Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tokoh

Meninggal dunia bukan sebuah fosil (1908-1983)

Negarawan, mohamad roem, wafat 24 september dalam usia 75 tahun. beliau tokoh sejarah, perunding terkemuka dan dikagumi kawan maupun lawan. (pt)

1 Oktober 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DALAM sepucuk surat bertanggal 23 April 1983 ia menulis, ia tak ragu-ragu untuk "merasa termasuk golongan yang sudah . . . memfosil". Nada kalimatnya ikhlas. Mohamad Roem memang selalu demikian. Itulah sebabnya ketika ia wafat 24 September pekan lalu. dalam usia 75 tahun, Indonesia bukan saja kehilangan seorang tokoh sejarah, tapi juga seorang yang berbudi. Yang jelas, bukan kehilangan sebuah fosil. Sehari sebelumnya ia baru kembali dari Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta, setelah dua pekan lebih dirawat karena radang paru-paru. Siang hari itu ia masih sempat makan sop buntut kambing kegemarannya bersama istrinya, Markisah Dahlia dan putranya, Roemoso. Sorenya ia terjatuh di kamar mandi. Pukul 18.10 ia tak ada lagi. Mungkin "penyakit jantungnya kambuh," kata Roemoso. Ratusan orang datang melayat, puluhan tokoh, baik dari generasinya maupun generasi sesudahnya: saksi perjalanan almarhum yang panjang dan penuh. Buku sejarah hanya mencatatnya sebagai perunding Indonesia utama menghadapi Belanda, terutama dalam persetujuan yang terkenal dengan namanya, "Roem-van Royen", Mei 1949. Tapi mereka yang mengenalnya tahu: Moh. Roem lebih dari itu. Diplomat yang berjuang untuk pengakuan kedaulatan Indonesia itu juga suara damai bagi banyak pihak. Penulis sejarah George Mc Turner Kahin dari Universitas Cornell menyebut Roem sebagai orang yang sanggup jadi "jembatan pengertian" antara kalangan yang berbeda-beda. Memang tak selamanya ia berhasil. Ia gagal ketika mencoba mendamaikan: mereka yang bertikai dalam peristiwa pemberontakan PRRI di Sumatera di tahun 1958. Pemerintah Pusat membom Kota Padang dan perang pecah. Presiden Soekarno, yang memerintahkan itu, pada 1960 akhirnya juga membubarkan Partai Masyumi, partai Islam yang antara lain dipimpin Roem. Lalu Roem, bersama sejumlah tokoh lain dari Masyumi dan PSI (Partai Sosialis Indonesia) kemudian ditahan, sampai empat tahun lebih. Pada 1966, setelah "Orde Lama" dan Bung Karno tergeser, Roem dan yang lain-lain dibebaskan. Khas bagi Roem, bahwa pengalaman ditahan tanpa bersalah itu tak menyebabkannya jadi orang yang pahit. Seperti ditulis kemudian oleh Mochtar Lubis, rekan setahanannya semasa itu, Roem memang tak pernah kehilangan proporsi: "Dalam tahanan Soekarno pun, Mas Roem masih dapat membenarkan Soekarno di mana Soekarno memang benar." Kepada seorang wartawan Belanda yang bertanya kepadanya kenapa dalam nada bicaranya ia tak menunjukkan rasa benci pada Soekarno setelah diperlakukan demikian tak adil Roem hanya menjawab: "Oh, saya tidak punya waktu untuk membenci Soekarno." Wartawan itu ketawa. Dia memang bukan orang yang tegar betapa pun teguhnya ia pada pendiriannya. Rasa humornya membantunya untuk mengambil jarak dari pertentangan posisi dan pendapat. Di tahun 1947, misalnya, beberapa bulan setelah kakinya luka ditembak pasukan Belanda yang menggerebek rumahnya diJakarta, Roem dan istrinya ke Yogya. Di Yogya ia ditampung Johan Syahruzah, seorang tokoh PSI. Waktu itu hubungan antara PSI dan Partai Masyumi cukup buruk. Melihat Roem di rumah "lawan", tokoh Masyumi yang lain, Prawoto, bertanya kepadanya: "Bagaimana kau sampai masuk ke liang singa ini?". Jawab Roem: "Biarlah, tidak apa. De leeuwin lebih galak." Sang "singa betina", de leeuwin yang dimaksud Roem, ialah Nyonya Johan Syahruzah. Kemampuan membuat jarak dari pertentangan posisi dan pendapat itulah yang menyebabkan ia dihormati siapa saja. Tokoh PNI Ali Sastroamidjojo menyebutnya "kawan lama saya". Tokoh militer yang kini jadi tokoh Kristen, T.B. Simatupang, melukiskannya sebagai pejuang, yang "tidak mudah marah dan benci, sekalipun sering banyak alasan untuk marah dan benci." Mungkin itu yang menyebabkan Roem bukan fosil. Ia teladan dari sejarah Indonesia, yang menunjukkan bahwa berbeda pilihan adalah sah dalam ikhtiar sebuah bangsa.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus