Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sejak 2004, proses penghitungan suara hasil pemilihan umum di Indonesia-pemilihan presiden dan wakilnya, anggota legislatif, hingga kepala daerah dikawal oleh proses hitung cepat yang dilakukan sejumlah lembaga survei dan penelitian. Tingkat akurasinya yang sudah teruji-hampir mendekati hasil penghitungan yang sesungguhnya membuat proses ini makin populer. Keberadaannya pun sudah diakui dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Sekarang tingkat kepercayaan semakin tinggi, margin of errornya pun semakin kecil," kata anggota Dewan Etik Perhimpunan Survei Opini Publik Indonesia (Persepi), Hamdi Muluk, saat diwawancarai Praga Utama dari Tempo, Kamis lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Atas dasar itulah, sejumlah lembaga survei anggota Persepi dengan berani membuka isi dapur mereka pada Sabtu lalu dalam sebuah acara public expose. Hal itu mereka lakukan setelah kubu pasangan calon presiden wakil presiden nomor urut 02 dalam Pemilu 2019, Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, menuding hasil hitung cepat di pemilihan presiden pada 17 April lalu dimanipulasi. "Karena seluruh proses hitung cepat yang dilakukan anggota kami berdasarkan metode ilmiah yang bisa dipertanggungjawabkan," ujar Hamdi, yang juga guru besar di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.
Supaya adil, kata Hamdi, sepantasnya pihak yang menuding ada manipulasi dan mengklaim punya hasil penghitungan berbeda, juga membuka isi dapurnya sebagai bentuk pertanggungjawaban kepada publik. "Semua harus berani diaudit."
Bagaimana Persepi mengaudit lembaga survei yang menjadi anggotanya?
Dalam Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga kami sudah jelas diatur, bahwa, jika ada hasil hitung cepat atau hasil survei yang berbeda di antara anggota kami, Dewan Etik Persepi akan mengadakan audit. Semua anggota yang melaksanakan hitung cepat atau survei harus diperiksa, tak hanya yang hasilnya berbeda. Pemeriksaan dilakukan menyeluruh dari A sampai Z. Mulai dari bagaimana mereka melakukan perencanaan, bagaimana merekrut tenaga lapangan, prosedur yang mereka lakukan, hingga peranti lunak dan algoritma komputer yang mereka gunakan saat melakukan penghitungan. Supaya ketahuan kalau ada yang berbeda sendiri, perbedaannya di mana. Apakah ada kesalahan prosedur atau bahkan ada manipulasi data. Audit tak dilakukan rutin, hanya jika ada kasus tertentu. Tapi semua anggota Persepi harus siap diaudit kapan pun, ini bentuk pertanggungjawaban lembaga survei yang menjadi anggota kami.
Apa sanksinya jika lembaga survei terbukti melakukan kecurangan?
Kami keluarkan dari keanggotaan. Kami pernah melakukannya seusai Pemilu 2014 pada dua lembaga survei, Puskaptis dan JSI, karena mereka tak mau diaudit. Waktu itu mereka merilis hasil hitung cepat yang berbeda dari hasil lembaga survei lain. Karena janggal, akhirnya Dewan Etik Persepi minta semua anggota membuka semua dokumen dan metodologinya. Tapi Puskaptis dan JSI menolak diperiksa. Akhirnya kami inisiatif mengecek sendiri ke kantor mereka. Ternyata setelah dikonfirmasi, salah satu lembaga bahkan tak melakukan kegiatan pengambilan data di lapangan dan aktivitas survei. Mereka mengundurkan diri dari keanggotaan Persepi.
Apakah acara public expose yang dilakukan Sabtu lalu sebagai bentuk audit bagi anggota Persepi?
Dewan Etik memutuskan anggota Persepi yang terlibat dalam hitung cepat Pemilu 2019 kemarin harus membuka isi dapurnya kepada publik. Karena kami melihat dinamika di media sosial dan pemberitaan, tudingan dari pihak Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandi berpotensi menimbulkan public distrust, ketidakpercayaan publik terhadap lembaga survei. Padahal sejak lama anggota kami punya kredibilitas, dan hasil pekerjaannya bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Masyarakat tak boleh dibiarkan terombang-ambing dalam situasi seperti itu. Kami sengaja buka semua agar siapa pun bisa mengecek dan melihat bagaimana cara anggota kami bekerja saat melakukan survei dan hitung cepat.
Tapi tampaknya BPN masih belum puas karena masih menuntut lembaga survei membeberkan sumber dananya... Semua kegiatan pasti ada yang mendanai. Tidak mungkin lembaga survei jalan sendiri. Tapi ada sebagian penyandang dana lembaga survei yang tak mau identitasnya diungkapkan. Maka kewajiban lembaga survei adalah melindungi privasi si pendana. Menurut saya, sumber pendanaan tak penting untuk dipersoalkan. Yang penting adalah seluruh data dan prosedur yang dijalankan valid dan reliabel, berlandaskan proses ilmiah. Ini berkaitan dengan integritas keilmuan. Kami haram mengkhianati itu.
Salah satu yang dituding BPN dan dipersoalkan publik adakan netralitas sejumlah lembaga survei. Bagaimana hal ini diatur dalam kode etik anggota Persepi?
Lembaga survei itu kliennya macam-macam, bisa pengusaha yang ingin tahu iklim politik, calon kepala daerah yang akan maju di pemilihan, sampai partai politik yang akan berlaga dalam pemilu. Banyak lembaga survei yang juga menjadi konsultan politik. Dalam aturan kami jelas disebutkan, hasil survei yang dikerjakan lembaga survei peruntukannya macam-macam, salah satunya sebagai sumber data untuk menentukan strategi kampanye pasangan calon presiden atau kepala daerah, maupun partai politik. Maka sah-sah saja suatu lembaga survei condong ke partai atau pasangan tertentu, karena memang lembaga survei itu sedang bekerja untuk mereka. Soal dukungan pribadi petinggi lembaga survei terhadap calon atau partai, kami terbuka. Misalnya, Pollmark yang menyatakan sedang menjadi konsultan untuk Partai Amanat Nasional. Tak ada masalah dengan hal itu selama hasil kerja mereka bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Yang paling penting, preferensi politik dan kedekatan itu tak membuat lembaga survei melakukan manipulasi data atau menyalahi prosedur saat bekerja. Lagi pula, zaman sekarang kita bisa dengan mudah mengetahui lembaga survei melakukan kecurangan atau memanipulasi data. Lembaga survei kan tidak cuma satu, ada banyak. Kalau ada satu lembaga yang hasilnya berbeda sendiri justru akan terlihat dan terkoreksi dengan sendirinya. Sekarang era keterbukaan. Persepi juga punya Dewan Etik yang terbuka, kami siap menerima aneka pengaduan dari masyarakat. Tapi selain kasus Puskaptis dan JSI pada 2014, kami tak pernah menemukan kecurangan dan manipulasi oleh anggota kami.
Bagaimana Persepi menjamin kredibilitas dan tingkat kepercayaan lembaga survei anggotanya?
Kami punya workshop rutin untuk memantau kinerja dan capacity building anggota kami. Setiap tahun anggota kami juga menandatangani pakta integritas sebagai bentuk komitmen mereka terhadap landasan ilmiah. Antaranggota juga punya mekanisme untuk saling mengawasi dan berbagi ilmu. Bentuk kontrol yang paling mudah adalah, misalnya, ketika masa kampanye ada lembaga survei yang merilis hasil survei elektabilitas calon tertentu dengan deviasi yang besar sendiri. Biasanya anggota lain akan langsung bertanya, dan kami bahas bersama-sama. Ini gunanya lembaga survei berhimpun dalam organisasi profesi. Makanya kami mengajak lembaga survei lain agar bergabung dengan asosiasi. Tak hanya Persepi, perhimpunan serupa juga ada, misalnya, Asosiasi Riset Opini Publik Indonesia (Aropi). Masyarakat sebetulnya mudah kalau mau mengecek kredibilitas lembaga survei. Lihat saja track record lembaga tersebut, bagaimana tingkat kemelesetan hasil penghitungan mereka dibandingkan dengan hasil resmi yang ditetapkan Komisi Pemilihan Umum.
Publik menyoroti jumlah sampel hitung cepat yang hanya 2.000 TPS karena dianggap tak mewakili keseluruhan Indonesia. Tapi Anda selalu menegaskan bahwa yang terpenting adalah keacakan sampel yang digunakan. Apa maksudnya?
Dalam ilmu statistik, yang terpenting bukanlah jumlah sampel, tapi seberapa random (acak) sampel yang diambil. Ilmu statistik sudah memberikan hitungan berapa jumlah sampel yang mencukupi untuk mengambil kesimpulan dalam sebuah penelitian atau survei. Dengan jumlah sampel 1.200-1.500, maka margin of error-nya sebesar 2 sampai 2,8 persen, atau maksimum 3 persen. Itu sudah mencukupi. Kalaupun ada yang ngotot menambah jumlah sampel sampai 10 ribu, penurunan margin of error-nya tak signifikan. Pengambilan sampel secara acak penting untuk mengurangi bias. Caranya adalah dengan menghindari mengambil sampel dari daerah yang dikenal sebagai basis pendukung calon atau partai tertentu. Ini pemahaman yang diajarkan di ilmu statistik tingkat satu.
Saat proses hitung cepat pemilu, setiap lembaga survei punya tingkat perolehan data berbeda. Ada yang cepat, ada yang lambat. Apa penyebabnya?
Karena sifat pengambilan sampelnya yang acak dan tak semua lembaga survei menempatkan orang di setiap tempat pemungutan suara. Secara teoretis, misalkan, ada 12 lembaga melakukan random sampling masing-masing, bisa jadi probabilitasnya TPS-nya tidak sama. Di hari itu bisa jadi logistik telat datang. Kemarin kebanyakan gara-gara terlambat logistik. Makanya ada lembaga yang data masuknya tak sampai 100 persen. Tapi ketika data sudah mencapai persentase tertentu, hasil penghitungan tak akan berubah drastis meski ada penghitungan data. Biasanya jika jumlah data sudah mencapai di atas 80 persen, hasil akhirnya sudah bisa disimpulkan.
Menurut Anda, apakah perlu ada regulasi khusus yang mengatur soal hitung cepat pemilu atau lembaga survei?
Di beberapa negara dengan iklim demokrasi yang sudah sangat baik, dan tingkat kepercayaan terhadap ilmu pengetahuannya sudah tinggi, aturan itu sudah tak diperlukan. Sanksi bagi lembaga survei yang curang, ya, langsung tak lagi dipercayai publik. Di Indonesia, saya melihat masih banyak masyarakat yang belum dewasa dalam berdemokrasi. Banyak yang tak mengerti ilmunya tapi sok tahu. Sehingga mungkin perlu ada aturan yang bisa menjembatani jika terjadi sengketa hasil survei. Tapi saya membayangkan agak repot kalau pemerintah mau merumuskan aturan untuk lembaga survei. Meski begitu, saya mengapresiasi pihak kepolisian yang tak begitu saja memproses laporan terhadap lembaga survei. Polisi sudah benar mengarahkan laporan atau keberatan hasil hitung cepat ke Badan Pengawas Pemilu.
Mengapai quick count selalu disebut-sebut sebagai bagian dari proses mengawal hasil pemilu?
Quick count itu masih dibutuhkan selama pemilihan umum masih memakai sistem ballot (kertas suara). Jika Indonesia sudah menerapkan e-voting atau pemilihan secara elektronik, tak perlu lagi karena data yang masuk bisa dipantau real time. Hingga saat ini, quick count masih menjadi satu-satunya mekanisme untuk menghilangkan ketidakpastian hasil pemilu. Penghitungan manual kan bisa makan waktu hingga satu bulan, prosesnya juga berjenjang. Dengan hitung cepat yang berbasis metode ilmiah, publik bisa mendapatkan informasi yang akurat. Hitung cepat jadi populer dan banyak dipakai di negara yang tingkat kemungkinan lembaga pelaksana pemilunya curang. Karena hasil quick count bisa jadi acuan untuk mengawal proses penghitungan suara sebenarnya. Tingkat kemelesetan hitung cepat tak pernah lebih dari setengah atau 1 persen. Maka tak heran di banyak negara ketika hasil quick count diumumkan, pihak yang kalah langsung memberi selamat kepada pihak yang menang pemilu.
Sepertinya baru kali ini ada penolakan terhadap hasil quick count...
Menurut saya, apa yang terjadi saat ini hanyalah kebebalan politikus yang tak mau menerima hasil hitung cepat karena tak menguntungkan mereka. Padahal sejak dulu metode yang kami gunakan sama saja. Hitung cepat pemilu presiden dan pemilu legislatif sama-sama saja kok.Kenapa sekarang mereka mengakui hasil hitung cepat legislatif tapi menolak hasil hitung cepat pemilihan presiden? Ini merusak demokrasi dan basis ilmu pengetahuan. Lagi pula kalau memang ada pihak yang mengaku punya metode dan cara penghitungan lain, ya, buktikan saja secara ilmiah.
Hamdi Muluk
TTL: Padangpanjang, 31 Maret 1966
Pekerjaan : Koordinator Program Master dan Doktoral Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
Organisasi: Anggota Dewan Etik Persepi
Karya:
- Soeharto: Ramuan Kecerdasan dan Masa Kecil yang Liat (2001)
- Budaya Keselamatan dan Industri Berisiko Tinggi (2009)
- Mozaik Psikologi Politik Indonesia (2010)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo