Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Awalnya, Eka dan Donny tak tahu anak pertamanya mengalami Cornelia de Lange Syndrome (CdLS) .
CdLS adalah kelainan langka genetik akibat mutasi gen yang belum diketahui penyebabnya.
Tak hanya bantuan materi dan kesehatan, orang tua anak CdLS juga butuh dukungan mental dan moral.
Sosok mungil Kinar berdiri menyambut kami di teras rumah, pagi itu. Kedua telapak tangan kanan kami saling beradu pelan. “Tos dulu,” ujar ibunya, Eka Mardiana, 45 tahun, dari ambang pintu kediamannya di Tegalrejo, Kota Yogyakarta, Kamis, 14 September lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tak ada celoteh suara diucapkan Kinar. Pun tatapan kedua mata beningnya di balik bulu matanya yang lebat tampak datar. Saat kami duduk di ruang tamu, kedua tangan Kinar memeluk Tempo secara tiba-tiba. “Itu tanda sayang,” Eka kembali menjelaskan sembari tersenyum. Ia membantu Kinar melepaskan rengkuhan itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sepintas, Kinar tak beda dengan kebanyakan bocah lainnya. Namun usianya yang akan genap 7 tahun pada Desember mendatang, secara fisik, seperti anak usia 3-4 tahun. Dia mengalami keterlambatan bicara. Berat badannya pun masih 11 kilogram dengan tinggi 110 sentimeter. Seiring dengan angka usianya yang bertambah, ia belum bisa mengontrol emosinya, seperti suka melempar barang apabila marah.
Kinar pun terbilang aktif, tak mau diam seperti pengidap autisme dengan spektrum attention deficit hyperactivity disorder (ADHD) dan kesulitan memusatkan perhatian atau fokus. Ia acapkali bergadang hingga pukul 2-3 dinihari. “Baterainya masih full. Sedangkan kami sudah harus di-charge,” tutur Eka didampingi suaminya, Donny Irawan, 50 tahun.
Saat lahir, berat badan Kinar 2,6 kilogram dan lingkar kepalanya kecil (microcephalus). Ia juga mengalami kelainan jantung karena katup jantungnya belum menutup sempurna hingga umur tiga tahun. Dokter pernah memvonis Kinar terinfeksi parasit toksoplasma. Ia juga mengalami gangguan pencernaan sehingga sulit buang air besar.
“Bisa 2-3 hari sekali pup. Hari keempat, kami biasanya membawanya ke IGD untuk ditangani dokter,” ucap Eka mengingat masa awal seusai kelahiran Kinar lewat operasi sesar.
Anak dengan CdLS,Kinar bersama kedua orang tuanya, Donny dan Eka di kediamannya di Tegalrejo, Kota Yogyakarta, 14 september 2023. TEMPO/Pito Agustin Rudiana
Mereka melakukan beberapa upaya terapi sejak Kinar berusia 8 bulan agar bisa beraktivitas sebagaimana anak seusianya. Di antaranya menjalani terapi wicara sehingga kini bisa mengucap kata "ayah", "maem", dan "main". Juga terapi okupasi untuk melatih saraf motoriknya. Sebab, pada usia itu, Kinar belum bisa duduk sendiri. Kemudian ia bisa berjalan pada usia 19 bulan.
Belakangan ditambah terapi snoezelen untuk melatih emosinya. Hanya, berat dan tinggi badannya belum bertambah signifikan. “Pernah anak kami dianggap stunting. (Kinar pun) jadi perhatian pihak puskesmas dan mendapat makanan tambahan selama tiga bulan,” ucap Eka, yang seorang ibu rumah tangga.
Kala itu, bukan hanya Eka dan Donny yang tak tahu penyakit yang mendera anak pertamanya itu. Pun dokter yang merawatnya masih menerka-nerka. Suatu ketika, Eka mengunggah foto bayi Kinar di akun Facebook-nya. Seorang teman yang melihat kemudian mengontaknya. “Mbak Eka, maaf ya, anakmu kayaknya ada yang beda. Coba cari tahu tentang CdLS,” kata temannya waktu itu.
Berselancarlah Eka dan Donny di dunia maya untuk mencari apa itu CdLS. Hasilnya, Cornelia de Lange syndrome (CdLS) adalah kelainan langka genetik akibat mutasi gen secara spontan selama proses kehamilan. Namun belum ditemukan penyebab mutasi gen itu terjadi.
Beberapa ciri klinis yang bisa dilihat kasatmata adalah bulu mata lebat serta alis melengkung dan lebat hingga menyatu. Juga cuping hidung mendongak ke atas dan lingkar kepala kecil. Dalam beberapa kasus, ada anak CdLS lahir dengan kondisi jari tidak sempurna. Juga ada yang tak bisa bicara.
Secara umum, gambaran anak CdLS di Indonesia adalah, pertama, mengalami disabilitas intelektual, yaitu kemampuan intelektual yang lambat dan di bawah rata-rata. Lainnya, mengalami gangguan pengendalian emosi, spektrum autisme (autism spectrum), keterlambatan dan gangguan bicara, serta tumbuh kembang yang lambat. Juga daya ingat pendek.
Kedua, mengalami gangguan saluran pencernaan, seperti gastroesophageal reflux disease (gerd) dan konstipasi. Ketiga, gangguan pernapasan, seperti pneumonia, asfiksia, dan penyakit jantung bawaan. Keempat, gangguan pendengaran, dari ringan hingga tuli berat. Kelima, berat badan dan tinggi badan di bawah rata-rata.
“Kok iya, ya. Banyak kesamaannya,” kata Eka saat itu, meskipun kondisi orang dengan CdLS, satu dengan yang lainnya berbeda.
Dengan segepok dokumen, pasangan itu pun datang ke rumah sakit di Semarang untuk mendapat kejelasan diagnosis bahwa anak mereka memang benar mengidap CdLS. Namun diagnosis yang diberikan sebatas tegak klinis, yakni melihat ciri-ciri fisik anak, termasuk tumbuh kembangnya, lantaran di Indonesia belum ada alat yang bisa memastikan seseorang mengalami CdLS.
Bahkan pemeriksaan gen di sebuah laboratorium swasta di Jakarta juga tidak berhasil mendiagnosis kondisi Kinar. “Iya, anak ibu CdLS,” kata dokter itu hanya berdasarkan diagnosis klinis sebagaimana ditirukan Eka. Dan kejelasan itu diperoleh saat Kinar berusia 3 tahun.
Saling Menguatkan lewat Komunitas
Kelainan langka ini menimpa satu dari setiap 10 ribu kelahiran. Namun hingga kini belum bisa dipastikan penyebabnya, hanya sebatas mutasi gen secara spontan. Semula Eka menduga karena ia hamil saat usia risiko tinggi, yakni 38 tahun. Ternyata ada anak CdLS yang lahir dari ibu yang berusia muda.
Ada dugaan CdLS terjadi karena faktor keturunan. Lantaran ada istri yang menikah dengan suami CdLS, kemudian melahirkan bayi CdLS juga. Namun dugaan itu terpatahkan karena banyak anak yang lahir dari keluarga yang tak ada riwayat CdLS. Ada yang anak pertama mengidap CdLS, anak kedua dan selanjutnya tidak. Sebaliknya, anak pertama-kedua non-CdLS, anak ketiga mengidap CdLS.
“Jadi, seperti undian. Anak lahir CdLS seperti mendapat golden ticket,” ujar Donny.
Mereka mendapat pengetahuan tentang rupa-rupa CdLS itu karena bergabung dalam Komunitas CdLS. Cikal-bakal komunitas itu sudah ada sejak 1990-an. Berawal dari bertemunya beberapa orang tua dari orang dengan CdLS ketika mendampingi anak mereka berkonsultasi dengan dokter ataupun sedang melakukan terapi di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta pada 1990-an. Saat itu, informasi mengenai CdLS masih sangat terbatas. Sumber informasi tentang CdLS semula didapat dari korespondensi dengan komunitas CdLS Australia. Kesempatan bertemu di RSCM itu menjadi sarana mereka untuk saling berbagi informasi dan cerita.
Seiring dengan perkembangan teknologi dan informasi, keberadaan orang dengan CdLS mulai terdengar di berbagai daerah di Indonesia. Para orang tua itu pun membuat grup WhatsApp, yang jumlah anggotanya mencapai 90 orang. Lantaran banyak situasi dan kendala yang dihadapi para orang tua yang anaknya mengidap CdLS, pada 30 Juni 2022, beberapa orang tua anggota grup WA itu mendirikan Yayasan CdLS Indonesia. Ketua Pelaksana Harian Yayasan adalah Koko Prabu yang berdomisili di Semarang, sekaligus menjadi kantor pusatnya. Hingga kini, yayasan tersebut belum punya perwakilan di daerah.
Kini jumlah orang dengan CdLS mencapai 98 orang di seluruh Indonesia, baik anak maupun dewasa. Wilayah itu meliputi Bali, Banten, Bengkulu, Bogor, Depok, Bekasi, DI Yogyakarta, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Timur, Kepulauan Riau, Lampung, NTB, Riau, Sulawesi Tengah, Sumatera Selatan, dan Sumatera Utara. Jumlah terbanyak pengidap CdLS ada di Jawa Tengah, yakni 14-15 orang. Sedangkan di DIY ada 10 orang.
“Papua belum teridentifikasi, ada atau tidak (CdLS). Meskipun sudah ada relawan di sana,” kata Eka yang menjadi koordinator media yayasan itu.
Angka 98 pun dimungkinkan bertambah karena pemahaman orang ataupun tenaga medis tentang CdLS masih minim. Lewat komunitas, terdata sejumlah persoalan, kendala, dan tantangan sekaligus itu menjadi kebutuhannya.
Pertama, akses kesehatan (BPJS, JKN-KIS) dan penanganan yang tepat dari faskes dan tenaga medis. Layanan BPJS Kesehatan, misalnya, dilakukan secara berjenjang dari fasilitas kesehatan tingkat pertama. Sementara itu, tak semua dokter dan tenaga kesehatan paham tentang CdLS.
Adapun kondisi orang dengan CdLS acapkali tak terduga, seperti gangguan jantung, pneumonia, dan pencernaan yang tiba-tiba kambuh. “Kan, butuh penanganan cepat. Tapi kan BPJS mesti berjenjang,” tutur Eka.
Berdasarkan rembukan yayasan dengan pihak BPJS, akhirnya yang menjadi keluhan pasien itulah yang diobati dengan asuransi BPJS. Tak perlu ada penegakan diagnosis CdLS lebih dulu karena tidak semua dokter memahaminya. “Jadi, kalau enggak ada diagnosis lebih dulu, enggak tahu CdLS, enggak apa-apa. Yang penting tujuannya (pengobatan) tercapai,” ujar Donny.
Kedua, perlunya keterlibatan pemerintah untuk membantu kebutuhan sehari-hari orang dengan CdLS. Salah satunya melalui program Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) dari dinas sosial. Mengingat tingkat perekonomian keluarga CdLS beragam, tak sedikit yang tidak mampu. Sementara itu, orang dengan CdLS memerlukan beragam kebutuhan, tergantung kondisinya.
Eka pun membeberkan beragam kebutuhan orang dengan CdLS. Meliputi alat kesehatan, seperti tabung oksigen, nebulizer, oksimeter, selang NGT, dan termometer. Kemudian alat bantu kesehatan, seperti sepatu AFO, alat bantu dengar, kursi roda modifikasi, stroller, kursi mandi tumble form, dan kacamata.
Juga kebutuhan susu formula, suplemen vitamin dan probiotik, serta olahan bebas gluten dan minim gula. Kebutuhan lain adalah popok sekali pakai dan beragam terapi, seperti terapi wicara, sensori integrasi, okupasi, fisioterapi, dan snoezelen.
Untuk bisa mengakses program DTKS, pihak yayasan kemudian menghubungi Komisi Nasional Disabilitas (KND). Selanjutnya, yayasan mendata per wilayah dan menyerahkannya ke dinas sosial. “Kami sedang berupaya agar anak-anak CdLS bisa masuk dalam kelompok disabilitas yang mendapat bantuan dari dinas sosial,” ujar Eka.
Beberapa pengurus dan anggota Yayasan CdLS Indonesia tengah berkumpul. Dok. Yayasan CdLS Indonesia
Selain itu, pihaknya mengupayakan menggalang donasi dari masyarakat ataupun swasta. Bagi yang ingin membantu, bisa mengakses melalui akun Instagram @cdlsindonesia.
“Asalkan bukan dari partai politik, kami terima,” Eka buru-buru menggarisbawahi.
Salah satu bantuan swasta datang dari perusahaan pemeriksaan genetik, PT Asa Ren Global Nusantara (Asaren). Perusahaan itu memberi kuota bagi 10 anak CdLS di Jabodetabek untuk diperiksa genetiknya secara gratis. Biasanya dibutuhkan biaya Rp 20 juta per individu. Mereka pun tengah menunggu hasilnya. “Harapannya supaya preventif. Misalnya, apakah diagnosisnya benar CdLS? Lalu cara mencegah agar tidak terjadi CdLS bagaimana,” tutur Eka.
Yayasan juga mensosialisasi tentang CdLS melalui media massa, seperti talkshow di sejumlah stasiun televisi dan radio. Juga menjalin kerja sama dengan perguruan tinggi, seperti dengan Jurusan Psikologi Universitas Katolik Soegijapranata (Unika), untuk membuat diskusi. Kebetulan ada dosen di sana yang menjadi pendamping orang tua dari anak CdLS untuk menguatkan mentalnya. Dosen itu juga melibatkan mahasiswanya sehingga mereka tahu soal CdLS.
Lingkungan Jadi Support System
Tak hanya bantuan materi, para orang tua dari anak CdLS juga membutuhkan tempat curhat menyangkut pengurusan anak-anak mereka. Ada yang mengeluhkan anaknya yang bergadang terus sehingga orang tua pun tak bisa istirahat. Ada juga anak yang bolak-balik ke rumah sakit karena mengalami pneumonia ataupun gangguan jantung. Pun ada yang mengeluh lantaran keluarga besarnya tak mau menerima kehadiran anak CdLS karena malu.
Curhat itu bisa dilakukan melalui WAG. Sering kali pengurus beranjangsana ke rumah-rumah orang dengan CdLS. “Untuk saling menguatkan bahwa mereka tidak sendiri,” ucap Eka.
Soal support system, pasangan Eka dan Donny membeberkan tipnya. Donny, misalnya, sejak awal menjelang kelahiran anaknya sudah memberitahukan kepada keluarga besarnya akan kondisi anaknya. Mengingat saat dalam rahim, lingkar kepala Kinar yang kecil bisa diketahui.
“Saya sampaikan kepada ayah dan ibu bahwa cucunya ini ‘istimewa’. Jadi, siap-siap saja,” ucap Donny.
Dia bersyukur, keputusannya waktu itu dirasa tepat dan bermanfaat ke depan. Keluarga besarnya menerima kehadiran Kinar. Bahkan mereka punya sebutan khusus untuk Kinar, "Anak Surga".
Donny juga sering mengajak Kinar jalan-jalan keliling kampung untuk berinteraksi dengan warga dan bocah-bocah di sana. Cara itu membuat warga tahu kondisi Kinar sehingga tak terjadi bullying. “Jadi, kondisi Kinar tidak kami sembunyikan."
Kinar pun diharapkan kelak bisa lebih percaya diri berinteraksi dengan mereka. Dan warga sekitar pun bisa membantu Kinar pulang ke rumah apabila bocah yang aktif itu tiba-tiba keluar rumah. Sedangkan ia belum bisa bicara.
Antara Eka dan Donny pun bekerja sama merawat Kinar. Mereka saling menggantikan apabila salah satu dari mereka tengah punya kesibukan. Bahkan Donny, yang semula bekerja sebagai konsultan di kantor, kini memilih menjadi konsultan lepas demi bisa mendampingi tumbuh kembang Kinar.
“Kami berfokus Kinar bisa mandiri. Sebab, kalau kami sudah tidak ada, siapa yang akan mengurusnya?” ucap Eka disambut anggukan suaminya.
PITO AGUSTIN RUDIANA