Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wawancara

Budhi Muliawan Suyitno, Direktur Jenderal Perhubungan Udara: Larangan itu Unfair dan Tidak Lazim

9 Juli 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Keputusan Uni Eropa membekukan semua maskapai penerbangan Indonesia ke Eropa membuat Budhi Muliawan Suyitno berang. Usaha Direktur Jenderal Perhubungan Udara Departemen Perhubungan ini meningkatkan keselamatan penerbangan Indonesia tak dilirik sama sekali oleh Uni Eropa. ”Ada message nonteknis. Ujug-ujug mem-blacklist,” kata Budhi curiga.

Menurut Budi, Indonesia sudah serius membenahi carut-marut di bidang keselamatan penerbangan. Sejumlah lembaga di beberapa negara pun telah melihat ada perbaikan dalam urusan itu. Tapi Uni Eropa bersikap lain. Kepada Yosef Suprayogi, Maria Hasugian, Untung Widyanto, dan fotografer Nur Haryanto dari Tempo, Budhi menjawab secara terperinci perihal pembekuan penerbangan itu, diselingi beberapa keterangan yang tak boleh dikutip.

Bagaimana tiba-tiba Komisi Uni Eropa melarang maskapai Indonesia terbang ke sana?

Mereka mengirim surat ke kami dua kali pada April dan Mei lalu. Isinya, mereka memberitahukan ada rapat pleno Komisi Eropa di bidang keamanan. Kami membalas, tapi komunikasi tidak jalan. Kami lalu mau berkunjung ke sana. Lebih baik kami jelaskan langsung, karena surat-menyurat tidak jalan. Kami mengirim surat pemberitahuan bahwa kami mau berkunjung ke sana. Tapi, sewaktu saya datang ke sana pada 22 Juni, kok tidak ada sambutan resmi dari pihak mereka. Saya tidak tahu di mana miskomunikasinya.

Siapa yang berinisiatif ketemu langsung Uni Eropa?

Saya sendiri. Sebelumnya, ketika Australia mengeluarkan peringatan kepada warganya, saya dua kali ke Australia pada Maret dan April. Lalu pada awal Mei ke Amerika. Kami harus meyakinkan FAA (Federal Aviation Administration), dan US Safe Development Equity. Terus kami ke ICAO (International Civil Aviation Organization) di Montreal, Kanada. Pada akhir Mei kami baru kembali ke Indonesia. Kemudian kami ke Uni Eropa.

Bagaimana komunikasi dengan Australia dan Amerika?

Komunikasi kami dengan Australia dan Amerika lancar. Dengan Uni Eropa, saya tidak tahu di mana miskomunikasinya. Sebab, yang menerima kami adalah kepala unit bidang safety, bukan ketuanya, kalau di sini setingkat direktur jenderal. Kami menyadari ketika kami datang itu, mereka sama sekali kurang informasi. Mereka melihat Indonesia seperti pada awal Januari, ketika ada banyak kecelakaan, tanpa ada tindak lanjut.

Kesan saya, mereka kurang mendapat informasi yang lengkap dan utuh tentang apa yang telah dilakukan Indonesia. Kemudian kami jelaskan semua rentetan informasi, data, perkembangan dari Maret sampai Juni. Data juga kami berikan. Dalam pertemuan itu tidak disinggung bahwa nanti ada pembekuan. Kami hanya tukar-menukar informasi. Mereka memang mempertanyakan kenapa surat-surat mereka tidak dijawab. Kami sampaikan bahwa sudah dijawab tapi tidak tahu di mana nyangkut-nya.

Bagaimana mereka menanggapi data yang Anda berikan?

Data itu ternyata tidak bisa segera disampaikan ke semua peserta rapat pleno. Alasan mereka, 22 juni jatuh pada hari Jumat, dan besoknya hari libur. Saya tidak tahu apakah alasan itu benar atau tidak. Padahal itu kan hanya soal administrasi. Tapi satu yang sangat penting, mereka belum pernah melakukan audit di Indonesia.

Kapan mereka mempertimbangkan data yang Anda berikan itu?

Mereka anggap sudah terlambat, vonis telah diputuskan.

Jadi, apa landasan mereka membekukan penerbangan itu?

Mereka yang tahu.

Apakah cara seperti ini sudah biasa dalam dunia penerbangan?

Yang punya otoritas sesungguhnya Uni Eropa. Komisi hanya memberikan masukan ke Uni Eropa. Kalau sudah ada informasi, mestinya ada akses yang diberikan, yaitu akses timbal-balik, akses keadilan. Ada mutual recognition.

Tapi apa dugaan Anda sehingga Komisi Eropa merekomendasikan pembekuan?

Yang nonteknis banyak, seperti hubungan perdagangan kita dengan beberapa anggota Komisi Eropa ada yang mengalami gangguan. Misalnya mereka ikut tender di sini, ada sedikit persoalan. Mereka urus utang-piutang, ada gangguan.

Mereka membantah alasan nonteknis. Bagaimana tanggapan Anda?

Mereka belum pernah mengaudit. Kami juga bertanya ke teman-teman asing yang bergerak di bidang penerbangan. Mereka bilang larangan itu unfair dan tidak lazim.

Apa yang tidak lazim itu?

Satu institusi langsung mem-blacklist maskapai lain, apalagi Garuda sudah tidak pernah terbang ke Eropa sejak 2004.

Apakah ada negara lain bernasib sama seperti Indonesia?

Saya tidak tahu persis. Tapi Rusia, Angola, juga dibekukan. Namun ini tidak lazim karena tidak dibangun dialog. Mestinya, kalau dia menerima data yang mutakhir, data itu dijadikan landasan dan dikomunikasikan langsung kepada kami. Tidak dibocorkan ke media karena ini belum putusan final. Misalnya kalau mau mem-blacklist, ya, surati kami secara resmi.

Jadi Anda belum menerima surat resmi dari Komisi Eropa?

Belum, belum ada. Dia bocorkan ke media dulu! Ini yang mengganggu. (Surat pemberitahuan resmi baru dikirim Uni Eropa melalui duta besarnya di Indonesia, Jean Breteche, Jumat lalu —Red.).

Mereka melihat penerbangan Indonesia masih seperti Januari-Februari. Apa ada bedanya sekarang?

Anda bisa lihat. Saya tidak mungkin memuji diri sendiri.

Apa parameter keamanan itu?

Australia dan FAA percaya apa yang kami lakukan, begitu juga ICAO. Mereka datang memberikan asistensi sebagai kerangka kerja sama global. Kami sudah melakukan pembenahan.

Ada kategori dalam parameter itu?

FAA hanya punya dua kategori, boleh terbang atau dilarang terbang. Sedangkan di USOAP (Universal Safety Oversight Audit Programme) dan IATA (International Air Transport Association) ada tiga kategori. Sebuah maskapai bila dianggap memiliki masalah dimasukkan ke kategori tiga. Selama tiga bulan airline itu diberi waktu untuk memperbaiki diri. Kalau gagal, baru dilarang terbang.

Akhir tahun lalu Garuda masuk kategori dua. Apa penyebabnya?

Yang paling signifikan itu kecelakaan di Yogya (21 orang tewas dalam kecelakaan itu dan puluhan luka-luka—Red.).

Memang berapa besar poin yang berkurang akibat kecelakaan itu?

Banyak poin. Ada di sana terlihat bahwa pilot dan ko-pilot, menurut laporan, tidak harmonis komunikasinya. Jadi ada indikasi cockpit resource management kurang dilatih. Namun ini belum diumumkan resmi.

Tapi, hanya dalam tiga bulan, Garuda bisa masuk kategori satu?

Sebab sesungguhnya sejak pertengahan 2006 Garuda sudah kami minta melakukan perbaikan. Jadi pengamatannya bukan hanya satu-dua bulan. Uni Eropa juga mempertanyakan itu. Kami katakan kami sudah melakukan audit independen tahun lalu. Jadi perkembangan ini tidak ujug-ujug.

Ada yang mengatakan personel di Dinas Kelaikan Udara yang justru membuat standar kualitas penerbangan menurun.…

Kebijakan saya sewaktu masuk jadi direktur jenderal, saya tarik semua inspektur yang ditempatkan di beberapa maskapai, untuk menghindari konflik kepentingan. Ini yang penting. Mereka tidak ada hubungan lagi dengan maskapai seperti dulu.

Bagaimana dengan dana untuk meningkatkan keselamatan penerbangan?

Prinsipnya, penerbangan harus dibiayai dari dana yang dikumpulkan dari penerbangan. Bukan dari biaya lain, bukan dari tax. Itu juga yang dianjurkan Presiden ICAO bahwa penerbangan dibangun oleh orang penerbangan dengan biaya dari penerbangan. Karena penerbangan ini exclusive, high technology, capital intensive, dan high skill. Jangan dibebankan ke luar penerbangan.

Bagaimana penjelasannya?

Begini, misalnya kami menarik uang di maskapai. Uang itu harus konsisten dikembalikan ke penerbangan. Itu kan hak konsumen. Misalnya ada over flying fee, kami pungut, ya kembalikan. Ada biaya parkir, biaya-biaya lain, kembalikan ke penerbangan. Jangan dipakai untuk belanja yang lain, kecuali misalnya untuk perjalanan inspektur atau investasi keselamatan. Uang itu sebagai pendapatan negara bukan pajak, yang mestinya seluruhnya dikembalikan ke penerbangan.

Berapa besar investasi untuk keselamatan penerbangan?

Tahun ini Rp 100 miliar. Jumlah ini meningkat kira-kira 30 persen dari tahun lalu. Tapi tahun depan jadi Rp 900 miliar. Cukup signifikan. Tapi semua biaya itu baru dari pemerintah.

Bagaimana peluang Indonesia setelah pembekuan ini?

Kami sudah tidak berpikir lagi. Itu kan sikap Uni Eropa. Kami tahu akan hak dan kewajiban. Hubungan bilateral harus saling menghormati. Kami tidak akan minta-minta, tapi hanya mengingatkan. Itu saja.

Bagaimana prediksi Anda 10 tahun ke depan dengan pembenahan yang sekarang Anda lakukan?

Kami sudah on the right track. Jalankan saja strategy action plan, cetak biru kami. Insya Allah, baik dan didukung semua pihak.

Dr. Ir. Budhi Muliawan Suyitno IPM

Tempat/tgl lahir:

  • Gombong, Jawa Tengah, 18 Desember 1953

Pendidikan:

  • S3 (Material Fatigue, ENSMA-Poitiers Prancis)

Penghargaan:

  • Asean Engineer dari AFEO, 2005, Honorary Fellow of Asean Federation Engineering Organization oleh AFEO, 2005

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus