Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wawancara

<font face=arial size=1 color=brown><B>Denny Indrayana:</B></font><BR />Kepada Presiden Saya Sarankan Deponering

14 Juni 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bicaranya masih lugas, terutama bila menyangkut korupsi dan mafia hukum. Sama seperti saat dia menjadi Ketua Pusat Kajian Antikorupsi Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada. Namun, bertambahnya pengalaman membuat dia lebih mudah memaklumi perbedaan pandangan, dan ini terlihat dalam sepakterjangnya sebagai anggota staf khusus Presiden bidang hukum dan Sekretaris Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum.

Dalam kasus gugatan surat ketetapan penghentian penyidikan (SKPP) kejaksaan yang membuat pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi Bibit Samad Rianto dan Chandra Hamzah kembali terancam pidana, Denny Indrayana tegas menilai kejaksaan seharusnya menerbitkan surat deponering. Namun dia juga menghormati pilihan Jaksa Agung yang mengajukan peninjauan kembali (PK). "Sesuai dengan prinsip kemandirian sebagai penegak hukum," ujarnya.

Denny Indrayana memang punya "ikatan" dengan kasus Chandra-Bibit. Ketika kasus ini meledak setahun lalu dengan tagline terkenal cicak versus buaya, dia diangkat menjadi salah satu anggota Tim Delapan yang dibentuk Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Tim tersebut akhirnya menyimpulkan tuduhan terhadap Bibit-Chandra tidak punya cukup bukti, dan merekomendasi agar perkaranya dihentikan.

Jumat pekan lalu, Denny menerima Nugroho Dewanto, Yandi M. Rofiyandi, dan fotografer Suryo Wibowo dari Tempo di kediamannya, kompleks Mahkamah Agung, Slipi, Jakarta Barat. Dia bertutur tentang banyak hal, dari cerita di balik keputusan kasus Bibit-Chandra, peran strategis KPK, hingga lika-liku mafia hukum yang disebutnya "di luar imajinasi".

Kejaksaan mengajukan peninjauan kembali atas kasus Bibit-Chandra. Bagaimana sebenarnya sikap pemerintah? Mengapa kejaksaan tak melakukan deponering?

Posisi pemerintah harus dibedakan dengan proses hukum. Pemerintah menghormati mekanisme hukum yang berjalan. Jadi, kalau Kejaksaan Agung tak memilih deponering, itu haknya sebagai institusi penegakan hukum. Undang-Undang Kejaksaan menegaskan bahwa dalam proses penegakan hukum, kejaksaan harus independen.

Bukankah politik hukum pemerintah, misalnya dalam pemberantasan korupsi, dilaksanakan oleh kepolisian atau kejaksaan?

Secara kebijakan, pemerintah punya politik hukum. Tapi, dalam penegakan hukum, pemerintah tetap tak boleh campur tangan.

Anda dulu anggota Tim Delapan yang merekomendasikan pembebasan Bibit-Chandra. Sekarang keduanya kembali terancam pidana.

Tim Delapan dulu merekomendasikan kasus ini tak cukup bukti sehingga tak bisa diajukan ke pengadilan. Waktu itu kita memberikan tiga rekomendasi: surat perintah penghentian penyidikan kalau tingkatnya penyidikan, surat ketetapan penghentian penyidikan, dan deponering. Ketika kejaksaan akhirnya menerbitkan SKPP, terjadi perdebatan karena alasannya memang debatable. Kejaksaan kemudian kalah dalam gugatan terhadap penerbitan SKPP di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dan pengadilan tinggi. Jaksa Agung kemudian mengatakan akan menempuh proses hukum.

Apa saran Anda kepada Presiden?

Saya menyampaikan saran kepada Presiden untuk deponering. Bahasa saya seperti ini: kecuali ada bukti Chandra dan Bibit melakukan kesalahan tindak pidana sehingga posisi polisi dan jaksa kukuh bila memperkarakannya ke pengadilan, saya sarankan deponering. Jaksa Agung lalu datang dengan pilihan peninjauan kembali. Saya berbeda pendapat, tapi memahami kewenangan Jaksa Agung. Presiden juga tak dalam posisi cenderung ini atau itu. Beliau mengatakan, kalau pilihan Jaksa Agung sesuai dengan aturan perundangan, tentu Presiden, tak bisa menginstruksikan pilihan hukum. Keyakinan Jaksa Agung silakan dilakukan, yang penting pemberantasan korupsi tak terganggu.

Apa saja opsi yang ditawarkan Jaksa Agung kepada Presiden?

Pada saat rapat, Jaksa Agung datang dengan tiga opsi. Pertama kasasi, tapi ada larangan dalam Undang-Undang Mahkamah Agung dan KUHAP. Selanjutnya, peninjauan kembali. Jaksa Agung memilih ini. Deponering tak dipilih karena ambivalen dengan SKPP. Selain itu, kalau perkara Bibit-Chandra deponering, Anggodo juga harus mendapatkannya karena prinsip persamaan di depan hukum. Kemudian Presiden mengatakan, terserah pilihan Jaksa Agung dalam penegakan hukum.

Dulu Jaksa Agung ngotot memiliki bukti dan Tim Delapan menyatakan tak memiliki bukti atas kasus Bibit-Chandra?

Tim Delapan sampai pada kesimpulan tak cukup alat bukti melalui verifikasi. Kami memanggil semua pihak dan diuntungkan dengan rekaman Anggodo. Dalam proses verifikasi memang tak ditemukan bukti tak terbantahkan. Jangankan ada bukti tak terbantahkan, bukti aliran dana ke Bibit pun tak ditemukan. Tambahan lagi, putusan Mahkamah Konstitusi mengkonfirmasi ada rekayasa terhadap KPK.

Sampai saat ini Anda tetap yakin tidak ada cukup bukti?

Sampai sekarang tak ada forum yang kita punyai untuk mengecek ulang. Maka, bahasa saya kepada Presiden, kecuali ada bukti Chandra dan Bibit melakukan kesalahan tindak pidana, saya sarankan dikesampingkan.

Ketika kasus Bibit-Chandra meledak, ada kecurigaan publik bahwa kepolisian dan kejaksaan ingin melemahkan KPK. Kesan ini muncul lagi sekarang. Sebetulnya bagaimana politik hukum pemerintah terhadap KPK?

Kalau terjadi benturan antarinstansi penegak hukum memang diakui. Presiden telah mencoba mengkonsolidasi dengan mengumpulkan institusi penegak hukum. Di situ juga Presiden mengatakan bahwa terjadi gesekan, tapi harus dikedepankan koordinasi dan sinergi. Politik hukumnya sebenarnya jelas. Misalnya ketika Undang-Undang KPK beberapa kali diuji di Mahkamah Konstitusi dalam hal kewenangan, penyadapan, superbody, dan lain-lain. Posisi Presiden mempertahankan Undang-Undang KPK.

Apakah pemerintah nyaman dengan kewenangan KPK sebagai superbody?

Dalam pembahasan RUU Pengadilan Tipikor, muncul wacana di DPR untuk menghilangkan wewenang penyadapan dan mencabut hak penuntutan dari KPK. Presiden mengambil posisi, biarkan KPK seperti sekarang. Juga ketika rancangan undang-undang Pengadilan Tipikor dikhawatirkan tak selesai, Presiden mengatakan siap mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu). Itu komitmen politik hukum untuk menyelamatkan KPK.

Upaya penyelamatan KPK itu termasuk menerbitkan perpu pimpinan sementara tempo hari?

Penerbitan perpu pimpinan sementara, yang kemudian mengangkat Pak Tumpak (Tumpak H. Panggabean), Pak Waluyo (Mas Achmad Santoso), dan Pak Ota, itu langkah penyelamatan.

Pada periode kedua, banyak yang menganggap pimpinan KPK yang dipilih DPR ini makin melempem?

Ada problem pilihan di DPR serta problem hasil panitia seleksi. Panitia seleksi memilih formasi kemudian DPR memilihnya. Kalau hasil di DPR problematik, berarti ada kontribusi dari panitia seleksi karena tak memberikan ruang pilihan yang memadai. Memang ada perbedaan peringkat pilihan kandidat di DPR dan panitia seleksi. Misalnya orang seperti Amin Sunaryadi, Marsillam Simandjuntak tak lolos di DPR. Sebagai seleksi politik tentu ada konsekuensi politik. Tapi, dari kacamata lain, menjadi pertanyaan mengapa ada perbedaan peringkat panitia seleksi dengan hasil DPR. Berarti ada kesenjangan pilihan panitia dengan preferensi politik.

Dalam pemilihan pimpinan KPK yang berlangsung sekarang, pemerintah bisa mengusulkan calon?

Secara aturan, kalau dipilih atau diusulkan pemerintah kurang pas. Presiden menetapkan panitia seleksi melalui keppres. Jika kemudian pemerintah mengajukan orang, tidak fair juga.

Melihat kandidat yang muncul di panitia seleksi, seperti paceklik calon bagus. Apa ada pengaruh dari situasi bahwa pimpinan KPK terkesan rawan dikriminalisasi?

Boleh jadi ada dampaknya. Bagi saya, itu seleksi sendiri. Kalau ada orang yang tak mendaftar karena melihat konsekuensi semacam ini, berarti dia tak cocok menjadi pimpinan KPK.

Tapi tebersit kecurigaan bahwa pimpinan KPK juga tak bersih?

Kita tak bisa berjudi untuk melepaskan KPK kepada orang yang keliru. Saya, dengan tetap menghormati proses yang berjalan, punya catatan ketika Pak Antasari Azhar terpilih sebagai ketua, terkait dengan rekam jejak dan informasi yang diterima. Jadi proses seleksi tak boleh main-main.

Kuncinya di pemilihan?

Sebenarnya sekarang kesempatan baik. Saya menghormati panitia seleksi sekarang yang terdiri atas orang-orang kredibel. Saya optimistis akan ada orang bagus yang mendaftarkan diri.

Siapa saja?

Kalau melihat karakteristik nama yang baik itu banyak. Tapi persoalannya bukan hanya kapasitas, integritas, keberanian, tapi juga akseptabilitas, terutama di DPR. Orang seperti Teten Masduki atau Bambang Widjojanto itu luar biasa. Tapi saya menduga akseptabilitasnya di DPR rendah. Kalau nama yang disebutkan forum rektor seperti Jimly Asshiddiqie, Busyro Muqoddas, Saldi Isra, Hikmahanto Juwana, Mahfud Md., itu nama-nama bagus, tapi apakah bersedia maju?

KPK sekarang terkesan lamban menangani dugaan penyelewengan di dalam dirinya sendiri?

Tentu itu menarik dan memang menjadi pertanyaan. Saya membaca Tempo tentang kasus anak Pak Bibit. Memang sampai sekarang pun relatif tak terlalu jelas. Dalam beberapa kesempatan pertemuan dengan satgas, KPK mengatakan belum ada bukti yang melibatkan orang dalam. Tapi sampai sekarang masih belum diputuskan. Menurut saya, KPK agak lambat.

Perkembangan kasus mafia hukum dalam perkara Gayus Tambunan?

Ada kabar baiknya. Baru kali ini ada kasus mafia peradilan yang tersangkanya selengkap ini. Biasanya menjerat satu saja susahnya setengah mati. Sampai sekarang dalam kasus Gayus ada tersangka polisi, pengacara, calo perkara, dan hakim. Jaksa juga kabarnya sudah tersangka. Tapi kita juga harus kritis, sampai level mana pelaku dijerat. Di kepolisian, misalnya, apakah perwira polisi seperti Raja Erizman dan Edmond Ilyas bisa kena.

Anda optimistis kasus Gayus bisa membuka skandal lain?

Kasus itu memang tak boleh berhenti di Gayus. Terlalu sayang. Kasus ini melibatkan dua institusi besar, yakni peradilan dan pajak. Seberapa jauh Gayus melibatkan pegawai pajak. Kemudian informasi yang berkaitan dengan Grup Bakrie juga bisa didalami. Pada saat bertemu saya di Singapura, Gayus juga sudah menyampaikan soal ini. Tantangan bagi kejaksaan dan kepolisian adalah membuktikan apa yang dikatakan Gayus.

Mafia peradilan terlihat sudah merasuk di segala lini....

Praktek mafia peradilan kita itu sudah hampir sampai di luar imajinasi, sehingga upaya pemberantasan mafia hukum memang harus dilakukan. Itulah core business KPK. Tapi KPK kelihatannya menemui hambatan. Secara statistik penindakan terhadap mafia peradilan sangat kecil.

Bagaimana kasus Asian Agri yang menjerat Vincentius Amin Sutanto? Kelihatannya juga berlarut-larut?

Tadi baru saja gelar perkara. Pengaduan yang masuk ke satgas itu ada 2.141 per hari ini (Jumat pekan lalu). Kita hanya menindaklanjuti beberapa kasus. Yang dilakukan gelar perkara lebih sedikit lagi, di antaranya kasus Vincent. Ini kasus penting karena berhubungan dengan dugaan penggelapan pajak Asian Agri Rp 1,3 triliun. Kasusnya sudah bolak-balik sejak 2007. Terlalu lama. Anomali biasanya terindikasi dengan praktek mafia hukum. Vincent dan keluarganya akhirnya disetujui di bawah Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban. LPSK mengakui Vincent sebagai saksi mahkota.

Apakah ada tenggat bagi penyidik pajak untuk menyelesaikan kasus ini?

Dua minggu. Ada berkas saksi yang harus dilengkapi. Tapi yang lebih rumit adalah bagaimana meletakkan Vincent, sebagai tersangka atau menjadi saksi mahkota. Saya menyampaikan lebih pas sebagai saksi.

Berdasarkan kesaksian Vincent, Anda yakin akan ada tersangka baru?

Tak mudah kasus ini merambat ke atas. Perlu ada pembuktian berlapis. Rekayasa hukum menyebabkan pelaku utama sulit dijerat.

Secanggih apa praktek mafia hukum di Indonesia?

Sebenarnya tak canggih-canggih amat. Kebanyakan memakai modus Ali-Baba. Si Ali di depan dan Baba di belakang. Sehingga, kalau terungkap, hanya si Ali yang terjerat.

Denny Indrayana

Tempat dan tanggal lahir: Pulau Laut, 11 Desember 1972

Pendidikan:

  • Sarjana Hukum UGM 1991-1995
  • Master Hukum Universitas Minnesota 1996-2001
  • Doktor Hukum Universitas Melbourne 2003-2005

Karier:

  • Dosen UGM sejak 2000
  • Ketua Pusat Kajian Antikorupsi Fakultas Hukum UGM 2005
  • Anggota Satgas Mafia Hukum
  • Staf Khusus Presiden Bidang Hukum

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus