Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Derasnya kritik tak menyurutkan niat Kementerian Pendidikan Nasional melaksanakan ujian akhir nasional tahun ini. Kementerian Pendidikan juga seakan tak peduli meski pada September lalu telah kalah beperkara di Mahkamah Agung dalam gugatan terhadap ujian nasional.
Dalam putusannya, Mahkamah memerintahkan Kementerian Pendidikan memperbaiki sarana-prasarana pendidikan, kualitas guru, dan akses informasi, serta membuat prosedur penanganan siswa yang gagal tes, sebelum kembali melaksanakan ujian nasional. Dalam putusan itu, Mahkamah memang tidak secara eksplisit melarang ujian nasional.
Gatot Goei, Koordinator Tim Advokasi Korban Ujian Nasional, mengatakan pemerintah mestinya menunda ujian nasional sebelum semua syarat Mahkamah dipenuhi. Namun, menurut Fasli Jalal, pemerintah sudah menjalankan sebagian syarat yang diminta Mahkamah. Jadi tak ada alasan ujian nasional tahun ini ditunda atau dibatalkan.
Dia yakin ujian nasional merupakan metode evaluasi murid yang terbaik untuk saat ini. ”Tapi kami siap mendengarkan masukan dari mana pun,” kata Fasli, yang baru dilantik sebagai Wakil Menteri Pendidikan Nasional dua pekan lalu.
Fasli merupakan birokrat berpengalaman. Menapaki karier dari Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, dia kemudian ikut berperan merencanakan sistem pendidikan nasional dalam sepuluh tahun terakhir. Dikenal sebagai figur profesional, Fasli mudah bergaul dan diterima oleh kalangan pemangku kepentingan di bidang pendidikan. Jumat pekan lalu, dia memaparkan beberapa masalah pendidikan di negeri ini kepada Tempo di kantornya.
Mengapa pemerintah tetap melaksanakan ujian nasional meski ada putusan Mahkamah Agung yang ”melarang”?
Menurut Biro Humas Mahkamah, tidak ada larangan ujian nasional. Mahkamah hanya memutuskan syarat yang harus kami penuhi sebelum melaksanakan ujian nasional, yakni memperbaiki sarana-prasarana pendidikan, mutu guru, dan akses informasi. Berapa tinggi syarat ini harus dipenuhi, itu terserah Kementerian Pendidikan.
Bagaimana Kementerian Pendidikan memenuhi syarat Mahkamah?
Sebagian syarat itu sudah kami penuhi karena, misalnya, pada 2006 Kementerian Pendidikan memberikan Rp 5 triliun untuk biaya operasional sekolah. Dulu tak sepeser pun ada anggaran seperti itu. Setahun kemudian anggarannya naik menjadi Rp 12 triliun dan tahun lalu menjadi Rp 18 triliun. Sejak 2007, kami juga memberikan dana tunjangan profesi guru. Dari semula hanya Rp 1,2 triliun, tahun ini anggaran untuk tunjangan profesi dialokasikan Rp 15 triliun. Untuk merehabilitasi sekolah, dianggarkan Rp 625 miliar lima tahun lalu. Dan sekarang anggaran rehabilitasi sudah melonjak menjadi Rp 10,7 triliun. Makanya kami memutuskan tetap melaksanakan ujian nasional.
Apa pentingnya ujian nasional?
Sistem evaluasi murid, tidak bisa tidak, harus ada. Kita sudah punya pengalaman panjang sejak zaman Belanda hingga 1971, yakni ujian negara. Ketika Indonesia masuk era Repelita pada 1969, salah satu yang hendak digenjot adalah angka partisipasi pendidikan. Setelah dikaji, penyebab rendahnya angka partisipasi pendidikan, selain kurang sekolah dan kurang guru, adalah banyak yang mengulang. Akhirnya, metode evaluasinya diganti. Semua diserahkan ke sekolah. Sesudah hal itu jalan sepuluh tahun, karena semangat meluluskan murid 100 persen, mutunya tak bisa lagi diraba. Apakah lulus 100 persen di Papua sama dengan lulus 100 persen di Yogyakarta?
Banyak yang beranggapan metode Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional (Ebtanas) cukup ideal....
Setelah fase pertama evaluasi dianggap gagal, pada 1982 metodenya diganti dengan metode Ebtanas, yakni rata-rata nilai rapor tahun terakhir digabung dengan nilai ujian Ebtanas. Ini kan mestinya yang paling ideal. Tapi, karena semangat meluluskan 100 persen, walaupun nilai Ebtanasnya hanya empat atau tiga, supaya murid tetap lulus, nilai rapornya di-mark up. Setelah 20 tahun, Menteri Pendidikan Abdul Malik Fadjar menghentikan metode Ebtanas. Enough is enough. Perlu standar evaluasi nasional untuk syarat kelulusan.
Apakah standar kelulusan ujian nasional tidak kelewat tinggi?
Dari sisi itu, kalau orang ingin mutu bagus, mestinya dia mengeluh mengapa standar ujian nasional terlalu rendah. Pada 2010 ini kami tak menaikkan standar kelulusan dan memperkenankan dua nilai empat di hasil ujian nasional, supaya sekolah yang masih tertatih-tatih tidak merasa dirugikan. Jadi, meskipun ada dua nilai empat, asalkan rata-ratanya 5,5, dia tetap lulus. Kalau tak lulus, dia masih bisa mengikuti ujian ulangan. Jika masih gagal juga, dia bisa ikut ujian kesetaraan atau paket C.
Mengapa evaluasi itu menjadi syarat kelulusan?
Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional mengharuskan pemerintah melalui lembaga independen melakukan evaluasi terhadap peserta didik dan satuan pendidikan. Yang penting sebenarnya hasil ujian itu bisa dipakai untuk memetakan apa yang terjadi dalam pendidikan di suatu daerah dan bagaimana daya serapnya terhadap suatu pelajaran. Pemerintah daerah dengan dukungan Kementerian Pendidikan akan memetakan apa saja masalah yang tecermin dari hasil ujian nasional.
Bukankah di negara maju evaluasinya tak seperti itu?
Selama pemerintahan Presiden George W. Bush, Amerika Serikat kembali memberlakukan ujian nasional sebagai syarat kelulusan. Sebab, mereka sadar sudah jauh tertinggal di beberapa olimpiade sains.
Tidak ada rencana menurunkan standar kelulusan?
Kita sedang menegosiasikan seberapa rendah standar kelulusan itu. Kalau mau, bisa saja diturunkan ke dua. Sehingga, bagi sekolah yang maju, ujian nasional tak lagi ada artinya. Tapi, bagi sekolah yang tertinggal, ini barangkali menggembirakan. Tapi apa kita tak malu jika standar kelulusannya hanya dua atau tiga? Bagi sekolah seperti Kanisius atau Al-Azhar di Jakarta, standar ini sebenarnya tak banyak artinya. Paling pihak sekolah cemas kalau ada satu atau dua anaknya yang tidak lulus. Kalau ada satu atau dua anak yang gagal, sebenarnya tak usah diributkan. Lebih baik dicek kenapa anak itu gagal.
Apa upaya untuk mendekatkan kurikulum pendidikan dengan dunia kerja?
Tak mungkin mengubah kurikulum setiap tahun. Harus dibedakan mana yang kurikulum inti dan mana yang simulasi dunia kerja. Yang hendak dicapai adalah retainability, sehingga mudah di-training saat beralih pekerjaan, baik karena perubahan teknologi maupun pindah ke tempat lain. Maka pelajaran matematika, kemampuan berkomunikasi, dan bekerja dalam tim menjadi penting. Baru setelah itu diperkaya dengan keterampilan-keterampilan yang diperlukan di dunia kerja.
Apakah penerjemahan konsep link and match ini dengan memperbanyak sekolah kejuruan?
Itu sudah masuk rencana jangka panjang. Tapi kami mesti hati-hati betul untuk memastikan seberapa banyak kebutuhannya dan bagaimana memastikan mutu. Kalau membuat sekolah kejuruan tak bermutu, sebenarnya kita sudah menganiaya anak-anak itu. Mereka merasa sudah dilabeli sekolah kejuruan, tentu harapannya sudah tersedia lapangan kerja sesuai dengan kompetensinya. Kalau harapan itu tak terpenuhi, ketika mereka dites masuk kerja dan ternyata gagal, ujung-ujungnya mereka frustrasi.
Berapa besar porsi pendidikan kejuruan?
Biasanya yang terus melanjutkan pendidikan di jalur akademis sekitar sepertiga murid. Sisanya yang dua pertiga bukan berarti dipaksakan langsung masuk jalur vokasi. Bisa saja lewat program nonformal, misalnya kursus enam bulan atau sembilan bulan, sesuai dengan yang dia mau. Kalau mau jadi penjahit, ya kursus menjahit, atau mau buka bengkel ya kursus montir. Program itu diperkaya dengan materi kewirausahaan, sehingga dia bisa mandiri, tidak selalu bekerja pada orang lain.
Apa prioritas lainnya?
Prioritas ketiga, presiden ingin sejumlah perguruan tinggi Indonesia bisa bersaing di tingkat global, menjadi world class university.
Masih banyakkah anak yang tidak bisa mengecap sekolah?
Ada tiga parameter. Jika dilihat dari angka partisipasi sekolah, yakni anak umur 7-12 tahun yang bersekolah, sekitar 98 persen. Namun, jika diukur dari angka partisipasi kasar, yakni jumlah murid sekolah dasar dibagi jumlah anak umur 7-12 tahun, angkanya sudah melampaui 115 persen karena banyak anak usia lima atau enam tahun sudah masuk SD. Sedangkan di daerah terpencil, banyak anak terlambat masuk SD dan tinggal kelas, sehingga jumlah murid SD membengkak. Tapi, kalau dilihat dari angka partisipasi murni, yaitu murid SD usia 7-12 tahun dibagi jumlah anak umur 7-12 tahun, angkanya sekitar 96 persen. Untuk sekolah menengah pertama, angka partisipasi kasar di atas 95 persen. Tapi angka itu sebagian disumbang anak usia SD yang sudah masuk SMP. Angka partisipasi murninya sekitar 80 persen. Jika angka partisipasi kasar yang dipakai, itu berarti masih ada sekitar empat persen anak usia SMP atau sekitar 520 ribu orang yang tidak bersekolah.
Penyebabnya?
Menurut studi Bappenas, itu karena hambatan biaya, jarak dengan sekolah, dan masalah sosial budaya. Misalnya di daerah itu sekolah tidak dianggap penting. Cukup bisa baca, menulis, dan berhitung. Di beberapa industri juga gaji lulusan SD dan tamatan SMP tak ada bedanya. Jadi, bagi mereka, buat apa sekolah tiga tahun lagi.
Apa upaya memenuhi hak anak berkebutuhan khusus, baik cacat fisik maupun cacat mental?
Sekolah khusus sudah ada di semua provinsi dan di beberapa kabupaten/kota. Tapi yang terjangkau dengan sekolah ini kira-kira hanya sepuluh persen, dan sebagian besar sekolah swasta. Karena sekolah ini mahal, perlu banyak barang operasional, dan rasio guru-muridnya tinggi, kapasitas yang terbatas harus dimaksimalkan. Karena itu, kami mencoba mengalihkannya ke sekolah-sekolah (umum) inklusi.
Omong-omong, seperti apa pembagian tugas antara menteri dan wakil menteri?
Tugas utama wakil menteri adalah membantu menyukseskan kontrak kinerja antara menteri dan presiden. Kami tidak punya kontrak kinerja tersendiri. Jadi tidak ada tugas bagi kami selain harus berupaya supaya kontrak kinerja itu berhasil. Bagaimana pembagian tugasnya, ini diserahkan kepada menteri masing-masing sebagai penanggung jawab utama kontrak kinerja dari presiden.
Fasli Jalal
Tempat dan tanggal lahir: Padang Panjang, Sumatera Barat, 1 September 1953
Pendidikan:
Pekerjaan:
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo