Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Beralih dari Direktur Utama PT Kereta Api Indonesia (KAI) ke kursi Menteri Perhubungan Kabinet Kerja, Ignasius Jonan melukiskan tugas barunya melalui analogi cara pandang: dari sudut kereta api saja, dia kini harus membubung untuk menemukan helicopter view atas wilayah tanggung jawab barunya selama lima tahun ke depan. "Setiap wilayah punya problem sendiri, tapi keempat matra itu, darat, laut, udara, kereta api, diperlakukan setara," ujarnya.
Walhasil, seusai wawancara ini pada pekan lalu, Jonan menolak difoto bersama ikon perhubungan mana pun. Bahkan tidak dengan lambang-lambang kebaharian—wilayah Tanah Air yang tengah digadang-gadang Presiden Joko Widodo sebagai sumber baru kemakmuran Indonesia di masa depan. "Anda potret biasa sajalah," kata Jonan seraya bersandar di meja kerjanya yang melompong. Dia menambahkan, "Saya bekerja di ruang makan karena meja ini terlalu besar."
Jonan kemudian memperlihatkan ruang lebih kecil di sebelah kanan ruang kerja utamanya. Di situ, bertumpuk majalah, buku, kertas-kertas catatan, dan dua agenda yang ditentengnya sendiri kian kemari. Yang satu berisi jadwal yang dicatatnya sendiri dan satu lagi semacam "journal of the day", yang menyarikan urgensi terpenting pada hari itu.
Enam tahun memimpin PT Kereta Api Indonesia, performa Ignasius Jonan masuk radar perhatian Presiden Jokowi. Namanya santer beredar sebagai calon Menteri Perhubungan—berpekan-pekan sebelum Jokowi mengumumkan susunan kabinetnya pada 26 Oktober 2014. "Tadinya yang diurusi kereta api. Sekarang semua diurusi, darat, laut, udara," ujar Jokowi tatkala memperkenalkan Menteri Perhubungannya kepada publik.
Menyebut tugas barunya sebagai alih fungsi—dan bukan lompatan—Jonan memutuskan memulai gugus-gugus kerjanya dengan cara "speed up": muluk-muluklah. Rencana membangun 25 pelabuhan baru boleh-boleh saja, tapi makan waktu. Yang di depan mata yang perlu disegerakan." Antara lain, mempermudah akses penumpang dengan kapal-kapal di pelabuhan serta membuka opsi pengiriman barang via kapal-kapal penumpang sejauh tonase memungkinkan dan keselamatannya terjamin.
Rabu siang pekan lalu, Jonan menerima wartawan Tempo Hermien Y. Kleden, Agustina Widiarsi, Kartika Candra, dan Retno Sulistyowati untuk wawancara khusus selama hampir dua jam di kantornya di Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat. Berbicara blakblakan, Jonan meminta beberapa off the record di sana-sini.
Apa strategi Anda menggenjot kinerja Kementerian Perhubungan. Ada visi khusus?
Prioritas kementerian ini mendukung semua program pemerintah sesuai dengan arahan Presiden. Jadi tidak ada visi dan misi menteri, yang ada visi dan misi Presiden. Menteri melaksanakan tugas operasional di bidang masing-masing.
Bagaimana menerjemahkan visi dan misi Presiden di kementerian ini?
Pertama, semua perizinan di Kementerian Perhubungan tak boleh dipersulit; pelayanan perizinan harus proaktif sehingga tak menghambat pembangunan infrastruktur di bidang perhubungan. Itu long run dan akan diperbaiki terus. Kedua, investasi-investasi harus diarahkan kepada pemerataan pembangunan. Ketiga, harus ada efisiensi organisasi.
Maksudnya?
Kalau pengertian saya, ya, jangan ada yang nganggurlah.
Target Anda apa, jika boleh membandingkannya dengan di PT Kereta Api Indonesia?
Mudah-mudahan di sini akan jauh lebih baik.
Tolong beri contoh ukuran lebih baik?
Ukurannya adalah pelayanan, bukan jumlah hari. Misalnya semua peraturan menyatakan paling lambat 30 hari sejak dokumen lengkap perizinan beres. Tapi, kalau dokumennya tak lengkap, mau bagaimana? Saya minta teman-teman proaktif, panggil dan jelaskan apa yang kurang lengkap, cara melengkapi, dan sebagainya. Ini yang akan saya jalankan. Kalau harus membedah semua peraturan, wah kacau! Enam bulan bisa enggak kerja, cuma ngurus izin.
Jadi speed up dulu?
Speed up, proaktif, tak boleh mempersulit, serta mengubah kultur menjadi kultur melayani. Saya akan berusaha keras dalam hal mengubah kultur ini. Tentu harus memulainya dengan contoh.
Seperti apa, misalnya?
Satu contoh kecil saja: saya enggak mau diurusin. Saya berangkat dan pulang kerja naik mobil dan sopir saya sendiri, tanpa ajudan, tanpa mobil ngeong-ngeong. Ajudan hanya ada kalau diperlukan.
Bagaimana Anda mendefinisikan program tol laut yang digagas Presiden Jokowi?
Tol laut bukanlah membikin jalan tol di atas laut. Distribusi kesejahteraan—yang diterjemahkan menjadi tol laut—bertujuan agar harga barang di ujung timur dan di ujung barat Indonesia tak terlalu beda. Salah satu penyebab mahalnya harga barang adalah kekurangan transportasi. Adalah kewajiban Kementerian Perhubungan untuk memenuhi sarana transportasi.
Stakeholder mana saja yang akan Anda libatkan?
Semua. Darat, laut, udara, kereta api. Kita sudah punya reguler liner, reguler voyages untuk angkutan barang dan penumpang dari Sabang sampai Merauke. Jadwalnya sudah ada. Pelabuhan-pelabuhan harus diperbaiki dan harus bicara dengan stakeholder. Semua big player saya undang. Mau minta cepat, mau mengeluh, mau protes, silakan. Kami membuka diri apa yang bisa dilakukan.
Bisa lebih detail?
Misalnya angkutan penumpang kapal. Saya lihat terminal angkutan penumpang di Tanjung Priok bagus. Cuma enggak ada garbarata. Saya bilang ke Pak Lino ( R.J. Lino, Direktur Utama Indonesia Port Corporation), ini punya siapa? "Punya saya, Pak," katanya. Saya bilang lagi, "Oke, you bikin garbarata." Dia bilang tahun depan akan dibikin. Tadi saya telepon Direktur Utama PT Pelni Sulistyo Wimbo. Kebetulan dia dulu Direktur Komersial PT Kereta Api. Saya bilang sediakan shuttle bus dari kantor Pelni yang besar di Kemayoran sampai ke terminal, supaya orang suka naik kapal ke timur atau ke arah barat. Jadi orang mau naik bus atau busway bisa turun di kantor Pelni, lalu naik shuttle bus ke terminal.
Ini untuk kenyamanan?
Dan keamanan. Terminal penumpang itu di tengahnya Tanjung Priok. Coba Anda magrib-magrib ke sana, suasananya tidak terlalu friendly untuk penumpang. Yang kecil-kecil ini harus cepat diperbaiki. Saya analogikan waktu mengoperasikan kereta api, apa pun yang dibuat Kementerian Perhubungan di bidang kereta api, mau ditambah double track-lah, mau ditambah apa pun, kalau operatornya tak menyambut baik, enggak ada gunanya.
Yang harus diperbarui untuk program tol laut apa saja? Kementerian Perhubungan kan sudah punya aneka jalur pelayanan laut selama ini.
Begini. Angkutan barang tak pernah tidak berdasarkan charter. Jarang sekali. Kalau kereta api, untuk parsel kecil-kecil, setiap perjalanan ada satu gerbong barang. Itu kan kosong enggak kosong saya wajibkan dulu harus jalan. Nah, sekarang saya mau coba semua kapal penumpang, kalau peraturannya membolehkan dan aman, bisa diisi angkutan barang. Jadi setiap jalur ada angkutan barang. Kan, efektif.
Aspek keamanannya? Kan, ini satu problem serius dalam wilayah perhubungan Indonesia?
Saya kira oke secara safety—tentu tergantung kapasitas tonasenya. Itu yang mesti kita atur. Jadi saya enggak muluk-muluklah. Bikin 25 pelabuhan laut segala macam itu betul, tapi makan waktu. Yang bisa cepat itu apa? Ya, itu yang dikerjakan dan dibuatkan aturannya. Misalnya angkutan barang di kapal penumpang.
Kapasitas penumpang harus dikurangi?
Kapal Pelni tak selalu penuh, kecuali pada hari-hari besar Idul Fitri, Natal, dan tahun baru. Lagi pula tempat penumpang dan dek barang kan berbeda. Besok saya panggil Pelni untuk bertanya tentang kesanggupannya.
Mau tambah kapal?
Itu makan waktu. Yang bisa cepat adalah tambah frekuensi. Belum lagi masalah docking-nya bagaimana, dock yard kita kurang. Pasti akan jadi problem. Ini problemnya panjang. Maka saya undang juga Menteri Perindustrian dan Menteri Perdagangan untuk membahasnya.
Ada rencana merampingkan organisasi kerja?
Fungsinya akan dioptimalkan supaya efektif. Organisasi ini sudah bekerja sebisa dan semaksimal mungkin. Hanya sekarang diarahkan baiknya gimana: dari tata cara, attitude, sampai kultur pelayanan. Supaya lebih baik. Itu saja dulu.
Peremajaan organisasi yang pernah Anda buat di PT KAI kelak diterapkan juga di sini?
Saya di KAI itu lima tahun delapan bulan. Di sini saya belum dua minggu. Peremajaan itu pengertian amat berbahaya. Yang akan saya lakukan adalah promosi, mutasi, dan lain-lain sesuai dengan ketentuan yang berlaku: tak boleh ada klik-klikan, SARA, masalah uang, mau naik pangkat nyogok, enggak boleh. Basisnya hanya satu: performance-based. Titik!
Kami dengar tak semua anak buah nyaman terhadap model kepemimpinan ini. Komentar Anda?
Pemimpin itu, istilahnya, kalau mau mendapat ikan, air enggak boleh keruh. Kalau mendapat ikan tapi air keruh, itu anak kecil namanya. Diceburin, lalu ditangkepin ikannya. Tapi Anda tak boleh menggali how do I do it. Itu tidak etis. I will defend my people, but above all else, I defend the good, and the public that has been paying tax and our salary.
Tentang sengketa pengelolaan Bandar Udara Halim Perdanakusuma antara Angkasa Pura II dan Lion Air. Bagaimana sikap Kementerian Perhubungan?
Kementerian Perhubungan mengurusi regulasi, tidak ngurusi ini haknya siapa. Itu urusan hukum. Semua aturan di sini intinya perizinan, bukan pembangunan. Kami tak mau melibatkan diri ke pertikaian bisnis. Wong dia untung juga kita enggak dapat, kenapa kalau rugi protes ke saya? Urusan saya adalah safety: menentukan kalau mau mengelola ini, standarnya seperti ini. Airport punya standar dan itu harus dipenuhi.
Bukankah Bandara Halim tak dirancang untuk pendaratan pesawat-pesawat besar?
Prinsipnya, kami tak akan memberikan sesuatu yang membahayakan keselamatan penerbangan. Banyak pihak mengira kami yang memutuskan. Enggak. Kami tak akan melibatkan diri. Sudah saya bilang ke Direktorat Jenderal Perhubungan Udara, tidak boleh.
Maksud Anda, siapa pun yang tak memenuhi standar keselamatan penerbangan tak akan diberi izin?
Oh, pasti. Semua akan saya minta di-review.
Apakah Direktorat Jenderal Perkeretaapian—yang kerap Anda kritik semasa memimpin Kereta Api Indonesia—akan dipertahankan atau dibubarkan?
Saya kira Direktorat Jenderal Perkeretaapian perlu karena akan ada kereta-kereta khusus yang tak diurus oleh KAI. Misalnya kereta tambang. Ini ada di Undang-Undang Perkeretaapian. Hanya kita dudukkan pada proporsi yang betul. Kementerian Perhubungan tak boleh merasa berkuasa dan berperanlah sebagai regulator yang mengikuti undang-undang.
Dulu, sewaktu di KAI, Anda banyak dikritik karena mengusir pedagang kaki lima (PKL) dari stasiun—dan dianggap tak berpihak pada rakyat kecil.
Fungsi utama stasiun adalah menaikturunkan penumpang. Kalau ada tempat untuk yang lain, silakan, tapi sesuai dengan rencana peruntukan. Sebab, stasiun punya block plan. Sekarang saya tanya, kenapa kok PKL enggak boleh jualan di dalam gedung BRI walaupun tulisannya Bank Rakyat Indonesia? Ini kan sama-sama aset BUMN, lo. Kenapa stasiun harus boleh?
Komentar Anda tentang direktur baru PT KAI? Beratkah dia menggantikan pendahulunya?
Tidak! Sembilan dari direksi saya mampu menggantikan saya. Semuanya mampu—tergantung zaman butuhnya apa. Di Kereta Api, tidak mungkin semua perbaikan saya lakukan sendiri. Itu organisasi dan saya cuma mewakili 27 ribu rekan yang bekerja di Kereta Api. Di sini juga begitu. Saya cuma mandor di sini.
Seperti apa perpisahan Anda dengan Kereta Api Indonesia?
Nangis saya. Sewaktu pisah di Bandung, saya sampai enggak kuasa ngomong pamit. Saya cuma mohon maaf, terima kasih atas kerja sama selama ini. Itu saja. Itu sama ketika saya membayangkan suatu hari nanti anak saya hidup terpisah dari saya karena menikah atau karena hal lain. Harus rela.
Anda diberi tahu jadi menteri saat pengarahan Presiden sehari sebelum pengumuman kabinet?
Ada pengarahan saja. Lalu kami disuruh datang ambil baju putih. Baju pembagian itu kebesaran di saya. Jadi saya beli lagi yang pas ukuran. Hanya itu.
Lo, terus kapan persisnya Anda tahu jadi Menteri Perhubungan?
Tahunya, ya, sewaktu dipanggil dan disuruh baris ke halaman rumput itu.
Nama: Tempat dan tanggal lahir: Pendidikan:
Karier:
Ignasius Jonan
Singapura, 21 Juni 1963
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo