Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wawancara

Happy Salma: Saya Berutang Budi pada Sastra

Energi Happy Salma begitu membara dalam berkesenian.

22 Agustus 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Energi Happy Salma begitu membara dalam berkesenian. Pandemi Covid-19 tidak menghalanginya untuk tetap produktif, baik sebagai kreator maupun produser. Lewat Titimangsa Foundation yang digerakkannya, pekan lalu ia mementaskan pertunjukan teater Rumah Kenangan secara daring. Ia pun ikut main bersama para seniman penting lainnya, seperti Butet Kertaredjasa, Ratna Riantiarno, Reza Rahadian, dan Wulan Guritno.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sebelumnya, Titimangsa bersama Kawan-kawan Media dan Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan membuat Sandiwara Sastra. Drama radio di Podcast itu mengalihwahanakan karya sastrawan Indonesia. “Tantangannya seru, menghabiskan energi, waktu, dan pikiran,” ujar Happy kepada Dian Yuliastuti dari Tempo melalui panggilan aplikasi pesan, kemarin.

Dalam perbincangan itu, aktris yang juga penulis cerpen dan novel tersebut juga bercerita tentang berbagai pentas yang diadakan dan dimainkannya , kecintaan terhadap sastra, dan bisnis perhiasannya yang ikut terimbas pandemi Covid-19.

Sudah lama Anda menyiapkan pentas Rumah Kenangan?

Enggak, itu bulan Juni. Maunya kemarin pentas Monolog Musikal Inggit Ganarsih dulu. Tapi, setelah berbincang dengan sponsor, sepertinya ditunda dulu. Nah, karena kosong, lalu ditantang lagi bikin acara apa lagi untuk mengisinya. Saya mencoba menawarkan konsep pertunjukan tanpa penonton itu. Pentas itu bisa dikerjakan banyak kelompok dan bisa menghimpun penonton. Sempat dipikir apakah mau berbayar atau tidak. Tapi akhirnya diputuskan berbayar (Rp 50 ribu) untuk mengikat dan melihat kesungguhan orang menonton pertunjukan. Ternyata kemarin lebih dari 2.500 penonton.

Anda mengajak banyak seniman penting….

Saya mengajukan nama-nama yang menjadi simbol teater modern, seperti Mbak Ratna Riantiarno (Teater Koma), Mas Butet Kertaredjasa, Mas Susilo Nugroho (Teater Gandrik), dan Reza Rahadian, aktor film yang punya hati besar untuk teater dan punya misi untuk energi baru. Lalu Wulan Guritno, yang saya tahu dulu di London sekolah teater-tari, tapi dia tidak punya kesempatan praktik ilmunya.

Apakah ada hambatan dalam mewujudkan pentas itu?

Saya deg-degan juga menyiapkan sampai pentas. Saya punya ide cerita, lalu ke Mas Agus Noor untuk garap naskah dan mengumpulkan tim produksi. Semua solid. Kami pilih Yogyakarta sebagai tempat acara pentas, di Padepokan Seni Bagong Kussudiardja. Tetap dengan sistem karantina, 10 hari bersama-sama di hotel yang sama.

Tantangannya?

Tantangan luar biasa, panggung itu biasanya ada penonton. Di panggung, lima kamera jalan terus tanpa cut kecuali ganti setting. Sama seperti pertunjukan teater yang direkam kamera. Saat reading Juli itu pun lewat Zoom, karena kami berbeda tempat. Bagi yang di Jakarta, parsial latihan di kantor saya di Jakarta. Saya latihan sendiri di Bali. Ada yang di Yogya. Secara teknis juga deg-degan pergi ke sana, teknologi, termasuk kekuatan server, termasuk keamanannya bagaimana supaya tidak dibajak. Jadi, lebih kerja keras dan belajar. Dari situ, yang penting bukan untuk diakui bahwa itu ini ide saya, tapi penting disampaikan semakin tahu mewujudkan cita-cita itu tidak mudah. Dan ternyata bisa.

Apakah ini akan jadi semacam tonggak baru teater Indonesia?

Pertunjukan dengan penonton (langsung) itu tak tergantikan. Tapi ini ada alternatif lain bisa menghimpun penonton lebih banyak. Tapi ini juga menyesuaikan dengan kondisi.

Sebelumnya, Anda membuat Sandiwara Sastra. Apa yang Anda ingin angkat dalam teater dan sastra?

Saya ingin mengangkat sastra. Perasaan saya sudah jatuh cinta dengan sastra karena sudah memberi dampak baik untuk saya. Saya seperti berutang budi rasanya untuk terus menghidupkan itu. Sastra seperti sudah menjadi bagian dari hidup saya. Teater bisa terjadi karena ingin mengalihwahanakan sastra. Saya menyelami media lain yang bisa saya pelajari, berguna untuk profesi saya.

Bagaimana awal mula ide Sandiwara Sastra?

Sebenarnya mulainya sudah satu setengah tahun lalu. Ini ide lama yang baru terwujud. Waktu itu saya sempat ngobrol dengan Pak Hilmar Farid, Dirjen Kebudayaan, apa yang bisa dikolaborasikan. Beliau melihat kegiatan saya, kemudian saya sempat menawarkan untuk kerja sama karena saya memfokuskan pada alih wahana karya sastra. Kepikiran ada bentuk lain selain teater, lalu kami memilih Sandiwara Sastra. Kala itu Dirjen Kebudayaan juga punya rencana kerja sama dengan RRI. Terpikirkan konsepnya seperti apa.

Nah, saat pandemi ini, tiba-tiba jadi teringat lagi ide itu dan sepertinya bisa dilaksanakan sekarang. Tapi formatnya belum ada. Lalu kami bikin persiapan panjang. Mulai April 2020 mencoba persiapan, pilih novel atau cerpen, aktor aktrisnya, dan siapa saja yang terlibat, termasuk bagaimana audionya.

Lalu?

Kami lalu kerja sama dengan Kawan-kawan Media (Yulia Evina Bhara), dan memilih sutradaranya Mas Gunawan Maryanto (Teater Garasi) dan Yosep Anggi Noen. Tim di Yogya untuk memudahkan. Pemilihan aktor-aktris pun tidak sekadar pilih, tapi memilih mereka yang punya keluasan hati untuk sastra Indonesia. Tak sekadar suka baca sastra, tapi juga punya perasaan yang sama bahwa sastra itu penting.

Proses persiapan selanjutnya seperti latihan?

Untuk latihan, kami menjalankan dengan tiga metode pilihan. Pada awal-awal pandemi , ada yang latihan mandiri, kami mengarahkan melalui Zoom dengan tim sound dan sutradara yang terlibat. Nah, terakhir latihan di studio tetap dengan protokol kesehatan.

Tantangan lain?

Proses produksinya menarik, karena beberapa dari kami berada di ruang-waktu yang berbeda. Semua yang terlibat terserak di berbagai tempat. Ada Ario Bayu yang sedang terdampar di Prancis, itu ada tantangan sendiri. Mikrofon kami kirim ke Prancis. Iqbal ada di Melbourne, saya dan Anggi ada di Bali. Yang lain ada di Jakarta dan Yogyakarta. Tantangan sekali ketika latihan, karena beda waktu. Workshop hampir setiap hari. Kami dapat pengalaman dari dunia keaktoran sekaligus soal produksi. Selain itu, saya secara paralel mengurus izin ke para ahli waris dan penulis bukunya. Cukup menguras energi, menyita waktu dan pikiran. Tapi itu secara spiritual melatih kita beradaptasi merespons pandemi.

Bagaimana pemilihan karya sastra untuk dialihwahanakan ke sandiwara?

Saya inginnya mengangkat semua (karya yang bagus-bagus), tapi ada keterbatasan. Lalu kami pilih yang klasik dengan karya Sutan Takdir Alisyahbana. Generasi 1950-an kami pilih karya Pramoedya Ananta Toer. Ada karya Mas Putu Wijaya yang banyak metafor. Ada yang relevan dengan situasi kini dari karyanya Dewi Lestari dan Ayu Utami. Mewakili Indonesia timur dengan karya Felix Nessi, ada karya Ahmad Tohari dan Eka Kurniawan yang bercerita soal kaum marginal. Karya Pidi Baiq mewakili awal kemerdekaan. Karena ini, audio menjadi 30 menit, susunan naskah betul-betul mewakili novel atau cerpen.

Apa tantangannya mengemas karya sastra tersebut?

Meringkas satu buku novel yang panjang atau cerpen yang singkat tapi terasa padat, disampaikan oleh aktor atau aktris secara seimbang pula dengan narator dan tokoh. Tadinya kami tidak punya formula, tapi akhirnya ketemu juga.

Sandiwara Sastra terinspirasi dari sandiwara radiokah?

Ya tentu, jujur memang inspirasinya dari sana. Saya terkesan pada sandiwara radio waktu kecil--ada Saur Sepuh, Tutur Tinular, Butir-butir Pasir di Laut. Di situ bukan hanya hiburan, ada pembelajaran, melatih pendengaran, memahami audio, imajinasi. Nah, rencananya, pertengahan September, Sandiwara Sastra akan disiarkan di RRI.

Apa yang ingin dicapai dari acara ini?

Tujuannya memperkenalkan sastra dengan medium berbeda. Ini hanya salah satu upaya kecil untuk mengenalkan sastra lebih nyata dan bisa berdampak. Kalau di luar negeri, banyak upaya memperkenalkan karya sastra dan sastrawan. Syukurlah, kemarin itu mendapat tanggapan positif dari penggemar sastra, dibincangkan berbagai komunitas, dan ada yang menunggu episode selanjutnya. Seneng juga.

Tidak coba mengalihwahanakan sastra ke film?

Belum, ya. Ada beban. Kalau di panggung, masih ada unsur misi edukasi. Jujur ini idealisme saya. Di panggung, unsur hiburan, tontonan sebagai strategi untuk menarik minat, tidak jadi dominan. Nah, di film, saya belum menemukan, belum nyampe. Saya salut dengan mereka yang bikin film idealis, ada visi-misi. Sebab, saya tahu di film ini investasi besar, harus bisa mengembalikan investasinya ini jauh lebih besar, dan hilang uangnya itu pasti. Risiko itu, saya belum berani. Di panggung, saya tahu perkiraannya. Uang hilang juga ada.

Selain berkesenian, Anda punya usaha?

Saya jualan perhiasan, toko ada di Jakarta dan Bali. Ini idealisme yang lain. Saya bersama teman-teman bertiga berbisnis ini. Tujuan awalnya untuk mempertahankan motif dan mempraktikkan teknik tradisional. Saya kira saya bisa tumbuhkan dengan market yang luas, dengan demikian skill juga terjaga. Tadinya senaif itu.

Seru juga punya beberapa kegiatan idealis dan kreatif?

Awalnya seru karena naif, nekat, tapi ketika sudah jadi bisnis, ya, pusing juga. Seperti jualan ini saat pandemi begini. Ada 80 pegawai yang harus dihidupi.Tapi jadi melatih saya belajar lebih banyak lagi.

Ada rencana syuting film lagi?

Sejak berkeluarga, syuting sangat terbatas. Saya benar-benar pilih yang sreg banget. Beberapa tahun lalu lebih sreg ke panggung. Itu juga peran-peran kecil yang tidak lama syutingnya, tidak lama meninggalkan keluarga. Syuting film sekadar melepas rindu, ketemu teman sama nostalgia saja. Januari lalu, sebelum pandemi, ada film panjang yang saya ambil. Mungkin akhir tahun ini syuting.

Apa hal lain yang ingin Anda lakukan untuk terus mengangkat sastra ?

Dari Sandiwara Sastra, banyak ke kegiatan lain. Tapi saya belum bisa ngomong ini. Walau semangat, saya ikuti kondisi saja dulu. Tidak ingin ngoyo. Kapan harus jalan, ya, jalan maksimal. Prioritas saat ini tetap keluarga.

Saat pandemi, apa saja kegiatan bersama keluarga?

Kumpul, karena saya tinggal di Bali, masih bisa menikmati pantai, gunung, dan sawah yang enggak ramai.

Buku yang sedang Anda baca?

Saya sedang baca-baca buku tulisan Abdullah Harahap. Kalau buku luar, saya kurang.

Suka mendengarkan musik apa?

Apa saja yang enak didengar, asal tidak heboh. Kalau dikerjakan dengan sungguh-sungguh, pasti saya dengarin. Saya coba menghargai dan menikmati juga.

 


20

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus