Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

wawancara

<font size=2 color=#FF0000>Gita Irawan Wirjawan:</font><br />Kami Tidak Ngomong Doang

22 Maret 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KETIKA Gita Irawan Wirjawan dilantik Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebagai Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal pada November lalu, tugas ekstraberat langsung dia sandang. Gita, 44 tahun, harus memenuhi target investasi sekitar Rp 2.000 triliun per tahun hingga 2014. Angka itu diperlukan demi mengejar pertumbuhan ekonomi minimum tujuh persen.

Gita punya cukup modal untuk menarik duit investor ke Indonesia. Malang melintang di beberapa perusahaan investasi raksasa, seperti Goldman Sachs dan JP Morgan, jaringan bisnis Gita tersebar di mana-mana. Paling tidak hal itu sudah terbukti dari kepiawaiannya membesarkan Ancora Capital, perusahaan investasi yang dia dirikan dua tahun lalu, dalam waktu relatif singkat.

Tapi, mengurus perusahaan dengan ”membesarkan” negara tentu kesulitannya jauh berbeda. Apalagi dengan anggaran yang hanya Rp 380 miliar setahun, Badan Koordinasi mesti jungkir balik mengejar target yang nilainya ratusan kali lipat anggaran belanja pemerintah itu. ”Seperti bermain jazz, harus berimprovisasi,” kata Gita tentang kiatnya menyiasati kendala dalam menarik investor.

Improvisasi ini termasuk untuk urusan menara telekomunikasi. Dalam soal bisnis menara telekomunikasi ini, dia bersilang pendapat dengan Menteri Komunikasi dan Informatika Tifatul Sembiring. Gita berkeras bisnis ini terbuka untuk investasi asing, sedangkan kubu Medan Merdeka Barat, kantor Tifatul, menghendaki kue bisnis ini hanya boleh dinikmati pemodal lokal.

Pelarangan investasi asing di bisnis menara, menurut Gita, berlawanan arah dengan semangat mengundang investasi ke negeri ini. Rabu pekan lalu, di kantornya di kawasan Gatot Subroto, Jakarta Selatan, dengan menggebu-gebu Gita memaparkan kepada Tempo berbagai persoalan yang harus dia atasi supaya investasi berduyun-duyun masuk ke Indonesia.

Bagaimana Anda menarik investasi asing dan domestik?

Tantangannya banyak. Yang pertama, soal persepsi mengenai iklim investasi di Indonesia. Itu menyangkut ketidakpastian hukum dan tumpang-tindih kebijakan.

Beberapa jajak pendapat menunjukkan iklim investasi di Indonesia belum banyak beranjak?

Soal kemudahan usaha, IFC menempatkan Indonesia di peringkat 122. Versi World Economic Forum, iklim investasi Indonesia di urutan 54, dan menurut PERC, korupsi di Indonesia terburuk di Asia. Bahkan lebih buruk ketimbang Kamboja. Bila Presiden Barack Obama jadi datang, Indonesia akan masuk headline di halaman pertama koran-koran dunia. Ini harus dimanfaatkan. Meskipun secara substansi dampaknya tidak signifikan, untuk promosi investasi sangat luar biasa. Puluhan juta orang di dunia yang selama ini tidak pernah mendengar kabar positif soal Indonesia tiba-tiba tahu.

Bagaimana kiat Anda menarik investor dengan berbagai kendala itu, termasuk anggaran yang minim?

Promosi Indonesia harus diukur secara cermat. Kami tidak mau promosi berlebihan, sehingga terlalu banyak janji tapi tidak bisa memenuhi. Apalagi anggaran BKPM cuma Rp 360 miliar setahun, bandingkan dengan departemen lain yang triliunan. Padahal kami diamanatkan untuk mengamankan target investasi Rp 2.000 triliun setahun. Itu kan timpang sekali. Walaupun dari target Rp 2.000 triliun itu yang menjadi porsi modal swasta hanya 55 persen, tetap saja itu berarti Rp 1.100 triliun.

Ekonomi Indonesia sudah lama tumbuh berbasis konsumsi. Bagaimana mengubah agar lebih berorientasi produksi?

Kalau bicara tentang strategi, sudah waktunya merekonfigurasi perekonomian Indonesia menjadi berbasis investasi. Cina kebalikannya, sudah berbasis investasi selama 20 tahun dan mesti merekonfigurasi perekonomiannya menjadi consumption driven. Indonesia dan Cina bisa memanfaatkan satu sama lain.

Anda pernah mengatakan supaya Indonesia mengurangi penjualan produk tambang mentah. Bagaimana penerapannya?

Menurut investment road, tahap pertama itu kan low hanging fruit. Itu yang paling gampang dijual. Istilahnya, anak sekolah atau nenek kita juga bisa. Itu sudah pasti sumber daya alam. Sebab, investor di mana pun paham bagaimana harga batu bara dan produk minyak dan gas. Tapi itu harus dikelola supaya terjadi redistribusi hasilnya untuk investasi pembangunan infrastruktur lunak, seperti pendidikan dan peningkatan kapasitas. Sebab, industrialisasi dengan skala besar hanya bisa dilakukan jika infrastruktur pendidikannya kuat.

Apa syarat menarik investasi lainnya?

Harus ada insentif fiskal. Ini bukan untuk umum. Kita harus benar-benar cermat. Misalnya, jika kita hendak menggenjot energi terbarukan, pemerintah harus memberikan insentif fiskal ataupun nonfiskal. Insentif nonfiskal misalnya dengan menyederhanakan prosedur investasi.

Kalau ada insentif fiskal, kantor pajak pasti akan keberatan?

Ha-ha-ha... saya peka soal itu. Selama jumlah pembayar pajak atau yang punya nomor wajib pajak hanya 15 juta, pemerintah akan sulit memberikan konsesi fiskal. Tapi ke depannya bagaimana? Efisiensi pajak harus ditingkatkan dan tax base-nya dilebarkan, jangan hanya dalam tapi sempit.

Apa target Anda dalam jangka pendek?

Kita harus memikirkan Indonesia Inc. seperti apa 20 tahun atau 30 tahun lagi. Sekarang modalnya sangat besar, yakni perekonomian dengan nilai US$ 550 miliar dan Indonesia berada di jalur yang bagus. Tidak ada alasan kita tidak bisa mendapatkan peringkat investment grade dalam 18 bulan atau 24 bulan lagi.

Peringkat investment grade ini harus A?

Cukup BBB versi lembaga pemeringkat Fitch, seperti pada 1997. Banyak investor di dunia dilarang berinvestasi di negara ataupun lembaga yang peringkatnya di bawah investment grade. Kalau Indonesia bisa meraih level itu, kita akan membuka kantong modal yang luar biasa besar.

Bila mencapai status investment grade, cost of fund juga akan murah, ya....

Kalau masuk level itu, cost of fund atau biaya modal akan turun satu hingga dua persen. Di dalam negeri, credit default swap-nya juga akan turun sehingga biaya pinjam dalam rupiah akan turun. Perubahan peringkat itu semestinya juga ditopang dengan instrumen utang untuk pembiayaan infrastruktur. Sekarang kan tidak ada instrumen seperti itu. Kalau Anda punya uang, pilihannya hanya deposito yang berjangka paling lama 12 bulan. Tidak ada yang jangka waktunya lima atau sepuluh tahun. Kecuali Anda membeli surat utang negara atau sukuk. Tapi itu kan tidak ditujukan untuk pembiayaan infrastruktur.

Banyak investor mengeluhkan kebijakan pusat tak sinkron dengan daerah. Apa yang dilakukan BKPM menanggapi keluhan itu?

Salah satu misi Badan Koordinasi adalah harmonisasi kebijakan pemerintah pusat dengan daerah. Kami sudah mengunjungi 21 provinsi dalam satu setengah bulan ini. Saya sudah ke Kabupaten Keerom, daerah perbatasan di Papua. Saya percaya, jika tak mengetahui isi perut sendiri, kita akan susah ”berjualan”. Jadi, ketika saya berangkat ke Jepang, Korea, atau negara di Eropa, saya paham betul apa yang saya tawarkan.

Bukankah ada perwakilan BKPM di daerah?

Tapi mereka digaji gubernur. Jadi loyalitasnya lain.

Wewenang BKPM amat terbatas. Bagaimana Anda menyiasatinya?

Seperti bermain jazz, kami harus berimprovisasi. Bicara tentang kewenangan dan yurisdiksi memang sangat terbatas. Kami hanya bisa berpromosi dan berkoordinasi. Kalau mengacu ke Undang-Undang Penanaman Modal, kewenangan Badan Koordinasi sebenarnya lebih luas daripada sekarang. Saya tak minta pendulumnya bergerak drastis dari ujung ke ujung. Kami harus perlahan membuktikan diri dulu, tidak ngomong doang. Tapi setiap omongan saya harus terealisasi. Itu akan menjadi kesaksian yang paling tepercaya.

Apa hasil nyata yang sudah dicapai Badan Koordinasi?

Di Kutai Timur, Kalimantan Timur, investor dari Uni Emirat Arab, Ras al-Khaimah, berinvestasi senilai Rp 50 triliun untuk pembangunan smelter, pelabuhan, jaringan rel kereta, dan akuisisi tambang batu bara. Pembebasan tanah untuk rel kereta api sepanjang 133 kilometer dan pelabuhan sudah selesai. Kesepakatan pembiayaan untuk pembangunan pembangkit listrik dan smelter juga sudah kelar.

Apa kesepakatan investasi lainnya?

Di Kalimantan Barat, salah satu investor tertarik membangun smelter. Di Sumatera Selatan, ada investor yang berniat membangun jaringan rel kereta api dan kawasan ekonomi terpadu.

Bagaimana investasi di sektor minyak dan gas?

Sektor pertambangan sudah dilimpahkan Kementerian Energi ke Badan Koordinasi, tapi pengaturan bisnis hulu migas masih di mereka. Jadi target investasi Rp 1.100 triliun itu, sekitar 70 persennya berkaitan dengan bisnis hulu migas. Angka yang terkait dengan penanaman modal asing dan dalam negeri hanya sekitar Rp 200 triliun. Tahun lalu, nilainya hanya Rp 135 triliun. Kami menargetkan angka itu akan tumbuh 10 persen hingga 15 persen.

Realisasi janji investor Timur Tengah di Indonesia sangat rendah. Apakah masih ada peluang menarik investor dari kawasan itu?

Peluangnya masih sangat luas. Ada dua alasan. Pertama, investor Timur Tengah punya pengalaman pahit karena mereka kelewat banyak berinvestasi di negara-negara maju. Akibatnya mereka kena dampak krisis ekonomi tahun lalu. Itu pelajaran sangat berharga dan mereka sudah mereorientasi portofolio investasinya. Mereka mulai mengalihkan investasi ke negara-negara berkembang. Indonesia pasti akan kena imbasnya. Kedua, investor Timur Tengah itu selalu dikelilingi penasihat investasi dari Eropa atau Amerika Serikat. Kebetulan saya berpengalaman berhubungan dengan mereka, sehingga paham cara berkomunikasinya. Bukan dengan pendekatan agama, melainkan pendekatan pasar dan rasional.

Apa mungkin Indonesia menggeser Malaysia sebagai pusat investasi Timur Tengah di Asia Tenggara?

Tidak bisa seketika, tapi bukan hal mustahil. Tergantung kebijakan kita.

Menteri Perumahan Rakyat mengusulkan kepemilikan properti oleh asing hingga 99 tahun. Pendapat Anda?

Menurut saya, itu usul yang luar biasa. Kebijakan itu akan menunjukkan Indonesia terbuka, walaupun properti yang boleh dimiliki investor asing juga dibatasi harga minimum. Kebijakan itu bukan berarti kita hendak mengobral properti ke orang asing. Di Cina, kebijakan seperti itu sudah terbukti berhasil menarik investasi.

Bisnis menara telekomunikasi ditutup bagi investor asing. Kenapa Anda tak setuju?

Berdasarkan Surat Keputusan Bersama Kepala BKPM dengan Menteri Komunikasi, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Pekerjaan Umum yang terbit tahun lalu, bisnis menara telekomunikasi ditutup bagi investor asing. Semangatnya waktu itu untuk mengembangkan pengusaha dalam negeri. Tapi kenyataannya, sektor ini perlu pendanaan yang besar sekali. Paling tidak butuh Rp 70 triliun setahun untuk membangun menara. Karena kemampuan pendanaan pengusaha Indonesia terbatas, tidak ada yang bisa tumbuh besar. Paling hanya punya seribu atau dua ribu menara.

Berapa besar kebutuhan menara telekomunikasi?

Indonesia masih perlu 150 ribu hingga 200 ribu menara telekomunikasi. Dana yang diperlukan US$ 20 miliar atau Rp 180 triliun. Kalau Anda utang ke Bank Mandiri, paling hanya bisa dapat Rp 2 triliun atau Rp 3 triliun. Tidak cukup. Kita harus realistis. Kalau teori saya ini salah, dalam dua setengah tahun ini, pasti pengusaha menara itu sudah besar. Coba kasih tahu saya, satu pengusaha menara yang sudah besar.

Bukankah ada kelompok Djarum dan Tower Bersama milik Recapital?

Tapi sumber pendanaan Protelindo, milik Djarum, tetap dari luar negeri. Sementara itu, Tower Bersama hanya punya beberapa ribu menara, tidak sampai skala puluhan ribu.

Bagaimana usul Anda?

Bagi saya, kepemilikan penting, tapi bukan satu-satunya. Selama mereka menciptakan lapangan kerja, itu berarti nasionalisme. Menara dan tanah kan tak mungkin dibawa keluar. Dan ada mekanisme menyiasatinya. Kita buka dulu bagi investor asing, setelah dua atau tiga tahun, mereka harus menjual saham mereka di bursa. Investor asing tak mungkin masuk seratus persen. Mereka pasti mencari mitra lokal. Mitra mana yang akan dicari? Pasti yang sudah bermain di bisnis telekomunikasi.

Apakah mungkin ada kompromi?

Kalau ada kompromi, saya senang sekali. Saya tidak minta seratus persen terbuka untuk asing. Bahkan, kalau dibatasi investor asing maksimum 49 persen atau 51 persen, itu sudah sangat berarti.

Apakah investor asing banyak yang meminati bisnis menara?

Banyak sekali. Saya tak bisa menyebut nama, tapi kebanyakan dari Asia.

Gita Irawan Wirjawan

Tempat & tanggal lahir: Jakarta, 21 September 1965 Pendidikan:

  • MBA, Baylor University, Amerika (1989)
  • MPA, Kennedy School of Government, Harvard University, Amerika (2000)

    Pekerjaan:

  • Akuntan di Morrison Brown and Argiz, Amerika (1989)
  • Vice President Investment Banking Goldman Sachs, Singapura (1999)
  • Senior Vice President International Business Development, Singapore Technologies Telemedia (2003)
  • Presiden Direktur JP Morgan Indonesia (2006)
  • Komisaris Pertamina (2008)
  • Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (2009)
  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus