Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Politik, kata orang, seni mengolah segala kemungkinan. Tatkala peluang Wiranto, calon presiden dari partainya, lolos ke putaran kedua kelihatan mengecil, Akbar Tandjung, 58 tahun, mulai menjajaki kemungkinan lain: koalisi. Dan pekan-pekan ini, Akbar?demikian sapaan orang nomor satu di Partai Golkar itu?jadi gemar bersilaturahmi. Dalam beberapa kesempatan, ia mengadakan serangkaian pertemuan dengan sejumlah politisi.
Tiga hari setelah pemilihan umum presiden putaran pertama, misalnya, Akbar bertemu Jusuf Kalla?sejawatnya di Partai Golkar yang kini menjadi calon wakil presiden Partai Demokrat. Di lain hari, Akbar makan siang bersama Rahmat Witoelar, tokoh Golkar yang sekarang menyeberang menjadi tim sukses Susilo Bambang Yudhoyono alias SBY. Lantas, seusai acara kenegaraan di Istana Negara, Senin lalu, ia menyempatkan bertemu Presiden Megawati dan suaminya, Taufiq Kiemas.
Manuver demi manuver susul-menyusul, tapi Akbar hanya berkilah diplomatis. Menurut dia, pertemuan di antara tokoh politik itu sesuatu yang wajar. Penjajakan, istilahnya. "Lagi pula, pertemuan-pertemuan itu belum berarti mengambil sebuah komitmen," kata politisi yang sempat terkait dengan kasus penggelapan dana Bulog senilai Rp 40 miliar itu.
Akbar bergerak lincah dalam serangkaian "silaturahmi politis", tapi mengapa rekan separtainya, Wiranto, seakan-akan tidak terlibat? "Oh, tidak begitu. Kami tidak meninggalkan Pak Wiranto. Selama ini kami tetap berkomunikasi," ujarnya. "Lagi pula, selama ini ada orang Golkar yang selalu berkomunikasi dengan tim kampanyenya Pak Wiranto," bekas Ketua Umum Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) itu menambahkan.
Kepada wartawan TEMPO Wenseslaus Manggut, Nurdin Kalim, fotografer Hendra Suhara, dan wartawan Tempo News Room Ecep S. Yasa, yang mewawancarainya di kantornya di lantai tiga Gedung Nusantara III DPR/MPR RI, Senayan, Jakarta, Kamis siang lalu, Akbar bercerita seputar kekalahan Wiranto, koalisi Partai Golkar, dan jatah kursi kabinet. Berikut petikannya.
Hasil perolehan suara final belum diumumkan, tapi Anda sudah bertemu Megawati dan Jusuf Kalla. Sepertinya Anda tak punya harapan lagi pada kemenangan Wiranto-Salahuddin?
Pertemuan dengan sejumlah tokoh itu wajar-wajar saja. Sebagai politisi, kami mungkin saja saling menjajaki. Itu tak bisa dihindari. Tapi harus dicatat bahwa kami belum memiliki komitmen apa-apa, karena Partai Golkar belum memutuskan harus mendukung siapa di putaran kedua. Kami masih menunggu hasil hitungan dari Komisi Pemilihan Umum (KPU), meski harus diakui bahwa calon kami kecil sekali kemungkinannya lolos ke putaran kedua.
Anda sepertinya sudah meninggalkan Wiranto. Buktinya, dalam pertemuan dengan sejumlah tokoh tadi, Anda tidak mengajak Wiranto.
Oh, tidak. Kami tidak pernah meninggalkan Pak Wiranto. Tadi pagi saya bicara dengan beliau di telepon. Jam satu siang ini (Kamis siang pekan lalu?Red.) Pak Wiranto mau menggelar siaran pers. Saat penghitungan suara, kami selalu bertemu di Kantor Dewan Pimpinan Pusat Golkar. Soal koalisi di putaran kedua, kami tentu saja akan membicarakannya dengan Pak Wiranto dan Salahuddin. Tapi Partai Golkar yang akan menentukan.
Anda berkali-kali mengatakan bahwa Golkar dan PDI Perjuangan mudah bekerja sama. Mengapa tak langsung saja bilang bahwa Golkar akan mendukung Megawati Soekarnoputri?
Kalau pertanyaannya apakah Golkar bisa bekerja sama dengan PDI Perjuangan, jawabnya tentu bisa. Kami punya pengalaman bekerja sama. Tapi kan statemen soal kasus ini konteksnya menjawab pertanyaan wartawan, dan bukan penjelasan terbuka dari saya. Soal dukungan untuk Ibu Mega itu, kami belum punya sikap resmi. Tapi saya akui sudah ada pertemuan dengan beberapa pihak. Saya pernah ketemu Jusuf Kalla, saya pernah makan siang dengan Rahmat Witoelar, saya pernah ketemu Taufiq Kiemas, bahkan saya pernah ketemu Ibu Mega. Itu fakta.
Dan Anda merasa tidak perlu memberi tahu Wiranto jika melakukan pertemuan dengan tokoh dari partai lainnya itu?
Oh, tidak. Tentu tidak. Seperti saya mau ketemu Anda juga tidak perlu memberi tahu Pak Wiranto. Sebagai ketua umum partai, saya bisa ketemu dengan siapa saja. Apalagi pertemuan-pertemuan itu kan tidak semua direncanakan. Ada yang kebetulan saja. Tapi, namanya tokoh politik, walau cuma kebetulan, bisa saja dimanfaatkan untuk saling menjajaki.
Pertemuan dengan seorang Megawati jelas bukan karena faktor kebetulan, dong?
Waktu itu saya ke Istana. Saya mau bicara tentang DPR dengan Ibu Mega. Saya minta sama ajudan bahwa saya mau ketemu Ibu Mega, tolong disiapkan sebelum beliau ketemu yang lain. Saya kan pernah menjadi Menteri Sekretaris Negara, jadi saya kenal orang-orang Istana itu. Lalu disiapkanlah pertemuan itu. Selama bertemu, pembicaraan tentang soal DPR beberapa menit, lalu bicara tentang soal lainnya.
Soal koalisi dan pembagian kursi menteri?
Enggak. Setelah bicara mengenai soal DPR, saya bilang ke Ibu Mega bahwa saya sudah ketemu Taufiq Kiemas, dan Taufiq menyampaikan tawaran-tawaran koalisi. Mega bilang, "O, iya. Kalau kita bekerja sama kan bagus." Tapi Ibu Mega kan tidak detail ngomongnya. Dia cuma bilang bahwa kami bisa bekerja sama.
Sewaktu bertemu Taufiq Kiemas, pembicaraan tentang kursi menteri itu lebih detail?
Saat itu Taufiq menyampaikan tawaran untuk bekerja sama, bahkan memberikan tawaran untuk sama-sama duduk dalam kabinet. Tentu saja belum detail. Tapi pokoknya, kalau Golkar dan PDI Perjuangan bersatu, perolehannya suara pada pemilu putaran kedua bisa lebih dari 50 persen, dan kedudukan pemerintah nantinya lebih kuat. Tapi belum ada keputusan akhir, karena saya harus rembukan di Partai.
Kabarnya, Golkar membidik kursi menteri ekonomi dan posisi Jaksa Agung dalam kabinet Megawati?
Kami belum sampai ke situ. Tapi, dari sisi problem kita saat ini dan visi yang dibangun Golkar, masalah ekonomi memang menjadi masalah prioritas. Karena ini menyangkut kehidupan sehari-hari. Soal minta jatah kursi Jaksa Agung itu tak benarlah.
Walau partai belum memutuskan, kelihatannya Anda lebih berat ke Megawati ketimbang SBY?
Oh, belum memutuskan. Saya kan tidak bisa bicara sendiri. Partai yang memutuskan. Cuma PDI Perjuangan lebih konkret tawarannya. Dilihat dari basis dukungan, kalau kami bersatu, akan sangat kuat sekali. Apalagi ditambah dukungan Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Damai Sejahtera (PDS), bisa lebih kuat lagi. Saya dengan Kiai Zainuddin M.Z. dari Partai Bintang Reformasi sudah bertemu Ibu Megawati.
Dengan pihak SBY, sudah ada tawaran soal kabinet?
Belum. Tawaran yang konkret belum ada. Pak SBY bilang bahwa kalau ada koalisi, ya koalisi terbatas. Bahkan terakhir SBY bilang bahwa pihaknya tidak memerlukan koalisi dengan partai-partai, yang penting adalah dukungan rakyat. Kami sangat menghormati pendapat itu. Kalau memang memerlukan kami, ya, datanglah. Kami tentu tidak akan menawar-nawarkan diri.
Pernah ketemu SBY secara terencana atau secara kebetulan seperti dengan kubu Megawati tadi?
Secara kebetulan pernah. Saya ketemu dengan Pak SBY dalam acara launching buku Anas Urbaningrum. Saat itu beberapa orang dipanggil ke depan untuk menerima buku langsung dari Anas. Kebetulan saya dan Pak SBY ikut dipanggil ke depan dan duduk berdekatan. Biasa saja, formal. Beberapa kali bertemu, nyatanya tidak ada pembicaraan ke arah koalisi.
Anda sendiri merasa tidak perlu memulai pembicaraan mengenai koalisi saat bertemu SBY di acara peluncuran buku itu?
Saya juga jaga jaraklah, he-he-he.... Karena memang Pak SBY tidak memberikan sinyal, ya saya pun diam saja. Ya, enggak apa-apa. Paling tidak kan, kalau waktunya tidak memungkinkan, dia bisa bilang kapan kita bisa bertemu dan ngobrol-ngobrol. Dengan bilang begitu saja, sudah menjadi sinyal yang berharga dalam politik.
Kalau Anda berada dalam posisi seperti SBY, apa kira-kira yang akan Anda bicarakan?
Kalau saya dalam posisi seperti dia, pasti saya katakan: eh, kapan ketemu lagi dan ngobrol-ngobrol. Saya sendiri kan menunggu dia yang memulai. Toh saya sudah mengucapkan selamat.
Lantas, apa jawabannya?
Jawabannya, "Terima kasih". Itu saja, he-he-he.... Tapi, sebelum konvensi, saya juga pernah ketemu Pak SBY. Artinya, saya dan dia sebetulnya sudah cukup akrab juga. Intinya, belum ada tawaran konkret tentang kabinet dengan pihak SBY.
Tampaknya elite Golkar bakal terbelah. Anda belum bertemu SBY secara khusus, tapi sejumlah politisi Golkar mendukung, seperti yang terjadi dalam pertemuan di Hotel Mulia beberapa waktu lalu?
Dalam situasi seperti sekarang, dukung-mendukung itu memang sulit dihindari. Kami menganggapnya sebagai wacana. Saya sendiri sudah ketemu dengan tokoh-tokoh muda yang ada DPR dan melakukan pertemuan di Hotel Mulia itu. Saya kira sikap mereka masih obyektif. Mungkin saja yang terungkap ke media adalah mereka mendukung SBY, dan yang mendukung Mega tidak terungkap.
Ada yang menduga dukungan Anda untuk Megawati semata-mata karena ingin balas jasa setelah lepas dari kasus korupsi dana Bulog beberapa waktu lalu?
Kalau itu tidak benar. Kita menghormati institusi Mahkamah Agung. Saya yakin Mega tidak mempengaruhi institusi hukum itu. Proses kasus ini amat transparan, disiarkan secara terbuka, dan masyarakat bisa melihatnya sendiri.
Bicara tentang hasil pemilu putaran pertama, mengapa perolehan suara Wiranto-Salahuddin merosot jauh dari target?
Perolehan suara yang diumumkan KPU memang jauh dari yang kami perkirakan. Kami sendiri menghitungnya berdasarkan perolehan suara partai politik yang mendukung paket Wiranto dan Salahuddin Wahid pada pemilu legislatif, 5 April lalu. Dari Golkar, misalnya, sekitar 24,5 juta suara, PKB sekitar 12 juta. Dua partai ini saja sudah bisa mengumpulkan 36 juta suara.
Sejumlah kalangan menuding bahwa kekalahan Wiranto_Salahuddin karena Anda dan Golkar setengah hati memberikan dukungan. Akibatnya, seperti kata Gus Dur, mesin politik Golkar di daerah enggak bekerja.
Tudingan itu tidak benar. Kami mendukung penuh dan tidak setengah hati. Kami sudah berkomitmen untuk memenangkan paket ini. Saya dan juga sejumlah petinggi Golkar aktif berkampanye di 30 provinsi, bahkan berhari-hari kami keliling Indonesia. Saya kira pengurus Golkar daerah juga sudah bekerja keras.
Beberapa daerah yang menjadi tambang suara bagi Golkar dan PKB pada pemilu legislatif lalu, kok calon kedua partai itu malah keok. Siapa yang berkhianat?
Kami akan melakukan evaluasi secara terbuka, jujur, dan tanpa pretensi menyalahkan salah satu pihak. Kami sangat optimistis menang di daerah Jawa Timur. Menurut hitungan kami, di daerah itu jumlah pendukung PKB di atas 6 juta, pendukung Golkar sekitar 2 juta suara. Jika ditambah dengan partai pendukung lainnya, perolehan suara di daerah ini mestinya sekitar 9 juta. Kenyataannya calon kami hanya mencapai sekitar 5 juta. Jadi hilang sekitar 4 juta. Di Jawa Timur itu pimpinan tim kampanyenya adalah PKB. Di Jawa Barat kami kehilangan sekitar 2 juta suara, Jawa Tengah 1 juta lebih.
Mengapa semua suara itu lari ke pasangan SBY dan Jusuf Kalla?
Tidak bisa kita pastikan bahwa semua suara itu lari ke paket SBY dan Jusuf Kalla. Tapi memang ada gejala yang menarik. Di Jawa Timur, misalnya, kami proyeksikan bahwa calon kami bakal menang besar. Faktanya nomor satu malah SBY, nomor dua Mega, dan calon kami cuma nomor tiga. Di Jawa Barat kami optimistis nomor satu, eh, cuma bisa nomor dua. Di Jawa Tengah, kami cuma nomor tiga. Jadi semuanya di luar perkiraan kami.
Anda mau mengatakan bahwa kekalahan di daerah Jawa, terutama di Jawa Ti-mur, karena kesalahan PKB?
Enggak, enggak. Kami tidak menyalahkan PKB atau siapa pun. Itu hanya sebagai contoh yang paling ekstrem saja. Kami sangat berharap bahwa Jawa Timur adalah salah satu basis pengumpul suara kami. Dan salah satu pertimbangan kami mengajak calon wakil presiden dari keluarga besar Nahdlatul Ulama (NU) dengan dukungan PKB adalah untuk mendapat tambahan suara di Pulau Jawa, untuk mengkompensasi kekurangan kami di pulau ini.
Tapi di Sumatera Utara paket Wiranto-Salahuddin juga kalah telak, padahal ini basis Golkar dan Anda sendiri berasal dari daerah itu.
Mungkin saja mesin politiknya tidak bekerja optimal, dengan berbagai sebab tadi. Mungkin juga disebabkan oleh faktor lain seperti kontroversi opini seputar calon kami. Mungkin ada orang yang merasa bahwa Pak Wiranto tidak bisa dianggap murni mewakili kader Golkar. Sejak awal kami sudah sepakat bahwa yang terpilih di konvensi harus dipilih. Tapi di level masyarakat bawah mungkin tidak tahu atau merasa bahwa kader Golkar yang mereka kenal adalah si A saja. Karena calonnya bukan si A, mereka memilih calon lain.
Saat Wiranto diserang, terutama menyangkut soal Timor Timur dan Pam Swakarsa, sepertinya tidak ada pembelaan yang sistematis dari Golkar. Mengapa?
Kami tidak tinggal diam. Cuma, isu yang berkaitan dengan Pak Wiranto itu adalah isu yang terkait dengan beliau secara pribadi, dan semuanya peristiwa masa lalu. Saya tahu bahwa Pak Wiranto sudah membentuk tim untuk mendampingi beliau dalam menghadapi kasus-kasus ini. Tim hukum Golkar pun kami perbantukan untuk memperkuat tim Pak Wiranto itu.
Tapi kok tidak efektif?
Tentu saja yang paling efektif untuk memberikan tanggapan adalah Pak Wiranto sendiri. Dan saya tahu bahwa Pak Wiranto dalam berbagai brifing, siaran pers, begitu sabar menanggapi isu-isu ini. Walau saya tahu bahwa kadang-kadang beliau merasa bahwa yang diributkan cuma itu-itu terus.
Diperkirakan banyak suara Golkar yang lari ke pasangan SBY dan Jusuf Kalla. Faktor Jusuf Kalla yang masih aktif di Golkar menjadi salah satu penariknya?
Pengaruh Pak Jusuf Kalla itu mungkin saja ada, terutama di daerah Sulawesi dan daerah-daerah yang jumlah orang Sulawesinya banyak, seperti di Kalimantan Timur. Cuma jumlahnya tak begitu besar. Yang membuat suara kami anjlok terutama karena harapan perolehan suara di Jawa itu tidak sesuai dengan target. Padahal pusat suara itu di Jawa.
Pengaruh Jusuf Kalla itu cukup kuat karena Anda tidak memutus mata rantai Jusuf-Golkar di daerah. Ke mana-mana Jusuf mengaku sebagai kader Golkar. Mengapa Partai tak memecatnya setelah ia menjadi calon wakil presiden dari partai lain?
Tidak ada aturan Partai soal itu. Apalagi Pak Jusuf menjadi calon dari partai lain sebelum konvensi digelar. Jusuf memang selalu bilang bahwa dia kader Golkar, bahkan ia juga menganggap dirinya sebagai calon cadangan. Saya tetap mengatakan bahwa memang betul Jusuf kader Golkar, tapi bukan calon dari Golkar.
Karier politik Anda tampaknya benderang lagi setelah menang dalam kasus Bulog. Orang bilang, "Akbar itu kagak ada matinye". Masih berniat mencalonkan diri menjadi Ketua Umum Golkar dalam musyawarah nasional, November 2004 ini?
Ada waktunya untuk berhenti dari seluruh aktivitas politik ini. Tidak selamanya saya kuat terus. Memang ada beberapa rekan di pusat dan di daerah yang menginginkan saya menjadi ketua umum lagi dalam musyawarah nasional nanti. Saya belum memutuskan, harus diskusi dengan anak dan istri dulu.
Akbar Zahiruddin Tandjung Tempat, Tanggal Lahir: Sibolga, Tapanuli Tengah, Sumatera Utara, 14 Agustus 1945 Pendidikan: Fakultas Teknik Universitas Indonesia Pekerjaan:
|
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo