Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pemilihan rumput hibrida di stadion JIS sudah sesuai dengan buku panduan FIFA.
Tak semua masukan dari Buro Happold bisa diimplementasikan di stadion JIS.
Minimnya akses stadion JIS menjadi perhatian sejak sayembara desain.
Jakarta International Stadium (JIS) menjadi polemik hangat dalam beberapa hari terakhir. Musababnya, stadion yang berada di utara Jakarta itu dianggap kurang memenuhi standar Federasi Asosiasi Sepak Bola Dunia (FIFA) sebagai salah satu venue Piala Dunia U-17 di Indonesia, 10 November-2 Desember 2023.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Salah satu hal mendasar yang dipersoalkan adalah penggunaan rumput hibrida atau campuran rumput asli dan sintetis disebut kurang sesuai dengan standar FIFA. Padahal, saat JIS diresmikan, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mengklaim rumput yang digunakan JIS sudah sesuai dengan standar FIFA.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Perancang JIS, Prasetyoadi, menyebutkan bahwa keputusan pemakaian rumput hibrida diambil setelah berkonsultasi dengan berbagai pihak, termasuk konsultan bangunan stadion. Selain itu, ia menyebutkan, para arsitek dan insinyur menggunakan buku panduan dari FIFA sebagai dasar acuan pembangunan stadion.
"Hasilnya, rumput hybrid itu dipilih karena lebih tahan cuaca," kata pria yang kerap disapa Tiyok ini kepada Indra Wijaya dari Tempo dalam wawancara daring, Kamis lalu.
Tiyok juga bercerita tentang awal mula dirinya mengikuti sayembara pembangunan stadion di lahan yang dikenal sebagai Taman BMW itu. Termasuk tentang sejumlah perubahan desain yang terjadi pada 2010 dan 2019. Berikut wawancara lengkap dengan Prasetyoadi.
Bagaimana ceritanya saat Anda memenangi sayembara desain stadion JIS?
Pada 2010, saya dan rekan saya di PT Pandega Desain Weharima ikut sayembara tersebut. Dulu namanya Stadion BMW, belum bernama JIS. Sayembara itu diselenggarakan oleh Dinas Olahraga Provinsi DKI Jakarta dan IAI (Ikatan Arsitek Indonesia). Pemenangnya bukan asal dipilih oleh pejabat atau pemimpin daerah. Sayembara itu dilakukan karena Jakarta tidak punya stadion lagi setelah Stadion Lebak Bulus dijadikan sebagai depo MRT.
Tim kami waktu itu ada lima orang. Awalnya, sayembara itu kami menangkan dan sempat dilelang proyeknya oleh Dinas Olahraga Provinsi DKI Jakarta. Kami membantu PT Arkonin. Tapi waktu itu masih ada kendala pembebasan lahan. Akhirnya proyek berhenti. Kemudian saat Joko Widodo menjadi Gubernur Jakarta, sudah akan dimulai lagi. Dinas Olahraga sudah mulai bekerja. Tapi karena saat itu fokus Pemprov DKI banyak. Sampai berganti pemimpin dari Pak Ahok (Basuki Tjahaja Purnama) dan Pak Djarot Saiful Hidayat, itu mepet sekali.
Apakah baru bisa dimulai pada era Anies Baswedan?
Lalu saat Gubernur Jakarta dijabat oleh Anies Baswedan, proyek sudah bisa dimulai. Pada 2019, kami dikontrak lagi untuk bikin stadion. Tapi pengelolaannya beda. Kalau dulu di Dinas Olahraga, sekarang Jakarta Propertindo (Jakpro). Di situ kami terlibat, tapi dengan kriteria yang agak berubah.
Bagaimana desain stadion seperti yang Anda menangi pada 2010 itu?
Pada 2010 itu sudah sampai tahap pengembangan desain. Tapi terhenti karena, saat hendak dilelang, tanahnya enggak bisa diukur secara tepat atau untuk survei topografi. Saat hendak disurvei topografi, petugas enggak bisa masuk karena dihalangi penduduk. Ide awalnya konsep arsitektur dan semangatnya ke stadion untuk warga Jakarta, untuk klub Jakarta, yakni Persija dan Persitara. Bagaimana mengangkat lokalitas Jakarta. Lalu kami cari dari pakaian adat, grafis ondel-ondel dan segala macam. Untuk konsep, karena mulanya itu taman, kami ingin membuat sebuah ruang publik di luar stadion. Artinya, wilayah itu bebas diakses oleh publik sepanjang hari. Bukan yang masuk stadion, ya, melainkan taman di sekitar stadion. Ini dilakukan untuk pembiayaan stadion juga karena kami memang ingin menangkap nilai ekonomi dari stadion itu.
Kala itu ada perubahan desain?
Pada 2010, ada perubahan agak besar karena Gubernur Jakarta waktu itu, Fauzi Bowo, ingin adanya lintasan atletik. Harapannya, kalau ada turnamen seperti PON (Pekan Olahraga Nasional), tidak perlu lagi pinjam Stadion Utama GBK.
Arsitek Jakarta International Stadium, Prasetyoadi. Dok Pribadi
Perubahan lain?
Perubahan kedua, kapasitas yang awalnya 40-50 ribu, diminta jadi 80 ribu. Itu yang menyebabkan daya dukung kawasan memerlukan penyesuaian yang jauh walaupun sejak awal kami melihat jalan akses hanya dari satu sisi. Karena di sisi utara ada rel kereta api, di selatan ada perumahan, dan sisi timur ada Waduk Cincin yang sebenarnya berpotensi untuk jadi akses. Jadi, aksesnya stadion JIS itu sejatinya bisa di dua sisi, yakni barat dan timur.
Bagaimana dengan taman? Apakah tetap dipertahankan?
Kami ingin tetap ada taman, tapi ada stadion di dekatnya. Lalu kantong parkir kendaraan disediakan di bawah taman itu. Itu sketsa awal tim kami. Sebenarnya ada akses jalan di atas atau diangkat seperti jalan masuk JIS yang sekarang. Harapannya, ketika ada pertandingan, taman yang di luar stadion masih bisa digunakan. Sementara yang punya tiket sepak bola bisa lewat jalan yang ke atas. Jadi, desain awal dari 70 hektare total Taman BMW, hanya sekitar 22 hektare yang akan dijadikan stadion. Jadi, stadion itu masuk ke dalam kawasan taman. Tapi di taman itu masih ada dua lapangan lain atau lapangan pemanasan untuk latihan jika ada turnamen penting. Jadi, bentuk awal stadion mirip seperti serban yang menyerupai bentuk topi adat Betawi.
Perubahan lain, adanya permintaan agar atapnya bisa dibuka dan ditutup. Desain sebelumnya atau pada 2010 itu tidak ada keinginan untuk menjadikan atap yang bisa buka-tutup. Karena keterbatasan akses keluar-masuk stadion, pada 2010, kami mengusulkan pembangunan stasiun di sisi utara.
Lalu bagaimana terjadi perubahan desain pada 2019?
Salah satunya fasad. Bentuknya lebih vertikal dari desain semula. Karena mungkin waktu itu ada kendala anggaran. Padahal, awalnya kami ingin ada membran yang bisa menyala. Lalu corak dan pola fasadnya juga berubah. Saat itu kami ingin membuat ornamen mirip macan, loreng-loreng. Saat itu memang gedungnya sudah jadi, tapi kawasannya masih banyak yang harus ditingkatkan, khususnya aksesibilitas.
Bagaimana tantangan perubahan atau penambahan kapasitas tempat duduk, dari yang pertama Anda desain sebanyak 40 ribu menjadi 80 ribu?
Waktu sayembara, TOR-nya 30-50 ribu, jadi masih dalam satu kisaran angka. Stadion Lebak Bulus yang digusur itu kalau enggak salah 15-20 ribu penonton. Kalau tidak salah, saat itu kami mendesain untuk 47 ribu lebih tempat duduk. Itu juga kami sudah melihat adanya potensi kendala, utamanya akses.
Dalam teori perencanaan, ada daya dukung lahan. Kalau 82 ribu (jumlah kursi penonton JIS) itu sama atau lebih besar daripada Stadion Utama GBK. Saat ini SUGBK itu maksimum bisa 77-80 ribu penonton. Kita bisa lihat di GBK itu untuk kawasan stadionnya saja sudah 100 hektare. Di luar itu, sampai keseluruhan 400 hektare. Jadi, bandingkan dengan kawasan stadion JIS yang hanya 22 hektare dari keseluruhan lahan milik Pemprov DKI sekitar 70 hektare.
Sejatinya kapasitasnya lebih kecil. Tapi saya enggak tahu karena lebih ke keputusan politis dan tentu kami arsitek tidak dimintai pendapat. Pejabat-pejabat kita kalau mau bikin bangunan, entah itu kantor atau apa pun, seharusnya menghitung bukan berdasarkan kemauan mereka sendiri. Sebab mereka paling menjabat selama 5-10 tahun saja. Jadi, mereka seharusnya memikirkan itu. Tapi anyway sudah diputuskan 80 ribu untuk JIS. Sebagai perencana, tentu kami harus mengikutinya.
Lalu?
Kembali ke kapasitas, konsekuensinya apa? Ya, ke daya dukung lahan itu. Parkir kendaraan jadi yang paling nyata. Sebenarnya, masih ada listrik, air, dan sampah nantinya seperti apa. Lalu taman semakin mengecil karena banyaknya orang. Akhirnya terpaksa meminjam lahan Pemprov DKI yang lain. Jadi, dari semula yang lahan untuk kepentingan stadion hanya 22 hektare, akhirnya kami pinjam area Taman BMW dan Waduk Cincin.
Tentunya beban kawasannya meningkat. Bahkan sekarang di sana harus terhubung dengan Ancol untuk kawasan parkir. Dari awal sejak kami rancang 2010 itu sebenarnya sudah mengupayakan transportasi berbasis rel. Memang direncanakan saat master plan akan ada akses MRT, tapi saat itu belum jelas. Potensi yang terbesar itu ya KRL, karena berada di samping stadion. Tinggal kita sesuaikan saja lokasi di mana stasiunnya.
Bagaimana soal atap stadion yang awalnya terbuka menjadi bisa buka-tutup?
Itu tantangannya lebih ke insinyur teknik sipil. Tapi salah satu dampaknya sekarang adalah ada bagian lapangan yang kekurangan pencahayaan. Walaupun atapnya buka-tutup, sebagian material yang kami pakai untuk atap itu bisa tembus cahaya matahari.
Menurut rancangan Anda, sebaiknya atap JIS terbuka permanen atau sistem buka-tutup?
Kalau stadion dengan atap buka-tutup yang terdekat dengan Indonesia ada di Stadion Nasional, Singapura. Di sana kegunaannya lebih beragam. Salah satunya untuk hiburan konser musik. Tapi kalau dilihat plus-minus, tentu biaya untuk atap buka-tutup itu cukup signifikan.
Di negara tropis yang cuacanya tidak seekstrem di Timur Tengah, Eropa Utara, dan Amerika Utara, faktor cuaca bisa membatalkan pertandingan. Sementara itu, di Indonesia, paling hanya hujan petir yang bisa membatalkan pertandingan. Tapi dengan atap buka-tutup, salah satu yang terlindungi adalah penonton.
Apakah wajar terjadi perubahan desain dalam arsitektur?
Hampir setiap karya arsitektur itu pasti ada perubahan. Ada perubahan besar, ada perubahan kecil. Alasannya macam-macam. Kami pernah ikut bikin proyek pemerintah atau bangunan publik, dan swasta. Ada perubahan karena masalah biaya biasanya, lalu ada perubahan pasar juga mempengaruhi, terutama yang proyek swasta.
Proyek itu pasti ada perubahannya, bisa karena menyesuaikan bahan material atau lainnya. Kebetulan di JIS ini, kami sudah dua kali mendesain, yang pertama saat kami menang desain pada 2010 dan perubahan ekstrem itu yang 2019. Dalam perjalanannya pun, perubahan desain ada, tapi sudah tidak terlalu banyak dibanding desain dasarnya.
Pembangunan Jakarta International Stadium di Papanggo, Jakarta, 2021. Tempo/Hilman Fathurrahman W.
Soal pemilihan rumput hibrida, apakah Anda terlibat dalam memilih rumput tersebut?
Kami bukan pengambil keputusan terakhir dan kami bukan orang yang mengerti rumput. Jadi, selagi rumput itu sesuai dengan aturan FIFA, salah satunya ada pada buku panduan mereka. Ada beberapa rumput yang bisa dipakai, dari rumput alami, lalu rumput hybrid, dan terakhir rumput sintetis yang mendukung wilayah kering.
Kami pilih rumput hybrid karena lebih kuat terhadap cuaca dan iklim. Selain kami arsitek, ada pihak luar seperti Buro Happold yang memberi masukan. Ada juga arsitek yang sering membantu PSSI dan AFC untuk inspeksi bangunan-bangunan untuk sepak bola. Nah, di situ akhirnya diputuskan penggunaan rumput hibrida.
Bagaimana soal area parkir bawah untuk bus pemain tamu yang dianggap terlalu rendah?
Sebenarnya, area parkir yang dijadikan masalah itu yang khusus untuk tim tuan rumah. Pada saat tim tuan rumah bertanding, hanya satu bus yang bisa masuk lewat ruang ganti pemain. Pada saat konstruksi sudah dimulai, Persija beli bus baru yang punya dek lebih tinggi.
Sebenarnya, untuk rancangan, kami sudah sewa bus dengan kapasitas 48 kursi dan bisa masuk ke dalam sampai ke depan ruang ganti pemain. Yang di lantai bawah itu cukup tinggi, bahkan bus tingkat bisa masuk. Tapi memang enggak bisa langsung masuk ke ruang ganti pemain. Terdapat jarak sekitar 10 meter. Masalahnya cuma enggak steril saja. Sebab, FIFA pasti meminta untuk dibangun barikade demi melindungi pemain.
Untuk Piala Dunia U-17, ada delapan stadion yang diinspeksi oleh FIFA. Mereka punya standar sendiri untuk setiap perhelatan. Untuk U-17 biasanya lebih mudah dibanding U-20 atau yang senior. Tapi untuk JIS ini, kami sedang mempelajari untuk membantu pemerintah menambah eskalator masuk ke ruang ganti dari parkir bus. Sejatinya ini bukan masalah pelik yang enggak bisa diselesaikan. Masalah kecil ini seharusnya enggak perlu jadi komoditas politik.
Anda diminta lagi untuk menambah eskalator dari parkir bus menuju ruang ganti pemain?
Sedikit-banyak kami diminta untuk me-review. Kemarin, Jakpro ada permintaan dari PSSI supaya ketika FIFA menginspeksi, stadion JIS ini bisa dipakai. Setiap stadion itu punya masalah sendiri-sendiri, mulai dari akses, letak, posisi, sampai drainase.
Tribun penonton pada proyek Jakarta International Stadium, Papanggo, Jakarta, 24 Maret 2022. Tempo/Tony Hartawan
Sebenarnya seberapa besar keterlibatan Buro Happold?
Buro Happold banyak membantu standardisasi stadion bertaraf internasional. Salah satunya jarak tempat duduk penonton. Jadi, dari sudut paling jauh, atau secara kasarnya, penonton yang membeli tiket paling murah atau yang paling jauh itu masih bisa melihat lapangan secara utuh dan tidak terhalang apa pun. Nah, karena diputuskan menghapus lintasan lari, rupanya semakin mendekatkan penonton ke lapangan. Apalagi baris depan.
Buro Happold juga membantu kami meletakkan tempat duduk. Dari semula yang kami tata miring lurus dari sisi paling dekat ke lapangan sampai yang terjauh. Lalu mereka menyarankan kami memilih sudut parabolik, sehingga sudut pandang penonton ke lapangan tak terhalang apa pun.
Selain itu, mereka memberi masukan mengenai jumah kotak atau papan iklan. Mereka juga melihat dari sisi pendapatan stadion. Buro Happold itu sejatinya perusahaan yang kuat di bidang pembangunan. Produk terbarunya adalah renovasi Stadion Tottenham Hotspur. Jadi, peran mereka sangat besar. Tapi untuk desain yang mereka sebut sebagai panduan itu sebenarnya mereka mengomentari desain kami.
Lalu mengapa Buro Happold memberikan pernyataan bahwa sejumlah masukan dari mereka tidak diterapkan di JIS?
Saya harus luruskan. Saran-saran mereka yang tidak diikuti itu bukan yang menyebabkan stadion JIS tidak bisa dipakai. Karena, misalnya, untuk ukuran lapangan, mereka juga berikan masukan, lalu tempat duduk bersudut parabola. Lalu ada yang tidak kami ikuti, salah satunya faktor keamanan. Jadi, misal untuk stadion di Indonesia, suporternya masih beda dengan yang di Eropa.
Ketika itu mereka meminta posisi penonton terdekat hanya berjarak 80 sentimeter dari lapangan. Nah, kalau itu, kami tidak ikuti, karena kami pakai batas 2,5 meter. Jarak 2,5 meter saja itu masih ada orang yang berani lompat ke lapangan. Jadi, kami pakai standar Menteri Pemuda dan Olahraga, yakni jarak penonton terdekat dengan lapangan itu 2,5 meter.
Jadi, tidak ikuti saran dari Buro Happold karena kami punya regulasi lokal. Kalau misalnya kami tidak ikuti regulasi lokal, malah stadion ini yang tidak boleh dipakai bertanding oleh pemerintah. Jadi, ada aturan internasional dan aturan lokal yang harus dipatuhi.
Mengapa saat itu lintasan lari dihapus dari JIS?
Saat menjabat gubernur, Fauzi Bowo ingin stadion baru Jakarta bisa dipakai untuk kegiatan olahraga seperti PON. Tapi semakin ke sini, stadion sepak bola itu ingin penontonnya lebih dekat dengan lapangan. Ini sisi positifnya menghilangkan lintasan lari.
Tentang perubahan fasad, mengapa dari desain semula yang berbentuk lebih rumit seperti serban diubah jadi bentuk vertikal?
Gubernur Jakarta saat itu tidak mau desain seperti itu. Kami belum sempat mendalami desain fasad yang kami tawarkan di awal desain. Tapi kalau itu kami lakukan, sepertinya akan ada tantangan berupa kerumitan yang bertambah. Lagi pula, kalau pakai fasad rancangan yang terdahulu, akan membuat stadion tampak lebih tebal dari luar. Sedangkan fasad yang sekarang membuat stadion jadi kelihatan lebih ramping.
Apakah ada penyesalan semakin tergerusnya lahan taman BMW karena stadion yang semakin besar?
Itu konsekuensi, ya, he-he. Ini konsekuensi bekerja sebagai arsitek. Arsitek memang punya ide atau gagasan. Kami di proyek publik tidak pernah dapat instruksi langsung dari pejabat. Kami cuma bisa sampaikan dalam rapat, kadang-kadang didengar, atau kadang-kadang hanya dapat instruksi.
Selain JIS, pernahkah Anda mengalami perubahan desain yang besar dalam sebuah proyek?
Terutama proyek-proyek yang sayembara, apalagi sayembara gagasan. Karena ada juga sayembara yang teknis dengan detail tinggi. Jadi, memang sebuah ide itu harus dikembangkan. Nah, tugas kami adalah menjaga konsistensi itu. Sebagai contoh pada sayembara 2010, tapi pada akhirnya pada 2019 kami pemenang sayembara diikutkan dalam proyek, sebenarnya ada beberapa pilihan lain saat itu. Contohnya, ada satu sayembara dari pihak swasta berupa apartemen tower. Sudah kami desain dengan baik bersaing dengan arsitek lain. Akhirnya kami terpilih untuk proyek bangunan 20 lantai itu. Kemudian, karena perubahan pasar apartemen, akhirnya perubahan gedungnya sangat drastis dari desain awal.
Bagaimana perjalanan karier Anda sebagai arsitek?
Awalnya sekolah arsitek, ya. Kebetulan ayah saya arsitek. Jadi, sejak kecil saya sudah terpapar dengan dunia arsitektur. Saat memilih jurusan kuliah pun ya sudah pilih arsitektur sajalah. Oiya, ayah saya itu lebih dari 20 tahun mengelola GBK. Jadi, saya sering sekali ke sana dan kebetulan tinggal di dekat sana juga. Sudah lama saya mengenal sarana olahraga.
Profesor saya itu Mohammad Danisworo, yang juga teman ayah saya dan beliau itu ahli arsitektur dan rancang kota. Saat lulus kuliah, saya sempat bekerja di perusahaan pengembangan swasta cukup besar. Setelah itu, saya belajar lagi S-2 di Australia dan magang juga di sana selama tiga bulan. Perusahaan tempat saya magang itu kebetulan memang ahlinya bikin sarana olahraga atau bangunan serbaguna.
Lalu apa yang terjadi selanjutnya?
Saya juga sempat bekerja di perusahaan kecil di Australia. Saya kerjakan residensial, komersial, dan pekerjaan perencanaan juga ada. Waktu itu, di Australia ada perhelatan Olimpiade pada 2000. Jadi, saya waktu itu menyaksikan bagaimana kota bergerak karena Olimpiade. Lalu pada 2001 saya pulang dan memulai perusahaan ini, PT Pandega Desain Weharima. Pertama kali menang sayembara itu kalau enggak salah pada 2005 untuk desain sebuah daerah di Glodok, Kota Tua. Yang menyelenggarakan Ikatan Arsitek Indonesia juga.
Selain ayah saya arsitek, ibu saya juga ahli lanskap pertamanan. Ibu saya sempat jadi dosen, lalu diajak Profesor Emil Salim ikut ke Kementerian Lingkungan Hidup. Jadi, saya terpapar arsitektur dan lingkungan, he-he. Pada 2008 itu saya mendirikan Green Building Indonesia bersama 49 orang lain dan 10 perusahaan.
Bagaimana Anda memulai karier bersama PT Pandega Desain Weharima (PDW)?
Sejak 2001, saya bersama profesor saya, Profesor Mohammad Danisworo, dan satu kawan saya membangun PT PDW ini pada 2003. Awal mulanya pada 2001. Saya bergabung setelah berkarier di Sydney, Australia. Perusahaan kami ini sebenarnya bergerak di lingkungan binaan. Ada arsitektur dan perancangan kawasan urban. Jadi, bukan cuma arsitektur, karena kebetulan saya dan profesor saya itu ahli urban desain. Kemudian ada juga perencanaan dan desain lanskap serta yang paling baru adalah desain interior.
Kami kini menjadi salah satu dari 10 firma arsitektur terbesar di Indonesia. Pada saat mulai perusahaan itu, kami tentu mencoba mendapatkan klien, termasuk bangunan publik. Dari rumah susun, lalu kami ikut dilibatkan dalam proyek Departemen Agama yang di Jalan M.H. Thamrin. Salah satu proyek yang terasa manfaatnya sampai sekarang adalah peremajaan jalur pedestrian di Thamrin dan Monumen Nasional yang ada jalur pedestrian berwarna merah itu sekarang sudah dipakai Gedung Jaya untuk salah satu waralaba internasional. Lalu Sarinah sudah terbuka.
Lalu proyek apa saja yang pernah Anda tangani dan dianugerahi penghargaan?
Ada bangunan 24 lantai Gran Rubina di Rasuna Epicentrum, mendapatkan IAI Award 2018. Kemudian saya bersama beberapa rekan merancang Jakarta Equestrian Park di Pulomas. Saya puas karena saat itu mendapat sanjungan saat Asian Games 2018. Sekarang masih ada dan terpelihara dengan baik. Saat ini kami sedang kerjakan penghubung stasiun MRT di Bundaran HI dan fase 2.
Menurut Anda, lebih menarik mendesain bangunan olahraga atau gedung biasa?
Ada tantangan masing-masing. Misalnya ada bangunan 40 lantai yang kami tangani di SCBD, itu tantangan teknik sipilnya lebih besar. Kami juga bikin resor di kawasan Tana Mori, Nusa Tenggara Timur, yang dijadikan lokasi KTT ASEAN lalu. Di situ kami bikin master plan. Ada juga renovasi Pasar Johar, Semarang. Setelah pasar itu terbakar, kami melihat kondisi di sana bukan cuma pasar, tapi juga ada cagar budayanya dan macam-macam.
Konsepnya menarik, yakni mengembalikan alun-alun kota lama Semarang. Di alun-alun itu dipakai rumput asli. Nah, di bawah alun-alun itu ada kios-kios dan tempat parkir. Kalau dulu alun-alun dirambah oleh pedagang, sekarang berhasil dikembalikan. Selain itu, kami ikut merenovasi kawasan Dukuh Atas, Jakarta Pusat. Dukuh Atas, yang dulunya macet kendaraan, kami tata ulang sampai diramaikan buat aksi mode Citayam Fashion Week itu.
Seberapa penting ruang terbuka hijau untuk sebuah bangunan, baik bangunan publik maupun swasta?
Ruang terbuka hijau itu enggak harus ada di kafe seperti lazimnya di Jakarta. Misalnya di New York mereka punya tanah 5.000 meter persegi, mereka bisa bangun sampai 4.000 meter persegi. Misal mereka hanya bangun 50 persen dari luas tanah, maka mereka dapat bonus bisa bikin bangunan lebih tinggi lagi. Ini bisa terjadi karena ruang terbuka hijau sudah dikumpulkan di Central Park yang punya luas sekitar 400 hektare di tengah New York.
Ruang terbuka hijau itu penting untuk kesehatan dan kesejahteraan manusia. Orang secara biologis akan lebih senang dan nyaman jika dekat dengan alam. Makanya di Pasar Johar, Semarang, yang dulunya sumpek, kami buka agar bisa memberi ruang baru. Masyarakatnya secara psikologis bisa lebih ramah, enggak beringas. Menurut sosiologi perkotaan, harus ada keseimbangan di tempat manusia tinggal dan beraktivitas.
Apa saja hobi Anda?
Saya punya hobi olahraga, tapi sekarang karena sudah ganti lutut, jadi enggak bisa olahraga berat lagi. Sekarang gemar membaca. Membaca buku dan WhatsApp, he-he.
Bagaimana bisa lutut Anda cedera parah?
Saya main basket tanpa pemanasan, sehingga membuat otot saya robek hingga putus tendon ligamen ACL. Itu lagi main basket dan ditabrak teman. Sudah operasi, tapi karena beban terlalu berat, akhirnya lutut saya harus diganti dua tahun lalu. Saya operasi di Jakarta saat pandemi. Untuk penyembuhan selama sebulan, saya pakai alat bantu berdiri. Total enam bulan saya sudah bisa berjalan normal. Tapi tetap saja kalau orang lihat saya jalan agak pincang-pincang.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo