Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tokoh

Rumit Sujiwo Tejo

15 Maret 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BAHASA Jawa maupun Indonesia, asal dinyanyikan Sujiwo Tejo, 36 tahun, nasibnya serupa: sama-sama sulit dimengerti. Tak percaya? Dengarkan album Pada Suatu Ketika (1997), yang hampir seluruh lagunya, tak menggunakan bahasa sehari-hari. Banyak diselipkan lirik bahasa Jawa kuno dengan iringan musik yang asing. Orang awam tentu akan kesulitan menerjemahkan pesan yang hendak disampaikan Sujiwo. Tak peduli orang Jawa atau Ambon. "Mungkin 80 persen orang Jawa pun juga tidak mengerti," katanya. Toh dengan kerumitan itu, album berirama musik swing, rock, dan blues tersebut laku 25 ribu kopi. Padahal, menurut Sujiwo, jenis-jenis musik alternatif seperti itu, paling banter terjual 4.000 keping. Sukses itu menjadi inspirasi Sujiwo untuk membuat album kedua, berjudul Kan Tak Kami Tak Makan, yang sedianya diluncurkan Mei mendatang. Bahasa Jawa yang njelimet digusur dengan lirik bahasa Indonesia. Supaya tak rumit? Tidak juga. Kata Tejo, pemilihan kata bukan karena keindahannya, tapi karena bunyinya. "Mulut bukan hanya untuk ngomong, juga untuk bermain musik," ujarnya. Bapak tiga anak ini memang seniman nyeleneh. Penampilannya sehari-hari menunjukkan bahwa ia adalah sebuah simbol seniman klasik: rambut gondrong. Konsep seni musik yang ditawarkannya tak kalah nyentrik: kata-kata sebagai bunyi. Jadi asal bersuara saja, berpotensi menjadi karya seni. "Saya kan dalang. Pilihan narasi-narasi pedalangan umumnya mengutamakan bunyi. Ini mengembalikan kesadaran bahwa kata itu selain punya arti, juga punya bunyi," tutur seniman yang pernah tercatat sebagai mahasiswa teknik sipil dan matematika ITB. Bagi putra dalang ini, dunia seni bisa dijalani sekaligus. Selain bermain musik, Sujiwo Tejo juga rajin menulis puisi, mengajar akting, main di film Telegram, juga mendalang—dunia yang ditekuninya sejak 1994. Satu profesinya yang agak beda, wartawan di harian Kompas, sudah dilepasnya sejak akhir bulan lalu. Di antara berbagai profesinya itu, Sujiwo lebih suka disebut dalang ketimbang artis, misalnya. Katanya, artis harus glamor dan menjadi sorotan. Sedangkan pekerjaan mendalang bisa dilakoni dengan menelusuri kampung-kampung. "Dan tidak didatangi dengan rasa kagum untuk minta tanda tangan," katanya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus