Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kesibukan mengelola Distrik Seni, sebuah ruang khusus galeri seni di lantai 6 gedung Sarinah, membuat Heri Pemad bolak-balik Yogyakarta-Jakarta. Belum genap sepekan mengantar pembukaan ARTJOG MMXXII, ia sudah harus balik ke Jakarta. Sebab, rencananya, Presiden Joko Widodo akan berkunjung ke Distrik Seni. Namun kunjungan itu batal.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Heri Pemad adalah pendiri dan Direktur Artistik ARTJOG. Pameran seni tahunan di Yogyakarta ini menjadi rujukan para pencinta seni, seniman, serta kolektor seni dalam dan luar negeri. Ia juga didapuk menjadi Ketua Jogja Festivals Forum & Expo (JFFE). Jadi, pengagum maestro S. Sudjojono ini tak pernah bisa diam.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tentu saja itu semua menjadi tantangan besar ketika pandemi Covid-19 menghantam. Kegiatan seni rontok. Namun Heri tak menyerah. “Kami bisa melewati itu tanpa diam. Ada dokumen, ada karya yang tercatat,” ujar Heri ketika ditemui Dian Yuliastuti dan fotografer Febri Angga Palguna dari Tempo di kantornya, di Distrik Seni, gedung Sarinah, Rabu, 13 Juli lalu.
Heri, yang mengenyam pendidikan seni di ISI meski tak menamatkannya, mengisahkan perjalanannya menggarap manajemen seni dalam beragam pameran dan festival hingga hobi dan kesehariannya. Berikut ini petikan wawancara tersebut.
ARTJOG 2022 baru saja dibuka, apa tema yang dieksplorasi dari para seniman?
Tema tahun ini adalah bagian tema ARTJOG sebelumnya, ada trilogi (Common Space, Art in Common-Time to Wonder) dan kali ini Art in Common Expanding Awarness (kesadaran). Ini lebih menitikberatkan inklusivitas, menyoroti persoalan mereka yang termarginalkan dan dianggap termarginalkan. Dari sisi saya, ada dua arah, kesadaran dari seniman atau teman-teman yang dianggap atau termarginalkan (perempuan, anak, difabel, orang tua, dan gender lainnya). Lalu ada yang mengaitkan dengan wacana ruang-waktu-kesadaran. Kami simpulkan dari sana, dari sisi kepesertaan, maka kemudian banyak melibatkan juga kawan-kawan difabel, komunitas difabel, pendidik, anak-anak, dan seniman perempuan.
Apa pengalaman penting Anda selama dua tahun terakhir penyelenggaraan ARTJOG ini?
Pengalaman pada masa pandemi ini sungguh berharga bagi saya. Dua tahun, 2020 dan 2021, menjadi modal melangkah untuk 2022. Untuk tahun ini kami berkeyakinan dibuka untuk pengunjung, meski masih dengan protokol kesehatan. Karya-karya para seniman ini juga mulai move on, tidak dibatasi teknis prokes, dan sudah dalam ruang bebas. Memang masih ada yang menyinggung soal pandemi.
Seperti apa 2020 dan 2021?
Pada 2020 kami mencari (bentuk) dan meyakinkan semua orang dengan kebiasaan baru. Kami bertekad sebagai kegiatan pilot project, event yang aman, sehat, dan bebas dari penularan. Jadi, kalau pandemi berlanjut, itu dilakukan. Kami bereksperimen, dan akhirnya mendapat izin (dari pemerintah). Satu-satunya event yang mendapat izin ya ARTJOG. Kami penginnya bisa menjadi pelopor di bidang seni dan ekonomi.
Bagaimana dengan tahun kedua pandemi, 2021?
Untuk tahun kedua, kami tidak memperoleh izin, tapi pemerintah merestui. Kondisi seniman dan ARTJOG dalam kondisi sudah move on, karya sudah mau disenggol, didatangi. Lima hari sebelum pelaksanaan, acara batal karena saat itu ada pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) level 4. Kami ubah menjadi pameran daring. Meski begitu, tetap ada kunjungan secara terbatas, tapi tidak dipublikasikan. Kegiatan berlangsung online. Ada video, art talk, dan kuratorial karya terdisplai. Tapi sesungguhnya kami menolak pameran online, terutama di ARTJOG.
Mengapa?
Di ARTJOG itu tidak relevan online. Di ARTJOG ada eksperimen, orang masuk, merasakan ada karya-karya. Ada sensasi ketika pengunjung mendatangi karya. Seperti karya Jompet Kuswidanto berupa pecahan kaca dalam skala luas. Kalau di video itu bagus banget, seperti lautan. Tapi, ketika melihat langsung, ada sensasi rasa, ngilu seperti itu.
Untuk 2022?
Kami sudah mendapat izin 100 persen, masih menerapkan protokol kesehatan dan kehati-hatian. Yang intensif, mendengarkan, ada unsur baru yang itu tidak bisa digantikan. Banyak karya seniman yang nuansanya (aromanya) kemarahan, marah akan situasi, marah pada diri sendiri, soal kebijakan, lingkungan, dan sebagainya.
Selain izin, apa tantangan menyelenggarakan acara tahunan ini?
Tahun lalu, saat penuh keterbatasan, tidak ada satu event kesenian yang mendapat izin, ternyata ARTJOG bisa terselenggara. Apalagi sekarang, kami bisa lewati tantangan itu. Pemerintah mendukung pendanaan, tempat, dan izin. Memang soal dana menurun. Persoalan ARTJOG dari tahun ke tahun ya dana. Kami menyisihkan (dana) dari ARTJOG tahun sebelumnya untuk ARTJOG berikutnya. Dan, dalam dua tahun ini, karena kondisi, ya susah mencari sponsor. Tapi sebelumnya pun acara seni kalah sponsor oleh acara olahraga.
Bagaimana potensinya dalam konteks bisnis seni?
ARTJOG secara bisnis itu belum untung. Kami tidak pernah untung. Selalu menyisakan utang dari satu ARTJOG ke ARTJOG berikutnya. Yang untung besar sedikit malah kemarin, 2020, saat masa pandemi. Karena tidak ada karya instalasi, jadi hanya lukisan, cepat penjualannya.
Sebenarnya apa yang ingin digarap ARTJOG?
Dengan ARTJOG ini kami berdiskusi mengundang kurator, dengan tema mutakhir, ada banyak tugas yang belum selesai, pemikiran-pemikiran yang perlu disodorkan kepada publik. Kami mencari tema-tema yang berkaitan dengan sosial, politik, lingkungan, dan isu dunia. Salah satu contoh adalah isu intoleransi.
ARTJOG mana yang paling berkesan?
Dulu sebelum masa pandemi. Saya terkesan banget pada ARTJOG 2015, Infinity in Flux, karena sangat berbeda. Tapi, setelah pandemi, ya ARTJOG pada masa pandemi ini sangat membekas. Sebab, dalam skala yang luas, skala dunia, kami bisa melewati itu tanpa diam. Ada dokumen, ada karya yang tercatat.
Direktur Artjog, Heri Pemad saat wawancara dengan Tempo di Sarinah, Jakarta, 13 Juli 2022. TEMPO/Febri Angga Palguna
Bagaimana dulu Anda kecemplung di ARTJOG?
Dari awal itu sejak mahasiswa (di ISI Yogyakarta) saya memang sudah senang ngelukis, walau akhirnya enggak lulus. Tapi saya aktif di mana-mana. Jadi pengin tahu bagaimana mengurus soal seni. Saya melukis, ya memamerkan, dan menjual sendiri. Saya jadi tahu siapa seniman besar. Lalu siapa yang akan pameran, saya yang bantu sebar undangan. Setiap pameran ada seniman yang selalu diundang. Saya jadi bertanya, ini siapa, kok hebat, dalam setiap pameran kok harus datang. Dari sana saya jadi tahu siapa, rumahnya di mana, keluarganya bagaimana, jadi tahu siapa orang itu lebih dalam.
Dari sana saya punya aset penting, yakni data para seniman dan karyanya. Ini para seniman bagaimana mempromosikan karyanya, siapa yang urus. Saya jadi pengin belajar, bagaimana lukisan atau karya itu, bagaimana memamerkan karya mereka. Itu tahun 1999. Lanjut pada 2000, sudah jadi rutin kerja manajemen membantu menyebarkan undangan itu. Bikin Art Management itu, namanya Art Yogya Fair pada 2008. Saya memutuskan berfokus pada manajemen ini ketimbang melukis. Tapi masih tetap melukis sesekali. Ya, dunia melukis jadi terbengkalai, tapi ngelukis ini lebih mencari keyakinan bahwa seni itu tidak gampang.
Berapa banyak lukisan Anda?
Sangat sedikit karena terjual. Lukisan pertama itu judulnya Pasar Kembang di Kota Baru. Itu karya tugas, tapi kemudian dibeli oleh salah satu staf kampus.
Dari kecil memang suka melukis?
Iya, itu dorongan dari kakek saya, waktu kecil. Lalu saya mencoba masuk sekolah seni. Kan saya tidak ada latar belakang sekolah seni, dari SMA. Jadi, sampai tiga kali mendaftar di ISI baru diterima. Itu sampai mencoba menggelandang di Malioboro, mencoba sok akrab dan mengakrabi para seniman. Jadi tahu juga persaingan masuk ISI itu berat, sampai 2.000 orang yang mendaftar, yang diterima cuma 60. Dua kali gagal, yang ketiga tekadnya sudah bulat, belajar tiga tahun, tahu pula trik-triknya, percaya diri diajari teman-teman.
Bagaimana Anda melihat seni Indonesia, sudah cukup maju dan berhasil?
Belum, masih jauh. Tugas pemerintah itu menyediakan infrastruktur dan kebijakannya. Selama Indonesia belum mempunyai museum seni kontemporer, sesuai dengan perkembangan seni kontemporer, ya masih belum berhasil, belum maju. Seperti Singapura, Malaysia, sudah banyak mengoleksi karya seniman-seniman Indonesia.
Belum lagi soal regulasi yang mengatur tentang seni budaya, masih mencari. Ya, pemerintah mungkin sudah membantu, terlibat, membantu dengan hadir dan menunjukkan semangat, tapi harus lebih konkret. Dengan regulasi, prosedur yang jelas.
Apa yang penting?
Butuh “tangan besi” untuk menghidupkan seni. Seni juga bisa eksklusif, kolaboratif, dan inklusif. Ketika seorang pemimpin ingin menghargai bahwa Indonesia tercipta dari pemikiran yang artistik, liar, dianggap tidak mainstream, itu biasanya bisa dengan bahasa seni. Dengan seni, pesan bisa sampai atau lebih aman, tertampung. Hal tersebut, secara kolektif, intuitif, semestinya bisa mewadahkan itu, melahirkan legasi dengan penanda kekuasaan. Pemerintah tinggal meniru, kok, apa yang dilakukan Presiden Sukarno, Napoleon, atau raja-raja dulu. Bahwa sebuah kekuasaan dekat dengan seniman dan ahli spiritual. Kalau kekuasaan itu dekat dengan dua itu, saya yakin akan halnya Sukarno, atau raja-raja dulu, atau puncak seni di Eropa. Saya yakin kok kekuataan itu, politik justru ada di bawah kebudayaan. Sudah saatnya kebudayaan menjadi panglima. Kalau dulu kan politik sebagai panglima.
Anda diminta menggarap Distrik Seni di Sarinah. Bagaimana ceritanya?
Ini awalnya dari acara di Art Bali (pada 2018), bertemu dengan Ibu Direktur Sarinah, Ibu Fetty (Fetty Kwartati, Direktur Utama PT Sarinah). Ketika di Art Bali digandeng Bekraf, kala itu masih dipimpin Pak Triawan Munaf. Nah, setelah adanya pandemi, ini kan sepi. Pada saat yang sama, Bu Fetty menghubungi saya. Ada konsultan lain yang juga menghubungi. Mereka menyampaikan ada satu lantai di Sarinah yang didedikasikan untuk seni. Bu Fetty kemudian banyak berkomunikasi untuk membuat semacam ARTJOG di Sarinah. Saya oke, tapi konsepnya beda di ruang publik dan mall community seperti Sarinah ini.
Harapan Anda?
Pemerintah sudah membantu (menyediakan) tempat di Sarinah, tidak usah bayar. Sarinah juga membukakan jalan ke sponsor, tapi masih sulit. Tapi, yang penting, roda ekonomi bisa berputar. Saya berharap seni budaya bisa jadi statement internasional juga bahwa ada ruang representatif untuk menampung kegilaan para seniman. Enggak cukup Museum Nasional atau Galeri Nasional.
Berapa lama Anda diminta menggarap Distrik Seni ini?
Sekitar setahun. Ini kami masih menyiapkan agenda berikutnya.
Anda juga aktif menggarap dan hadir di berbagai festival di Yogyakarta?
Saya ini ditunjuk sebagai Ketua Jogja Festival sejak 2017. Festival di Yogyakarta itu kan banyak, ada ratusan. Tapi yang aktif itu ada 70-an. Yang besar-besar jadi highlight. Jogja Festival ini didirikan oleh 15 festival di Yogyakarta. Jadi, saya wajib mendukung kegiatan berkumpul ini. Karena banyaknya festival ini, kami menyebut Yogyakarta sebagai kota festival, meski kami tidak mem-branding sampai skala internasional. Itu tugas pemerintah, ya. Tapi kami sebenarnya hidup dari seni, budaya, yang dibungkus dengan beragam festival. Seni budaya itu sudah menjadi bagian hidup sehari-hari karena sudah biasa. Itu passion-nya.
Anda terlibat mendandani bandara juga?
Yang di Terminal 3 Soekarno-Hatta saya cuma vendor, hanya beberapa, tidak semua. Tidak terlibat langsung dengan perancangan tempat sehingga tidak mempertimbangkan konten karya sinergi dengan ruang yang ada.
Di luar urusan seni, Anda masih sering sepedaan?
Masih, tapi kemarin ngurusi ARTJOG ini agak mandek. Tapi biasanya tiap akhir pekan seminggu sekali, tapi posting-nya berhari-hari, he-he-he. Saya lebih banyak nyepeda sendiri, tapi beberapa kali juga sering bareng atau ketemu teman-teman di satu titik. Saya suka sepedaan rute jalan-jalan kampung, jalannya juga tidak mulus, lebih enak, udaranya juga lebih bersih, lebih segar, ketemu banyak orang, tempat-tempat baru. Biasanya menempuh jarak 60 kilometer pergi-pulang.
Apa pengalaman unik atau lucu ketika sepedaan?
Kesasar masuk rumah orang sewaktu di Bantul. Kan, ada jalan semeteran dicor, saya kira ini jalan kampung. Saya ikuti, ternyata itu masuk ke dapur rumah orang, he-he-he….
Ngopi pagikah ?
Enggak pagi-pagi banget, biasanya pukul 10.00, lalu 14.00, dan menjelang petang biasanya. Biasanya kopi tubruk biasa, enggak ada kopi khusus, tanpa gula.
Buku-buku yang sering Anda baca?
Saya ini jarang membaca buku, tapi rajin membeli dan melihat-lihat buku.
Film?
Nah, saya itu suka semua film. Kalau ada yang ajak ya saya ikut. Saya bilang suka, he-he-he. Jarang nonton film, tapi pernah menjadi juri film. Ya, karena terbiasa lihat yang artistik, estetik. Tiap tahun lihat ribuan karya yang diseleksi di ARTJOG jadi ikut melatih kepekaan saya.
Siapa seniman yang mengesankan Anda?
Jean-Michel Basquiat, Andi Warhol, dan Fernand Leger. Saya tidak suka Van Gogh, tapi cukup kuat (mengesankan saya). Kalau seniman Indonesia itu Sudjojono is the best. Jiwa ketoknya itu, yang memotivasi. Lukisan Sudjojono ini kalau saya bilang bahasa kejujurannya tidak bisa hilang, walau berbeda periode. Saya lalap semua bukunya walau ada yang palsu, tapi ya enggak apa-apa. Sejak kuliah, saya tahu Sudjojono. Affandi saya juga suka.
Apa keinginan Anda selanjutnya?
Saya ini sedang merintis, tidak mungkin kan minta pemerintah terus. Cari duit dulu, lalu bikin art management, terus bikin yayasan, lalu untuk turahan (sisanya) bikin CV. Saya pengin bikin institut, lalu museum. Untuk mewujudkan keinginan saya, tidak harus saya yang punya. Setidaknya harus berangkat dari apa yang kita punya, kita puja, banggakan. Sistem, teknologi, bisa mengadopsi dari mana saja. Tapi konten, roh, rasanya harus Indonesia. Karya yang masuk ini harus berdampak, jangan cuma jadi artefak. Tidak zamannya karya dihentikan waktu.
Direktur Artjog, Heri Pemad saat melihat karya seni di Sarinah, Menteng, Jakarta, 13 Juli 2022. TEMPO/Febri Angga Palguna
Biodata:
Nama : Heriyanto (Heri Pemad)
Lahir: Sukoharjo, 12 April 1976
Pendidikan : ISI Yogyakarta (1996-2000) Jurusan Seni Murni, Program Studi Seni Lukis
Jabatan: Pendiri dan Direktur ARTJOG
Aktivitas:
- Sejak kuliah aktif menggelar pameran di dalam dan luar negeri hingga 2005, pameran tunggal pada 2001 di Gelaran Budaya, Yogyakarta. Aktif menangani berbagai event pameran dan memulai manajemen seni.
- Pengurus salah satu program Festival Kesenian Bazart-Art Fair di Museum Benteng Vredeburg Yogyakarta, 2003-2006.
- Mendirikan PT Heri Pemad Art Management, 2003.
- Menginisiasi berdirinya Jogja Art Fair, 2008.
- Memfokuskan Jogja Art Fair menjadi ARTJOG-Art Fair International, 2010.
- Menghadiri undangan presentasi kerja art management di BBKL, Vaduz, Liechtenstein, Eropa, 2008.
- Aktif menghadiri pameran seni rupa di luar negeri.
- Organizer bagi seniman Indonesia untuk Art Stage Singapore 2013.
- Co-Organizer Proyek Seni di Terminal 3 Ultimate.
- Bandara Soekarno-Hatta oleh PT Angkasa Pura II pada 2016.
- Ketua Forum Jogja Festival, 2017.
- Inisiator ART BALI, 2018.
- Inisiator dan organizer Kustomfest.
- Steering committee untuk Badan Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Bekraf) Indonesia pada 2018.
- Dosen tamu di Jurusan Tata Kelola Seni, ISI Yogyakarta, 2018.
- Konsultan JogjarRockarta dan Prambanan Jazz, 2020.
- Konsultan Living Museum Kotagede, Yogyakarta.
- Pelaksana revitalisasi koleksi lukisan Museum Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat.
- Anggota Dewan Kebudayaan Provinsi DIY Periode 2019-2022.
Penghargaan:
- Cat Air Terbaik tahun 1997 dari kampus ISI Yogyakarta.
- Nokia Art Award Asia-Pacific pada 1999.
- Visual Arts Award untuk dedikasi kontribusi dan prestasi dari majalah Visual Arts Indonesia, 2010.
- Anugerah Adhikarya Rupa dari Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, 2014.
- Anugerah Budaya Seniman dan Budayawan Kota Yogyakarta dari Dinas Kebudayaan Kota Yogyakarta, 2019.
- Anugerah Bangga Buatan Indonesia di Jakarta, 2020.
- Anugerah Budaya Seniman dan Budayawan dari Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta, 2021.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo