Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wawancara

<font face=verdana size=1>Antasari Azhar:</font><br />Masak, Kami Biarkan Pencuri di Halaman Sendiri

10 Maret 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pencokokan jaksa Urip Tri Gunawan oleh petugas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Ahad dua pekan lalu, membuat publik terhenyak. Sang jaksa tertangkap basah menerima uang US$ 660 ribu atau sekitar Rp 6 miliar dari Artalyta Suryani di rumah pengusaha Sjamsul Nursalim di kawasan Simprug, Jakarta Selatan.

Sjamsul merupakan bekas pemilik Bank Dagang Nasional Indonesia, salah satu debitor penerima dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Kejaksaan Agung menghentikan penyelidikan kasus BLBI atas dirinya dua hari sebelumnya. Dan Ketua Tim Penyelidikan kasus tersebut tak lain adalah Urip. Artalyta Suryani alias Ayin merupakan orang dekat Sjamsul. Almarhum suaminya, Surya Dharma, pernah menjadi eksekutif di PT Gajah Tunggal, perusahaan milik Sjamsul. Artalyta adalah mantan komisaris Bank Dagang Nasional Indonesia. Jadi, kuat dugaan, uang itu merupakan suap.

Kedua orang itu telah ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan. Kini KPK sedang mengumpulkan alat bukti tambahan untuk menjerat keduanya, termasuk menelusuri keterkaitan kasus dugaan suap tersebut dengan dihentikannya penyelidikan kasus BLBI sebelumnya. Banyak pihak menyebut kasus ini cuma puncak gunung es dari praktek mafia peradilan di Indonesia.

Penangkapan Jaksa Urip dan Artalyta menambah daftar sejumlah tersangka korupsi yang dibekuk di bawah kepemimpinan Antasari yang baru tiga bulan. Sebagai bekas jaksa, Antasari dianggap tahu betul seluk-beluk permainan koleganya yang nakal.

Pekan lalu, di tengah kesibukannya mengevaluasi pemeriksaan kasus tersebut, Antasari meluangkan waktu menerima tim Tempo. Wawancara semula berlangsung di kantornya, dilanjutkan di kediamannya di kawasan Bumi Serpong Damai, Tangerang, Banten. Berikut petikannya.

Dari mana KPK mendapat informasi untuk menangkap Jaksa Urip?

Laporan masyarakat. Spontan, pada hari itu juga. Ada telepon yang menyampaikan bahwa ada gerak-gerik seperti ini, lalu kami turun.

Kami mendengar Jaksa Urip sudah diamati sejak beberapa waktu sebelumnya?

Tidak. Hari itu juga.

Berapa lama rentang waktu antara laporan masyarakat dan saat tim bergerak?

Sudahlah. Nanti kami dikesankan menjebak. Ini kegiatan yang harus kami lakukan. Masak, kami biarkan ada pencuri di halaman sendiri.

Menjebak itu kan tak mesti berarti negatif?

Saya senang kalau semua orang berpikir seperti Anda, tapi publik kita masih mempersepsikan jebakan secara negatif. Padahal, wewenang melakukan intercept sangat memudahkan penyidikan dan bisa menjadi alat bukti.

Anda berasal dari kejaksaan. Apakah tak mengalami hambatan menangkap kolega sendiri?

Nggak masalah. Saya profesional saja.

Untuk menangani kasus suap jaksa ini, berapa tim yang Anda bentuk?

Satu tim saja untuk dua tersangka itu. Tapi untuk kasus aliran dana Bank Indonesia (BI), kami membentuk tim yang terdiri dari tiga satuan tugas.

Menurut Anda, tangkapan kemarin tergolong ”kakap”?

Saya tidak pernah membedakan kakap atau teri. Korupsi adalah korupsi. Bahaya kalau kita membedakan, kemudian ada kelas-kelasnya di masyarakat. Biarlah publik yang menilai.

Setelah penangkapan jaksa Urip, Anda menghubungi Jaksa Agung?

Iya, saya telepon Jaksa Agung Hendarman Supandji. Saya katakan, ada oknum jaksa yang kami tangkap. Ada barang buktinya uang sebesar US$ 660 ribu atau sekitar Rp 6 miliar.

Jaksa Agung terlihat amat terpukul dengan penangkapan itu.…

Saya katakan kepadanya ingin membantu kejaksaan. Tindakan yang mencoreng korps ini kan seperti kanker. Bukan saya yang membuat pamor kejaksaan tercoreng, tapi para oknum itu. Jangan dibalik. Jangan pula dianggap KPK mau menghajar kejaksaan. Target kami adalah memberantas korupsi.

Jika seperti kanker, modus yang dilakukan jaksa Urip sudah seberapa akut?

Saya tidak bisa mengatakan seberapa akut, tapi ini indikasi perlunya pembenahan bersama. Kalau dengan kasus ini saja mereka tak berubah sikap, ini sudah keterlaluan. Saya kira sudah saatnya dilakukan pembenahan dari hulu hingga hilir. Misalnya saja, rekrutmen kejaksaan secara keseluruhan sebaiknya melibatkan lembaga independen.

Anda pernah di kejaksaan. Menurut Anda, berapa banyak jaksa seperti Urip?

Saya tidak bisa menghitung seperti itu. Masalahnya, walau hanya ada satu orang sekalipun tetap harus ditindak.

Apa yang salah di kejaksaan?

Pengawasannya yang kurang berjalan. Ini bukan cuma urusan Jaksa Agung Muda Bidang Pengawasan, tapi pengawasan secara keseluruhan. Harusnya penegak hukum lebih awas.

Gaji jaksa Urip hanya Rp 3,5 juta sebulan. Apakah gaji kecil mempengaruhi terjadinya penyuapan?

Kalau dikatakan berpengaruh, bisa ya, bisa tidak. Iya, kalau uang yang dicari. Saya kerja cari duit, lalu kalau dapatnya kecil, ya cari lagi yang lebih gede. Bisa juga tidak, karena waktu melamar sudah tahu gaji kejaksaan segitu. Kenapa masuk? Lebih baik wiraswasta saja.

Ada dugaan jaksa Urip tidak bertindak sendiri. Ada jaksa-jaksa lain yang terlibat?

Silakan saja kalau orang berpikir seperti itu, tapi KPK selalu bicara fakta hukum dengan alat bukti. Berbahaya kalau lembaga hukum seperti KPK mengungkap suatu fakta berdasarkan opini atau asumsi.

Sudah ada tersangka lain selain jaksa Urip dan Artalyta?

Kita lihat saja kelanjutan proses penyidikan. Terlalu cepat menyimpulkan ada tersangka lain.

Sudah ada fakta bahwa penangkapan Jaksa Urip dan Artalyta Suryani terkait perkara penyelidikan BLBI Sjamsul Nursalim?

Itu saya katakan tadi bahwa pertanyaan itu kan indikasi. Kita tidak boleh bicara indikasi.

Apakah penyidik KPK memiliki bukti selain uang, misalnya rekaman pembicaraan?

Biarlah penyidik melakukan pengolahan terhadap semuanya. Kami tidak mau memindahkan ruang sidang pengadilan ke pembicaraan kita sekarang.

Kabarnya, uang yang diterima jaksa Urip tidak hanya US$ 660 ribu, tapi US$ 1 juta, apa benar?

Itu juga saya baca di media. Saya tidak akan bicara apa pun tentang hasil penyidikan. Itu pro-justisia, demi keadilan.

Anda sudah bertemu dengan Jaksa Agung Muda Bidang Pengawasan. Apa yang dibicarakan?

Saya sampaikan bahwa KPK menangkap seorang jaksa yang diduga menerima suap. Kejagung sangat kooperatif ketika KPK melakukan penggeledahan dan sebagainya. Kejaksaan Agung ingin menjatuhkan hukuman disiplin, tapi orangnya harus diperiksa dulu. Kejaksaan Agung juga ingin meminjam yang bersangkutan untuk diperiksa. Saya tidak keberatan. Kami beri mereka kesempatan sekian jam memeriksa di KPK.

Sebelumnya pernah ada tahanan KPK yang dipinjam penegak hukum lain?

Dalam penegakan hukum, hal itu amat biasa. Untuk kepentingan penyidikan bisa saja. Istilah di lapangan di-bon.

Kalau sedang di-bon, apakah pemeriksaannya harus di KPK?

Bisa di KPK, bisa di kejaksaan atau kepolisian, tapi pemilik tahanan harus ada. Kemarin tim dari Kejaksaan Agung memeriksa Urip dalam kaitan kode etik. Dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 30 diatur bahwa pegawai negeri sipil tidak boleh menerima sesuatu.

Kabarnya, Artalyta Suryani sebelumnya pernah menemui pejabat di lingkungan Kejaksaan Agung?

Oh, begitu? Kalau ada informasi seperti itu, tolong sampaikan kepada tim kami untuk dikembangkan.

Apakah tak ada tekanan atau persuasi dari pihak lain pada KPK untuk melepaskan Artalyta?

Sejauh ini tidak. Mungkin ada satu dua orang yang kesal dan ingin menekan, tapi mereka mikir-mikir juga. Mereka malu kalau dia ternyata terbukti bersalah.

Ada kesulitan dalam memeriksa Artalyta?

Dengan kami tak ada masalah, tapi dia tak mau diperiksa tim dari Jaksa Agung Muda Bidang Pengawasan.

Bagaimana kalau Artalyta tidak mengakui pemberian uang itu terkait penyelidikan kasus BLBI yang dihentikan?

Kami memang tidak mengejar pengakuan tersangka. Penyidikan itu bukan mengejar pengakuan tersangka. Itu jiwa dari KUHAP. Kami mengumpulkan alat bukti.

Di masa Anda menjadi Ketua KPK, ada bekas kepala polisi yang ditahan, kemudian jaksa. Ada yang bilang ini bukan hasil kerja Anda, melainkan warisan pimpinan sebelumnya.…

Apakah penetapan Gubernur BI menjadi tersangka juga warisan periode lalu? KPK ini bukan buku sehingga bisa dibuat periode sesuai bab. KPK ya KPK. Pimpinan boleh berganti, tapi penyidikan jalan terus. Saya sering katakan, eranya Pak Ruki itu ”perjuangan kemerdekaan”. Era kami ”mengisi kemerdekaan”.

Ada desakan agar KPK mengambil alih penyidikan kasus BLBI.…

Kasus itu kan sudah di-SP3. Kalau ada yang tidak setuju, ya, praperadilankan dong. Kita punya aturan, punya mekanisme, kenapa sih orang tidak melakukan praperadilan?

Masyarakat bisa mempraperadilankan kasus BLBI?

Kenapa tidak? Coba baca KUHAP, jika ada yang keberatan terhadap penghentian suatu kasus bisa mempraperadilankan. Seperti kasus Pak Harto, kan ada yang mengajukan praperadilan. Saya harap Jaksa Agung membentuk tim eksaminasi independen, terdiri dari jaksa-jaksa yang dia percaya untuk meneliti kembali SP3 yang sudah dikeluarkan.

KPK selalu menitipkan tahanan ke instansi lain. Mengapa tak membangun ruang tahanan sendiri?

Itu memang sedang kami bicarakan. Kami juga tidak ingin ada kecurigaan, hanya karena kami menitipkan bekas petinggi polisi di tahanan kepolisian. Selain itu, capek juga harus mengambil tersangka dari Kelapa Dua atau Pondok Bambu untuk melakukan pemeriksaan. Makan waktu bila macet di jalan. Belum lagi faktor keamanan di jalan.

Apakah perlu izin tertentu?

Iya, kami harus minta izin Menteri Hukum dan HAM. Bagaimana mereka membuat analisis kelayakan. Kalau layak, mereka bisa bikin, misalnya, Rutan Salemba cabang KPK.

Antasari Azhar

Tempat dan Tanggal Lahir

  • Pangkal Pinang, Bangka, 18 Maret 1953

Pendidikan

  • S1 Ekonomi Akuntansi Universitas Sumatera Utara, Medan 1981
  • Magister Hukum STIH IBLAM Jakarta 2000

Karier

  • Ketua KPK (2007-2012)
  • Direktur Penuntutan, Kejaksaan Agung (2006-2007)
  • Kepala Kejaksaan Tinggi Sulawesi Tenggara (2004-2006)
  • Kapuspenkum Kejagung (2003-2004)
  • Wakil Kepala Kejaksaan Tinggi Riau (2002-2003)
  • Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan (2001-2002)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus