Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wawancara

George Quinn: Sastra Jawa Sedang Bangkit Kembali

Dituturkan oleh puluhan juta orang bukan jaminan bahwa bahasa Jawa bisa bertahan diterjang zaman.

15 Oktober 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • George Quinn mempelajari bahasa Jawa dari nol sejak berkuliah di Universitas Gadjah Mada pada 1971. 

  • Menjaga agar sastra Jawa tidak ditinggalkan anak muda jadi pekerjaan rumah besar.

  • Selepas pensiun, ia menekuni hobi jalan kaki lintas kota dan negara.

Mengenakan kemeja batik berlengan panjang dan kelir cokelat, George Quinn mendapat tepuk tangan meriah dari sejumlah orang yang datang di Teater Utan Kayu, Jakarta Timur, pada Jumat pekan lalu. Quinn memang bintang utama dalam acara malam itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pria kelahiran Selandia Baru itu meluncurkan buku terbarunya berjudul She Wanted to be a Beauty Queen. Buku itu berisi kumpulan cerita pendek berbahasa Jawa yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Quinn memang sudah akrab dengan bahasa Jawa. Ia pengajar dan peneliti sastra Jawa. Dia sempat mengajar bahasa Indonesia dan Jawa di sejumlah universitas di Australia sejak 1970-an hingga pensiun pada 2008. Adapun bahasa Jawa ia pelajari sejak kuliah di Universitas Gadjah Mada pada 1971. 

Sembari menikmati masa pensiunnya, Quinn semakin bersemangat mempelajari bahasa Jawa. Selama puluhan tahun, ia mempelajari bahasa Jawa hanya melalui buku. Sebab, ia lebih banyak menghabiskan waktu tinggal di Australia. "Makanya cara saya berbahasa Indonesia dan Jawa seperti buku karena memang jarang berinteraksi langsung dengan masyarakat Jawa dalam waktu lama," kata pria 80 tahun itu. 

Selepas peluncuran buku, Quinn bersama istrinya, Emmy Oey, bermalam di Yogyakarta. Di sana ia punya sejumlah agenda, termasuk bertemu dengan kelompok pengarang Jawa. "Tentunya saya berbicara dalam bahasa Jawa," ujarnya sambil tertawa. 

Kepada Indra Wijaya dari Tempo yang mewawancarainya melalui sambungan telepon, Kamis, 12 Oktober lalu, George Quinn bercerita tentang pengalamannya mempelajari bahasa Jawa, dan ketertarikannya pada Indonesia. Ia juga bercerita tentang tantangan dan ancaman keberlangsungan sastra Jawa di masa depan. Termasuk hobinya bersafari ke berbagai kota di sejumlah negara dengan berjalan kaki puluhan kilometer sehari. Berikut ini wawancara dengan Quinn. 

Seperti apa buku yang baru Anda luncurkan, She Wanted to be a Beauty Queen?

Iya, ini kumpulan cerita. Ada 30 cerita pendek yang aslinya ditulis dalam bahasa Jawa dan diambil dari sejarah Republik Indonesia. Boleh dikatakan sejak 1950-an sampai sekarang, jadi 70 tahun sejak kemerdekaan Indonesia. Ini semacam memberikan gambaran menyeluruh atau gambaran umum bagaimana perkembangan dan sifat sastra Jawa, khususnya cerita pendek, sejak masa kemerdekaan Indonesia. 

Bagaimana cara Anda mengumpulkan dan memilih 30 cerpen berbahasa Jawa tersebut? 

Sebetulnya, sejak masa kemerdekaan Indonesia sekitar 70-an tahun lalu, sudah ada ribuan cerpen yang terbit dalam bahasa Jawa. Sebagian besar terbit di majalah-majalah berbahasa Jawa. Jadi, saya malah kesulitan memilih. Makanya saya banyak bergantung pada antologi atau bunga rampai yang sudah disaring dan disusun oleh para editor dan pengarang Jawa sendiri.

Jadi, merekalah yang melakukan pekerjaan berat. Pekerjaan keras menyaring begitu banyak cerita sudah dilakukan oleh para pengarang dan editor yang menyusun antologi tersebut. Antologi itu, yang lebih kecil jumlahnya, tentu saja mutunya terjamin. Itulah yang saya gunakan sebagai sumber. Memang ada satu-dua di antara 30 cerita itu yang saya angkat langsung dari majalah. Tapi sebagian besar diambil dari antologi atau bunga rampai yang terbit sejak 1950-an. 

Berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk menyusun buku tersebut?

Saya mulai menggarap buku ini sejak 2019, jadi tiga tahun lebih sedikit.

George Quinn. Dok. ikapi.org


Apa saja tema cerita 30 cerpen yang Anda kumpulkan?

Saya kelompokkan cerpen itu ke dalam enam kategori. Setiap kategori punya lima cerita. Setiap kelompok punya tema tertentu. Misalnya yang pertama berkisar pada masalah bagaimana pandangan para pengarang Jawa terhadap sejarahnya sendiri atau kebudayaannya. Bagaimana sikap mereka terhadap warisan kebudayaan Jawa yang diwarisi sejak dulu. Misalnya, cerita pertama itu punya judul asli Sumur Gumulung. Saya terjemahkan ke dalam bahasa Inggris jadi The Well Keep Us Together.

Pengarang cerita itu, Ardini Pangastuti, juga ikut dalam acara peluncuran buku saya. Dia menganggap atau memandang kebudayaan Jawa mirip sumur. Pada suatu saat, orang desa di wilayah tertentu sejak dulu berkerumun di sumur. Jadi, sumur sebagai pusat kehidupan di desa. Lalu mereka memutuskan memasang pipa air ledeng dari kota. Dengan adanya pemasangan pipa itu, mereka merasa hidupnya berserakan. Tidak ada lagi pusat interaksi. Belum lagi mereka mengeluarkan uang banyak sekali untuk ongkos pipa ledeng. Lalu mereka memutuskan membongkar dan membuang pipa-pipa tersebut. Pada saat itu juga, sumur yang lama, yang awalnya kering, kembali berisi air. 

Jadi, semacam metafora. Mereka menganggap kebudayaan Jawa itu sebagai sumber air yang menjadi pusat kehidupan. Adanya modernisasi air ledeng seolah-olah merusak yang lama, membuat mereka menolak hal baru. Setelah penolakan itu, sumur yang lama kembali berisi air. Jadi, ada yang menganggap kebudayaan Jawa itu terancam. Untuk menolongnya, mereka harus menolak segala yang dari luar dan harus kembali pada asal-usulnya. 


Lalu?

Selain itu, ada beberapa tema, misalnya masalah hubungan laki-laki dan perempuan, iman dan agama, derajat sosial, serta masalah bagaimana orang Jawa menghadapi perekonomian modern. Kategori terakhir adalah bagaimana dampak Republik Indonesia bagi orang Jawa. Maklum, dulu Jawa punya kerajaan yang berdiri sendiri, tapi sekarang berkurang hanya jadi 2-3 provinsi kecil dalam tantangan wilayah RI yang begitu luas. Waktu itu ada orang Jawa yang terdesak oleh adanya RI. Jadi, ada beberapa orang yang berpandangan skeptis terhadap republik ini. 

Menurut Anda, bagaimana cerpen Jawa di mata orang Jawa?

Ini perlu diselidiki. Saya tidak tahu pasti berapa pembaca cerpen bahasa Jawa. Yang jelas, sebagian besar cerpen yang terbit ini berasal dari majalah-majalah yang terbit dalam bahasa Jawa. Pada saat ini, ada tiga majalah mingguan yang masih terbit dalam bahasa Jawa, yakni Penjebar Semangat, Jaya Baya, dan Djaka Lodang. Setiap kali mereka mencetak edisi atau nomor, pasti ada cerita pendek. 

Dengan demikian, dalam setiap pekan ada tiga cerita pendek dari setiap majalah. Jadi, bisa dikalikan saja dalam satu tahun ada berapa pekan. Itu belum termasuk media lain yang ikut memuat cerpen berbahasa Jawa. Maka saya perkirakan ada 180-200 cerpen yang terbit dalam satu tahun, entah dalam forum apa pun. 

Kalau jumlah pembacanya, saya enggak tahu. Tapi orang Indonesia, khususnya orang Jawa, jarang ada yang sadar bahwa cerpen yang terbit dalam bahasa Jawa itu ada segini banyaknya. 

Apakah boleh dikatakan miris ketika orang Jawa banyak yang tidak tahu tentang cerpen bahasa Jawa?

Pada kenyataannya, masih ada yang tertarik. Saya enggak tahu berapa jumlah orang Jawa yang membaca cerpen-cerpen ini. Sekarang, yang jadi masalah yang belum diketahui adalah dampak sastra Jawa modern yang melalui Internet atau yang memakai teknologi digital. Jadi, kalau kita buka Facebook atau YouTube dan blog-blog, banyak karya dalam bahasa Jawa. Kita tidak tahu berapa orang yang membacanya. 

Misalnya untuk wayang kulit. Ini menarik. Untuk wayang kulit saja, ada beberapa kanal di YouTube yang jumlah penontonnya bisa kita pantau. Jumlahnya ternyata bisa sampai ratusan ribu untuk satu judul pertunjukan wayang. Sebagai contoh, lihat saja akun milik dalang Ki Purbo Asmoro, kanalnya Purbo Asmoro Official. Di situ kita bisa lihat banyaknya pertunjukan wayang dengan jumlah penonton. Ada satu video yang ditonton sampai 200 ribu lebih. Belum lagi ada film pendek dengan judul Tilik. Itu luar biasa sekali. Film ini pernah meraih 23 juta penonton. Nah, jumlah orang yang membaca sastra Jawa dalam bentuk cetak tentu lebih sedikit. Jumlahnya saya enggak tahu persis, tapi tetap ada orang yang tertarik pada sastra Jawa. 

Anda juga pernah merilis buku Wali Berandal Tanah Jawa. Buku itu sempat diperbincangkan, salah satunya, karena judulnya menarik. Bagaimana ceritanya? 

Ini memang menarik sekali. Sebab, dalam bahasa Inggris, saya tulis judulnya Bandit Saints of Java. Nah, saya bingung ketika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Kata "bandit" mau diterjemahkan menjadi apa. Kalau tetap saya tulis bandit, akan terasa sangat garang atau kurang tepat. Jadi, saya berpikir apa terjemahan yang tepat dan akhirnya saya pilih kata berandal. Sebab, soal kata "berandal" ini, memang ada wali yang dulu menamakan dirinya berandal. Salah satu Wali Songo, Sunan Kalijaga, menyebut dirinya Brandal Lokajaya. Jadi, istilah itu sudah ada sejak zaman Wali Songo. Kata "berandal" juga terdiri atas dua unsur, yakni "ber" dan "andal". Jadi wali yang "ber-andal". Tidak terlalu keras artinya seperti kata bandit. He-he-he. 

Dalam buku tersebut, Anda menyebutkan orang Jawa muslim sering berziarah ke makam Wali Songo sebagai alternatif ibadah haji. Bagaimana ceritanya?

Menarik sekali. Kita tahu bahwa Islam di Indonesia berubah sejak 1980-an. Konon jadi lebih ortodoks. Pada kenyataannya, orang Jawa kembali berbondong-bondong berziarah ke makam Wali Songo. Dalam buku itu, saya jelaskan bahwa kebiasaan melakukan ziarah lokal semakin populer. Padahal banyak orang yang menganggap ziarah itu bukan hal modern. Seolah-olah warisan masa lampau. Tapi, pada kenyataannya, jumlah orang berziarah dengan alasan apa pun ke makam Wali Songo saat ini bisa jutaan orang per tahun. Saya juga bingung apa sebabnya. Saya coba cari-cari alasannya dalam buku tersebut. 

George Quinn. Dok.Pribadi

Bagaimana pandangan orang Jawa terhadap Islam?

Ini pertanyaan besar yang tidak bisa dijawab dengan satu-dua kalimat. Ini selalu menjadi titik perdebatan di kalangan para akademikus. Ada yang berpendapat bahwa pengikut Nahdlatul Ulama (NU) banyak yang melakukan ziarah lokal. Sedangkan Muhammadiyah melarang itu. Adapun menurut pengalaman saya, tidak benar. Kalau kita ke makam Wali Songo sekarang, kita akan bertemu dengan orang Islam yang bukan cuma Jawa. Untuk orang Jawa pun, kita bisa temukan orang-orang modern yang kebanyakan Muhammadiyah. 

Menurut saya, ada dua alasan mengapa banyak masyarakat Jawa yang sering melakukan ziarah lokal. Pertama, mereka kalau mau naik haji harus antre sampai lebih dari 10-20 tahun. Jadi, ada yang menganggap ziarah sebagai semacam pengganti ibadah haji sementara sambil menantikan kesempatan berangkat ke Tanah Suci. Lalu ada juga orang Islam yang ingin tahu sejarah bagaimana perkembangan Islam di Jawa. Jadi, kalau kita pergi ke makam Wali Songo, kita bisa melihat orang Islam dari NU duduk rukun dengan orang Muhammadiyah. Mereka bisa berdampingan dan merasa dilindungi suasana di makam keramat itu. 

Anda juga sempat berziarah ke Gunung Tidar yang punya arti penting bagi orang Jawa. Bagaimana ceritanya?

Memang betul bahwa orang Jawa meyakini Gunung Tidar sebagai paku yang ditancapkan untuk menjaga Jawa agar tidak bergerak-gerak atau gempa. Saya merasakan pengalaman tak terlupakan. Sekitar 1997, saya pernah ke Gunung Tidar. Saat itu belum dibangun jalan khusus untuk wisata, jadi jalan setapak saja di tengah hutan. Saya berjalan dari pasar di kaki gunung menuju puncak. Tiba-tiba saya mengalami kejadian gempa bumi kecil pada saat di atas Gunung Tidar. Lalu saya teringat pada cerita mitos bahwa para dewa prihatin dengan kondisi Jawa yang kerap diguncang gempa bumi. Akhirnya mereka memaku Pulau Jawa dengan Gunung Tidar sebagai kepala pakunya. Pada saat kejadian tersebut, saya bisa merasakan guncangan luar biasa dari Tidar. 

Bagaimana kondisi sastra Jawa saat ini?

Sastra Jawa sedang mengalami kebangkitan lagi. Dalam buku terbaru saya, saya berusaha menjelaskan mengapa sastra Jawa baru mengalami kebangkitan. Menurut saya, ada tiga penyebabnya. Pertama, desentralisasi sejak jatuhnya Orde Baru. Sejak saat itu, orang dari daerah tidak lagi berkiblat ke pusat. Daerah lebih bebas menyatakan sikap. Karena itu, orang-orang asli Indonesia dari berbagai suku lebih bebas menunjukkan kebudayaannya.

Kedua, mereka lebih kaya daripada dulu karena pertumbuhan ekonomi di daerah semakin pesat. Orang Jawa kelas menengah punya uang untuk beli buku. Bahkan yang suka sastra Jawa pun semakin mudah menerbitkan buku sendiri. Ketiga, peran teknologi digital yang betul-betul mempermudah orang-orang membaca cerpen atau apa pun di luar buku. Jadi lebih mudah karena pakai gawai. Teknologi juga mempermudah penjualan buku-buku bahasa Jawa. Cukup modern. 

Saya sendiri di Australia sering beli buku bahasa Jawa melalui Warung Buku Sastra Jawa di Facebook. Jadi, saya tinggal kirim pesan lewat WhatsApp, lalu memesan buku. Sepuluh hari kemudian, saya menerima buku-buku tersebut dari Indonesia. Ini luar biasa memudahkan saya. 

Budaya Jawa juga mulai dilirik lagi, dari lagu berbahasa Jawa yang populer atau viral di media sosial. Apakah ini kemajuan?

Mungkin, tapi kita juga harus hati-hati dalam hal ini karena belum ada penelitian yang bisa dipertanggungjawabkan untuk menyikapi cita rasa remaja Jawa dalam hal musik. Saat ini ada grup rap bahasa Jawa, lagu-lagu bahasa Jawa yang banyak digemari. Boleh dikatakan memang ada peningkatan popularitas lagu pop Jawa. Tapi kita tidak tahu remaja itu suka di bidang apa saja. 

Bagaimana Anda melihat minat anak muda terhadap sastra Jawa?

Banyak pemuda yang punya minat pada sastra Jawa. Contohnya, sebelum wawancara ini, saya ada acara dengan kelompok Sanggar Sastra Jawa Yogyakarta. Ternyata acara yang dihelat di kantor Balai Bahasa Yogyakarta itu ada di sebuah ruang cukup luas. Saya memandang ke sekeliling, sebagian besar dari peserta itu muda-mudi. Sekali lagi, kita harus hati-hati. Kita tidak bisa sebut persis jumlahnya, tapi ada kelas-kelas muda yang tertarik pada sastra Jawa. 

Bagaimana membuat sastra Jawa tetap tumbuh?

Sastra Jawa menghadapi masalah sebagai mata pelajaran di sekolah. Sebenarnya, untuk melihat perkembangan sastra Jawa, titik permulaannya ada di sekolah-sekolah. Selain itu, sastra Jawa kurang mendapat perhatian atau minat dari murid. Banyak murid yang justru menganggap bahasa Jawa sebagai momok yang ditakuti. Tapi ada juga guru-guru yang memakai strategi bagus untuk mempopulerkan pelajaran bahasa daerah. Sebagai contoh, ada guru Emi Sudarwati dari Bojonegoro yang melaksanakan program pengajaran bahasa dan sastra yang sangat bagus. 

Setiap murid harus menulis geguritan atau cerpen dalam bahasa Jawa, yang kemudian terbit menjadi buku dan dicetak. Inilah yang membuat anak-anak bangga. Kita harus mengapresiasi guru-guru seperti ini. Tapi pada umumnya cara menyajikan sastra Jawa di sekolah menengah kurang diminati murid. Cara ini harus diubah jika kita ingin menjaga sastra Jawa. 

Apakah nanti ada kemungkinan peminat sastra Jawa bisa meningkat lagi? 

Sulit sekali meramalkan masa depan dan tidak jelas apakah bahasa Jawa bisa bertahan. Kalau kita melihat keadaan bahasa di Indonesia timur, bahasa suku-suku kecil sudah melemah, bahkan punah. Bahasa Jawa bukan bahasa kecil. Penuturnya paling tidak ada 80 juta orang. Itu bahasa besar jika dilihat dari segi mana pun. Tapi bagaimana nasibnya mendatang? Tidak jelas. Tapi, kalau kita memandang bahasa di dunia, kelihatannya dewasa ini ada gerakan untuk membangkitkan kembali bahasa provinsi atau daerah yang tersingkir oleh adanya bahasa nasional di berbagai negara. Di Inggris, misalnya, bahasa Wales mulai bangkit lagi. Di Selandia Baru, bahasa Maori juga muncul lagi. Bahasa itu tidak lagi mau disingkirkan bahasa nasional. Mungkin hal ini juga akan terjadi di Indonesia. Siapa tahu. Tapi masalahnya tren ini masih mentah, ditambah laju penggunaan bahasa Indonesia yang sangat kuat. Karena itu, boleh dikatakan bahwa bahasa Jawa dan bahasa daerah lain mungkin nasibnya menjadi baik, tapi bisa jadi tenggelam dimakan bahasa Indonesia. 

Bagaimana cerita Anda mendalami sastra Jawa?

Saya pertama kali ke Indonesia itu sudah lama sekali. Saya pada 1971 saya masuk Universitas Gadjah Mada, tepatnya Fakultas Ilmu Budaya yang dulu namanya Fakultas Sastra dan Ilmu Kebudayaan. Waktu itu, mata kuliah yang diberikan wajib dan harus diambil semua. Belum berlaku sistem SKS, jadi memang murni masih peninggalan zaman Belanda. Di antara mata kuliah itu, ada sastra Jawa. Ternyata di dalam kelasnya ada 15 mahasiswa dan semuanya orang Jawa. Jadi, mereka sudah bisa berbahasa Jawa. Sedangkan saya tidak tahu sepatah kata pun. Ha-ha-ha. 

Karena itu, saya harus mencari les privat di luar kampus. Ternyata saya dapat bimbingan dari guru perempuan, masih muda, dan cantik pula. Ternyata saya jatuh hati pada guru saya. Ada pesan bagus. Kalau kita hendak mempelajari bahasa asing, alangkah baiknya kita jatuh cinta kepada gurunya. Itu yang bikin semangat. Ha-ha-ha. Masalahnya, di tengah semangat saya karena guru yang cantik dan saya tertarik kepadanya, dia tidak tertarik kepada saya. Jadi, cinta saya tidak mendapat balasan atau tidak terbalas. Ha-ha-ha. 

Bagaimana perjuangan Anda belajar bahasa Jawa karena di dalamnya ada tingkatan bahasa halus sampai kasar?

Memang bahasa Jawa itu cukup sukar. Tapi perlu dicatat bahwa bahasa Indonesia juga cukup sukar. Jujur, sejak kuliah di UGM sampai sekarang, saya masih kesulitan mempelajari bahasa Jawa. Belum lagi waktu itu saya harus belajar bahasa Indonesia juga. Terbayang betapa sengsaranya saya waktu itu karena saat kuliah hanya kedua bahasa tersebut yang digunakan. 

Bahasa Indonesia punya kosakata yang sangat luas. Belum lagi harus membuat esai, ikut seminar, tanya-jawab, semua dengan bahasa yang masih sangat asing buat saya. Jadi, bahasa Indonesia dengan kosakata yang sangat besar juga sangat sulit. Bahasa Jawa pun sulit karena punya sejarah sangat panjang dan tingkat tutur atau unggah-ungguh. Belum lagi banyaknya dialek bahasa Jawa. Di Jawa Tengah saja, dialeknya banyak. Belum lagi yang dari Jawa Timur. Itulah yang membuat bahasa Jawa sangat sulit dipelajari. 

Butuh waktu berapa lama Anda mempelajari bahasa Jawa sampai mengerti banyak tentang tingkatan dan dialeknya?

Saya merasa sampai sekarang masih belajar walaupun sudah memulainya sejak 50 tahun lalu. Saya setiap hari belajar bahasa Jawa dan setiap hari pula saya dapatkan hal baru di dalamnya. Jadi, proses pembelajaran masih berlangsung terus buat saya. 

Ada dua hal yang harus diingat. Bagi orang asing yang mempelajari bahasa Jawa, sebenarnya tingkatan bahasa Jawa kromo atau halus lebih mudah dipelajari dibanding ngoko atau kasar. Sebab, jumlah kosakata kromo agak terbatas, digunakan dalam situasi sosial tertentu, dan biasanya diucapkan perlahan dibanding ngoko atau kasar. Ketika orang Jawa kagum pada saya yang bisa berbahasa Jawa halus, itu menjadi pendorong semangat agar bisa belajar lebih baik lagi. 

Hal lain yang harus diketahui, saya tinggal di luar negeri, di Canberra, Australia. Jauh sekali dari Jawa. Saya jauh dari lingkungan yang memakai bahasa Jawa. Jadi, terpaksa saya harus belajar dari buku-buku dan itu bahasanya lebih formal. Bagaimanapun juga, saya tidak bisa bergaul intim dengan masyarakat Jawa yang berbahasa Jawa setiap hari. Makanya banyak orang Jawa yang menilai saya berbicara seperti buku. He-he-he. 

Bagaimana cerita Anda pertama kali datang ke Indonesia?

Saya pertama kali ke Indonesia pada 1966. Saat itu saya masih sangat muda, 23 tahun, dan saya berasal dari Selandia Baru, negara kecil yang sangat tenteram. Tidak pernah ada kejadian heboh selain pertandingan sepak bola. Selandia Baru negara yang sangat tenang. Ketika saya datang ke Indonesia, saya kaget karena berada di tengah revolusi. Untuk pertama kalinya saya melihat gejolak sosial yang begitu luar biasa saat jatuhnya Presiden Sukarno dan timbulnya Orde Baru. Belum lagi munculnya keresahan yang menjalar ke mana-mana di berbagai wilayah di Jawa sampai Bali. Saya alami betul itu. Ini justru membuat saya terpesona oleh Indonesia. 

Lalu bagaimana ceritanya Anda bertemu dengan istri, Emmy Oey?

Setelah 1966, saya kembali ke Selandia Baru. Lalu saya mengontak Volunteer Service Abroad, semacam lembaga perdamaian yang bertempat di Selandia Baru yang mengutus orang ke luar negeri untuk memberikan bantuan di berbagai bidang. Saya diterima dan ditugaskan ke Indonesia, ke universitas agak kecil di Jawa Tengah, namanya Universitas Satya Wacana di Salatiga, pada 1967. Saya saat itu menjadi pengajar bahasa Inggris. Ternyata yang menjadi rekan sejurusan dan satu-dua tahun sebagai ketua jurusan itu bakal istri saya. Saya berkenalan dan lebih dekat dengan dia lewat jurusan bahasa Inggris. Lalu kami menikah di Salatiga pada 1973. Jadi, saya kuliah di UGM empat tahun, lalu bertugas di Satya Wacana. Saya masuk UGM pada 1971. 

Bagaimana tantangan menikah dengan orang Indonesia? Apakah sempat mengalami gegar budaya?

Banyak sekali tantangannya. Istri saya bukan orang Jawa, melainkan keturunan Cina. Dia pandai berbahasa Inggris, makanya mengajar di jurusan bahasa Inggris. Karena itu, soal komunikasi tidak jadi masalah. Tapi ada sejumlah perbedaan kultural dalam kehidupan kami, misalnya cita rasa makanan. Istri saya suka makanan Indonesia dan setiap hari harus makan nasi. Saya sebagai orang asing suka makan daging dalam jumlah banyak sementara, istri saya tidak begitu suka daging. Kami pindah ke Australia pada 1974. Anak kami lahir pada 1977. Istri saya membesarkan anak kami dengan cara Indonesia. Cara membesarkan anak ala Indonesia sangat lain dengan kami di Selandia Baru dan Australia pada umumnya.

Tidak jadi masalah sebenarnya. Misalnya anak kami tidur bersama kami sampai usia 4 tahun. Sedangkan menurut kebudayaan di Australia, anak, meski masih bayi abang (bayi merah baru lahir), harus tidur sendiri di ranjang di kamarnya. Jadi, ini suatu perbedaan kami. 

Bagaimana karier mengajar Anda? 

Awalnya saya mengajar di Sydney, di University of Sydney. Setelah sekian tahun, saya pindah ke wilayah utara di Kota Darwin. Selama di Darwin, saya sempat berkenalan dengan Pulau Timor karena jaraknya dekat dengan Darwin. Setelah empat tahun di Darwin berikut mengenal Pulau Timor sisi barat dan timur, saya pindah ke Australian Nasional University di Canberra pada 1995. Saya berbakti di sana sampai pensiun. 

Apa saja yang Anda ajarkan saat menjadi dosen? 

Tugas saya bermacam-macam. Boleh dikatakan serabutan. Ya, mengajar bahasa Indonesia, bahasa Jawa, juga mata kuliah lain yang dikerjakan satu tim. Misalnya saya mengampu mata kuliah sekaligus membimbing mata kuliah yang diberi nama The Future of East Timor, yang khusus mengenai masyarakat Timor Timur. Itu saya asuh selama bertahun-tahun untuk mengenalkan masyarakat Timor Timur kepada mahasiswa Australia. 

Anda juga mendirikan Balai Bahasa Indonesia di Canberra. Bagaimana ceritanya?

Kami merasa bahasa Indonesia perlu diketahui orang Indonesia, bahwa bahasa mereka sempat merasa kelesuan sejak sekitar 25 tahun lalu. Mulai sekitar 1998, bahasa Indonesia mengalami puncak kemunduran di Australia. Saya bersama teman-teman guru sekolah menengah dan sebagainya membuat sebuah organisasi kecil dengan tujuan membantu guru-guru bahasa Indonesia di Canberra dan sekitarnya. Tapi kemunduran bahasa Indonesia di Australia harus diketahui penyebabnya. 

Ada beberapa orang yang mengemukakan penyebabnya. Tapi, menurut saya, penyebab utamanya adalah merajalelanya bahasa Inggris global di Indonesia. Hal ini diketahui anak didik kami di Australia, bahwa kalau mereka jalan-jalan ke Indonesia, orang Indonesia ingin memakai bahasa Inggris. Maka orang Australia merasa tidak perlu lagi belajar bahasa Indonesia, apalagi bahasa Jawa. Karena itu, anak didik kami tidak lagi berminat menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk belajar bahasa Indonesia. Toh, orang Indonesia yang mau belajar bahasa Inggris. 

Bagaimana orang Australia memandang bahasa Indonesia? 

Umumnya mereka punya pandangan yang positif terhadap bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia masih jadi mata pelajaran cukup populer di sekolah Australia. Diperkirakan 60 ribu anak sekolah dasar mendapat pendidikan bahasa Indonesia meski sangat sederhana. Jumlah yang sangat besar itu menyusut di tingkat sekolah menengah dan menyusut lagi di universitas. 

George Quinn

Anda belajar juga bahasa Timor? 

Saya sempat belajar dan bisa berbicara bahasa Timor. Tapi sekarang sudah lupa karena jarang digunakan. He-he-he. Dulu, waktu kerusuhan pada 2000, saya pernah ke Timor Timur, diundang Uskup Belo untuk membuat semacam perdamaian. Di situ saya belajar sedikit bahasa mereka dan sekarang sudah 20 tahun lebih. Saya sudah lupa. 

Seberapa sering Anda ke Indonesia?

Sebelum masa pandemi, setidaknya saya setahun sekali ke Indonesia. Tapi sejak pandemi, saya tidak mungkin bisa jalan ke Indonesia setiap tahun. Tahun ini pertama kalinya saya kembali ke Indonesia sejak sebelum masa pandemi atau lima tahun lalu. 

Ke mana saja Anda jika berkunjung ke Indonesia? 

Biasanya ke Yogyakarta, Jawa Tengah. Ada kalanya ke Jawa Timur. Pokoknya ke Jawa. Saya sedikit sekali mengenal daerah lain Indonesia, seperti Sumatera. Saya tidak kenal daerah sana. Kalimantan pun saya baru sekali ke sana. Biasanya di Bali hanya singgah sehari-dua hari dalam perjalanan menuju Jawa. Cuma, cukup lama saya di Pulau Timor. 

Apakah Anda sudah suka masakan Jawa?

Oh, suka sekali. Saya rasanya berada di tengah surga atau firdaus saat ini atau saat saya di Yogyakarta. He-he-he. Di Australia tidak bisa makan masakan Indonesia yang sesungguhnya, jadi rasanya menderita betul. Saya suka makan gudeg, senang sekali. Lalu macam-macam khazanah masakan Jawa, seperti nasi goreng dan opor ayam. Pokoknya banyak sekali. Awalnya saya tidak cocok makan pedas, misalnya bikin hidung meler, muka merah, dan mata berair. Tapi lama-kelamaan saya ketagihan masakan pedas, asal tidak pedas sekali. 

Apa hobi Anda?

Saya punya hobi bersama istri berjalan kaki jarak jauh. Jalan berhari-hari di jalanan. Kami jalan kaki di berbagai negara, seperti Selandia Baru, Australia, Jerman, Prancis, Irlandia, Spanyol, Inggris, dan Skotlandia. Kami lakukan perjalanan berhari-hari panjangnya. Pokoknya berjalan kira-kira 20 kilometer sehari, lalu mencari penginapan, kemudian besoknya sambung jalan 15-20 kilometer lagi. Itulah hobi kami yang sangat kami sukai. 

Sejak kapan Anda lakukan hobi ini?

Sejak pensiun pada 2008. Sejak saat itu, kami kembangkan hobi jalan jarak jauh. Ada hobi lain, yaitu taichi. Saya suka sekali senam ini karena baik untuk orang tua seperti saya.

Bagaimana Anda menyiapkan jalan jauh itu?

Kami harus latihan dulu, jangan langsung jalan jauh tanpa persiapan. Harus lakukan persiapan dengan teliti sebelum jalan puluhan kilometer. Kami lakukan ini berdua saja, tidak pernah ikut rombongan. Untuk barang-barang, kami memanfaatkan sistem safari. Artinya, ada pemesanan akomodasi penginapan dan koper akan dikirim dari satu penginapan ke penginapan lain yang akan kami tuju. Semacam dikirim pakai taksi. Jadi, kami cuma bawa ransel yang tidak terlalu berat. Isinya seperti makanan, minuman, dan peralatan pertolongan pertama. Sampai di hotel yang baru, koper kami sudah menunggu. 

Apa saja kenikmatan jalan jarak jauh itu?

Wow, nikmatnya bermacam-macam. Khususnya dampak pada kondisi fisik. Badan kami jadi lebih kuat, lebih luwes. Nah, kalau kami sudah sampai di penginapan setelah jalan itu, kami bisa makan banyak meskipun masuk ke restoran yang makanannya tidak terlalu enak. Karena lapar, jadi terasa enak juga. He-he-he.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus