Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di ruangan utama sebuah rumah joglo tanpa lantai, kepada belasan warga Desa Tambakromo, Pati, Jawa Tengah, Gunretno mengungkapkan rencananya untuk menyambut malam tahun baru 2019. Dalam bahasa Jawa, ia mengatakan,"Bagaimana kalau Ahad besok, kita membuat aksi penolakan pabrik semen lagi?" Para bapak dan ibu yang hadir, Jumat sore kemarin, tampak manggut-manggut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jadi, pada Ahad sore, kata Gunretno, warga Desa Sukolilo dan Tambakromo diharapkan berkumpul di Omah Kendeng-markas Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng-di Sukolilo, Pati. Beberapa warga sepuh dari kedua desa rencananya akan didandani bak tokoh punakawan dalam kisah pewayangan. Ada yang menjadi Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong."Mereka nanti akan membagikan kertas-kertas ke rumah warga."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Isi tulisan dalam kertas yang akan dibagikan:"Tolak Pabrik Semen!" Aksi ini, kata Gunretno kepada Praga Utama dari Tempo yang hadir dalam pertemuan itu, merupakan upaya untuk menyegarkan kembali semangat perlawanan warga di desa-desa, yang tersebar di sekitar perbukitan kapur Kendeng, terhadap rencana masuknya pabrik semen ke sana."Walau sampai sekarang belum ada pabrik yang dibangun, tapi kawasan Kendeng masih terancam."
Perlawanan warga Kendeng terhadap rencana pembangunan pabrik Semen Indonesia dan Indocement berlangsung sejak 2006. Gunretno-lah yang menjadi motornya. Pria yang juga tokoh di komunitas Sedulur Sikep atau pengikut ajaran Samin itu juga membantu warga di Rembang dan Grobogan (keduanya di Jawa Tengah) melakukan aksi serupa."Tujuan saya cuma satu: menjalankan kewajiban menjaga kelestarian alam untuk anak-cucu."
Konsistensi dan nilai-nilai perjuangan mempertahankan kelestarian alam inilah yang membuat komunitas Sedulur Sikep-diwakili Gunretno-dinobatkan sebagai pemenang Yap Thiam Hien Award dari Yayasan Yap Thiam Hien."Waktu dikabari kami dapat penghargaan ini, rasanya kok enggak percaya, orang-orang Sedulur Sikep kan ndak ada yang bersekolah," Gunretno berseloroh. Saat wawancara dengan Tempo, Gunretno kedatangan tamu lain, yakni Sekretaris Yayasan Yap Thiam Hien, Yulia Siswaningsih. Ia beberapa kali menambahkan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan Tempo.
Apa makna penghargaan Yap Thiam Hien buat komunitas Sedulur Sikep?
Tentu saja kami bersyukur karena perjuangan kami selama ini, dalam melindungi lingkungan tempat kami tinggal dan mencari makan, mendapat perhatian dan dukungan dari banyak pihak, termasuk Yayasan Yap Thiam Hien. Orang-orang Sedulur Sikep (Gun menyebutnya para dulur alias saudara) adalah orang-orang yang memilih jalan hidup sebagai petani. Kerja kami ya macul di sawah. Tapi lewat pilihan itu, kami punya cita-cita besar, yakni berguna buat orang banyak. Penghargaan ini jadi semacam pengakuan, apa yang kami lakukan dan nilai-nilai hidup kami rupanya bisa berpengaruh besar. Yulia: Kang Gun-panggilan akrab Gunretno-Ini sudah delapan kali masuk nominasi penghargaan kami, lho! Kiprah dia di bidang lingkungan memang layak diapresiasi. Tapi setiap kali menentukan pemenang, kami selalu melihat isu makronya apa. Kebetulan tahun ini kami memilih isu konflik masyarakat dengan pemerintah atau perusahaan mengenai perlindungan lingkungan hidup. Kami memilih Sedulur Sikep, bukan hanya Kang Gun, untuk menghargai komunitas mereka yang menjadi inspirator aksi perlindungan lingkungan di Kendeng dan daerah lain.
Apakah Komunitas Sedulur Sikep dan pengikut Samin saat ini sudah satu persepsi ihwal aksi penolakan pabrik semen di Kendeng, Rembang, dan daerah lain? Sebelumnya ada isu yang diembuskan bahwa Anda sudah"tidak dianggap" sebagai pengikut Samin, karena aksi demonstrasi yang kerap Anda lakukan?
Teror, intimidasi, dan isu-isu miring itu sudah banyak. Ada yang bilang saya menentang Semen Indonesia (badan usaha milik negara) masuk Kendeng, tapi membiarkan swasta buka pabrik (Indocement). Itu tidak benar, kami konsisten menentang semua pabrik semen dan usaha pertambangan lain. Waktu saya gencar demonstrasi, baik di Jakarta maupun di Semarang, isu lain diembuskan bahwa saya sudah keluar dari Sedulur Sikep. Katanya, demonstrasi atau unjuk rasa itu bukan ajaran Samin. Lha wong dulu ajaran Samin itu mulanya pemberontakan terhadap penguasa kok. Dulu, zaman kolonial Belanda, sesepuh kami menolak membayar pajak dan memilih tak menyekolahkan anak-anaknya. Pangeran Diponegoro sampai Bung Karno juga seorang pembangkang. Ya, kalau mereka tidak mbangkang, sampai sekarang kita tidak merdeka. Perjuangan kami sekarang ya pemberontakan terhadap kesewenang-wenangan pemerintah dan pemilik modal yang mau merusak alam tempat kami bertani. Selalu saya bilang, niat saya hanya satu: menjaga udara tetap segar, langit tetap biru, untuk generasi selanjutnya.
Bagaimana Anda menghadapi isu-isu dan provokasi semacam itu? Apa ajaran Samin yang Anda terapkan ketika menghadapi situasi semacam itu?
Saya melihat dalam isu pabrik semen di daerah mana pun, ketika ada penolakan, strategi yang mereka pakai sama dengan zaman kolonial, yakni mengembuskan isu-isu dan provokasi ke masyarakat. Ini mirip politik devide et impera. Mereka ingin ada permusuhan di antara kelompok masyarakat. Dalam ajaran Samin kami dididik agar tidak boleh punya kebencian kepada siapa pun, termasuk"lawan". Artinya, kami tetap menjalin komunikasi dengan pihak perusahaan, mengajak mereka membuktikan data-data siapa yang lebih valid. Atau membuktikan siapa sih yang lebih cinta Tanah Air, kami atau mereka? Yulia: Salah satu alasan kami memilih Sedulur Sikep sebagai pemenang penghargaan karena mereka mampu memperjuangkan dan mempertahankan alam di tempat tinggal mereka dari kepentingan penguasa dan pengusaha tanpa kekerasan. Nilai-nilai ini yang ingin kami angkat.
Bagaimana kondisi Kendeng saat ini? Semen Indonesia kan enggak jadi membangun pabrik. Indocement juga belum bisa masuk. Apakah artinya Kendeng sudah aman dari rencana pembangunan pabrik semen?
Belum. Ancaman itu masih ada dan nyata, karena Indocement lewat anak perusahaan mereka, PT Sahabat Mulia Sakti, masih merasa izin pendirian pabrik mereka masih berlaku. Padahal, menurut peraturan, jika dalam waktu tiga tahun sejak izin lingkungan nomor 660.1/4767 yang dikeluarkan Bupati Pati pada 2014, mereka tak melakukan kegiatan apa pun, izin itu kedaluwarsa. Nah, lahan yang rencananya mau mereka ambil, di Desa Karangawen, Mojomulyo, Tambakromo, dan Larangan itu belum mereka sentuh sampai sekarang. Masalahnya, perusahaan induk Indocement, HeidelbergCement AG yang berpusat di Jerman, juga menyatakan mereka masih berkegiatan di Pati. Mereka mengaku punya kantor, tapi ketika kami cek hanya ruko kosong. Kegiatan mereka apa? Bagi-bagi duit ke banyak lembaga swadaya masyarakat yang mengajukan proposal, dengan dalih corporate social responsibility (CSR). Lha ini kan janggal. Kita juga tidak bisa mengecek ke mana saja uang itu mengalir, karena mereka perusahaan swasta.
Menurut Anda, kenapa sih perusahaan-perusahaan semen sangat ingin buka pabrik di Kendeng? Apa karena kualitas bahan bakunya sangat bagus?
Bukan Kendeng saja, tapi Jawa keseluruhan masih sangat diminati perusahaan semen. Makanya waktu Semen Indonesia gagal masuk Kendeng, mereka langsung pindah ke Rembang. Padahal, tidak ada urgensi bagi pabrik semen buka pabrik baru di Pulau Jawa. Sejak 2014 produksi semen kita berlebih 30 juta ton. Beban Jawa ini sudah sangat berat, lahan pertanian dan peternakan terus berkurang. Masak, lahan yang tinggal sedikit ini mau dicaplok untuk pabrik? Pemerataan pembangunan dan industri jadi cuma omong kosong, karena semua terpusat di Jawa. Kami menduga mereka ingin sekali buka pabrik di Rembang karena infrastruktur di Pulau Jawa memang sudah lengkap, harga tenaga kerja juga masih murah, akses untuk ekspor mudah. Ibaratnya, kalau buka pabrik di Jawa, perusahaan semen tak butuh modal besar, tapi bisa dapat untung banyak.
Bagaimana dengan dalih pengusaha dan pemerintah bahwa masuknya industri untuk meningkatkan pendapatan daerah membuka lapangan pekerjaan baru, yang berujung kemakmuran masyarakat?
Saya sudah menghitung dan membandingkan valuasi pabrik semen dengan pertanian. Banyak akademikus yang membantu kami melakukan kajian. Nah, berdasarkan aneka kajian itu ada kesimpulan bahwa valuasi pabrik semen tidak sebanding dengan nilai jika bentang alam di wilayah ini dibiarkan apa adanya. Nilai arkeologis, ekologis, sosial, dan budaya jauh lebih tinggi dan menguntungkan untuk jangka panjang ketimbang hanya untuk dijadikan pabrik dan tambang. Lucunya, data ini tak bisa dibantah oleh mereka yang pro-pembangunan pabrik, karena saat mereka memulai kajian saja sudah tidak jujur. Soal lapangan pekerjaan, pabrik semen juga tidak ada seujung kukunya kalau dibandingkan dengan pertanian. Contohnya, pabrik semen menyatakan akan menyerap 1.700 tenaga kerja selama konstruksi, dua sampai tiga tahun. Lha setelah pabrik jadi, memangnya semua tetap dipekerjakan? Setelah pabrik beroperasi pun paling mereka hanya menyerap 300 tenaga kerja. Sementara, penyerapan tenaga kerja 1 hektare lahan pertanian itu sangat tinggi. Dalam setahun saja bisa tiga kali panen. Pertanian itu akan terus membutuhkan tenaga kerja. Hitung-hitungan saya itu didukung oleh dosen ekonomi Universitas Gajah Mada, Poppy Ismalina.
Bagaimana Sedulur Sikep memandang keputusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan gugatan penghayat kepercayaan di Indonesia, terkait dengan Undang-Undang Administrasi Kependudukan pada November tahun lalu? Apa pengaruhnya?
Sebetulnya dulu kami sempat diajak beberapa komunitas penghayat kepercayaan ketika akan mengajukan judicial review. Kami turut mendukung dan mengucapkan selamat untuk saudara-saudara di luar enam agama resmi, tapi kami memilih tidak ikut menggugat. Buat kami, warga Samin mau diakui negara ya monggo, tidak ya monggo, yang penting kami menyatakan, meski hanya petani kecil, kami bisa berguna untuk banyak orang.
Apa status agama di KTP Anda sekarang?
Kosong saja, ha-ha-ha. Sebetulnya dulu waktu pembuatan KTP elektronik, saya diharuskan memilih salah satu agama, karena tidak boleh kosong. Kata petugasnya ini sudah diatur dalam sistem. Tapi saya kan ngerti komputer. Saya lalu utak-atik komputernya, tahunya bisa dikosongkan, ha-ha-ha.
Gunretno
Lahir:
Pati, Jawa Tengah, 1969
Pekerjaan:
Petani
Organisasi:
Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo