Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di ruang perpustakaannya yang megah dengan ribuan koleksi buku, Bacharuddin Jusuf Habibie menyambut Tempo pada Jumat sore awal Mei lalu. ”Halo, apa kabar?” katanya dengan nada riang sambil tersenyum lebar.
Berpakaian putih-putih, Rudy—begitu sapaannya—mempersilakan kami duduk di kursi yang berjejer melingkari meja kayu jati di perpustakaan yang berada di bagian belakang rumahnya di kompleks Patra Kuningan, Jakarta. Di atas meja telah tersaji aneka penganan kecil, jajanan pasar, dan beberapa cangkir teh manis yang masih mengepul-ngepul. ”Silakan, silakan,” ujarnya.
Ya, dia masih Habibie yang dulu. Semangatnya masih seperti dulu, menyala-nyala. Bicaranya tetap lantang. Tutur katanya tertata. Matanya yang bundar kerap terbuka lebar. Di usianya yang akan memasuki 76 tahun pada 25 Juni nanti, pria kelahiran Parepare, Sulawesi Selatan, itu masih tampak bugar dan energetik.
Kepada Tempo—yang mengutus Heru Triyono, Ninin Damayanti, Purwani Dyah Prabandari, dan Nurdin Kalim—Habibie menuturkan lika-liku perjalanan hidupnya yang berwarna. Dalam dua kali pertemuan, 13 Maret dan 4 Mei 2012, dia mengisahkan impiannya tentang industri dirgantara Nusantara, kemerdekaan Timor Timur (kini Timor Leste), serta pasang-surut hubungannya dengan Soeharto, penguasa Orde Baru.
Ketika saya remaja, Pak Harto pernah bertanya, saya berasal dari mana. Saya jawab, ”Saya orang Jawa.” Terus dia bilang, ”Kamu itu 50 persen Jawa, 25 persen Bugis, dan 25 persen Gorontalo. Otak dan agamamu Jawa, tapi ototmu Bugis.” Ini bukan soal rasis, karena memang begitu kenyataannya. Ibu saya, R.A. Tuty Marini Puspowardojo, berasal dari Jawa, dan ayah, Alwi Abdul Jalil Habibie, berasal dari Gorontalo. Tapi saya dominasinya Jawa, ha-ha-ha….
Saya pertama kali kenal Pak Harto pada awal 1950, ketika saya berumur 14 tahun dan Pak Harto 29 tahun. Saat itu, sebagai komandan, Letnan Kolonel Soeharto datang ke Makassar untuk memimpin pasukan Brigade Mataram menumpas pemberontakan di wilayah Sulawesi Selatan pimpinan Andi Azis. Kebetulan, markas pasukan Pak Harto terletak di seberang rumah orang tua saya di Jalan Maricaya (Klapperland), Makassar.
Saat senggang, pasukan Brigade Mataram sering bertamu ke rumah saya. Mereka anak muda yang badannya tegap-tegap mirip aktor Van Damme. Pak Harto dan pasukannya kemudian menjadi akrab dengan bapak-ibu saya. Dan dia memperlakukan saya seperti kepada anaknya sendiri. Menurut dia, desanya dekat dengan makam keluarga ibu saya di Purworejo, Jawa Tengah.
Lama-lama Pak Harto dan keluarga saya menjadi akrab. Dan hubungan Pak Harto dengan keluarga saya semakin dekat setelah seorang perwira Brigade Mataram, Kapten Subono Mantofani, menikah dengan kakak saya. Kapten Subono itu bapak Adrie Subono (yang kini dikenal sebagai promotor musik).
Pak Harto dan pasukannya kadang mengadakan rapat di rumah orang tua saya. Tapi bapak saya tidak ikut rapat. Bapak saya bukan politikus. Dia dari dulu teknokrat. Dia ahli pertanian, angkatan pertama di Institut Pertanian Bogor. Ibu saya juga bukan politikus, dia dari kalangan intelektual. Jadi, rumah kami saja yang dipakai untuk rapat.
Saat mereka mengadakan rapat di rumah, saya hanya duduk di ruang belakang. Saya masih kecil. Tapi tentu saja saya memperhatikan mereka. Pak Harto sangat serius. Kalau saya melintas ketika mereka rapat, Pak Harto paling bertanya kabar saya. Hanya sebatas itu. Saya tidak ada pergaulan dengan dia. Boleh dibilang, Pak Harto di mata saya waktu itu terlihat gagah dan ganteng.
Biasanya rapat mereka sekitar dua jam. Dan itu semakin intens selama enam bulan, sepanjang Maret hingga Agustus. Rapat tak lagi dilakukan setelah pemimpin separatis Andi Azis menyerahkan diri. Andi Azis kemudian ditawan. Pak Harto akhirnya punya rumah dinas di Makassar.
Pada 3 September 1950, bapak saya terkena serangan jantung pada saat salat isya. Malam itu kami sekeluarga panik. Kakak saya yang tertua kemudian berlari ke markas Brigade Mataram untuk meminta pertolongan. Yang datang waktu itu Pak Harto dan seorang dokter. Tapi bapak saya tak tertolong lagi. Ketika bapak saya wafat, Pak Harto salah seorang yang menutup mata bapak saya.
Sejak itu, saya tidak pernah bertemu lagi dengan Pak Harto. Sepertinya dia dan pasukannya kembali ke Jawa karena, setelah Andi Azis tertangkap, praktis tak ada tugas penting lagi. Sewaktu bersekolah di Bandung dan kemudian kuliah di Institut Teknologi Bandung, saya juga tak pernah bertemu lagi dengan dia.
Kami bertemu lagi pada 1960-an ketika saya kuliah di Jerman atas biaya ibu saya sendiri. Waktu itu dia belum menjadi Panglima Kostrad (Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat). Bersama Ibu Tien, dia dua kali ke Jerman dan mampir ke tempat saya. Dia membawa oleh-oleh dari ibu saya.
Mereka kembali tak bertemu sampai 1970-an, ketika Soeharto yang terpukau oleh kecemerlangan Habibie memanggilnya pulang untuk mengembangkan industri dirgantara di Indonesia. Di Indonesia, Habibie tidak hanya menjadi pembuat pesawat. Dia juga menjadi salah satu anggota kabinet paling awet. Menjadi Menteri Riset dan Teknologi dan wakil presiden di akhir masa kepresidenan Soeharto. Saat Soeharto jatuh pada 1998, Habibie otomatis menggantikannya menjadi presiden, dalam periode yang cukup singkat, hanya sekitar satu setengah tahun.
Rabu, 20 Mei 1998, sekitar pukul 19.30, saya meeting dengan Pak Harto di kediamannya di Jalan Cendana. Kami mengadakan rapat di ruang kerja presiden untuk menyusun Kabinet Reformasi. Sambil membuka sehelai kertas besar yang berisi nama-nama anggota kabinet, Pak Harto berkata, ”Ini, Habibie, kabinet yang harus kita bentuk.” Saya sebagai wakil presiden diminta mengecek kembali nama-nama tersebut dan memberi komentar.
Saya bilang, yang ini tidak benar. Ini juga tidak benar. Yang ini oke, ini bisa diterima. Di sini saya tidak mau menyebut nama, karena tidak etis. Kemudian saya jelaskan alasannya. Pak Harto menerima alasan saya. Tapi dia kemudian bertanya, ”Kenapa sebagian besar tidak benar?” Saya langsung bilang, ”Lho, Bapak tanya saya, ya, saya berkewajiban bilang apa adanya. Kalau Bapak mau mengubah, silakan ubah saja.” Terjadilah perdebatan yang cukup hangat. Saya dan Pak Harto itu sangat terbuka, seperti adik-kakak.
Akhirnya, karena tidak ada titik temu, saya mempersilakan Pak Harto memutuskan apa yang terbaik. Kabinet Reformasi pun kemudian terbentuk. Rencananya, esok harinya, 21 Mei 1998, Pak Harto mengumumkan susunan Kabinet Reformasi yang akan dilantik pada 22 Mei di Istana Negara.
Tapi ternyata esoknya Pak Harto menyampaikan pidato pengunduran diri dan melantik saya untuk menggantikannya. Semuanya berlangsung cepat. Pak Harto memberi salam kepada semua yang hadir, termasuk saya. Tanpa senyum dan berkata-kata, Pak Harto meninggalkan ruang tempat dia berpidato.
Sejak dilantik menjadi presiden, saya berusaha bertemu dengan Pak Harto. Tapi tidak berhasil. Hingga pada Selasa, 9 Juni 1998, sehari setelah ulang tahun ke-77 Pak Harto, saya bisa berbicara dengan dia lewat telepon. Saya bilang saya minta waktu bertemu. Dia bilang tidak boleh karena itu akan merugikan. Bukan merugikan dia dan saya, tapi merugikan keadaan. ”Laksanakan saja tugasmu dengan baik. Saya doakan agar Habibie selalu dilindungi Allah dalam melaksanakan tugas. Kita nanti bertemu secara batin saja. Asal kamu sadari, Habibie, lima kali saya salat, lima kali saya doa untuk kamu.” Itu kata penghabisan beliau kepada saya.
Puluhan tahun saya berbicara dan berdiskusi dengan Pak Harto tanpa kendala. Baru saat itu Pak Harto menolak bertemu dengan saya. Hingga akhirnya muncul rumor bahwa hubungan Habibie-Soeharto memburuk. Sampai-sampai saya dibilang sudah di depan Cendana tapi tidak boleh masuk. Itu tidak benar. Saya tidak pernah mengalami itu.
Sepuluh tahun kemudian, sekitar pertengahan Januari 2008, sewaktu Pak Harto sakit dan setengah koma, saya datang membesuk bersama Ibu Ainun (Hasri Ainun Besari, istri Habibie). Waktu itu Ibu Ainun juga sedang sakit, datang dengan pesawat terbang khusus untuk menjenguk Pak Harto. Dari bandara, saya langsung ke Rumah Sakit Pertamina. Sampai di depan kamar tempat Pak Harto dirawat, saya tidak bisa masuk. Protokol yang bilang saya tidak boleh masuk, karena anak-anak Pak Harto menghalangi.
Saya dan Ibu Ainun berhenti di depan kamar perawatan, kemudian ditemani Pak Quraish Shihab, Muladi, Watik Pratiknya, dan seorang kerabat Pak Harto. Saya bilang ke Pak Quraish, ”Tolong, kita doakan dari sini saja.” Setelah doa diamini, saya pun pergi.
Pada 27 Januari 2008, sekitar dua pekan setelah Habibie gagal bertemu, mantan presiden Soeharto wafat. Habibie pun sangat kehilangan kakak sekaligus guru yang dicintainya itu. Dan selang sekitar dua tahun kemudian, tepatnya 22 Mei 2010, Habibie kembali harus kehilangan orang yang sangat dicintainya, Ainun, istri yang telah mendampinginya sepanjang 48 tahun 10 hari. Ainun wafat karena kanker.
Di pekan-pekan pertama sejak kepergian Ainun, hampir setiap hari Habibie datang ke makam sang istri di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta, dan membaca doa. ”Sampai sekarang, setiap malam saya selalu tahlilan buat Ibu Ainun di rumah,” katanya. ”Dan setiap Jumat pagi, saya tahlilan di makam Ibu Ainun.” Saat mengatakan itu, Habibie berpakaian putih-putih dan mengenakan selendang putih milik almarhumah istrinya sebagai syal.
Prof Dr Ing Bacharuddin Jusuf Habibie
Tempat dan tanggal Lahir:
Parepare, Sulawesi Selatan, 25 Juni 1936
Pendidikan:
Karier:
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo