari/orang. Berdasarkan pertimbangan itu perusahaan memutuskan untuk tidak memperpanjang kontrak dengan Samhari dan menggantinya dengan PT Biemco yang dianggap juga berpengalaman dalam menyediakan tenaga. "Karena tahu mau didepak itulah Samhari lalu kasak-kusuk menghasut THL," ujar Direktur Pelaksana SCTI William Budiman. Hingga ujar Takamoto: "Peristiwa buruh THL ke DPR itu bukan protes mereka, tapi protes Samhari." Samhari sendiri 22 November 1979 telah mengadukan nasib buruh THL yang tergabung dalam "Grup Samhari" pada Departemen Tenaga Kerja dan FBSI. Dia antara lain melaporkan penderitaan buruh THL yang hanya menerima Rp 470/hari tanpa uang makan, uang transport atau uang kesehatan. Serabutan Begitu menerima laporan Samhari Kepala Kanwil Ditjen Bina Lindung Tenaga Kerja DKI J.M. Situmorang langsung mengundang pihak perusahaan, kelompok Samhari dan Ketua SBTS (Serikat Buruh Tekstil dan Sandang) SCTI untuk berunding di kantornya. Sayangnya wakil direksi SCTI yang datang menyatakan tidak berhak memutuskan sesuatu tentang tuntutan Samhari. Pertemuan berikutnya antara pihak Kanwil Ditjen Bina Lindung Tenaga Kerja DKI dengan direktur SCTI tidak memuaskan karena Nakanishi, Manajer Personalia SCTI hanya menyediakan waktu 5 menit. Tanggal 17 Desember lalu Nakanishi diundang ke Kanwil tapi tak muncul. "Jadi jelas kita tidak tinggal diam," kata Situmorang menanggapi kritik pada pihaknya. Betulkah para buruh THL yang melapor ke DPR dihukum dengan dipaksa membabat rumput? "Memang benar mereka disuruh mencabut rumput, tapi bukan dimaksud untuk menghukum," bantah Takamoto. Para buruh THL ini setiap harinya memang biasa mengerjakan kerja serabutan. Takamoto rupanya hanya berkilah. Sebab dari SBTS SCTI keluar bantahan. "Tidak benar THL kerjanya serabutan. Sekitar 75% dari mereka ikut proses produksi," ucap Saleh Hentiku, ketua basis SBTS-SCTI. Menurut Saleh, adanya THL ini merupakan "trik pengusaha untuk menekan biaya produksi." Mengapa tidak pihak perusahaan sendiri yang mengelola THL? "Sulit," jawab Takamoto. THL perlu ditangani khusus, sedang tidak ada tenaga direksi untuk itu. "Lagipula mereka tidak diperlukan secara kontinyu dalam jumlah besar," lanjutnya. Mereka juga tidak bisa diangkat jadi karyawan tetap, sebab kata Takamoto itu bisa menimbulkan protes karyawan tetap yang ada. "Kalau karyawan protes, kan itu bisa mempengaruhi produksi," lanjut William. Rupanya demi kelangsungan produksi itulah pimpinan SCTI mendasarkan kebijaksanaannya, walau untuk itu kepentingan buruh diabaikan. Pekan ini, akan dilangsungkan lagi perundingan antara pihak SBTS dengan pengusaha.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus