Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Seperti kebanyakan penulis lain, Ayunda Faza Maudya—nama lengkap Maudy—kutu buku. Kepada 8,8 juta pengikutnya di Instagram, aktris dan penyanyi 23 tahun asal Jakarta ini kerap memamerkan kitab yang sedang ia baca. Berikut ini tiga buku yang ia khatamkan dalam dua bulan terakhir.
Karya novelis Kevin Kwan, 544 halaman, terbit Juni 2013
“Karena pernah main di film yang diangkat dari buku—Sang Pemimpi pada 2009—aku enggak bisa membandingkan lebih bagus novel atau filmnya. Bagus dua-duanya.”
Karya Dylan Wiliam, 216 halaman, terbit Maret 2018
“Tentang pendidikan di Amerika Serikat. Aku lagi lumayan passionate tentang pendidikan.”
Karya jurnalis Will Storr, 416 halaman, terbit Maret 2018
“Buku tentang social media dan bagaimana orang-orang jadi lebih egosentris.”
Hanif Dhakiri -TEMPO/Nurdiansah
Gagal Mendapat Beasiswa
PERTEMUAN dengan Duta Besar Inggris untuk Indonesia Moazzam Malik, tiga pekan lalu, membuka kenangan lama Menteri Ketenagakerjaan Hanif Dhakiri. Pria 46 tahun itu teringat akan impiannya melanjutkan studi di Negeri Ratu Elizabeth yang kandas pada 2000.
Hanif, yang bergelar sarjana dari Institut Agama Islam Negeri Walisongo, Semarang, membidik Chevening, beasiswa dari pemerintah Inggris. Dia ingin kuliah di University of Cambridge dengan jurusan hubungan internasional atau ekonomi politik. “Tapi gagal di tes bahasa Inggris,” ujarnya kepada Tempo di kantor Kedutaan Besar Inggris, Jakarta, tiga pekan lalu.
Menurut dia, bahasa Inggris menjadi momok bagi banyak pelajar. “Belajar grammar melulu,” katanya. Politikus Partai Kebangkitan Bangsa ini mengusulkan kepada Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy agar mata pelajaran bahasa Inggris dilebur dalam berbagai pelajaran, misalnya saat guru menuturkan peristiwa bersejarah. “Tapi takes time.”
Hanif mengatakan kemampuan bahasa asingnya meningkat seiring dengan kariernya di berbagai lembaga swadaya masyarakat internasional, bukan karena sekolah dan kursus. “Kalau sekarang tes beasiswa lagi, pasti loloslah, ha-ha-ha…,” ucapnya.'
Candra Darusman -TEMPO/Nurdiansah
Pulang Kampung
BANYAK yang bingung saat musikus Candra Darusman menolak perpanjangan masa tugasnya di Organisasi Hak atas Kekayaan Intelektual Dunia (WIPO). Bukan apa-apa, di badan Perserikatan Bangsa-Bangsa yang mengurusi hak kekayaan intelektual dan hak cipta itu, dia bisa berperan banyak melindungi karya pekerja seni, yang ia bela sejak mendirikan Yayasan Karya Cipta Indonesia pada 1991. Terlebih Jenewa, lokasi kantor WIPO, adalah kota impian yang ia abadikan dalam lagu Geneva pada 1983.
Ketimbang kota terbesar kedua di Swiss itu, Jakarta ternyata lebih menarik hati Candra, 61 tahun. “Di sana, saya diatur orang lain. Di sini, urusan waktu saya yang mengendalikan, ha-ha-ha…,” katanya kepada Tempo, Senin pekan lalu.
Di bawah kendali sendiri, dia menelurkan Detik Waktu: Perjalanan Karya Cipta Candra Darusman. Album yang melibatkan, antara lain, Addie M.S., Erwin Gutawa, Sheila Majid, dan Andien itu dinobatkan sebagai Album Terbaik-Terbaik dan Album Pop Terbaik Anugerah Musik Indonesia 2018 bulan lalu.
Candra punya misi lain di Tanah Air. Dia ingin kembali mengibarkan Chaseiro, band yang dia bangun bersama kawan-kawannya di Universitas Indonesia dan berjaya pada awal 1980-an. Dia membentuk Chaseiro All-Star, yang beranggotakan musikus muda. Mereka akan menggelar konser akhir bulan ini. “Saya berharap Chaseiro bisa terus hidup dengan adanya generasi baru ini,” ujar Candra, yang juga pemain piano dan keyboard grup musik jazz Karimata.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo