Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wawancara

<font face=arial size=1 color=brown><B>Syamsul Maarif:</B></font><BR />Pemimpin Daerah Kurang Waspada terhadap Bencana

1 November 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bencana beruntun bahkan hampir bersamaan yang terjadi dari ujung timur sampai barat negeri membuatnya pontang-panting. Baru terjun ke Wasior, Papua Barat, yang luluh lantak digempur banjir dan tanah longsor, Syamsul Maarif langsung terbang ke Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat, yang diguncang gempa dan diterjang tsunami.

Hanya sehari di Mentawai, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) ini langsung meluncur ke Yogyakarta menengok pengungsi korban letusan Gunung Merapi. Praktis ia tak sempat beristirahat. ”Saya juga rapat terus sampai dinihari,” kata jenderal purnawirawan berbintang dua itu.

BNPB memang ujung tombak penanganan bencana sejak dibentuk pada 2008 sesuai dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Badan ini mengkoordinasi semua kementerian terkait, termasuk pemerintah daerah. Tidak hanya melakukan koordinasi, badan ini juga melaksanakan tugas lapangan, terjun langsung membantu masyarakat yang terkena bencana.

Rentetan bencana di Papua Barat, Yogyakarta, dan Sumatera Barat itu, menurut Syamsul, memberikan banyak pelajaran. Manajemen mitigasi bencana kita masih lemah. Banyak hal masih harus dibenahi dalam upaya mengurangi risiko korban bencana. Selain perlu kesadaran bersama secara nasional, harus ada kerja sama antara pemerintah, masyarakat, dan swasta.

Jumat pekan lalu, Syamsul menjelaskan liku-liku penanganan korban bencana kepada Yandi M. Rofiyandi, Rudy Prasetyo, dan fotografer Jacky Rahmansyah dari Tempo di Bandar Udara Soekarno-Hatta. Gubernur Akademi Militer 1999 ini hanya transit di Jakarta dari Padang dan langsung terbang lagi menuju Yogyakarta.

Manajemen mitigasi bencana dari rentetan musibah di Wasior, Yogyakarta, dan Mentawai dinilai masih lemah….

Menurut saya, mitigasinya masih jauh. Masih harus ditingkatkan terus, meskipun sekarang ada kesadaran. Misalnya, undang-undang mengamanatkan agar kabupaten/kota mempunyai badan penanggulangan bencana daerah. Jadi pemerintah daerah harus diberdayakan. Badan ini bukan kaki saya karena ada otonomi daerah.

Bukankah dulu ada satuan tugas koordinasi dan pelaksana?

Satuan tugas itu hanya memiliki fungsi koordinasi. Badan dapat melakukan eksekusi, meskipun bukan kaki saya, sehingga saya tak memerintah langsung. Gubernur, bupati, dan wali kota yang memerintah badan penanggulangan bencana daerah. Setelah berjalan sekian tahun, undang-undangnya harus dikritik, apakah badan itu tetap menempel ke daerah atau ke pemerintah pusat.

Apakah BNPB perlu kaki di daerah agar lebih lancar melaksanakan tugas?

Persoalan ini harus dibahas melalui diskusi panjang karena menyangkut undang-undang. Mungkin nanti di tempat saya perlu ada unit pelaksana teknis. Tapi intinya, yang seharusnya paling tanggap itu adalah yang paling dekat dalam setiap bencana. Waktu di Mentawai, saya menyeberang dari Pagai Selatan menuju Sikapak dengan perahu. Begitu saya sampai, langsung hujan deras, sehingga tak bisa ke mana-mana. Semua akses tak bisa dilalui. Sebetulnya tak perlu mendiskusikan apakah bencana itu skala lokal, provinsi, atau nasional. Kan, sudah menjadi tanggung jawab bersama.

Fungsi koordinasi dan komando BNPB dengan pemerintah daerah terlihat tidak berjalan?

BNPB memiliki tiga fungsi, yakni koordinasi kesiapsiagaan, komando dalam penanganan bencana, dan pelaksanaan tugas lapangan dengan terjun langsung. Saya menjadi komando dalam menangani bencana di Mentawai dan memimpin rapat. Sedangkan di lapangan, kami selalu mengedepankan kepemimpinan lokal. Bila ke daerah, jumlah kami tak sampai 30 orang, sehingga perlu bantuan, misalnya dari kepala dinas.

Bagaimana upaya meningkatkan manajemen mitigasi di daerah rawan bencana?

Mitigasi yang harus disiapkan adalah harus tahu daerah itu rawan bencana apa. Kami dengan kementerian sudah menyebarkan peta bencana, misalnya longsor dan banjir. Jadi daerah bisa tahu potensi bencana di wilayahnya. Cuma, kami minta pemerintah daerah melengkapi. Masak, saya lebih tahu dari bupati?

Apakah peta bencana itu sudah disosialisasi ke pemerintah daerah dan masyarakat?

Peta sudah kami sosialisasi ke semua provinsi. Tinggal pemerintah daerah memerincinya kembali. Tak mungkin dari saya sampai ke orang per orang.

Apa langkah untuk membangkitkan kesadaran bersama terhadap bencana?

Sekarang ini setiap partisipasi selalu melibatkan civil society dan pihak swasta, di samping pemerintah. Kita berharap semuanya saling memperkuat dan bersinergi. Satu sama lain tidak saling menjatuhkan, misalnya kita menyalahkan swasta karena perusakan alam dan menganggap pemerintah lambat. Tak usah begitulah.

Seberapa efektif implementasi Undang-Undang Penanggulangan Bencana?

Indonesia memiliki undang-undang plus ada institusi yang menangani bencana. Jadi Indonesia mendapat peringkat kesadaran bencana cukup tinggi di mata internasional. Tapi tak mungkin semua orang sama-sama memiliki kesadaran 100 persen.

Apakah BNPB memiliki kendala anggaran agar dapat bekerja optimal?

Anggaran setiap tahun meningkat sehingga tak ada masalah di level pusat. Tapi kita mengharapkan daerah juga kuat. Di daerah itu ada kantor badan penanggulangan bencana yang tempatnya kecil dan nyempil. Padahal mereka berada di daerah kaya alam, tambang, sekaligus rawan bencana. Itu indikator bahwa pemimpin daerah kurang waspada terhadap bencana. Setelah terjadi bencana, baru berteriak: bagaimana ini pusat? Bukan begitu caranya mengatur Indonesia.

Pemerintah sering dianggap lambat menangani bencana….

Penanganan bencana itu lingkupnya ada empat. Pertama, kebijakan pembangunan bervisi kebencanaan. Artinya, kalau kebijakan pembangunan keliru, bencana sudah dimulai. Misalnya mengubah lahan hijau menjadi permukiman. Kedua, tuntutan kesiapsiagaan atau mitigasi untuk mengurangi risiko bencana. Ketiga, tanggap darurat yang tujuannya save more life. Itu yang sering orang bilang kita lambat. Indikator cepat misalnya banyak yang luka berat tapi tak mati. Kalau banyak yang luka, terus tak bisa ditolong dan mati, itu namanya lambat. Keempat, tindakan rehabilitasi dan rekonstruksi, yang merupakan upaya membangun lebih baik.

Jadi penanganan bencana harus satu paket?

Ya. Penanggulangan bencana itu harus empat-empatnya. Kalau hanya tanggap darurat, nanti orang berpikir untuk apa menyiapkan segala macam. Akibatnya, kita hanya melihat orang pakai rompi dengan uang banyak. Padahal sebenarnya bukan itu. Di Wasior itu terbilang bagus walaupun tempatnya jauh. Banyak yang bisa diselamatkan meskipun ada yang meninggal. Begitu juga di Mentawai.

Bagaimana peran pemerintah daerah dalam penanganan bencana?

Mekanisme penanganan bencana di seluruh dunia itu sama. Pasti dimulai dari lokal sampai ke tingkat nasional. Misalnya di Kobe, Jepang, penanganan gempa 80 persen diatasi distrik setempat, pemerintah pusat sekitar 10 persen, lalu swasta 10 persen. Kami sering share dengan teman-teman di Jepang dan pernah ke Kobe. BNPB juga bekerja sama dengan Japan International Cooperation Agency untuk melakukan riset.

Pemerintah daerah sering mengeluhkan minimnya dana dalam menghadapi dan mengantisipasi bencana….

Untuk itu perlu ada kesadaran kultural dan menyiapkan duit. Jadi pemerintah daerah dan dewan perwakilan rakyat daerah harus memikirkan anggaran untuk bencana. Sekarang masih simpang-siur. Kalau sekarang ada anggaran kebencanaan, belum tentu pemerintah daerah menyiapkannya sesuai dengan kebutuhan sesungguhnya. Bahkan ada yang sinis mengatakan, ”Kok, belum ada bencana sudah menyiapkan? Seperti menantang.”

Bagaimana meningkatkan peran swasta dalam penanganan bencana?

Setiap perusahaan semestinya membuat analisis risiko bencana. Jadi nanti jangan sampai mendirikan perusahaan yang akan menimbulkan bencana. Misalnya, aktivitas membabat hutan dan resapan air itu harus ada analisis bencananya. Harus ada sanksi seperti pencabutan izin atau denda. Pemerintah juga harus memberikan kesempatan kepada masyarakat, termasuk media, untuk berpartisipasi. Memberitakan bencana itu apakah menjadi alert atau malah menambah bencana.

Bagaimana menumbuhkan kesadaran bahwa Indonesia merupakan negeri dengan potensi bencana?

Kita memang tinggal di satu negeri yang sangat rentan bencana. Kesadaran secara nasional muncul setelah tsunami di Aceh pada 2004. Pada akhirnya kita menyadari bencana bisa terjadi di mana saja: Sumatera bagian barat, Pangandaran, Yogyakarta. Negeri ini sebetulnya punya riwayat bencana. Namun ketertarikan untuk mengenali bencana itu kurang sempurna. Sekarang harus ditanamkan kesadaran bahwa bencana ada di sekitar kita.

Bantuan untuk korban bencana sering kali masih kacau?

Setiap bantuan harus dilaporkan melalui BNPB. Sekarang ini banyak bantuan berupa barang masuk ke Mentawai. Mereka memberi tahu kami, lalu menyampaikannya ke gubernur dan meminta peta logistik. Jadi bantuan tak bertumpuk di satu daerah, sementara wilayah lain tak kebagian.

Bagaimana supaya bantuan tak mubazir?

Pengalaman saya, biasanya dari provinsi sampai kabupaten bagus. Setelah kecamatan sampai desa banyak masalah. Jadi kita harus terus belajar masalah logistik.

Bantuan kadang-kadang menimbulkan ketergantungan masyarakat?

Jangan sampai masyarakat merasa butuh bantuan sehingga mengalami ketergantungan. Ketergantungan juga bisa membuat ketakseimbangan di antara mereka. Misalnya, ada donor memberi bantuan ke masyarakat tertentu karena mudah mencapainya atau kenal dengan pejabat. Dulu lebih aneh lagi. Kalau ada bantuan berlabel satu lembaga, terus dibongkar dan dibagi rata itu tak mau. Sekarang sudah tak ada.

Bagaimana mekanisme supaya korban bencana bisa cepat menerima bantuan?

Kalau akses wilayah yang terkena bencana tertutup, tentu saja pemerintah tak bisa langsung menyalurkan bantuan. Tapi di sini saya punya mimpi, bagaimana masyarakat bisa menggalang social capital. Jangan sampai desa terkena bencana dan setelah itu malah tercabik. Saya sering mengatakan ada living harmony with nature di Baduy, yang membangun lumbung padi dan sebagainya. Dulu di kita ada lumbung, mengapa sekarang tidak? Kalau ada lumbung, paling tidak hari pertama atau kedua bisa survive.

Bukankah yang diperlukan justru living harmony with disaster?

Masyarakat bisa sejahtera di lingkungannya sekaligus menyadari adanya ancaman. Jadi memang living harmony with disaster. Saya yakin setiap daerah mempunyai kearifan lokal. Ketika terjadi gempa di Padang pada 2009, ada satu rumah sangat utuh. Ketika saya tanya, pemiliknya mengatakan, belajar dari gempa sebelumnya, ia membangun rumah yang kuat. Itu living harmony with gempa.

Di Yogyakarta ada kesan sebagian penduduk setempat menyepelekan letusan Gunung Merapi.

Kesadaran dan kesigapan rakyat memang harus dibangun. Itulah mitigasi secara menyeluruh. Intinya, setelah mengetahui kondisi Indonesia begini, kita berharap semuanya selamat.

Kematian Mbah Maridjan dianggap sebagai tragedi?

Kita harus berterima kasih kepada Mbah Maridjan. Beliau memberikan cermin bahwa kalau sudah ada persuasi mengajak turun, harus menurut. Mengapa dia sendiri tak turun? Hanya Mbah Maridjan yang tahu.

Benarkah banjir Wasior akibat pembalakan hutan?

Di Wasior ada banjir yang menyapu rumah di pinggir sungai. Kejadiannya hanya lima menit. Pertanyaannya: apa yang terjadi kalau tak ada permukiman penduduk? Tak akan ada korban sebanyak itu. Jadi pemerintah harus waspada. Permukiman penduduk harus diatur sehingga tak menyongsong bahaya di situ.

Apa infrastruktur yang paling dibutuhkan warga Mentawai sehingga bisa mengantisipasi bencana tsunami?

Ada satu masalah dari proses mitigasi, yaitu komunikasi kita belum menyambung semua. Ada 27 dusun di Mentawai dan satu sama lain tak bisa berhubungan. Jadi kita berpikir daerah rawan mesti memiliki provider telekomunikasi.

Apa yang bisa dilakukan swasta dalam penanganan bencana?

Saya berpikir perusahaan swasta bisa memanfaatkan corporate social responsibility untuk persiapan antisipasi bencana. Pemerintah daerah seharusnya membuat peraturan daerah agar setiap perusahaan memiliki daerah binaan. Misalnya, setiap rumah diberi senter dan alat darurat lain. Lalu dibangun lumbung dengan persediaan makanan kaleng. Kalau menjelang kedaluwarsa, kan, bisa dimakan. Jadi tidak memberikan uang, tapi mendidik masyarakat.

Mayor Jenderal (Purnawirawan) Dr Syamsul Maarif, Msi

Tempat dan tanggal lahir: Kediri, 27 September 1950

Pendidikan:

  • Sekolah Teknik Mesin, 1968
  • Akabri, 1973
  • Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, 1995
  • S-2 Program Studi Sosiologi, 2002
  • S-3 Program Studi Sosiologi, 2007
  • Lemhannas, 2000

Karier:

  • Kasdam V Brawijaya, 1997
  • Kepala Pusat Penerangan ABRI, 1998
  • Gubernur Akademi Militer, 1999
  • Fraksi TNI/Polri Dewan Perwakilan Rakyat, 2001
  • Asisten Komunikasi Sosial Kepala Staf Umum TNI, 2003
  • Asisten Teritorial Kepala Staf Umum TNI, 2004
  • Kepala Pelaksana Harian Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana, 2006

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus