Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wawancara

Autobiography, Kolaborasi Makbul Mubarak dengan Sineas Dunia

Autobiography adalah film panjang pertama karya Makbul Mubarak. Penggarapannya berkolaborasi dengan sejumlah pekerja film dunia.

22 Januari 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bagi sutradara Makbul Mubarak, naskah menjadi konsentrasi utama dalam penggarapan film. Ibaratnya, naskah merupakan nyawa dari sebuah karya sinema. Karena itu, ia menghabiskan waktu sampai dua tahun untuk menggarap naskah film panjang pertamanya yang berjudul Autobiography. Ia tidak main-main dalam menulis naskah, yang tidak hanya oke, tapi juga berkualitas.  

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Naskah itu pula yang kemudian membuka jalan baginya berkolaborasi dengan sineas-sineas kelas internasional, termasuk mereka yang pernah masuk nominasi, bahkan memenangi Oscar. "Karena saya tahu ini film pertama saya dan saya cuma punya satu kesempatan untuk bikin film pertama, jadi tidak boleh setengah-setengah," kata pria berusia 32 tahun itu ketika diwawancarai Indra Wijaya dari Tempo secara daring, Jumat, 20 Januari lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kerja keras Makbul menggarap Autobiography terbayar dengan dianugerahi rentetan penghargaan. Total sudah ada 18 penghargaan bergengsi dari dalam dan luar negeri yang mengapresiasi film tersebut. Sebagai contoh, dari dalam negeri, Autobiography memenangi penghargaan tertinggi Golden Hanoman Award dalam Jogja-NETPAC Asian Film Festival 2022 dan penghargaan kategori Penulis Skenario Asli Terbaik Festival Film Indonesia 2022.

Adapun dari luar negeri, film yang diproduksi Kawankawan Media dan diproduseri Yulia Evina Bhara ini menerima penghargaan The International Critics Prize for Best Film in Orizzonti from the International Federation of Film Critics (FIPRESCI) Venice Film Festival 2022, Feature Fiction Award Winner Adelaide Film Festival Winner 2022, dan Grand Prize Winner-Tokyo FILMex International Film Festival 2022.

Ada pula penghargaan Best Screenplay-Asia Pacific Screen Awards 2022, NETPAC Award-Taipei Golden Horse Film Festival 2022, Asian Cinema Observer Recommendation Award, Taipei Golden Horse Film Festival 2022, Aluminium Horse Award for Best Directorial Debut at the Main Competition Section, Stockholm International Film Festival 2022, dan lain-lain.

Makbul bercerita tentang bagaimana perasaan grogi yang ia alami saat mendatangi festival film internasional, hingga strateginya mendongkrak popularitas film Autobiography di dalam negeri. Berikut ini petikan wawancaranya.

Bagaimana Anda punya ide menulis skenario dan membuat cerita film Autobiography
Biasanya, dalam menulis, cara yang paling sering saya lakukan adalah observasi orang. Karakternya dulu, prosesnya kayak mengenal orang baru. Biasanya tidak dimulai dari imajinasi, melainkan dari hal yang sesungguhnya. Mungkin ada orang-orang yang mirip seperti itu di sekitar saya. Tapi enggak 100 persen seperti itu, mungkin 20 persen. Barulah nanti digabung dengan orang lain yang saya observasi. Maka, bisa saja dari lima orang yang saya observasi itu menjadi satu karakter.

Biasanya dimulai dari mengamati manusia dan mengamati hubungan dua manusia. Jadi, hubungan si A dan si B itu sebenarnya bagaimana, sih? Bagaimana dia melihat satu sama lain? Menurut saya, intensitas ketegangan dalam film Autobiography itu sebenarnya sangat dekat karena sebenarnya muncul dari hubungan manusia. Makanya, penonton merasa dekat karena sebagai manusia pasti punya hubungan dekat dengan orang lain.

Karakter Pak Purna dalam Autobiography sangat kental nuansa Orde Baru. Apakah Anda punya pengalaman masa lalu? 
Sebenarnya banyak, ya, tapi tidak ada figur tertentu yang lantas saya jadikan obyek, patokan, atau referensi. Tapi memang tipikal bapak-bapak yang mendidik anaknya di zaman itu, ya, seperti Pak Purna itu. Om-om saya pun ke anaknya agak seperti itu, meskipun mereka bukan fungsionaris seberkuasa itu, cuma PNS. Cara mereka memperlakukan dan mendidik anaknya, ya, kayak begitu. Tindakan-tindakan kecil seperti perundungan (pun terjadi). Misalnya, saya waktu kecil pernah pulang sekolah masuk ke sebuah koperasi atau toko itu. Ya, seperti toserba di kampung begitu, tapi bentuknya koperasi. Saya masuk dan kayaknya tas saya enggak tertutup sepenuhnya. Ritsletingnya agak terbuka, tapi saya tidak sadar. Tiba-tiba saya ditarik karyawan koperasi, dua bapak-bapak.

Lantas mereka bertanya, "Kamu nyolong, ya?" Lalu dia masukkan tangannya ke tas saya dan mengeluarkan serbuk agar-agar satu bungkus. Saya dituduh mencuri, padahal saya tidak pernah mengambilnya. Ya, sudah, saya menangis saja. Kemudian mereka menekan, seperti, kalau tidak mengaku, saya akan dibawa ke kantor polisi. Karena mendengar ada kata polisi, saya takut. Ya, sudah, saya mengaku saja. Lalu mereka berkata, kalau saya tidak mau dibawa ke polisi, mereka meminta dompet saya. Saya keluarkan dompet dan ada uang Rp 100 ribu. Saat itu untuk jajan selama 15 hari. Lalu uangnya diambil dan saya disuruh pergi.

Waktu itu saya pulang dengan kebingungan. Saya bertanya-tanya, apa benar saya mengidap klepto? Sebab, pada 1996-1997 sedang ramai istilah kleptomania, orang yang enggak sadar nyolong barang. Tapi saya sama sekali tidak merasa mengambil barang itu. Barulah kemudian saya sadar ternyata tas saya terbuka. Saya baru menduga memang sengaja dimasukkan dan diperlakukan seperti itu. Sungguh hal seperti itu membuat trauma dan membekas.

Sutradara Makbul Mubarak (berdiri) bersama Kevin Ardilova dan Arswendy Bening Swara saat syuting film Autobiography. Dok. Kawankawan Media

Bagaimana cara Anda menggali tokoh Purna? 
Sebenarnya itu cara Mas Arswendy Bening Swara yang menggali karakter itu hingga mencari tahu beberapa jenderal zaman dulu. Kalau saya pribadi, tidak pernah meminta beliau mencari jenderal ini, jenderal itu. Karena saya sendiri tidak hidup dan besar di zaman Orde Baru. Saya merasakan Orba pada akhir-akhir. Orba itu selesai di umur saya 8 tahun, jadi saya enggak tahu banyak. Saya hanya bercerita tentang karakternya yang kurang lebih seperti ini. Mas Arswendy sendiri yang menggalinya.

Karena beliau lahir pada 1957, jadi merasakan sendiri masa Orde Baru. Karena itu, beliau sendirilah yang menyebut karakter Purna ini mirip tokoh ini-itu. Bahkan saya yang bertanya siapa mereka itu? He-he-he. Mungkin bukan soal mengerti, melainkan mengalami. Kan untuk mengerti, saya mungkin bisa membaca buku. Tapi kalau mengalami dan punya emosi, itu tidak bisa saya dapatkan dari buku. Itulah kenapa juga karakter Purna ini cocok untuk Mas Arswendy karena beliau melakukan riset sendiri.

Situasi perdesaan tanpa listrik dan gelap mencekam. Pesan apa yang ingin Anda sampaikan dalam film Autobiography
Biasanya kan saya bicara soal teror dan apa yang menyelinap pelan-pelan dalam gelap itu. Nah, waktu itu saya berpikirnya gelap yang sesungguhnya, seperti mati lampu itu. Kegelapan karena mati lampu itu kan menyediakan atmosfer buat kita bicara tentang teror dan kesenjangan. Saya juga mau menunjukkan bahwa hal-hal seperti itu membuat janji-janji politikus terdengar masuk akal. Ketertinggalan membuat orang mudah dijanjikan sesuatu.

Saya ingat sekali, di zaman krisis moneter pada 1996-1997 itu, harga tiba-tiba naik. Waktu itu saya biasa jajan mi instan. Harga sebelumnya Rp 350 menjadi Rp 1.000. Benar-benar tidak terbeli. Ada apa, sih, ini? Kok, nilai uang kita turun dan tiba-tiba kita jadi miskin? Nah, dalam kondisi itu, janji-janji mudah masuk. Waktu itu saya ingat sekali ada janji-janji bisnis multilevel marketing atau MLM. Intinya, kalau kamu mau cepat kaya, sini gabung ke investasi ini. Nanti kembali tiga kali lipat.

Aneh sebenarnya orang-orang ini waras kan. Mana mungkin uang berputar tanpa produk. Tapi ketertinggalan itu membuat orang rapuh. Karena ia melihat di televisi tentang Jakarta yang sudah maju banget, tapi, kok, di desa kami masih begini saja. Nah, di saat itulah politikus sampai penipu bisa masuk memberi janji-janji. Nah, kondisi seperti itulah yang sebenarnya ingin saya potret dalam desa yang masih sering mati lampu, sehingga orang ingin berbisnis tidak bisa. Pak Purna masuk dengan janji-janji bisa memberi listrik karena sudah ada PLTA (pembangkit listrik tenaga air), meskipun itu imbasnya besar.

Mengapa memilih Kabupaten Bojonegoro sebagai lokasi syuting?
Sebenarnya tidak spesifik. Saya hanya membayangkan lokasi syuting itu di kota kecil di Jawa, bisa berlangsung di mana saja. Cuma, saat itu kami bekerja sama dengan komisi film di daerah Bojonegoro. Jadi, di Bojonegoro ada komisi film daerah yang bertujuan mempromosikan kabupatennya sebagai lokasi syuting. Kami diundang ke sana dan saat lihat lokasinya, kok, cocok. Selain itu, belum banyak lokasi yang diekspos sehingga kami bisa ikut membantu mengekspos daerah itu untuk pariwisata. Saya sempat kepikiran Temanggung, Jepara. Tapi Bojonegoro lebih aktif menawarkan kepada kami, ya, sudah.

Lalu soal pesan kekuasaan yang terbangun dari jalur kekerasan, bagaimana cerita Anda menggali isu ini?
Kalau menurut saya, lebih kepada polanya yang melingkar. Kekuasaan di Indonesia itu seperti uang yang bisa ditransaksikan seperti alat bayar. Mungkin hal serupa juga bisa terjadi di negara lain, ya. Tapi yang jelas, ini sering kita temui di sini. Misalnya ingin bikin SIM, tapi malas ikut tes. Nanti ada kawan yang bilang, "Oh, ada, tuh, temennya om gue. Jadi, nanti bisa pakai (jasa) dia saja." Karena itu, masyarakat mengerti bahwa kekuasaan bisa dijadikan alat tukar. Maka, kekuasaan itu tidak hanya menjadi bahasan di kalangan penguasa, tapi juga di kalangan bawah. Makanya, banyak obrolan di warung kopi tentang kekuasaan orang dalam, seperti mengurus paspor. Kalau butuh pengurusan paspor yang cepat, nanti ada rekan mereka.

Jadi, orang-orang yang tidak berkuasa pun memainkan kekuasaan sebagai alat tukar. Itu sudah diwariskan dalam hidup kita dan dalam film Autobiography digambarkan lewat baju seragam. Sesederhana baju yang diberikan, lalu dari situ kekuasaan bisa dipakai untuk transaksi sosial. Itu berkelindan banget dengan budaya korupsi kalau kita melihatnya secara lebih akademik. Lalu ada juga orang di jalanan bersenggolan, marah-marah, lalu mengklaim siapa kenalan dan keluarganya.

Bagaimana perasaan Anda saat film panjang pertama Anda langsung menyabet berbagai penghargaan istimewa di dalam dan luar negeri?
Lebih banyak terkejut-kejut. Saya enggak menyangka saja. Tapi sejatinya bukan saya saja yang terkejut, tapi juga seluruh tim. Jadi, terkadang ada kabar bahwa film kami memenangi penghargaan ini, tapi malah banyak yang enggak menyangka, seperti berkata, "Hah, serius menang?" Di grup percakapan kami seperti itu. Karena memang dari awal niatnya sangat sederhana, yakni ingin bikin film tentang dua orang saja, Rakip dan Purna. Tapi, saat naskahnya kami godok, ada beberapa teman dari luar, seperti Prancis dan Jerman, yang juga tertarik dan menyebut cerita ini sebenarnya tidak cuma ada di Indonesia.

Hal seperti ini masih sangat terhubung dengan mereka karena orang-orang seperti di dalam tokoh itu masih ada. Waktu kami kembangkan naskah itu, sedang ramai-ramainya Donald Trump. Figur-figur seperti Trump di dunia itu sedang muncul, politikus populis. Tiba-tiba sangat erat dengan retorika populis. Secara mengejutkan, kawan-kawan dari mancanegara itu malah bilang dengan serius akan membantu pembuatan film, bahkan ingin bergabung dengan apa yang bisa mereka bantu.

Tentu saja waktu itu produser juga sangat membantu. Tanpa dia, film ini enggak akan jadi. Dia jujur dan tanpa takut. Yang kami butuhkan saat itu adalah uang. He-he-he. Lalu kawan-kawan produksi sama-sama mencari dananya. Karena kami sama-sama bukan orang kaya, mari bareng-bareng mencari. Ya, sudah, dari situ, Autobiography menjadi produksi bersama tujuh negara. Saya pun tak mengira akan diterima sebaik ini. Ternyata dalam waktu kurang dari lima bulan (setelah film jadi), sudah ada 18 penghargaan.

Bagaimana cerita Anda dan tim kesulitan mencari dana produksi film?
Sebenarnya, awalnya kami kesulitan mencari investor pada dua tahun pertama. Kami sempat berpikir, kok, enggak ada yang mau bantuin kami bikin film ini? Jadi, yang dibutuhkan pertama-tama adalah teman. Ya, sudah, kami undang banyak teman untuk masuk. Tapi, kok, masih belum ada yang bantu? Lalu kami selidiki. Ternyata penyebabnya adalah naskah. Naskah kami belum dianggap menarik bagi orang lain. Bahkan, bagi kami, naskah awal itu belum menarik juga. Itulah yang menyebabkan dua tahun pertama itu fokusnya adalah naskah. Karena naskah merupakan kunci utama untuk mencari rekan, ya. Bagaimana mereka tahu bahwa proyek ini meyakinkan kalau bukan dari naskahnya.

Meskipun tidak akan disaksikan penonton, naskah sangat penting untuk film. Tapi, setelah dapat dana pertama dari Locarno Film Festival di Swiss, kami merasa sepertinya sudah ada yang tertarik, kemudian pelan-pelan terbuka. Sebab, ternyata, ketika satu rekan sudah masuk bergabung, nanti rekan-rekan yang lain akan saling lihat naskah. Dari situ, pelan-pelan mereka membuka pintu.

Anda mengikuti sejumlah festival film di luar negeri. Apakah awalnya sempat grogi?
Sebenarnya sejak awal, sebelum filmnya jadi, sudah kami bangun di luar negeri. Kami sering membawa proyek ini bertemu dengan rekan kerja dari luar negeri. Nah, pada awal-awal ini, sebenarnya grogi juga. Mengapa? Karena ini film pertama saya. Kalau orang lain tanya bolehkah mereka lihat karya sebelumnya, itu yang bikin grogi. Apalagi ketika ke Prancis, filmnya bagus-bagus banget. Terkadang kami merasa sebenarnya jauh-jauh ke Prancis dan negara lain itu mau apa, sih? He-he-he. Ya, sudah, berarti kami harus belajar terus. 

Pas film sudah jadi, grogi kedua terjadi. Karena sempat diputar di Venice Film Festival di Italia, saya bertanya-tanya bagaimana orang-orang akan bereaksi. Grogi sekali seperti akan sidang skripsi. Setelah pemutaran, ternyata 1.400 orang ini memberikan standing ovation (tepuk tangan meriah). Bukan merinding lagi, kami nangis. Sebab, sejak awal kami pikir cuma bikin film kecil yang ditonton teman-teman saja.

Mengapa Anda lebih memilih mendaftarkan film Autobiography ke festival film dibanding menayangkannya di bioskop? 
Strategi kami memang ada beberapa. Pertama, kami mau menyasar penonton. Di Indonesia, kami tahu penonton film seperti ini tidak banyak. Maksudnya, itu jika dibandingkan dengan film-film populer dengan bintang film ternama dan cerita lebih ramah. Nah, kami berstrategi bagaimana cara kami punya penonton sedikit-sedikit, tapi di banyak negara. Jadi, ujung-ujungnya semoga bisa banyak juga penontonnya. Tapi jangan di satu lokasi. Itu strategi kami. Makanya, kami ke luar dulu, termasuk cari distributor dulu, pembeli dulu. Begitu. Sekalian juga berusaha mencapai hype di Indonesia.

Mudah-mudahan, kalau kami menang dalam festival film mancanegara itu, bisa mendorong publikasi film kami di Tanah Air. Sebab, sebenarnya kami tidak didukung dengan uang promosi yang besar. Ini kan geng pembuat film independen, jadi mencari uangnya manual. Kami enggak bisa menyamai film lain yang dana promosinya besar sekali.

Apakah strategi ini lebih melelahkan?
Kalau dibilang capek fisik, jelas. Tapi kalau secara psikis, justru saya sangat tertarik. Jadi, sejatinya masih sangat tertarik berkeliling. Tapi kalau badan sudah lelah, itu susah. Kayak pada November lalu, saya ada di enam negara, dari Jepang sampai ke Norwegia dan Maroko. Sudah enggak jetlag, sudah di atasnya lagi. Seperti saat Festival Film Indonesia (FFI) lalu, saya baru pulang dari Maroko dan langsung ke lokasi FFI. Setelah acara FFI, saya ke bandara lagi, ke India.

Apa cerita menarik dan unik selama Anda mengikuti festival film di luar negeri?
Tentu saja yang paling berkesan adalah bertemu dengan penonton. Sebab, kalau di Indonesia, kita sudah tahulah macam-macam penonton itu seperti apa. Yang paling mudah itu pasti bereaksi. Tapi ada saat di Norwegia itu bagaimana mereka melihat film seperti ini yang tidak sesuai dengan kehidupan mereka. Itulah yang paling menarik. Jadi, mereka suka pun beda-beda.

Aktor Arswendy Bening Swara pernah bercerita, kesan pertama yang ia dapat setelah membaca skenario Autobiography adalah film ini kental nuansa film festival. Apakah benar begitu?
Kalau menurut saya, mungkin dianggap film festival itu karena temanya serius. Kalau ditonton, ya, enggak juga. Seperti film bertema menegangkan saja. Hollywood sering bikin film kayak begitu. Nah, mungkin dianggap film festival karena mencoba hal berbeda. Karena dianggap tidak biasa di Indonesia, Autobiography dianggap film khusus festival. Biar gampang saja melabeli film yang di luar tema umum film di Indonesia.

Padahal, sebenarnya, apakah di festival film itu filmnya harus seperti Autobiography? Sebenarnya enggak juga. Macam-macam, kok. Menurut saya, kategori film saya saja sudah tidak relevan dikhususkan untuk masuk festival. Film Fast and Furious 8 saja masuk festival. Film yang memainkan tema baru, seperti Everything Everywhere All at Once, misalnya, itu film komersial. Jadi, batas-batas film khusus festival itu sudah enggak ada.

Apa saja kesulitan dan tantangan selama syuting dan produksi film ini? Mengapa proses produksinya cukup lama? 
Sebenarnya, selama itu kami sudah mengantisipasi karena cari duitnya manual, bukan yang mendapat satu investor besar lalu mulai syuting. Enggak seperti itu. Cari modalnya sedikit demi sedikit. Misalnya ada US$ 100 ribu pertama yang masuk, lalu ada US$ 40 ribu masuk. Jadi, pelan-pelan.

Lalu soal naskah, saya memang ingin naskah yang solid, bukan yang seadanya dan besok langsung sudah bisa syuting. Bukan cari naskah yang oke, melainkan benar-benar yang terbaik karena ini film pertama saya dan saya cuma punya satu kesempatan untuk bikin film pertama. Jadi, tidak boleh setengah-setengah.

Apakah ada kendala lain?
Kendala lain selama produksi adalah Covid-19. Bagaimana rasa atau suasana Covid-19 itu tidak terasa dalam film ini, padahal kami syuting saat masa pandemi. Kendala selanjutnya, mendiskusikan kultur kerja karena di lokasi syuting itu bukan cuma orang Indonesia. Ada orang Prancis, Filipina, Brasil, dan macam-macam. Jadi, bagaimana kami menyamakan definisi. Bukan berarti kami yang ikuti cara kerja orang luar negeri dan sebaliknya, melainkan mencari sistem kerja yang nyaman di tengah-tengah.

Mengapa Anda banyak menggandeng kru dari mancanegara dalam film ini, seperti pengarah sinematografi dari Polandia, penyunting film dari Filipina, dan penyunting suara dari Prancis? 
Sebenarnya kami tertarik dengan kolaborasi. Misalnya kita lihat di Hollywood isinya bukan cuma dari Amerika Serikat. Masak, di Indonesia kita enggak bisa ajak teman-teman bikin kolaborasi yang sama? Jadi, ke situ niatnya dan memang asyik sekali. Penata warna kami adalah pemenang Oscar. Penata suara juga pernah dapat nominasi Oscar. Orang-orang ini yang awalnya enggak pernah kami sangka mau bekerja sama dengan kami menggarap proyek kecil. Kuncinya ada di naskah. Kalau percaya dengan naskah, mereka mau memberi bantuan.

Bagaimana awalnya mengajak mereka?
Macam-macam. Biasanya, yang mengajak orang-orang asing itu adalah rekan kami yang satu negara dengan mereka. Jadi, yang mengajak bukan kami, melainkan rekan kami yang sudah bergabung lebih dulu. Jadi, ia akan bercerita ke temannya tentang film kami. Naskah menjadi hal pertama yang harus ditunjukkan kepada mereka. Kalau sudah suka dengan naskah kami, biasanya barulah mereka bersedia menemui sutradara dan kerja sama.

Mengapa memilih Kevin Ardilova dan Arswendy Bening Swara sebagai aktor utama? Apa kekuatan mereka?
Sebenarnya, sejak awal kami sudah tahu butuh aktor yang bermain intensif. Yang cuma melihat doang tanpa bicara, itu penonton bisa merasakannya. Saya ingin penonton merasakan ketegangan yang tidak banyak aksi. Lalu Kevin, menurut saya, adalah aktor yang punya jangkauan luas. Lalu Mas Arswendy enggak usah ditanya lagi. He-he-he.

Apa harapan Anda pada film Autobiography?
Harapannya, film ini bisa melahirkan koneksi mendalam dengan penontonnya. Mungkin ini bukan film dengan 3 juta penonton. Tapi angka itu buat kami, ya, senang juga, sih, kalau yang nonton banyak. Tapi prioritas kami adalah bagaimana caranya memberikan pengalaman bermakna untuk mereka yang bersedia menonton.

Autobiography menjadi film panjang pertama Anda. Seperti apa perbedaannya dengan film-film pendek yang sebelumnya pernah Anda buat?
Menurut saya, berbeda banget. Bagi saya, tak ada itu skill untuk membuat film panjang dan skill untuk bikin film pendek. Mungkin secara teknis mirip, tapi beda jenis, beda spesies. Jadi, disiplin membuat film pendek dan panjang itu berbeda banget. Saya tidak bisa bilang film panjang itu lebih susah. Sebab, bikin film pendek itu lebih susah sebenarnya. He-he-he. Seperti perbedaan masak kue dan masak nasi goreng, lebih sulit yang mana, itu tidak bisa dibandingkan karena keduanya adalah hal berbeda.

Sutradara film Autobiography Makbul Mubarak. Dok. Kawankawan Media

Apa proyek film selanjutnya yang sedang Anda siapkan?
Saya masih ingin mengobservasi beberapa karakter. Balik lagi ke proses awal, berkenalan lagi dengan tokoh-tokoh, karakter-karakter yang menarik. Saya sudah mengembangkan sesuatu, tapi belum tahu nanti kira-kira seperti apa jadinya. Biasanya, kalau berkenalan dengan beberapa tokoh, saya enggak tahu tokoh utamanya itu yang mana. Jadi, hanya melihat-lihat segerombolan orang saja yang sebenarnya pun tidak ada di dunia nyata, hanya ada di kepala.

Apakah teror nan gelap masih menjadi tema proyek selanjutnya?
Saya rasa begitu. Saya suka menonton film yang menegangkan, seperti thriller, suspense. Itu saya suka. Cuma, soal temanya apa, saya belum tahu. Tergantung tokohnya nanti.

Seperti apa pesan Anda untuk sineas muda Tanah Air?
Kalau menurut saya, jangan pernah membuat film sendirian. Karena ada orang yang bilang film itu adalah karya sutradara saja, padahal tidak seperti itu. Bikin film itu kerja kelompok. Jadi, pekerjaan pertama adalah harus punya teman untuk nongkrong, diskusi, dan bicara. Sebab, di sekitar saya, saat ini ada tim yang sangat solid, di mana kami sudah lama kerja bareng. Ibaratnya, mereka sudah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kerja kreatif kami. Sebab, film berbeda dengan seni lukis atau menulis novel yang bisa dikerjakan sendirian. Film itu dari sananya sudah kerja kolektif. Kedua, tekun, harus sabar. Jadi, lebih mencintai proses saja. Karena kita bercita-cita bikin film itu pasti enggak tahu akan jadi kapan. Bahkan akan jadi film atau enggak, itu masih belum jelas. Jadi, harus ditekuni terus.

Bagaimana tip Anda untuk membuat naskah film yang baik?
Menurut saya, naskah yang keren itu masih berpusat pada kompleksitas manusia. Cerita-cerita long lasting itu pasti sesuai dengan kehidupan kita dan yang punya perasaan itu kan manusia. Lokasi syuting tidak punya perasaan. Pemain bintang pun tetap harus memfokuskan cerita pada manusia itu.

Apa saja hobi Anda? 
Nonton film. Ha-ha-ha. Selain itu, jalan-jalan atau traveling. Itu juga alasan saya suka dunia festival film karena jadi sering jalan-jalan. Capek memang, tapi saya bisa ketemu orang baru dan tempat baru. Sebab, saya kalau bikin naskah tidak selalu di rumah, sering di luar ruangan. Seperti film Autobiography ini, saya mulanya datang ke kampung-kampung di kota kecil di Jawa. Saya mengunjungi tempat yang belum pernah saya temui dan bukan lokasi wisata. Justru di lokasi seperti itu ada manusia-manusia unik. Jadi, saya menggunakan hobi untuk menunjang karya saya. 

Profil
Nama: Makbul Mubarak
Lahir: Tolitoli, 27 Februari 1990
Usia: 32 tahun

Riwayat Pendidikan
- Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
- Korea National University of Arts

Karya Film
- Sugih (2005, film pendek) sebagai sutradara
- Udin Telekomsel (2015, film pendek) sebagai pemain
- Fragment (2016, film pendek) sebagai penulis
- Irasshaimase (2017, film pendek) sebagai penulis
- Ruah (2017, film pendek) sebagai penulis 
- Autobiography (2022, film panjang) sebagai sutradara dan penulis

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus