Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Film Buya Hamka sedang tayang di bioskop berbarengan dengan sejumlah film lain, termasuk film horor.
Fajar Bustomi menemukan banyak kebaikan dan inspirasi dari Buya Hamka.
Ia sempat patah arah membuat film panjang, lalu beralih ke klip video.
Bagi Fajar Bustomi, film Buya Hamka bukan sekadar karya. Menurut pria berusia 40 tahun itu, film ini merupakan perjalanan barunya dalam memahami kehidupan. Selama meriset Buya Hamka, Fajar menemukan banyak kebaikan dan inspirasi dari Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia pertama ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Fajar ingat betul kata-kata indah Buya Hamka yang tertuang dalam bukunya, Akhlaqul Karimah. Salah satu kalimatnya berbunyi, semakin beriman seseorang, ia akan mencintai seluruh makhluk ciptaan Allah. Bahkan orang yang berbeda agama karena itu makhluk ciptaan Allah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Jadi, kita tidak boleh jahat kepada hewan atau pohon sekalipun. Bayangkan kalau umat Islam seperti itu semua, dunia pasti indah banget," kata Fajar ketika diwawancarai Indra Wijaya dari Tempo secara daring, Senin, 17 April lalu.
Selain ihwal Buya Hamka, Fajar bercerita tentang perjalanan kariernya sebagai sutradara, dari sutradara klip video musik sampai film panjang. Ia juga bercerita tentang kekhawatirannya ihwal demam film horor yang berpotensi merusak industri film dalam negeri. Tak lupa, ia menyematkan pesan pentingnya idealisme bagi anak muda yang terjun di dunia pembuatan film. Berikut ini wawancara dengan Fajar.
Seperti apa kesibukan tur promosi film Buya Hamka?
Kalau dibutuhkan, saya akan hadir, tapi dibarengi dengan pekerjaan-pekerjaan yang sedang berjalan juga. Sebab, sutradara berbeda dengan pegawai, ya, yang ada hari libur pasti. Kewajiban bagi sutradara untuk mempertanggungjawabkan dan mempromosikan filmnya juga. Jadi, sutradara harus siap kalau tidak bentrok dengan jadwalnya. Promosi film Buya Hamka sudah berjalan sejak awal Ramadan. Ketika pertama kali kami merilis pratayang, itu adalah awal kami benar-benar melakukan promosi. Kami juga memecah tim. Terkadang pemainnya harus jalan ke sana, sementara sutradaranya harus ke tempat lain.
Apakah sudah ada prediksi berapa jumlah penonton?
Belum ada prediksi. Kami semua ikhlas. Kami serahkan semua kepada Yang Maha Kuasa. Semua rezeki yang sudah diatur akan kami terima. Tapi sebagai manusia, kami harus berikhtiar. Itu bisa dilihat dari kami yang sangat serius membuat filmnya. Ini sejarah dalam hidup saya. Saat premier atau pemutaran perdana, kami melakukannya di 18 kota. Ini juga sebuah terobosan bagaimana informasi tentang film itu sampai ke penonton. Kenapa bisa sampai 18 kota? Ya, karena permintaannya begitu banyak.
Saat kami merilis poster, ternyata responsnya luar biasa karena banyak pemain top. Pratayang semakin banyak responsnya. Doakan saja filmnya sukses. Buya Hamka adalah salah satu pejuang, wartawan yang ikut berjuang lewat tulisan-tulisannya. Film itu cermin budaya bangsa. Adapun film ini berkisah tentang pejuang. Kalau film pejuang ini sukses, orang lain akan menganggap kita sebagai bangsa yang sangat menghargai pejuang. Sebagai pembuat film, saya merasa penting membuat film ini sukses karena banyak pembuat film yang sekarang mengalami dilema.
Dilema bagaimana?
Sekarang, pembuat film seperti satu warna saja, film horor. Bahkan rumah produksi besar yang enggak pernah bikin film horor pun ikut bikin. Sebab, mereka merasa khawatir film di luar horor, kok, enggak ada. Ini tanggung jawab bersama membuat film tentang perjuangan Buya Hamka sukses.
Cuplikan adegan film Buya Hamka. Dok. IMDB
Buya Hamka tayang berbarengan dengan film horor Sewu Dino. Apakah Anda khawatir penonton terpecah?
Tidak, ya. Rezeki sudah diatur, jatahnya segitu. Tapi yang jelas, kami harus berusaha dengan bikin film bagus. Enggak perlu memikirkan film lain. Yang penting film kami dipromosikan karena, sebagai sutradara, saya punya tanggung jawab menghadirkan karya-karya terbaik untuk anak-cucu saya, untuk bangsa Indonesia. Inilah bentuk idealisme saya bertahan bikin film yang jalurnya berbeda dengan lainnya. Saya enggak mau ke situ (membuat film horor). Kalau semua ke situ, nantinya film di Indonesia cuma satu warna. Sebagai sutradara saja lemah, tidak punya harga diri, ikut saja apa kata pasar. Sebab, kami membuat film itu bukan sekadar cari duit, tapi juga ada pesan yang tersampaikan ke masyarakat. Pesan baik tentunya.
Mengapa selera horor tetap bertahan?
Saya adalah orang yang tidak percaya pada anggapan bahwa masyarakat Indonesia itu pencinta horor. Sebab, beberapa waktu lalu ada film Miracle saja sukses besar. Artinya, memang film-film berkualitas yang akan ditonton masyarakat Indonesia. Bangsa Indonesia itu bangsa religius, makanya saya percaya film Buya Hamka ini bisa diterima. Karena itu, produser kami, Chand Parwez Servia, menyatakan sekarang tempat paling seram bukan kuburan, melainkan bioskop, karena setan semua isinya. He-he-he. Jadi, masih bisa, kok, kita bikin film berkualitas. Film Buya Hamka ini didukung teman-teman yang merasa perlu memperbanyak warna film dan pentingnya film tentang tokoh pejuang. Harapannya, film Buya Hamka menjadi penggerak untuk meyakinkan produser lain bahwa film yang digarap dengan serius juga bisa sukses.
Apakah terlalu banyak film horor bisa berdampak negatif?
Sangat bisa. Peristiwa seperti ini pernah terjadi beberapa tahun lalu, saat film Get Married (2007) yang dibuat Mas Hanung Bramantyo pertama kali tayang. Saat itu adalah titik ketika orang jenuh dengan film horor. Penonton saat itu berpikir bahwa film Indonesia cuma horor. Film Get Married itu tayang saat Lebaran bersama tiga film horor besar. Pada hari pertama, film horor masih mendominasi. Tapi hari-hari berikutnya sampai momentum Lebaran selesai, film Get Married menjadi yang paling sukses. Itu keyakinan saya.
Setelah Get Married itu, warna film Indonesia beragam lagi. Enggak cuma satu warna. Kalau semua orang cuma satu warna, horor saja, itu yang akan merusak film Indonesia. Jadi kemunduran, cuma satu: horor. Efeknya, bangsa Indonesia dianggap sebagai bangsa yang percaya klenik. He-he-he. Bahkan kawan-kawan pembuat film itu sering mengajak kami bikin film lain karena mereka pun jenuh dengan film horor. Ceritanya pun begitu saja. Kalau enggak orang pindah rumah diganggu setan, ya, orang sedang salat diganggu setan. Enggak berkembang.
Jadi, Anda yakin ramainya film horor akan jatuh lagi?
Saya enggak bermaksud agar enggak ada film horor lagi. Warna film horor masih diperlukan, tapi jangan sampai semua orang hanya berani bikin film horor. Secara manusiawi, kalau yang ditawarkan itu-itu saja, pasti bosan. Misalnya orang yang selalu diberi makanan mewah dan enak, seperti steak, setiap hari pun pasti akan bosan. Pasti mereka akan mencari makanan yang jauh lebih sederhana, seperti tempe orek. Jadi, kalau dimakan setiap hari, steak tidak akan menarik lagi. Makanya, kami memberanikan diri ambil terobosan itu. Sutradara harus punya idealisme. Jangan sekadar bikin film untuk cari uang. Sekarang orang bikin film horor karena cuma itu saja yang laku dan bikin untung. Lalu sengaja bikin film dengan lampu gelap-gelap saja agar seram. Kami yakin orang pasti ada titik jenuhnya.
Seperti apa pengalaman unik saat proses produksi film Buya Hamka?
Ini film yang digarap dua rumah produksi besar (Starvision serta Falcon Pictures), dan ada keterlibatan Majelis Ulama Indonesia. Saya dipercaya sebagai sutradara saja sudah menjadi kehormatan. Kedua, film ini merupakan film dengan waktu penggarapan yang paling lama dari riset sampai selesai syuting. Penggagasan ide, brainstorming, dan skenario saja mulai 2014. Skenario jadi pada 2018, syuting hampir enam bulan. Lalu selesai syuting, durasi kerja luring saya paling panjang, yakni tujuh jam. Saya enggak pernah sebelumnya mengedit setelah syuting itu sampai tujuh jam. Makanya, film Buya Hamka dibagi menjadi tiga volume karena desain awal yang berdurasi dua jam itu malah jadinya 3,5 jam, dan itu menurut kami terlalu panjang.
Saya enggak setuju orang menonton film di bioskop begitu lama sampai mengganggu jadwal salat. Akhirnya kami putuskan durasi film harus di bawah dua jam per volume. Kebetulan, setelah kami edit, ternyata film ini memang harus dibagi dalam tiga volume. Bagian pertama berbicara pada saat Hamka baru menikah sampai Indonesia merdeka, yakni 1930-an sampai 1945. Bagian kedua dari Indonesia merdeka, agresi militer Belanda kedua, sampai Buya Hamka diangkat sebagai Ketua MUI pertama pada 1975. Lalu volume ketiga adalah ketika Hamka lahir sampai pulang haji dan menikah. Jadi, bisa tiga film sendiri kalau sesuai dengan temanya. Memang enggak mungkin kami menggabungkan ketiganya karena terlalu panjang. Kalau diedit cepat-cepat, jatuhnya seperti sinetron. He-he-he.
Makanya, kami harus menjaga tempo film ini. Sepanjang hidup, saya baru melihat produser membiayai film dari setting, makeup, hingga lokasi. Itu luar biasa dahsyat biayanya. Ada kejadian ketika kami harus bangun beberapa bagian dari kapal laut, saat Buya Hamka pergi haji pada 1928. Karena kapal itu sudah enggak ada, kami harus membangunnya lagi dengan perbandingan 1 : 1, tapi cuma beberapa bagian dari kapal.
Lalu kami harus membangun surau di Padang, harus pergi ke Mesir untuk membuat suasana pada 1928 dengan layak. Itu tidak mudah di negara orang. Kami memblokade satu kawasan cuma untuk syuting. Itu kawasan biasa seperti Kota Tua di Jakarta kami blokade, tidak boleh ada yang masuk selain kru dan talent dengan pakaian era 1928. Makanya, waktu mengedit begitu panjang karena kami tidak ingin film dengan biaya sangat besar ini jadi film yang tergesa-gesa.
Bagaimana cerita Anda syuting di Mesir?
Sebenarnya ini bentuk keseriusan rumah produksi. Jadi, desain awalnya adalah adegan ketika Buya Hamka berumur 18 tahun pergi ibadah haji. Awalnya, gambar di padang pasir saat itu akan menggunakan teknologi CGI. Maksudnya, diedit dengan layar hijau begitu. Lalu saya bilang, kalau bisa, di lokasi asli. Tujuannya agar, ketika saya menaruh kamera, ke mana pun kamera mengambil gambar, itu semua sudut harus gurun pasir.
Tapi ini harus kami buat maksimal karena merupakan adegan puncak. Sebab, ketika berusia 10 tahun, Buya Hamka dianggap tak bisa menjadi ulama besar seperti ayahnya. Tapi semakin besar, dia membuktikan diri hingga gongnya terjadi saat naik haji. Sebab, pergi haji pada 1928 tidak semudah sekarang. Harus naik kapal berbulan-bulan, dan itu dilakukan seorang berusia 18 tahun. Kami sangat senang ternyata pemikiran produser lebih dahsyat dibanding sutradara. Film ini harus digarap sungguh-sungguh, makanya diputuskan syuting di Mesir.
Bagaimana kegiatan syuting di Mesir?
Syutingnya tidak semudah langsung syuting saja. Awalnya kami ingin ke Mekah. Tapi, setelah kami survei, ternyata Mekah sekarang sudah jauh berbeda dibanding pada 1928. Apalagi di sana sudah ramai jemaah beribadah. Takutnya nanti syuting kami malah mengganggu ibadah orang. Belum lagi orang-orang yang beribadah itu sudah pakai atribut kekinian, sedangkan kami harus menghadirkan suasana 1928. Maka, dicarilah tempat yang bangunannya tidak jauh berbeda dari era itu. Nah, ketemulah Mesir. Lalu kami datang ke sana dengan beberapa anggota tim. Kami coba cari lokasi yang pas. Kami cari rumah produksi yang biasa bekerja sama bikin film dengan negara luar.
Setelah kami syuting di Indonesia, ternyata visa kami ke Mesir tidak keluar. Kebetulan di Mesir ada konflik pergantian pemerintahan. Mesir takut sekali kedatangan tamu dari luar, lebih-lebih bawa kamera. Jadi, kami tidak bisa ke sana. Lalu produser membiayai kami untuk pergi ke Yordania. Tidak murah, lho. Kami berangkat tujuh orang selama hampir 10 hari atau dua pekan. Saya lupa. Kami cari lokasi syuting sampai ke Petra, Laut Mati, dan beberapa tempat bagus yang kira-kira bisa mewakili Mekah pada era itu. Balik dari Yordania dengan data-data pengganti Mesir, kami sampaikan di kantor produser.
Saya ingat belum sempat pulang dan ganti baju saat itu. Lalu produser merasa lokasi syuting enggak sebagus Mesir. Jadi, kami tetap harus syuting di Mesir. Itulah yang saya suka dari para produser film ini. Ketika ingin bikin film terbaik, harus dipilih yang terbaik, bukan sekadar bisa syuting. Tidak sekadar mencari yang murah agar bisa untung. Bukan untung-rugi, melainkan totalitas bikin film terbaik untuk negeri ini. Yang terbaik di Mesir, ya, syuting di sana. Alhamdulillah, dengan bantuan kedutaan besar serta rumah produksi film di sana, akhirnya keluarlah visa kami dan bisa syuting di sana.
Proses rias wajah Vino G. Bastian untuk film Buya Hamka. Dok Falcon
Bagaimana dengan kabar biaya rias wajah pemain Buya Hamka yang mencapai Rp 3 miliar?
Jadi, dalam film Buya Hamka, itu ada dua makeup. Satu, makeup untuk sehari-hari tanpa prostetik. Kedua, makeup yang pakai prostetik. Kalau untuk syuting saat Buya Hamka masih muda sampai 30-an tahun, kami enggak pakai prostetik untuk Vino Bastian. Cuma ditambahkan kumis. Hanya dirias biar tampak lebih muda dan cerah. Tapi beberapa umur itu harus menua. Jadi, harus kami buat usia Buya Hamka 50, 60, 70 tahun. Itu yang namanya special effect makeup, itu yang pakai prostetik.
Dalam film ini, ada tiga karakter yang kami pakaikan makeup prostetik, yakni Buya Hamka, istrinya, dan ayah Buya Hamka. Biaya prostetik untuk ketiga karakter ini mencapai Rp 3 miliar karena memang teknologinya dari luar dan pekerja-pekerjanya adalah orang luar negeri yang tinggal di Bali. Waktu makeup saja bisa 5-6 jam. Bahan semakin bagus, jelas semakin mahal. Pernah ada film Indonesia yang pakai prostetik itu. Setelah jadi, ketika ngomong, kulit prostetiknya mengeras. Produser memutuskan pakai yang paling bagus. Uniknya, sekali makeup itu hanya sekali pakai.
Kulit prostetik ini tidak seperti topeng yang besoknya masih bisa dipakai. Jadi, selesai syuting delapan jam, makeup dibuka dan enggak bisa dipakai lagi. Kalau dihitung-hitung, biaya untuk satu orang sehari itu bisa sampai Rp 50 juta. Belum lagi risetnya harus datang ke Bali. Biaya bule itu per jam bayarannya.
Jadi, sebenarnya berapa biaya produksi film Buya Hamka?
Saya kurang tahu. Tapi yang jelas, ini biaya pembuatan film terbesar yang pernah saya buat. Kata produser juga begitu. Buya Hamka film paling mahal se-Indonesia sejauh ini.
Apakah itu menjadi beban untuk Anda?
Makanya, saya enggak mau tahu. Ha-ha-ha. Sebab, saat saya kemarin tahu biaya makeup saja sampai Rp 3 miliar, sudah bagaimana begitu rasanya. Bagaimana balikinnya? Benar-benar jadi lemas rasanya. He-he-he. Belum lagi riset dan perburuan lokasi syuting kami sampai ke Yordania. Itu saja bisa Rp 700 juta sampai Rp 1 miliar dan enggak terpakai. Sebab, nilai mata uang Yordania lebih besar daripada dolar Amerika Serikat. Biaya di sana, untuk makan, hotel, mobil, dan sebagainya, serba mahal. Pasti jadi beban buat kami karena, sebagai sutradara, pasti ingin semuanya efisien.
Bagaimana cerita Anda mendapat tawaran membuat film Buya Hamka?
Itu terjadi ketika saya datang ke rumah produksi Falcon Pictures untuk menerima bonus dari suksesnya film Dilan 1990. Alhamdulillah produser saat itu memberi saya hadiah bonus dengan nominal sangat besar. Setelah diberi bonus, ditawarin lagi, mau menyutradarai film Buya Hamka, enggak? Kira-kira honornya berapa? Lalu di situ saya jawab bahwa saya selalu berdoa agar suatu saat nanti bisa menjadi sutradara Buya Hamka. Sebab, dari buku yang saya baca, beliau orang baik dan menarik sekali kalau pengalaman beliau dijadikan film. Bisa menjadi hal yang menarik untuk masyarakat Indonesia. Bagaimana sikap ketika beliau dipenjara Sukarno, tapi berikutnya Sukarno menulis surat wasiat bahwa ia maunya disalatkan beliau ketika meninggal. Ini bukti bahwa Buya Hamka orang baik. Buya Hamka tanpa pikir panjang mau terima permintaan wasiat itu dan memaafkan Sukarno. Itu luar biasa. Lalu saya bilang keinginan saya terlalu besar untuk jadi sutradara Buya Hamka. Saya jawab, kalau perlu, dalam film ini saya yang bayar. Maksudnya, saya nyogok biar saya jadi sutradara. Ha-ha-ha.
Bagaimana kisah Anda memulai karier sutradara?
Sebenarnya, saya kuliah di Institut Kesenian Jakarta (IKJ), mayornya di penyutradaraan film. Lulus dari IKJ, saya ikut Mas Hanung Bramantyo sebagai asisten sutradara. Sampai akhirnya ada film pertama saya berjudul Bestfriend? pada 2008, tapi justru itu yang membuat saya trauma bikin film. Jadi, saat saya bikin film itu, ternyata tayang bareng dengan film horor esek-esek. Ketika film saya dapat penonton 200 ribu orang, sementara film horor itu sampai 1 juta penonton, saya dianggap tidak bisa bikin film oleh produser. Bahkan Mas Hanung menganggap ketidaksuksesan film saya itu karena berbarengan dengan film horor esek-esek tersebut.
Ya, saya sampaikan bahwa kesuksesan film itu bukan karena faktor film, sutradara, dan pemain saja, tapi juga banyak faktor, termasuk bagaimana produser mempromosikan filmnya. Bagaimana orang menonton kalau mereka saja enggak tahu bahwa film itu ada di bioskop. Kedua, banyak hal, mungkin posisi di bioskop dan tanggal penayangan. Setelah itu, saya trauma enggak mau bikin film lagi. Saya berpikir, kok, produser film begini enggak tahu susah payah bikin film berbulan-bulan dengan bayaran, ya, alhamdulillah, tapi tidak sebesar yang orang bayangkan? Sebab, saat itu saya masih jadi sutradara junior dan bikin film pertama. Ya, sudah, saya pindah ke sutradara video musik.
Bagaimana perjalanan Anda menjadi sutradara klip video musik?
Video musik pertama saya itu lagunya Slank untuk film Get Married yang pertama. Dari situ, saya temukan kebahagiaan dalam berekspresi, membuat cerita. Itu panjang sekali selama bertahun-tahun. Ada ratusan klip video musik yang saya buat. Ada Padi, Slank, Vidi Aldiano, Drive, Krisdayanti, Siti Nurhaliza, Armada, dan banyak klip video artis top pernah saya buat pada era 2010-an. Sampailah di titik saya jenuh dengan klip video. Sebab, saya sekolah jadi sutradara, tapi, kok, cuma bikin durasi 3-5 menit.
Pengin bikin film panjang lagi. Waktu itu, momennya saya baru menang award klip video terbaik, yakni lagu Marcel Siahaan yang berjudul Peri Cintaku. Karena saya buatnya storytelling, jadi seperti film pendek. Piyu datang dan mengundang saya. Dia bilang hendak bikin album solo dengan 10 lagu. Dia minta saya main ke studionya untuk dengarkan lagu. Saya mendengarkan 10 lagunya dan diminta pilih satu lagu untuk jadi klip video. Saya jelaskan bahwa saya sudah enggak mau bikin klip video. Kalau mau bikin klip video, harus bercerita dan bikin terobosan karena ini album solo. Harus liar agar semua orang melihatnya.
Lalu saya sarankan klip video berdurasi 10 menit. Dia kaget karena lagunya saja cuma tiga menit. Saya bikin konsepnya karena sebenarnya klip video panjang bercerita itu sudah banyak, tapi di luar negeri. Di Indonesia mungkin masih dianggap baru. Dulu Michael Jackson pernah bikin klip video sepanjang 10 menit dan mengguncang MTV saat itu. Lalu dia bertanya soal biaya yang mahal. Saya jawab, ya, memang pasti mahal. Tapi saya carikan konsep yang bisa masuk sponsor. Waktu itu, klip video saya disponsori Mercedes-Benz karena kebetulan dia ada koneksi dengan perusahaan tersebut. Lalu, dari 10 menit konsep awal, karena ngobrol panjang dengan Piyu, jadilah konsep baru dengan durasi video 24 menit.
Bagaimana selanjutnya?
Kemudian Piyu sampaikan bahwa ada stasiun televisi yang mau beli klip videonya. Saya minta ia menolaknya karena, kalau dijual ke stasiun televisi, itu akan jadi milik mereka. Mending dijadikan film panjang. Piyu kaget karena keluar biaya lagi. Saya bilang akan carikan dananya. Maka, saya datanglah ke Pak Parwez. Lalu dikonsepkan jadi omnibus, empat lagu Piyu dijadikan film pendek yang berjudul Aku Cinta Kamu. Tapi ada beberapa sutradara, ya. Nah, dari situ saya balik lagi ke sutradara film panjang.
Lagi-lagi kebetulan ada ulang tahun Slank ke-30. Saya ditanya Mas Bimbim soal kado apa yang pas buat Slank. Ya, sudah, saya jawab saja film panjang untuk Slank. Itu momentum saya balik ke film panjang. Lalu siapa yang modalin? Saya bilang ke Pak Parwez lagi. Beliau orang yang sangat berjasa buat saya balik ke dunia film. Beliau bapak sayalah. Lalu jadilah film Slank Nggak Ada Matinya (2013). Tapi ada peran Mas Hanung Bramantyo juga sebagai supervisor saya.
Apakah ada kedekatan Anda dengan Slank?
Sempat beberapa kali menggarap klip video dan beralih ke film panjang. Ya, memang saya Slankers. He-he-he. Jadi, pada masa SMP dulu, saya nongkrong di Potlot. Tapi, ya, Mas Bimbim dan Mas Kaka waktu itu enggak kenal saya, tapi saya tahu mereka. Ya, sebatas pengagum Slank. Kalau Slank tampil, di mana pun saya datang. Pas mereka keluarkan album baru, saya pasti beli. Lalu meja sekolah dicoret dengan tulisan Slank.
Saya cerita itu ke Mas Bimbim dan Mas Kaka, makanya beliau setuju saya yang bikin film Slank karena dianggap feeling-nya dapat. Kebetulan, dulu itu (Slank Nggak Ada Matinya) adalah film pertama saya yang ditonton Pak Joko Widodo. Waktu itu, beliau masih Gubernur DKI Jakarta. Lalu film kedua saya yang ditonton beliau adalah Dilan 1990. Semoga bisa hat-trick, film Buya Hamka saya ditonton Pak Jokowi lagi. Ha-ha-ha. Kalau Pak Jokowi sebagai presiden merasa penting mengangkat tokoh penting menjadi film kebanggaan Indonesia, seharusnya menonton, ya. Apalagi Pak Wapres sudah menonton. He-he-he.
Bagaimana ceritanya Wakil Presiden menonton film Buya Hamka?
Pak Wapres sebelumnya kan Ketua MUI. Jadi, film ini digagas tiga kepemimpinan MUI. Digagas oleh Pak Din Syamsuddin. Saat akan syuting, itu ditandatangani Pak Ma'ruf Amin. Lalu ketika akan tayang, masuk era kepemimpinan Muhammad Cholil Nafis. Etikanya, kami mengundang beliau karena beliau membubuhkan tanda tangan saat syuting. Jadi, saya kirim undangan ke beliau. Lalu lama dijawabnya. Tahu-tahu besok Pak Wapres ingin nonton film Buya Hamka. Padahal film finalnya belum selesai. Lalu produser minta kami tayangkan film yang sudah ada, tapi masih perlu koreksi beberapa hal. Ya, sudah, kami putuskan nonton di kantor Falcon.
Pukul 2 siang, Paspampres datang, lalu melihat kelayakan lokasi karena beliau kan pemimpin negara. Kami disarankan agar acara nonton tidak di kantor Falcon karena takutnya malah mengganggu warga karena keamanan Wakil Presiden itu yang utama. Ya, sudah, kami menelepon pihak XXI dan diizinkan di XXI Epicentrum. Saya baru tahu SOP (prosedur operasi standar) mengundang Wakil Presiden itu enggak bisa sembarangan. Semua harus dicek, bahkan Paspampres datang sehari sebelumnya. Akhirnya, selesai ditonton pada hari berikutnya oleh Pak Ma'ruf Amin. Responsnya, beliau suka dengan filmnya dan merasa filmnya wajib ditonton kalangan muda.
Apakah Anda sempat mengirim undangan menonton film Buya Hamka ke Presiden Joko Widodo?
Kami sempat kirim-kirim (undangan) ke Presiden, tapi mengurus negara kan sangat sibuk. Jadi, kami enggak terlalu yakin beliau bisa kalau kami undang. Sebab, kalau kami undang, berarti harus sesuaikan jadwalnya dengan undangan kami. Tapi, berdasarkan pengalaman film Dilan 1990, kalau ada waktu, pasti beliau akan menyempatkan menonton. Sebab, saya yakin film ini cermin budaya bangsa.
Bagaimana cerita Pak Presiden Jokowi datang menonton film Dilan 1990?
Ketika itu, beliau menonton dadakan di Senayan City. Saya lagi jalan waktu itu, tahu-tahu ada di Instagram bahwa Pak Jokowi ke Senayan City menonton film Dilan 1990. Nah, selama waktu dua jam pemutaran film itu, saya dalam perjalanan dari bandara menuju ke lokasi untuk menunggu Pak Jokowi keluar dari bioskop.
Saya ingin ucapkan terima kasih karena sudah mendukung perfilman Indonesia. Langsung waktu itu dipanggil Paspampres untuk diajak makan siang bareng Pak Jokowi. Itu dadakan juga. Saat itu, setelah selesai makan, saya tanyakan ke beliau mengapa menonton film Dilan? Beliau jawab bahwa ini bentuk dukungan pemerintah dengan menonton film itu. Sebab, pembuat film pasti bangga kalau karyanya ditonton presiden. Mudah-mudahan menjelang tahun-tahun terakhir Pak Jokowi menjabat presiden, bisa hat-trick beliau menonton film karya saya. He-he-he.
Saya rasa penting banget Presiden Joko Widodo menonton film ini dan belajar tentang Buya Hamka, seorang tokoh bangsa luar biasa yang sampai akhir hayatnya memperjuangkan Indonesia. Daripada Indonesia ribut, ia memilih ikhlas dengan apa yang terjadi pada hidupnya. Harus tetap baik menjadi manusia.
Anda sangat lekat dengan pelabelan film Dilan. Bagaimana tanggapan Anda?
Itu risiko yang jadi sebuah kebanggaan. Risiko kalau bikin film yang orang suka, akan dilekatkan dengan pembuatnya. Film Dilan itu kan sukses dan film yang baik juga, maka wajar penonton selalu mengingat saya dengan film Dilan. Ya, enggak apa-apa saya dipanggil Fajar Dilan. Tidak jadi masalah. Malah baik kesuksesan film Dilan dipakai politikus-politikus untuk kesuksesan politiknya.
Sebab, muncul kata yang berbau "Dilan" seperti "Dilanjutkan". Ya, bangga sajalah. Sebab, bagi seorang sutradara, kalau sebuah film sudah ditayangkan ke masyarakat, itu sepenuhnya jadi milik masyarakat. Mau dibanggakan atau dihujat, ya, biarkanlah. Bahkan untuk kampanye politik, selama niatnya bagus, enggak apa-apa. Tapi kalau sudah bicara soal royalti atau urusan bisnis, ya, biar komunikasi dengan produser. He-he-he.
Bahkan ada orang yang memakai karakter Dilan untuk aktif di media sosial, bahkan berjualan. Bagaimana tanggapan Anda?
Itu yang namanya berkah. Berkah itu, ketika ada orang suka, kagum, dan efeknya dapat duit dari situ, nah, itu berkahnya dia. Kalau saya, enggak ada masalah. Tapi kalau akhirnya ada produk dan berkaitan dengan iklan, itu sudah urusan dengan rumah produksi. Tapi kalau untuk lucu-lucuan di media sosial sampai terkenal, saya malah senang.
Kabarnya, Anda sempat ingin berhenti berkarier sebagai sutradara. Bagaimana ceritanya?
Keinginan berhenti itu sudah sangat bulat, hampir 99 persen. Jadi, saya baca-baca tulisan dan belajar dari Buya Hamka. Saya merasa, sebagai sutradara, saya sangat kecil. Tidak ada kontribusi akhirat yang ingin saya perjuangkan. Kebanyakan waktu saya cuma untuk berkarya sampai lupa tentang hari kiamat. Kok, saya tidak sebanding dengan Buya Hamka? Satu persennya saja tidak ada.
Akhirnya saya putuskan. Rezeki yang diberikan Allah kepada saya sudah sangat luar biasa dalam bentuk honor sebagai sutradara, bonus, dan sebagainya. Itu sudah lebih dari cukup, bisa saya pergunakan untuk buka warung dan berdagang sehingga punya waktu lebih banyak untuk ibadah. Atau saya bikin usaha lain, seperti ternak ikan atau apa pun itu. Sebab, hidup itu tidak selalu harus bermewah-mewahan. Terlebih, kemarin ada pandemi Covid-19 yang mengajarkan untuk hidup lebih sederhana. Yang penting kita bisa ibadah dan cukup makan itu sudah cukup. Pandemi itu benar-benar sebuah keberkahan untuk saya.
Lalu?
Kemudian, saat berbincang dengan ulama-ulama (selama proses pembuatan film Buya Hamka), saya berucap ingin berhenti bikin film karena terlalu banyak hal yang malah jadi negatif kalau kita salah menanggapi. Belum lagi kerja pagi sampai malam, azan salat ditabrak terus. Tapi belakangan, saya belajar dari Deddy Mizwar bahwa, jika ada azan kita berhenti kerja untuk salat, itu ternyata bisa dilakukan. Ada ayatnya yang berbunyi, ketika kamu dahulukan akhiratmu, urusan dunia akan mengejarmu, akan dimudahkan Allah. Ya, betul, selama ini kita selalu utamakan urusan dunia, padahal ada urusan akhirat yang lebih kekal.
Itu saya temukan ketika saya meriset film Buya Hamka. Saya sampaikan kepada ulama yang hadir untuk menonton film Buya Hamka versi belum jadi. Tapi ketika saya izin berhenti bikin film, malah dilarang oleh mereka. Alasannya, ilmu itu harus bermanfaat. Saya harus mensyukuri ilmu perfilman yang saya dapat selama belajar. Gunakanlah ilmu dunia yang dipelajari agar menjadi lebih bermanfaat. Caranya, bikin film-film yang banyak manfaatnya. Akhirnya, saya putuskan enggak jadi berhenti karena saya harus menjadi pejuang di dunia perfilman Indonesia untuk menghadirkan film berkualitas. Semoga masih ada produser yang mau memberikan kepercayaan itu kepada saya. Kalau tidak ada, barulah saya berhenti. He-he-he. Karena itu, idealisme begitu. Itu juga yang disampaikan Pak Deddy Mizwar.
Saya ucapkan terima kasih dan hormat kepada Deddy Mizwar sebagai sutradara dan aktor karena selalu menghadirkan film-film berkualitas serta berakhlak. Saya dengarkan Pak Haji Deddy Mizwar. Saya berterima kasih kepada salah satu tokoh penting perfilman Indonesia itu. Kalau tidak ada beliau, tidak akan ada film Naga Bonar, Lucunya Negeri Ini, dan lain-lain. Bahkan beliau bikin juga film serial di televisi yang ceritanya ringan, tapi ada pesan baik.
Seperti apa saran dan masukan untuk sutradara muda?
Ini masukan untuk semua orang. Untuk siapa pun yang ingin berkarya, entah film atau media apa pun, idealisme itu penting. Jangan membuat sesuatu yang dipikirkan pertama adalah uangnya. Sebab, ketika kita bisa buat sesuatu yang bagus dan mengesankan orang, ketika karya itu sukses, otomatis uang akan datang sendiri. Sebenarnya kalimat ini dari Steven Spielberg. He-he-he. Kalau dia, bilangnya begini, "Jangan jadikan uang sebagai patokan kamu berkarya. Tapi, ketika sukses, uang itu akan datang sendiri." Kira-kira begitulah.
Sutradara film Buya Hamka, Fajar Bustomi. Dok. pribadi
Apa hobi Anda?
Hobi saya banyak banget. Tapi saya akhir-akhir ini sedang suka banget kamera-kamera jadul. Saya suka simpan kamera jadul di rumah. Kalau dari dulu, banyak. Hobinya berubah-ubah, dari main bola hingga sepeda motor. Sekarang sedang sibuk dengan kamera jadul dan koleksi buku-buku, sih. Saya itu mengidap disleksia. Tapi belakangan, ketika belajar soal Hamka, itu mau enggak mau harus baca. Makanya, saya mengoleksi buku-buku keren.
Apa yang Anda suka dari kamera jadul?
Waktu awal kuliah, saya dibelikan kamera oleh ibu saya. Waktu itu kamera (Nikon) FM-10. Kamera foto pertama saya. Kamera foto itu sekarang sudah tergantikan dengan kamera digital. Tapi belakangan, kamera seluloid ini populer lagi. Jadi, gara-gara ingat kamera pertama yang dibeliin ibu, sekarang kamera-kamera yang zaman dulu dianggap orang sekarang enggak penting lagi sedang saya cari-cari. Sebab, seperti nostalgia. Waktu dulu ingin beli kamera ini, tapi enggak bisa karena mahal. Sekarang jadi hobi saya. Efek-efek kamera jadul itu yang menarik.
Apa yang Anda alami dan rasakan dengan mengidap disleksia?
Jadi, saya dulu menganggap disleksia sebagai kekurangan dalam diri saya. Kok, saya enggak seperti orang lain yang mudah membaca? Saya juga pengin sekali membaca buku. Dulu, kalau di sekolah, baca agak susah. Kadang-kadang, kalau lagi baca, kok, agak pusing dan tulisannya lompat-lompat? Tapi saya enggak tahu bahwa itu adalah nama sebuah penyakit. Sampai akhirnya, ketika saya ikut ujian di IKJ, ada satu dosen yang memberi saya ujian tertulis. Saya masuk bidang film salah satunya karena mau bikin film. Saya enggak mau ketik-ketik tulisan begitu meski saya bisa juga bikin skenario, tapi saya suka menggali ilmu itu dari menonton film. Seperti Ayat-ayat Cinta, saya belum selesai membacanya. Oh, saya pilih menonton filmnya dan sudah terbayang cerita di buku seperti apa.
Nah, waktu dulu ujian, dosen Mbak Nan Achnas, sutradara film Pasir Berbisik, bilang, kok, saya mengalami disleksia. Dijelaskan bahwa disleksia itu penyakit, jadi seperti film Matrix. Ternyata memang benar, kalau saya sudah baca sesuatu yang saya tidak tertarik, tulisan itu akan jadi seperti film Matrix, lompat-lompat. Saya tidak bisa selesaikan. Jadi, terkadang saya tutup dulu, tidur dua jam, lalu baru bisa lanjut baca. Nah, belakangan, saya belajar ilmu agama. Kita tahu bahwa Allah Maha Baik. Apa yang terjadi pada hidup kita, itu pasti yang terbaik untuk kita. Dengan mengucap kata syukur, saya paham bahwa disleksia ini adalah kelebihan yang Allah kasih kepada saya agar saya bisa memfilter bacaan mana saja yang saya harus baca dan tidak. Jadi, alhamdulillah beberapa film yang saya selesaikan dari novel berarti itu secara enggak langsung tubuh dan otak saya bisa terima bahwa buku itu sebagai hal baik.
Seperti apa kesulitan belajar saat masih di bangku sekolah?
Karena saya tidak bisa seperti anak-anak lain, yakni belajar membaca buku di rumah, saya menyikapinya dengan sendiri. Saya pikir, saya belajar di sekolah harus sungguh-sungguh, tidak boleh tertinggal materi dari guru. Akhirnya saya selalu duduk paling depan kalau di sekolah sampai berhadap-hadapan dengan guru. Bahkan, waktu SMP dan SMA, saya duduk di depan sampai mejanya menempel dengan meja guru.
Jadi, semua yang dijelaskan guru itu saya dengarkan. Saya belajar dari ngobrol dengan orang atau secara lisan dengan kawan. Saya sampai sekarang punya asisten yang bagian bacain di sebelah saya. Saya dengarkan dan renungkan. Itu ada di salah satu proyek film, tapi sayangnya enggak jadi syuting. Saya saja enggak bisa selesaikan bacaannya. Bahkan saya saja dibantu dibacakan orang lain. Ya, alhamdulillah enggak jadi syuting. Sebab, kalau jadi syuting, itu entah seperti apa jadinya film.
Apakah ada yang ingin Anda sampaikan kepada teman-teman yang juga mengidap disleksia?
Bagi teman yang mungkin sama sumber pengalaman seperti saya atau punya nasib seperti saya, disleksia, enggak usah khawatir. Disleksia adalah anugerah dari Allah dan pasti ada kelebihan dari yang Anda dapatkan. Ketika saya baca-baca lagi, ternyata banyak tokoh besar yang sebenarnya mengalami hal seperti saya. Yakin saja sukses bisa diraih kalau kita sungguh-sungguh.
Jangan anggap itu sebagai kekurangan. Ini penting karena ada ibu-ibu yang panik anaknya mengidap disleksia. Harus diedukasi juga masyarakat agar enggak takut dengan disleksia. Ada solusinya juga, kok. Ada hal baik dari situ. Kalau saya, ketika selesai baca, saya jadi hafal. Kalau zaman dulu, saat masih jadi asisten sutradara Mas Hanung Bramantyo, saya bisa hafal naskah sampai halaman-halamannya, seperti scene sekian, halaman sekian. Bisa begitu saya.
Profil
Nama: Fajar Bustomi
Lahir: Jakarta, 6 Juli 1982
Pekerjaan: sutradara
Pendidikan:
- SMA Negeri 48 Jakarta
- Institut Kesenian Jakarta, studi mayor penyutradaraan film
Karya film:
- Bestfriend? (2008)
- Slank Nggak Ada Matinya (2013)
- Aku Cinta Kamu (2013)
- Tak Kemal Maka Tak Sayang (2013)
- Remember When: Ketika Kau dan Aku Jatuh Cinta (2014)
- Kukejar Cinta ke Negeri Cina (2014)
- Romeo + Rinjani (2015)
- Get Married 5: 99% Muhrim (2015)
- Jagoan Instan (2016)
- Modus (2016)
- Winter in Tokyo (2016)
- From London to Bali (2017)
- Surat Kecil untuk Tuhan (2017)
- Dilan 1990 (2018)
- Dilan 1991 (2019)
- Milea: Suara dari Dilan (2020)
- Mariposa (2020)
- Hari yang Dijanjikan (2021)
- Pintu Surga Terakhir (2021)
- My Sassy Girl (2022)
- 12 Cerita Glen Anggara (2022)
- Buya Hamka Vol. 1 (2023)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo