Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wawancara

Farida Haryani, Ingatan Kelam Rumoh Geudong

Farida Haryani getol membuka mata Indonesia tentang pelanggaran HAM di Aceh. Hingga kini masih mendampingi para korban. 

2 Juli 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Farida Haryani berusaha membuka tabir pelanggaran HAM di Aceh dengan membawa korban ke Jakarta.

  • Selanjutnya, tim pencari fakta dari DPR dan Komnas HAM turun ke Aceh, lalu pemerintah mencabut DOM.

  • Ia menilai penyelesaian kasus HAM di Aceh secara non-yudisial keliru.

Keputusan pemerintah sudah bulat untuk menghancurkan sisa-sisa bangunan Rumoh Geudong di Kabupaten Pidie, Aceh. Penghancuran rumah yang pernah menjadi pos operasi militer ketika konflik Aceh itu demi peluncuran program Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu yang akan dihadiri Presiden Joko Widodo.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Namun, bagi Farida Haryani, penghancuran sisa bangunan Rumoh Geudong ibarat cara kilat pemerintah cuci tangan atas upaya penyelesaian perkara pelanggaran HAM di Aceh. "Terlebih diselesaikan hanya dengan non-yudisial, tidak ada komitmen pemerintah untuk tuntaskan kasus ini secara yudisial," kata Farida kepada Indra Wijaya dari Tempo yang menghubunginya, Kamis, 29 Juni lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bagi Farida, Rumoh Geudong hanya salah satu fakta pelanggaran HAM di Tanah Aceh. Sebab, pelanggaran HAM zaman penetapan daerah operasi militer di Bumi Serambi Mekah terjadi di berbagai lokasi dengan jumlah korban yang tak terhitung lagi.

Farida bercerita tentang ingatannya di masa sulit saat dirinya berupaya membuka mata Indonesia ihwal kekejian yang terjadi di Rumoh Geudong. Ia sempat membawa perkara itu ke Jakarta sampai perwakilan DPR dan Komnas HAM turun gunung pada 1998. Berikut ini wawancara Tempo dengan Farida Haryani.

Bagaimana ingatan Anda terhadap kasus penyiksaan Rumoh Geudong pada masa konflik Aceh? 
Kami sudah bekerja sejak 1989 sampai 1998. Saya bawa dua korban bersama YADESA (sebuah NGO di Aceh) ke Jakarta. Saat itu reformasi masih berapi-api. Kami berupaya tunjukkan kepada negara bahwa ada korban pelanggaran HAM di Aceh. Kala itu Munir Said Thalib mengundang kami ke Jakarta. Dia masih di YLBHI saat itu. Kami sampai ke markas ABRI dan DPR, tak lupa ke Komnas HAM.

Kami ke Komnas HAM, tapi mereka menolak karena kami bawa kasus 1990, sementara Komnas lahir pada 1993. Intinya, kami bawa kasus yang terjadi sebelum mereka lahir. Saat itu kami bersama mahasiswa berdemonstrasi sampai lempar-lemparan kursi demi diterima. Kedua korban kami sampai mengalami trauma. Mereka minta pulang. Mereka sudah mengalami trauma di Aceh dan di Jakarta trauma lagi. Saya dibantu mahasiswa dan perwakilan LBH Apik mengurus kedua korban itu agar mereka baik-baik saja karena mereka berkali-kali pingsan.

Lalu apa yang terjadi? 
Saya tidak ingat lagi berapa lama saat kami pulang dari Jakarta itu sampai tim pencari fakta dari DPR datang ke Aceh. Saat itu ada Pak Hari Sabarno dari Fraksi ABRI ke Aceh. Lalu dari Fraksi PPP, ada Ghazali Abbas dan Muchtar Aziz karena merekalah yang terima saya saat di DPR.

Saat itu saya bekerja di YADESA mendapat perintah dari atasan untuk pulang ke Sigli guna mengurus beberapa janda korban HAM agar dipertemukan dengan perwakilan DPR. Sebab, sebelumnya perwakilan DPR sempat mengancam. Kalau tidak bisa buktikan klaim pelanggaran HAM, kami dianggap penipu negara, bisa dipidana. Akhirnya saya berangkat tanpa difasilitasi siapa pun, termasuk tempat saya bekerja. 

Lalu?
Saya bergegas pulang ke rumah meminjam uang orang tua saya. Bapak saya sampai kerap bicara bahwa saya ini lucu. Bilangnya sudah bekerja, tapi setiap kali ada acara pasti pinjam uang kepada orang tua. Saya selalu beralasan untuk bayar pinjaman itu. Saat itu saya dipinjami Rp 500 ribu. Ini bukti orang tua dan keluarga saya sangat mendukung kegiatan saya demi rakyat Aceh. Selanjutnya, saya pergi ke Pidie sekitar satu jam dari rumah orang tua saya berbekal duit Rp 500 ribu itu. Saya sudah punya kumpulan korban. Mereka bukan korban Rumoh Geudong karena banyak pelanggaran HAM di sana. Bayangkan, di Aceh ada 10 pos Sattis (Satuan Taktis dan Strategis). 

Negara seharusnya pikirkan itu. Sebab, negara hanya memikirkan korban pelanggaran HAM di Rumoh Geudong. Sedangkan yang lain bagaimana? Ini tidak adil namanya. Apakah ini bukti negara hadir? Pos Sattis lain tidak jauh berbeda dengan kejadian di Rumoh Geudong. Apalagi pasukan Kopassus itu berkeliling dari pos Sattis satu ke yang lain. Jadi, ada korban yang dari Ulee Glee juga dibawa ke Rumoh Geudong, begitu sebaliknya. Di semua pos itu, tahanan dibawa-bawa dan diajak ikut cari GAM.

Kegiatan Paska Aceh melibatkan kelompok Peupuleh Hatee yang pesertanya merupakan penyintas konflik langsung dan tidak langsung,di Tampui, Kecamatan Trienggadeng, Kabupaten Pidie Jaya, Aceh. Dok. Paska Aceh

Kini Rumoh Geudong sudah ditutup dan penyelesaian dilakukan secara non-yudisial. Bagaimana tanggapan Anda?
Pemerintah tidak adil dan membohongi rakyat Aceh lagi. Penyelesaian pelanggaran HAM secara non-yudisial itu salah. Ini sebuah kesalahan sejarah karena menunggu yudisial lama, makanya pakai non-yudisial. Padahal presiden bisa menentukan penyelesaian yudisial. Dia bisa perintahkan itu. 

Bagaimana Anda menemani anggota DPR sidak ke Rumoh Geudong kala itu? 
Saat itu Pak Hari Sabarno meminta kami kumpulkan janda-janda korban itu di gedung DPRD Kabupaten Pidie. 

Bagaimana suasananya?
Mereka (tim dari DPR) minta lima orang untuk memberikan testimoni di DPRD Pidie. Salah satu yang saya pilih adalah perempuan penyandang disabilitas yang tak punya jari-jari kaki yang diperkosa anggota tentara. Saya datangkan dia dengan menggendong anaknya yang masih bayi. Lalu ada perempuan penyandang disabilitas netra yang diperkosa. Ada yang ditembak kakinya dan ada yang disiksa di Rumoh Geudong.

Mereka memberikan testimoni di depan anggota DPR itu. Sebetulnya hampir 700 janda yang berkumpul di depan gedung, tapi tidak diizinkan masuk semuanya dengan alasan gedung terlalu kecil. Lalu saya dan kawan-kawan siapkan siasat untuk menerobos ke dalam gedung. Kami merangsek masuk sampai orang yang di depan pintu itu terjatuh. Saya rasa itu ada bantuan Tuhan sehingga kami bisa masuk semua ke gedung DPRD. Setelah mendengar testimoni kelima orang itu, saya ingat Pak Hari Sabarno tertunduk berlinang air mata. 

Lalu beliau meminta diantar ke kampung dua ibu korban pelanggaran HAM itu untuk membuktikan bahwa kami tidak berbohong. Lokasi desa itu dinamai Bukit Janda. Jadi, saya siapkan itu semua sendiri. Karena lokasinya jauh, saya sewa empat mobil pikap untuk mengantarkan perempuan-perempuan korban yang juga ingin pergi ke Bukit Janda. Saat itu masyarakat sangat kompak.

Lantas, apa yang terjadi?
Namun, setelah pertemuan di DPRD itu, saya ajak Pak Hari Sabarno melihat kondisi pos Sattis. Saya bilang, "Ayolah, Pak, kita lihat kondisi anak buah Bapak." Beliau marah. Tangan saya dipegang dan berkata, "Apa lagi mau saya?" Keluarlah jiwa militernya Pak Hari Sabarno. Saya terus berusaha membujuk beliau untuk datang ke Rumoh Geudong. Sebelumnya, saya punya catatan korban-korban yang disiksa itu untuk diberikan kepada beliau. Lalu beliau jawab, "Ya sudah, ayo ke Rumoh Geudong." Tapi beliau tetap minta ke Bukit Janda.

Begitu saya sampai di Rumoh Geudong, ternyata informasi ini bocor. Korban-korban luka itu sudah tidak ada. Ada beberapa yang terluka kakinya. Jadi, korban-korban Rumoh Geudong itu dikirim ke rumah keluarganya. Ada yang dikirim ke Medan, Banda Aceh, dan sebagainya. Janjinya, mereka di sana akan diobati oleh tentara, tapi pada kenyataannya tidak. Saya mencatat ada 12 korban seperti itu. Ada satu orang yang saya jemput di Banda Aceh, tapi sekarang sudah meninggal.

Lalu komandan Kopassus itu menyapa Pak Hari Sabarno dan beralasan belum lama bertugas di Rumoh Geudong. Mereka menunjukkan surat tugasnya. Hari saat itu tanya tentang banyaknya korban penyiksaan di Rumoh Geudong. Para anggota Kopassus itu menjawab cuma dengar desas-desus personel yang sebelumnya bertugas di Rumoh Geudong. Intinya, mereka mengaku tidak tahu. Lalu saya berkeliling ke Rumoh Geudong.

Lalu bagaimana dengan temuan sisa kekejaman di Rumoh Geudong?
Saya ajak Pak Hari Sabarno naik ke atas Rumoh Geudong. Awalnya, anggota Kopassus tidak mengizinkan. Tapi apa daya kalau Pak Hari Sabarno yang meminta. Saya masih ingat muka pasukan itu seperti mau mengisap kepala saya. Ya sudah, naiklah kami ke dalam Rumoh Geudong.

Kami temukan balok kayu yang masih berlumur darah. Lalu ada tempat setrum, bentuknya bulat dengan angka 1 sampai 10. Memang banyak korban yang saya dampingi bercerita sering disetrum. Jadi, ada beberapa bagian tubuh yang disetrum, dari telinga sampai kemaluan. Tapi katanya disetrum bagian hidung itu yang paling sakit sampai terkapar.

Setelah itu, Pak Hari Sabarno mengajak saya turun lagi. Dia beralasan sudah tahu kondisinya. Lalu kami diajak berkeliling melihat pepohonan di sekitar Rumoh Geudong. Ada beberapa pohon dan kebetulan saya dapat cerita bahwa ada korban yang ditubrukkan kepalanya ke pohon kelapa sampai pecah. Ada noda darah yang sudah hitam, tapi para pasukan tersebut beralasan bahwa itu cuma cat.

Setelah itu, baru ke Bukit Janda?
Kami pergi ke Bukit Janda. Para anggota DPR itu bertemu lagi dengan kedua ibu yang sebelumnya kami bawa ke Jakarta. Rumah kedua ibu itu reyot. Dari situ, mereka (anggota DPR) tidak lagi menganggap kami pembohong.

Lalu bagaimana tim dari Komnas HAM turun ke Rumoh Geudong saat itu? 
Setelah 15 hari dari kunjungan Pak Hari Sabarno dan rombongan, turunlah Pak Baharuddin Lopa dari Komnas HAM. Saya yang mendampingi beliau. Ada pula perwakilan dari Komnas Perempuan dan tim forensik. Setelah itu, saya berupaya mengajak perwakilan Komnas HAM itu datang ke Rumoh Geudong.

Masalahnya, saat itu sudah tidak ada anggota Kopassus di situ. Kunci rumah pun sudah dikembalikan kepada ahli warisnya. Kebetulan saya kenal, lalu saya bujuk agar diizinkan masuk ke Rumoh Geudong. Akhirnya diizinkan dan ada ribuan orang datang untuk melihat ke Rumoh Geudong. Saat itu masyarakat tahunya Pak Baharuddin Lopa akan menggali kubur di Rumoh Geudong, makanya ramai sekali.

Saya ajak Pak Baharuddin Lopa melihat ke dalam Rumoh Geudong karena ada ruang disekat kecil-kecil dan diberi nama hewan, seperti anjing dan babi. Jadi, saat tentara itu panggil nama hewan, misalnya babi, mereka yang di dalam ruangan itu harus bersuara seperti hewan itu. Ruangan itu berukuran kecil sekitar 1 x 1 meter dan diisi lebih dari satu orang. Jadi, mereka tidak bisa tidur. Duduk saja susah. 

Ada penggalian kuburan kala itu?
Ada tim forensik yang menggali kuburan. Saya dapat cerita dari seorang tengku yang disekap selama sebulan. Dia sebulan tidak tidur. Dia bercerita tentang siapa saja yang disekap dan bagaimana nasibnya. Jadi, polanya, mereka yang disiksa sampai meninggal itu dikubur di sekitar Rumoh Geudong.

Tandanya, jika ada pohon pepaya, mayatnya masih dikuburkan di situ. Kalau pohon pepayanya sudah tercabut, berarti mayatnya sudah dipindahkan. Nah, di bekas cabutan batang pepaya itu, tim forensik menemukan kelingking orang. Tengku itu tahu betul siapa saja yang dikuburkan di situ.

Lalu di mana lagi lokasi penggalian jenazah lainnya?
Lalu kami menggali kuburan di Tringgadeng, Pidie Jaya. Kami menemukan beberapa mayat dan bisa dikenali lewat pakaian, dompet, sampai KTP. Ternyata salah satu mayat itu adalah suaminya ibu-ibu yang saya ajak ke Jakarta bertamu ke DPR. Di lokasi lain, kami sempat mengalami kendala menemukan lokasi kuburan massal korban kekerasan tentara. Tapi di tengah perjalanan, kami dibantu bapak-bapak tua berusia 80-an tahun. Dia menuntun kami melewati hamparan sawah luas. Setelah beberapa lama, kakek ini bercerita bahwa ada lima lubang berukuran 4 x 4 meter seukuran kamar dibuat beberapa hari lalu. Anak si kakek ini yang diminta membuat lubang-lubang itu. Dari lima lubang, empat lubang sudah ditimbun. Yang satu sisanya masih terbuka.

Tiba-tiba anak si kakek ini datang dan memarahi si kakek karena dianggap sembarangan bicara. Ini benar-benar bantuan Tuhan. Setelah itu, masyarakat datang untuk melihat. Tim forensik dari Komnas HAM sempat bingung akan membongkar dengan apa. Lalu saya perintahkan warga untuk pulang dan mengambil alat gali tanah, entah cangkul, sekop, dan sebagainya.

Ya sudah, kami mulai gali dan akhirnya menemukan tengkorak tak sampai 1 meter dalamnya. Karena tanpa persiapan, saya buka jilbab untuk alas meletakkan tengkorak tersebut. Lalu kami temukan tulang tangan entah milik siapa. Kami temukan 10 tulang belulang. Kami perlakuan layaknya manusia. Lalu kami temukan mayat pria masih utuh dengan rambut ikal dan bercelana jins. Wajahnya masih tersenyum saat itu. Mayoritas mayat ditemukan masih memakai celana dalam merah merek Hings. Setelah terkumpul 10 tulang, tim forensik Komnas HAM bilang sudah cukup. 

Bagaimana respons Jakarta setelah itu?
Sekitar 15 hari kemudian, datanglah tim pencabutan status DOM (Panglima TNI Wiranto mencabut status DOM pada 7 Agustus 1998). Saya bersama Munir Said Thalib kemudian mendapat penghargaan HAM. Penghargaan ini membuat saya semakin tergugah untuk melindungi korban kekerasan HAM.

Bagaimana ceritanya pembuatan tugu memorisasi Rumoh Geudong?
Kami buat tugu itu berdarah-darah. Kami diancam saat akan membuat tugu itu. Ditanya mengapa kami membuat tugu tersebut. Itu tidak seenaknya saja membuat tugu. Prosesnya berjalan tiga tahun. Kami minta masyarakat dan keluarga korban hadir. Kami ajak perwakilan dari LPSK dan mantan Bupati Pidie. Kami hadirkan 1-2 ribu orang. Kita duduk, berdoa, berzikir, dan makan bersama. Itu inisiatif PASKA. Itu kami lakukan pada momen penting, misalnya pada hari hak atas kebenaran tentang pelanggaran HAM berat dan martabat korban. Kami melakukan itu agar ada hiburan, pengakuan, serta pemuliaan harkat dan martabat korban.

Kegiatan siaran radio Farida Hariyani di Aceh. Dok. Paska Aceh

Bagaimana kegiatan pendampingan korban?
Sampai hari ini, kami masih mendampingi korban, khususnya bagi yang sudah diperiksa Komnas HAM, kebanyakan yang Rumoh Geudong. Terserah kegiatan mereka apa. Misalnya, ada kegiatan seminggu sekali mereka zikir bersama. Ada yang duduk bersama saling bercerita tentang pemulihan, misalnya pemetaan tubuh. Lalu mereka bercerita seperti sungai, bercerita soal pernah diapakan saja saat di mana saja. Mereka sudah punya kelompok. Kami cuma berikan uang tak banyak, ya, sekitar Rp 30 ribu untuk ongkos ojek. Terkadang ada yang ditabung karena diantar oleh anak.

Lalu ada yang kami arahkan untuk membentuk koperasi. Kami hanya mengajarkan bagaimana cara berkegiatan dengan koperasi. Ada yang koperasinya sukses sampai kekayaannya mencapai ratusan juta rupiah. Lalu ada yang bikin koperasi tani. Para anggota yang akan memulai bertani mendapat modal sekitar Rp 1,5 juta. Ada juga yang membuat mesin pengupas kulit padi menjadi beras.

Anda pernah mendapat intimidasi. Apa bentuknya? 
Macam-macam. Yang jelas, keluarga saya juga sempat mendapat perhatian. Jadi, selalu ada yang mengintai rumah saya. Lalu sampai ada yang memberikan saran agar orang-orang di rumah saya, kalau lampu sudah dimatikan, langsung tidur. Jangan bicara aneh-aneh saat lampu dimatikan. Jadi, langsung tidur saja. Sebab, selalu ada kasak-kusuk di lingkungan dekat rumah saya kalau malam hari.

Kabarnya Anda sejak belia sudah berani bersuara melawan tentara? 
Saat saya SMA, sempat terjadi perusakan sebanyak 15-20 batang pohon kelapa beserta buahnya. Itu pohon kelapa dari kebun ayah saya. Ayah saya saat itu tidak berkeberatan karena demi kepentingan bersama. Ya sudah, saya datangi markas tentara itu. Saya bilang bahwa yang mereka lakukan itu tak sesuai dengan pendidikan Pancasila yang saya pelajari. Lalu saya jawab, "Jangankan pohon, tanah saja kami berikan asal demi kepentingan bersama." Saya bilang, "Saya habis pulang dari Banda Aceh dan ingin kelapa muda, tapi semua hilang karena kelakuan Anda."

Lalu heboh saat itu karena saya sebagai perempuan memasuki markas tentara. Selama ini, perempuan yang datang ke markas tentara itu adalah perempuan penghibur dan perempuan yang meminta pertanggungjawaban karena dihamili tentara. Keluarga sempat memastikan hal ini kepada saya. Saya pun sampai menangis karena mendapat pertanyaan separah itu. Tapi, saat di markas tentara itu, saya dikasih uang ganti rugi kelapa Rp 1 juta. Angka yang sangat besar saat itu dan saya tidak pernah bercerita kepada ayah saya. Ha-ha-ha.

Awalnya, komandan itu bertanya berapa ganti ruginya. Lalu saya sampaikan bahwa kelapa itu berbuah setelah tiga bulan. Satu batang bisa 50 buah, silakan tinggal hitung saja. Makanya, saya bilang Rp 1 juta itu kurang. Ha-ha-ha.

Apa hobi Anda? 
Hobi saya berkebun karena saya orang pertanian. Rumah saya penuh dengan tanaman. Ada rambutan, durian, dan jambu. Jambu pun ada tiga jenis: jambu maud, jambu kampung, dan jambu merah. Ada rambutan, pisang, dan kunyit. Di rumah, saya tak susah memenuhi kebutuhan seperti itu. Di kantor PASKA, kami tanam tomat ceri 200 batang. Ada tanaman obat juga, seperti mengkudu, mangga, jeruk, dan lemon. Kami juga punya jati super. Kami sudah menikmati jati. Kami sulap jadi lemari besar. Kami masih punya 30 jati siap panen. 

BIODATA

Nama: Farida Haryani
Lahir: Aceh, 15 Januari 1966
Pendidikan: Sarjana Pertanian Universitas Iskandar Muda
Organisasi:
- Yayasan Pembina Masyarakat Desa (YADESA)
- Pengembangan Aktivitas Sosial Ekonomi Masyarakat (PASKA)
Penghargaan: Yap Thiam Hein 1998

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus