IA baru saja menghabiskan bubur semangkuk yang dihidangkan
istrinya, Ni Purni, 67 tahun. Lantas Nyoman Kakul, orang itu,
menutup mata untuk selama-lamanya, hari itu 2 Juli pukul 17.30,
dalam usia 77 tahun. Empu seni tari dari Desa Batu Gianyar Bali
ini menderita CVA, pengapuran pembuluh darah, dan selama 6 tahun
hanya terbaring di tempat tidur, lumpuh.
Belajar menari sejak kecil seperti lazimnya anak-anak Bali,
kemudian Kakul memperoleh taksu, bakat luar biasa, kata orang.
Itu yang mendorong gurunya, Dewa Ktut Gedit almarhum mengajarkan
tari Gambuh, tarian yang amat sulit, yang menjadi dasar semua
tari Bali, kepadanya.
Seniman yang rendah hati ini pernah di suatu masa yang cukup
panjang mencukupi hidupnya dari menjual kayu bakar -- dipikulnya
sendiri dari desa ke desa. Nasib hidupnya mulai berubah, ketika
ia diserahi memimpin grup kesenian Legong Peliatan mengadakan
pertunjukan di Amerika Serikat, Jerman Barat, Inggris, dan
Prancis. Kemudian, 1967, ia diminta Akademi Seni Tari Denpasar,
untuk mengajar seni tari Bali klasik, dengan honorarium Rp 15
ribu hingga kelumpuhan dideritanya. Dan 1970, ia pernah ikut
festival tari internasional di Jerman Barat.
Sebagai guru tari, Kakul terkenal keras. Tak segan ia memukul
kaki dan tangan muridnya -- sebagai imbalan baginya agaknya,
sebab ia tak pernah menolak siapa pun yang datang kepadanya
minta diajari menari. Dan sebenarnya saja Kakul memang menguasai
hampir semua tari Bali. Terutama untuk tari topeng, konon di
seluruh Bali tak ada tandingannya ia bisa membawakan tokoh
punakawan yang sombong, tapi seketika bisa saja ia berubah
membawakan raja yang agung dan berwibawa.
Persis di hari meninggalnya sebuah buku dari Amerika Serikat
sampai di Batuan Gianyar. Bali Behind the Mask, judul buku itu,
ditulis oleh Anna Daniel, belas murid Kakul. Hampir separuh
dari 160 halaman buku itu berkisah tentang Nyoman Kakul.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini