Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Lewat media sosial Instagram miliknya, Redy Eko Prasetyo menunjukkan kesibukan warga Kampung Cempluk, Dusun Sumberejo, Desa Kalisongo, Kecamatan Dau, Kabupaten Malang, Jawa Timur, selama sepekan terakhir. Hampir saban malam, sejumlah perempuan berlatih menari memanfaatkan halaman rumah warga yang tak begitu luas. Adapun warga pria bergotong-royong membangun gerbang, panggung, hingga lapak dagangan berbahan kayu dan bambu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Keriuhan tersebut merupakan persiapan warga menjelang Festival Kampung Cempluk yang digelar pada 18-24 September 2022. Redy adalah penggagas festival tahunan yang sudah berlangsung 12 kali itu. Menurut dia, persiapan festival terbaru ini terasa lebih semarak. Maklum, pesta rakyat di Kampung Cempluk ini absen selama dua tahun akibat pandemi Covid-19.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Bagi kami, warga Kampung Cempluk, festival ini seperti hari raya kebudayaan. Jadi, memang sangat dinantikan,” kata Redy dalam wawancara dengan Indra Wijaya dan Febbyenti Suci Rama Tania dari Koran Tempo, Rabu lalu.
Bagi Redy, menginisiasi Festival Kampung Cempluk merupakan bentuk kecintaan sekaligus tanggung jawab sosialnya terhadap tempat tinggalnya. Saking cintanya, Redy, yang juga berprofesi sebagai pemusik, sampai membuat alat musik etnik khusus bernama dawai Cempluk. Berbekal alat musik mirip gitar tapi dengan bentuk segi enam itu, Redy bersama Anggar, rekan duetnya di Duo Etnicholic, mendapat penghargaan dari Italia.
“Dawai Cempluk dibuat oleh warga kampung, seorang tukang kayu, berbekal kayu sisa,” kata pria berambut gondrong yang tinggal di Kampung Cepluk sejak 2008 itu. Selain soal kampung itu, festival, dan perjalanan bermusik, ia berkisah tentang aktivitas kesehariannya. Berikut ini petikan wawancara dengan Redy.
Pertunjukan musik Redy Eko Prasetyo (kiri) di Kampung Cempluk, Malang, Jawa Timur, 28 Juli 2022. Dokumentasi Redy Eko Prasetyo.
Bagaimana persiapan Festival Kampung Cempluk tahun ini?
Sudah berjalan persiapannya. Saya sudah tidak lagi mengurus detail persiapan karena sudah berjalan oleh anak-anak muda di karang taruna. Sejak awal, saya niatkan mengkaderisasi karang taruna untuk bisa mengurus festival. Sekarang panitianya sudah generasi keempat. Untuk festival pada tahun ke-12, fasenya bagaimana Kampung Cempluk bisa menjadi altar ilmu pengetahuan berbasis masyarakat.
Bagaimana membiayai festival ini?
Selama ini dana kolektif dari masyarakat. Setiap malam Jumat, masyarakat bikin tahlilan, dan di situ masyarakat iuran semacam tabungan. Jadi, biasanya Rp 5.000 untuk kas dan sisanya untuk acara festival. Sejak awal kami jalan tanpa sponsor. Itu tantangan sekaligus kelebihan kami. Sampai detik ini, pemerintah desa sampai kabupaten tidak pernah memberikan bantuan, tapi mereka mendapat nilai kredit dari acara kami. Tapi kami, masyarakat, legawa karena memang sejak awal kami niatkan kegiatan ini sebagai hari raya kampung kami.
Bagaimana cara menjaga komitmen masyarakat untuk bersedia mengiur setiap pekan demi festival kampung?
Kuncinya bagaimana menanamkan nilai bahwa festival ini ibarat hari raya budaya kampung. Belum pernah ada sebuah hari raya itu ditunda dan menjadi beban untuk warganya. Malah dinantikan masyarakatnya.
Bagaimana cerita awal Anda menginisiasi Festival Kampung Cempluk?
Bermula secara tidak sengaja. Saya tinggal di kampung ini tidak sengaja juga. Pada 2008, saya menemukan kontrakan yang harganya relatif murah. Saat itu saya dan istri masih pengantin baru. Saya asli Situbondo, daerah tapal kuda, dan istri saya dari Madiun. Kami mencari tempat tinggal yang terjangkau di Malang. Saya amati interaksi sosial di sini unik. Sebab, di sebelah kontrakan saya, rumah pemilik kontrakan tiap malam Minggu latihan dangdut sama anak-anak muda. Karena latar saya memang pemain musik, saya merasa cocok. Satu frekuensi dengan mereka. Ada celah buat saya masuk dan berinteraksi dengan mereka. Karena saya benar-benar pendatang, saat itu berpikir mencoba masuk ke masyarakat.
Lalu?
Saya sadar, kami pengantin muda yang tidak punya keluarga di Malang. Jadi, mau tak mau tetangga yang menjadi saudara kami. Saya pemegang prinsip, di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung. Kebetulan, saya sering meninggalkan istri sendirian di rumah karena pergi ke luar kota untuk kerja proyek kesenian dan sebagainya. Itu yang akhirnya tumbuh rasa untuk memberikan PSR, personal social responsibility, atau pertanggungjawaban sosial saya kepada kampung yang sudah menjaga istri saya.
Lalu mengapa kegiatan festival yang Anda pilih?
Karena warga dan anak muda di kampung ini sangat suka berkegiatan. Buktinya, saat perayaan kemerdekaan pada Agustus, warganya sangat bersemangat membuat acara perayaan. Lalu, pada Agustus 2009, warga Kampung Cempluk ingin bikin sesuatu yang berbeda. Saya menawarkan konsep unik. Sebab, wilayah ini sempit, hanya di gang, dan cuma ada beberapa halaman yang kecil. Saya coba hubungi rekan jaringan saya di kampus, aktivis budaya, dan lain-lain untuk mengisi acara.
Hasilnya?
Kebetulan, kawan-kawan seniman tertarik pada konsep kami. Mereka yang biasanya tampil di gedung atau lokasi konser, kini main di halaman orang di dalam kampung. Saya yakinkan mereka bahwa halaman rumah di kampung atau halaman desa itu panggung bagi masyarakat agraris. Buktinya, di Borobudur abad ke-7, dalam relief Karmawibhangga, itu kan bagaimana kelompok musik bermain di altar-altar. Itu yang menyemangati kami merespons ruangan kecil di kampung ini. Pada tahun-tahun pertama, namanya belum Kampung Cempluk Festival. Masih berjudul Sumberejo Tempo Dulu.
Bagaimana cara Anda mempopulerkan Festival Kampung Cempluk?
Pada 2008-2009 itu YouTube belum ramai, masih zamannya Blogspot. Ya sudah, saya bikinkan Blogspot dan situs web, yakni Kampungcempluk.com. Waktu itu, saya amankan dulu domainnya. Isinya nanti saja. Pelan-pelan saya tulis beberapa aktivitas di Kampung Cempluk ke situs web itu. Pikir saya, ya, sebagai data rekam jejak saja. Saya punya anggapan, semakin lokal, semakin global, dan semakin global, semakin lokal. Jadi, di mana pun kita berada, asalkan terakses media komunikasi, bisa dideteksi.
Selanjutnya?
Lalu, pada tahun kedua, kami putuskan mengubah waktu festival bukan pada Agustus lagi. Sebab, acara kami tertutup oleh perayaan kemerdekaan. Akhirnya, kami bikin pada September pekan kedua. Benar saja, mulai terdeteksi media berita. Media menganggap ini acara geliat masyarakat bertema budaya. Setelah itu, sampai tahun kelima, ketika media sudah banyak meliput.
Bagaimana Anda melibatkan masyarakat kampung untuk acara tersebut?
Pada tahun pertama, saya tidak melibatkan warga untuk tampil. Tapi saya minta mereka belajar menjadi tuan rumah yang bagus dulu. Bagaimana sih belajar berkomunikasi? Karena pada dasarnya mereka adalah masyarakat yang tertutup dan enggan terbuka pada pendatang. Setelah bersedia, mereka bisa menerapkan belajar menjadi tuan rumah yang baik itu sampai tahun kelima. Banyak tahapan yang harus diproses. Pertama, mentransfer hal-hal yang sifatnya teknis, seperti bagaimana cara mengorganisasi sebuah acara. Nah, saya menemani sampai hal teknis itu hingga tahun kelima. Setelah itu, mereka sudah bisa berjalan sendiri mengurus kegiatan festival. Saya hanya bantu meramaikan acara dengan memanfaatkan komunitas seni dan budaya yang saya miliki.
Mudahkah mengajari pemuda karang taruna mengatur acara festival?
Ya, gampang-gampang susah. Tapi kita pasti tahu mana saja anak muda yang berbakat dalam satu urusan. Nah, itu yang kami dampingi terus. Pembagian tugasnya bagaimana ketika seseorang ditunjuk sebagai ketua panitia, pihak mana saja yang harus dihubungi, cara komunikasi seperti apa. Lalu, kalau jadi sekretaris, bagaimana bikin undangan dan sebagainya. Sekarang sudah ada modulnya, formulanya, sudah ada kontak para penampil yang pernah tampil, dihubungi lagi. Itu diajarkan ke anak muda yang baru. Sekarang sudah bisa jalan sendiri, sudah jelas pembagian tugasnya.
Bagaimana cerita Anda mengajak warga untuk tampil dalam festival?
Pada tahun pertama sampai ketiga itu mereka melihat penampilan seniman dan komunitas budaya. Walhasil, mereka lebih melek soal kesenian dan budaya. Contohnya, masyarakat kampung kami jadi tahu musik jazz, teater kontemporer, tarian kreasi baru itu seperti apa. Dicekoki budaya dan seni membuat mereka punya keinginan untuk berekspresi. Makanya, pada hari pertama dan kedua itu jadi jatah panggungnya warga. Mulanya, saya ajari mereka untuk tampil. Tapi, karena sering melihat pementasan budaya, mereka mencari referensi sendiri dan berani tampil.
Bagaimana cara Anda mendatangkan musikus dan seniman dari luar negeri ke acara Kampung Cempluk?
Ada kawan-kawan seniman luar negeri yang memang punya jadwal kunjungan ke Indonesia. Jadi, dipaskan dengan jadwal mereka. Terlebih, agenda kami sudah pasti pada September pekan kedua. Jadi, mereka ingat. Sebab, para penampil luar negeri itu diatur jadwalnya dengan rinci selama datang ke Indonesia.
Berapa banyak seniman luar negeri yang pernah tampil di Cempluk?
Lebih dari 30 nama perorangan dan kelompok. Buat mereka, sangat menarik tampil di Kampung Cempluk. Ada kelompok musik dari Korea Selatan yang biasa tampil di panggung besar, kini main di panggung kampung kami, di depan kandang ayam. Ya, senang saja mereka, jadi pengalaman baru. Mereka paham bahwa kekayaan budaya Indonesia, ya, ada di akarnya, seperti di kampung. Sebab, mereka sejatinya juga ingin belajar kebudayaan asli Indonesia seperti apa.
Para penampil dibayar?
Para penampil dari dalam dan luar negeri ini tidak dibayar. Jadi, murni partisipatif. Kami hanya menyiapkan konsumsi makanan tradisional kampung. Kawan-kawan penampil dari luar kota kan memang biasanya menginap di rumah warga.
Apakah ada nilai tambah dari Festival Kampung Cempluk selain nilai budaya?
Tentu ada. Ramainya festival membuat animo orang luar kampung yang ingin buka lapak kuliner tinggi. Saat ini ada 500-600 lapak kuliner. Nah, lapak ini disewakan dan jadi subsidi silang untuk biaya produksi festival. Lalu berbagi dengan RT-RT. Misalnya, lapak kuliner di daerah ini dikelola oleh RT sekian. Nah, ini kan bisa nambah kas RT juga. Termasuk mengelola tempat parkir. Kan yang datang banyak. Jadi, ada dampak ekonomi. Ada penjual jajanan pasar dan gulali yang tiap malam, selama festival, omzetnya bisa sampai Rp 1,5 juta. Itu baru satu pedagang. Bisa dibayangkan perputaran uang di festival kami dalam waktu satu pekan. Meski begitu, kami dari masyarakat bergerak sejak awal bukan dari iming-iming ekonomi, melainkan semangat budaya.
Bagaimana gambaran Kampung Cempluk? Mengapa Anda anggap menarik?
Kampung Cempluk itu sejatinya cuma gang, satu RT saja. Jadi, di dusun ini, tiap gang punya sebutan. Ada Gang Leak, Gang Cempluk, Gang Bombai. Kalau Gang Leak itu yang rata-rata masyarakatnya kerjanya ke Bali jadi tukang. Karena itu, dipanggil Gang Leak. Lalu Gang Bombai itu karena masyarakatnya suka menonton film India. Mereka suka menonton film India di layar tancap atau misbar (gerimis bubar) di Kota Malang, berjalan kaki. Lalu ada Gang Cempluk, dikenal dan dijuluki masyarakat tidak bisa diatur, nakal, gelap banget. Cempluk itu kan artinya lampu minyak. Sebelum listrik masuk, kampung itu masih pakai cempluk, ya, lampu minyak tanah itu.
Karakter masyarakatnya?
Karakter masyarakat Dusun Sumberejo ini, meski bangunan rumahnya seperti kaum urban, interaksi sosial dan komunikasinya masih rural. Kekerabatannya masih sangat kuat. Misalnya, ada sebuah kultur atau kebiasaan di sini yang unik. Ada sekitar 700 keluarga di kampung ini yang terdiri atas 2 RW dan 14 RT sehingga sering terjadi cinta lokasi di kampung ini. Pernikahan antarwarga RT itu turun-temurun. Saya amati di Dusun Sumberejo ini ada lima keluarga besar. Artinya, mereka ini terdiri atas kakek-nenek yang sama. Jadi, secara tidak langsung terbangun sistem keamanan di interaksi Kampung Cempluk. Ada sisi positif. Kampung ini awalnya sangat tertutup dari orang luar karena kekuatan saling menjaga dari orang luar. Sebetulnya bukan tidak senang pada orang baru, tapi mereka belum terbiasa saja.
Bagaimana latar belakang mereka?
Kampung ini mulanya terdiri atas masyarakat yang bekerja sebagai petani dan penggarap kebun. Hingga 1990-an masuk pembeli lahan kebun untuk dijadikan hunian. Warga yang memiliki kebun menjual tanah. Di sini terjadi perubahan kehidupan. Masyarakat menjadi konsumtif setelah mendapat banyak uang dari menjual tanah. Tapi ada yang terlewatkan, yakni pendidikan. Tak punya lahan dan tidak terdidik membuat masyarakatnya beralih ke sektor jasa, ya kuli, tukang batu, tukang kayu, dan sebagainya.
Bagaimana Festival Kampung Cempluk pada masa pandemi lalu?
Perayaan pada 2020 dan 2021 digelar secara virtual karena memang tidak diperbolehkan pemerintah. Akhirnya, saya coba belajar teknologi penyiaran dan sebagainya. Tahapannya bagaimana membuat workshop ke warga, termasuk mengajari warga memakai aplikasi Zoom. Awalnya belepotan semua. Banyak warga belum paham memakai Zoom, termasuk bagaimana menonaktifkan suara. Saya ingat betul, kasih workshop di masjid khusus untuk menggunakan Zoom. Kami menggelar festival secara virtual dan kami pinjam kelas di sekolah dasar di daerah sekitar. Kami gunakan sebagai studio, lalu pakai green screen. Tetap kami undang kawan luar, tapi mereka mengirim konten pertunjukan. Ada yang pertunjukan langsung. Itu kami siarkan. Jadilah festival pada masa pandemi.
Meski susah, semua berjalan dengan baik, ya....
Agak susah, jelas, karena belum terbiasa semua. Masih jadi hal baru. Untuk membawakan acaranya saja beda. Maklum, yang jadi pembawa acara selama ini memang anak karang taruna. Jadi, mereka perlu belajar menyapa audiens secara virtual itu bagaimana. Itu seru. Sampai ke tahun ke-11 bertemu dengan kawan komunitas, kami dibantu mereka membangun panggung virtual tapi tiga dimensi. Kami bikin latar punden yang selama ini dianggap menyeramkan oleh masyarakat. Kami beri nama panggung punden itu “angan-angan”. Jadi, seperti melayang di langit. Menurut saya, kami banyak belajar dari pandemi sampai kami bikin media sendiri di YouTube dengan nama TV Kampung.
Bagaimana kondisi Kampung Cempluk saat awal masa pandemi lalu?
Anda pernah dengar tentang program Kampung Tangguh? Simulasi awal tentang desain sistem Kampung Tangguh itu pertama kali di Kampung Cempluk karena saya masuk tim konseptor. Ada tujuh ketangguhan di Kampung Tangguh, termasuk kesehatan, karena isunya memang menghadapi pandemi. Saya diminta mengurus tangguh budaya dan tangguh komunikasi. Karena saat itu lalu-lalang hoaks tentang pandemi sangat menakutkan. Berdasarkan diskusi dengan aparat, kami lalu bersepakat menyelamatkan skala kecil dulu, kampung. Sebab, kalau di tingkat kampung saja kacau, ya sudah, selesai Indonesia. Pikiran sederhana kami begitu saat itu.
Lalu?
Jadi, kami perlu stimulasi ini karena tidak semua kampung mau menerima kondisi pandemi. Misalnya, ada orang yang meninggal karena Covid-19 lalu dikuburkan di kampungnya sendiri saja tidak diterima. Ini masalah penyadaran masyarakat. Akhirnya, kami bikin simulasi. Kami beri judul “Festival Lockdown”. Sebab, bagi masyarakat di Kampung Cempluk, namanya festival itu pesta. Sedangkan lockdown itu kan menyeramkan. Jadi, dikombinasikan. Lalu kami berikan pelatihan penanganan Covid-19 selama tiga hari. Jangan ke mana-mana, nonton di kanal YouTube TV Kampung. Jadi, saat itu kami siarkan langsung bagaimana cara mengurus jenazah Covid-19, lalu mendistribusikan makanan dari balai RW ke warga yang positif itu bagaimana. Saat masa pandemi, yang paling dibutuhkan itu ketua RT dibanding lurah, camat, sampai gubernur. Ketua RT itu jalan pintas betul. Kami, warga kampung, berikhtiar simulasi ini bisa menjadi sumbangsih kami membangun sistem Kampung Tangguh di Indonesia. Yang penting, sistem ini sudah jadi dan bisa diterapkan di Indonesia.
Bagaimana mulanya Kampung Cempluk jadi lokasi percobaan Kampung Tangguh?
Secara geografis, kampung ini berada di lingkar kampus. Ada beberapa universitas di sekitar Kampung Cempluk. Khusus di Universitas Brawijaya, saya diajak berdiskusi dengan kawan dari (Fakultas) Pertanian dan Kedokteran bagaimana bikin modul Kampung Tangguh. Saya aktif berkegiatan di Universitas Brawijaya. Otomatis, kami butuh lokasi uji coba. Memilih kampung itu tak boleh sembarangan. Harus ada parameter agar tidak sensitif dan jadi masalah baru. Kami dikejar waktu. Akhirnya, kami memilih Kampung Cempluk.
Bagaimana fungsi kampung sebagai komunitas masyarakat?
Semua kampung umum di Indonesia itu, jika bisa dikemas seperti Cempluk, bisa jadi ruang yang strategis. Walhasil, kampung tidak lagi mendapat stigma nomor dua di masyarakat. Sebab, ketika muncul identitas kampung, dianggap kelas dua. Saya rasa kampung bisa jadi pilar utama bangsa ini karena kampung itu altar ilmu pengetahuan berbasis kemasyarakatan. Sebenarnya, ruang-ruang semacam ini jadi salah satu sumber penting informasi masyarakat.
Inisiator Festival Kampung Cempluk, Redy Eko Prasetyo (kanan). Dokumentasi Pribadi
Bagaimana cerita karier bermusik Anda hingga menciptakan alat musik dawai Cempluk?
Saya menemukan formulasi dawai Cempluk itu di festival pada tahun ke-8. Saya sebelumnya juga bikin Festival Dawai Nusantara di Malang pada 2005. Satu-satunya di Indonesia. Saya melihat ragam instrumen musik di Indonesia sangat luar biasa. Cuma yang dikenal masih itu-itu saja, seperti gamelan dan angklung. Tapi pesona instrumen dawai ini kurang moncer karena memang lebih sering dimainkan individu, bukan kelompok, seperti sasando, kecapi, dan sape, macam-macam. Terlebih, sejatinya alat musik dawai itu kan dianggap punya spiritual tinggi karena dianggap sebagai alat musiknya surga.
Soal dawai Cempluk?
Kembali ke dawai Cempluk, wilayah Malang kan barometer musik rock. Tapi Malang tidak punya instrumen khas yang berbeda, seperti Bali, Bandung, dan Banyuwangi. Tapi itu wajar. Sebab, menurut saya, Malang itu ruang perjumpaan multikultur. Jadi, terciptanya dawai Cempluk itu, ya, dari warga kampung bernama Cak Budi yang suka bikin macam-macam. Beliau memang tukang kayu. Saya beri referensi di YouTube bagaimana cara bikin gitar dan sebagainya. Saya bilang model alat musik dawainya terserah sampean mau dibuat seperti apa. Saya tidak intervensi sama sekali. Lalu, berbekal bahan kayu bekas, karena beliau memang tukang kayu. Pulang kerja itu dia bawa berbagai macam bahan kayu untuk dawai saya. Akhirnya, untuk meningkatkan kampung, ya sudah, saya beri nama dawai Cempluk untuk mengenalkan nama Kampung Cempluk. Ke mana-mana saya bawa dan mainkan.
Dawai Cempluk itu gitar atau alat musik petik jenis apa?
Lebih ke modifikasi sapek dan mandolin. Cara mainnya, ya ala saya, dan tidak terpaku pada cara bermain gitar.
Anda bermusik grup Duo Etnicholic. Bagaimana kelompok ini terbentuk?
Itu tercipta pada awal masa pandemi secara enggak sengaja. Dulu saya punya grup pada 2007. Saya buat formasi musik kontemporer digital. Namanya Atmoskestra Digital Etnik. Jadi, gamelan campur segala macam dengan vokalis perempuan bernama Anggar. Dialah yang jadi teman duet saya di Duo Etnicholic. Ketika sudah lama tidak berkomunikasi dengan Anggar, kebetulan dia sekarang sudah jadi guru di sebuah SMA, akhirnya ada tawaran dari teman yang punya kanal YouTube iRL Gigs. Ini kanal khusus musik-musik non-mainstream dan minimalis. Duo dan harus karya sendiri. Beruntung, Anggar mau menerima tawaran saya. Karya pertama kami berjudul Hijau Lestari dan Upnormal.
Bagaimana proses menggarap dua komposisi itu?
Dua komposisi itu kami bikin dan berharap bisa menjadi momentum memperkenalkan dawai Cempluk. Saya mainkan dawai Cempluk. Akhirnya, rekaman dan masuk kanal iRL Gigs itu.
Lalu ikut festival di Italia?
Menjelang dua pekan, Anggar mendapat informasi soal Sopravista International Festivals secara daring di Italia. Kami punya stok karya di iRL Gigs dan ingin kami ikutkan ke Italia. Kami izin ke kanal iRL Gigs dan dibolehkan. Langsung saja saya kirim karya itu ke Italia untuk ikut kategori mix duo, vokal, dan instrumen. Ternyata kami menang juara satu. Artinya, ini menambah kepercayaan diri saya dan Anggar tentang instrumen dawai Cempluk. Sebab, di telinga luar negeri saja diterima dan mencuri perhatian.
Selanjutnya?
Setelah itu, pada 2022, sebelum Lebaran lalu, saya coba bikin grup dengan nama tetap Duo Etnicholic, tapi isinya lima orang. Anggota baru sudah ada gitar, bas, dan drum. Tetap dengan dawai Cempluk. Sekarang kami sudah mengeluarkan album dengan 11 lagu. Ada album fisik, juga di Spotify dan Amazon.
Sebenarnya apa aliran musik Duo Etnicholic?
Saya menyebutnya bukan etnik. Cuma berangkat dari eksplorasi nada-nada etnik. Tapi saya menyebutnya sebagai musik perjumpaan. Artinya, siapa saja yang ingin mengapresiasi, di ruang mana pun, bisa berbuah kebaikan. Saya tidak ingin masuk ke pembahasan ini bergenre apa dan sebagainya. Saya ingin keluar dari kotak itu. Karena rata-rata kawan musikus tidak bisa keluar dari kotak itu. Padahal intinya bagaimana karya bisa tervibrasi dan memantik aktivitas masyarakat dan bermanfaat.
Apa proyek selanjutnya Duo Etnicholic?
Untuk Duo Etnicholic, kami punya proyek tur kampung. Karena tajuk albumnya kan Tandur Kamulyan atau menanam kebaikan. Ya, tetap saja semangatnya kami mengajak seniman, terutama musik. Kalau mau tur, ya jelas, yang disapa adalah masyarakat di akar. Sudah jalan selama satu bulan pada Juli lalu. Ada di 6-7 kampung di Malang. Orientasi kami ingin mengajak masyarakat menanam kebaikan. Itu saja yang sebetulnya dipegang sebagai energi.
Profil
Nama: Redy Eko Prasetyo
Lahir: 21 September 1979
Pendidikan:
- D-3 English for Business (1993)
- Sarjana Psikologi Universitas Wisnuwardhana (2013-2018)
- S-2 Komunikasi Universitas Brawijaya (2019-2022)
- Sedang menempuh S-3 Sosiologi Universitas Brawijaya
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo