Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tatkala Joko Widodo tak lagi menemukan cara lain untuk mendukung mobil karya murid-murid Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Solo, inilah yang dia putuskan: mengganti mobil dinas Toyota Camry dengan Kiat Esemka, hasil karya para murid SMK Solo. Mobil 1.500 cc yang belum lulus uji kelayakan itu dia pasangi nomor AD-1—pelat resmi mobil wali kota. "Ini usaha terakhir saya," ujarnya kepada Tempo.
Usaha terakhir itu ternyata menjadi awal meledaknya isu mobil nasional. Dalam hitungan Wali Kota Solo itu, Kiat Esemka bisa menjadi embrio untuk mewujudkan kembali impian lama tentang mobil nasional. "Kami memulainya sejak lima tahun lalu, dan ke depan akan dikembangkan sebagai industri rumahan," dia menegaskan.
Polemik segera menjalar ke berbagai penjuru. Sejumlah pejabat mendadak kesengsem bermobil Esemka. Sebaliknya, ada pengamat menuding Kiat Esemka adalah tiruan belaka dari mobil-mobil Cina. Jokowi—sapaan Joko Widodo—mengaku rela menyesap kritik paling keras sekalipun, tapi tak sudi mundur. "Semuanya saya pandang sebagai dukungan," kata dia.
Datang dari latar belakang keluarga pengusaha, Joko Widodo terlatih menerapkan efisiensi dan sistematisasi yang kuat—nilai-nilai yang kemudian dia bawa ke dalam birokrasi, sejak memimpin Kota Solo pada 2005. "Kontrol adalah bagian dari sistem," kata dia. "Tapi hanya efektif selama kita tidak meletakkan kepentingan pribadi dalam sistem," dia menambahkan.
Jokowi mewajibkan diri menguasai problem lapangan. Setiap hari dia praktis hanya satu jam berada di ruang kerja. Selebihnya dia beredar. "Kantor saya di pasar, puskesmas, sungai, kelurahan, pokoknya yang langsung bertemu masyarakat," katanya. Dia memangkas jalur birokrasi serta mempercepat sistem pelayanan. Jangka waktu pembuatan KTP dilorotnya menjadi satu jam, perizinan usaha di Solo kini hanya perlu enam hari.
Usaha ini bukan tanpa perlawanan. "Saya mengerti, ada kue yang selama ini mereka nikmati diambil," katanya. Tapi Jokowi tak mau berkompromi. Walhasil, 3 lurah, 1 camat, dan 3 kepala dinas harus dicopot. "Setiap keputusan ada risikonya," ujarnya. Sepak terjang pemimpin kota kecil itu agaknya menerbitkan rindu akan sosok serupa di kota-kota besar. Maka ada yang mulai menyorong-nyorongkannya ke kursi Gubernur Jawa Tengah, DKI Jakarta, bahkan wakil presiden. "Saya ini potongan wali kota saja enggak ada, kok mau dinaik-naikkan," ujarnya seraya terbahak.
Kamis pekan lalu, Jokowi berkunjung ke kantor Tempo di Kebayoran Centre, Jakarta Selatan. Dirancang untuk wawancara, pertemuan yang dipadati oleh sebagian besar anggota redaksi itu beralih menjadi diskusi hangat, dalam suasana ger-geran. Dia menjawab semua pertanyaan, dengan sedikit fakta off the record.
Wawancara ini disaring dari perbincangan dua setengah jam, yang dipandu wartawan Tempo Andari Karina Anom, Istiqomatul Hayati, dan Hermien Y. Kleden.
Sejak awal apakah Anda memang berniat mempersiapkan Kiat Esemka untuk jadi mobil nasional?
Ya, serius benar-benar. Kami ikuti terus dari awal dan kami beri target selesainya. Saya ingin menjadikannya simbol nasionalisme kita. Buat saya, ini kebanggaan kita, simbol perlawanan terhadap mobil-mobil impor. Wong kita sudah 60 tahun lebih merdeka kok enggak bisa bikin mobil sendiri.
Ada yang berpendapat Anda terlalu terburu-buru, seolah-olah mau jadi "pahlawan kesiangan"?
Saya melihat itu sebagai bentuk dukungan. Jadi saya positive thinking saja. Tapi, kalau banyak yang mencibir, lama-lama saya jengkel juga.
Cibiran seperti apa?
Banyak sekali. Di Twitter, pada awalnya, banyak yang mencibir mesinnya tidak aman. Bodinya kalau kena benturan hancur. Dibilang dempulannya tebal. Ya enggak apa-apa, lha wong memang tebal. Tapi, kalau soal kekuatan, boleh diadu sama mobil Jepang. Saya jamin (mobil Esemka) menang.
Sudah berapa banyak yang memesan?
Soal pemesanan itu urusan PT Solo Manufaktur Kreasi, bukan urusan Pemerintah Kota Solo.
Ramai beredar info bahwa Kiat Esemka meniru mobil Cina?
Ah, dulu mobil Jepang, Korea, Cina ngambilnya dari mana? Tanya saja. Kami juga ngerti, kok. Semua mesin pada mulanya memang membongkari beberapa merek. Tapi jangan dibesar-besarkanlah yang kayak gitu.
Bagaimana perkembangan terakhirnya?
Memang terjadi percepatan karena banyak diekspos. Sekarang tinggal menunggu uji emisi dan kelayakan.
Bagaimana awal mula Anda mendukung proyek ini?
Pada 2007, Solo menjadi kota pertama di Indonesia yang mendeklarasikan diri sebagai kota vokasi (kejuruan). Bersama Direktorat Menengah Kejuruan, kami mengecek apa potensi Solo dan mau dikonsentrasikan ke bidang apa. Ternyata di sana banyak bengkel mobil dan mesin, sehingga kami berfokus ke otomotif. Kami sudah mengerjakan ini sejak lima tahun lalu. Generasi pertama dan kedua masih jelek. Kiat Esemka ini generasi ketiga. Jadi ini bukan mobil kemarin sore.
Kan, mobil ini pernah dipamerkan di Jakarta dan tidak dilirik orang?
Dua kali dipamerkan di Jakarta, dilihat saja tidak. Di Bandung, di Surabaya, di Solo juga pernah dipamerkan, juga didiamkan saja. Saya jengkel dong. Saya pasang (pelat mobil) AD-1. Saya coba ini sebagai usaha terakhir.
Berapa dana proyek mobil ini?
Yang pertama habis Rp 350-an juta, yang kedua Rp 160 juta. Dananya sebagian dari Direktorat Menengah Kejuruan, ada juga dari anggaran belanja Solo.
Kenapa Solo ingin berkonsentrasi di bidang otomotif?
Karena berbagai komponen otomotif ada di Solo dan sekitarnya. Saya tak mau ngomong merek, tapi mobil yang sekarang beredar banyak menggunakan komponen dari Ceper, Purbalingga, dan Tegal. Home industry ini sudah 40 tahunan.
Siapa saja yang terlibat melahirkan Kiat Esemka?
Ini kerja keroyokan. Ada keterlibatan pemerintah pusat, Kementerian Pendidikan Nasional, pemerintah kota, swasta, Universitas Gadjah Mada. Ini bukan manufaktur besar, tapi industri rakyat kecil. Perkiraan saya, produksinya 300-600 unit per bulan.
Siapa investornya?
Kita tidak bicara triliunan rupiah. Ini kecil, jadi cukup investor lokal.
Termasuk Anda?
Enggak. Tapi, kalau sudah ada bisnis feasible seperti ini lalu tidak ada yang tertarik jadi investor, ya, saya saja yang investasi, tapi harus copot dulu jabatan wali kota. Kan, ada etikanya. Kalau sudah copot jabatan wali kota, baru saya bisa jadi raja otomotif.
Kok belum terdengar ada dukungan dari partai Anda, PDIP, terhadap proyek ini?
Ibu Mega sudah melihat mobil ini tiga tahun lalu. Banyak yang membawanya ke isu politik, saya lebih suka menjadikannya sebagai isu otomotif saja.
Bagaimana reaksi Gubernur Jawa Tengah Bibit Waluyo?
Pak Bibit itu baik sekali pada saya. Baik sekali. Kalau masalah anggaran kan (kami) bertanya ke sana.
Tapi dia sempat berkomentar Anda terlalu kemrungsung (buru-buru) karena mobil ini belum uji kelayakan?
Hubungan kami baik-baik saja. Rapat ya rapat, salaman ya salaman. Terakhir ketemu pada 29 Desember 2011.
Anda menganggap Kiat Esemka sebagai embrio kebangkitan mobil nasional?
Tergantung political will kita.
Political will seperti apa yang Anda harapkan?
Mestinya ada insentif. Izin sehari selesai, misalnya. Ini sama seperti saya memberi izin gratis kepada usaha-usaha kecil dan usaha mikro di Solo. Izin itu hanya (perlu) tanda tangan wali kota, tapi buat mereka luar biasa penting. Dengan izin itu, mereka bisa ke bank, bank perkreditan rakyat, ke lembaga keuangan.
Anda dikenal selalu turun sendiri membereskan masalah. Apa ini tak merepotkan, mengingat wali kota kan harus sering di kantor juga?
Kalau untuk masalah utama, wali kota harus terjun sendiri, jangan di belakang meja. Dulu waktu ketemu pedagang kaki lima sampai 54 kali, saya sendiri yang ketemu. Untuk program-program prioritas harus dipegang sendiri, jangan nyuruh-nyuruh kepala dinas, nanti enggak jadi-jadi.
Berapa lama Anda berada di kantor setiap hari?
Hanya sejam. Sisanya saya ke puskesmas, pelayanan publik, pasar, kelurahan, kecamatan, ke tanggul, dan ke mana-mana. Bayangkan kalau setiap pagi kita cek ke tempat pembuatan KTP dan langsung tanya ke ibu-ibu yang mengantre, aparatnya akan mikir kalau mau main-main. Kalau ada tamu yang ingin bertemu saya, kan bisa di mana saja, termasuk di pasar.
Apa masalah yang tersulit yang pernah Anda hadapi?
Saya akui, pada tahun pertama sebagai wali kota, saya mengalami kesulitan dengan DPRD, lembaga swadaya masyarakat, dan masyarakat, karena belum nyambung komunikasinya. Kuncinya adalah komunikasi.
Bisa beri contoh kesulitan pada tahun pertama?
Rembuk kota yang saya adakan cuma dihadiri 3.500 orang. Isinya cuma orang marah sambil melotot-melotot dan membantai. Saya dengerin saja karena ini imbas dari masa lalu. Tahun kedua urusan KTP bisa kami selesaikan dalam satu jam, dan izin usaha hanya enam hari. Pada rembuk kota kedua, yang marah tinggal 30 persen. Pada tahun ketiga, sudah tak ada yang marah, malah memberi usul, solusi, ide, gagasan.
Mengapa bisa muncul korupsi dalam birokrasi?
Karena sistemnya tidak benar. Jadi yang harus ditata dan dibereskan adalah sistem, sistem, dan sistem.
Bagaimana Anda "menaklukkan" birokrat yang sudah terbiasa dalam sistem lama?
Di awal-awal, saya sampai harus mencopot beberapa orang. Karena ini sistem baru, saya serius ngerjain, kok ada yang bilang tak mungkin mengerjakan KTP dalam satu jam. Kalau tidak niat, ya sudah, kita copot, ganti orang baru.
Apa tidak khawatir mereka bisa jadi barisan sakit hati yang menjegal Anda?
Tidak juga. Buktinya, dalam pemilihan kepala daerah kemarin, kami dapat 91 persen suara.
Sudahkah Anda persiapkan calon pengganti?
Sudah disiapkan empat orang. Tapi yang terpenting saya sudah menyiapkan sistem yang bagus untuk Solo.
Kalau tidak jadi wali kota, Anda mau ke mana?
Kembali ke pabrik. Saya kan masih punya pabrik.
Apa pekerjaan yang belum dapat Anda selesaikan di Solo?
Banyak masalah kota belum selesai, seperti di bantaran sungai, Sri Wedari, juga kemiskinan.
Kini makin banyak yang mendukung Anda ke jabatan lebih tinggi, antara lain Gubernur DKI Jakarta. Ada komentar?
Enam bulan pertama jadi wali kota, saya punya ajudan lebih gagah, lebih mbodi. Kalau ada tamu, yang disalami bukan saya, tapi ajudan. Artinya, saya ini jadi wali kota saja enggak ada potongan, apalagi kalau mau dinaikkan, ha-ha-ha….
Nama Anda sudah masuk bursa calon Gubernur DKI. PDIP mencantumkan nama Anda sebagai salah satu calon.
Saya bukan tipe pengejar jabatan. Dan semuanya mesti dikalkulasi. Saya dimasukkan oleh DPP PDIP, tapi partai sendiri kan punya tahapan dan survei.
Jika hasil surveinya bagus, Anda akan maju?
Walaupun hasil survei bagus, saya tetap akan mengkalkulasi. Harus dilihat situasi riilnya. Kalau lapangan enggak terkuasai, data enggak terkuasai, masalah enggak terkuasai, bagaimana kita memutuskan untuk maju? Saya enggak mau maju untuk kalah.
Apakah pendekatan di Solo bisa berhasil untuk di Jakarta?
Masalah di setiap kota pada dasarnya sama. Yang membedakan hanya besar-kecilnya. Sistem juga sama. Jadi, kalau sistem (pelayanan) bisa dipercepat, otomatis peluang korupsi akan hilang. Sistem ini yang harus diperbaiki, kontrol diperkuat.
Anda juga disebut-sebut akan diusung sebagai calon wakil presiden pada 2014. Ada tanggapan?
Kan, saya bilang tadi, saya ini jadi wali kota saja tidak ada potongan. Saya kurus begini, tidak mbodi.
Joko Widodo Tempat dan tanggal lahir: Surakarta, 21 Juni 1961 Pendidikan: Sarjana Kehutanan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta (1985) Karier: Pendiri Koperasi Pengembangan Industri Kecil Solo (1990) l Ketua Bidang Pertambangan dan Energi Kamar Dagang dan Industri Surakarta (1992-1996) l Ketua Asosiasi Permebelan dan Industri Kerajinan Indonesia Surakarta (2002-2007) l Wali Kota Surakarta (2005-sekarang) Penghargaan: Kota Pro-Investasi dari Badan Penanaman Modal Daerah Jawa Tengah l Kota Layak Anak dari Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan l Wahana Nugraha dari Departemen Perhubungan l Sanitasi dan Penataan Permukiman Kumuh dari Departemen Pekerjaan Umum |
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo