Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Good pagi, selamat morning," kata Nyonyong—panggilan akrab Lius Pongoh—kepada Rexy Mainaky, yang baru saja masuk kantor setelah liburan ke London, Inggris, selama dua pekan. Keduanya lalu berpelukan di depan pintu Kantor Sekretariat Pengurus Besar Persatuan Bulu Tangkis Seluruh Indonesia (PB PBSI), Cipayung, Jakarta, Kamis pekan lalu, sambil tertawa-tawa. "Selamat," ucap Nyonyong, yang mantan Ketua Bidang Pembinaan Prestasi PBSI itu.
Rexy layak mendapat tahniah karena sebelum berlibur ia telah memenuhi harapan masyarakat Indonesia. Anak asuhnya menggondol dua gelar dalam Kejuaraan Dunia Bulu Tangkis 2013 di Guangzhou, Cina, pada pertengahan Agustus lalu. Kedua gelar itu didapat dari ganda putra dan ganda campuran. Sukses itu melebihi target mendapat satu gelar dari nomor ganda putra atau ganda campuran. "Ini kemurahan Tuhan," ujar Rexy, mantan pemain ganda tersebut.
Rexy sebenarnya sudah menjadi buah bibir saat mulai menjabat Kepala Bidang Pembinaan dan Prestasi PBSI, Desember tahun lalu. Di bawah komandonya, berbagai perubahan dilakukan. Salah satunya memasangkan Mohammad Ahsan dan Hendra Setiawan. Keduanya langsung berjaya. Sampai kini sudah empat gelar diraih pasangan yang baru diduetkan selama sembilan bulan tersebut, yakni juara I Maybank Malaysia Open 2013, juara I Djarum Indonesia Open 2013, juara I Li Ning Singapore Open 2013, dan juara I World Championships Badminton World Federation 2013.
Di bawahnya, prestasi ganda campuran Tontowi Ahmad/Liliyana Natsir juga semakin mengkilap: nomor dua dunia versi Badminton World Federation (BWF). Sama dengan Ahsan dan Hendra, Tontowi/Natsir sudah menggondol empat gelar tahun ini. Tunggal putra, yang biasanya sepi gelar, menemukan momentum kebangkitannya setelah Tommy Sugiarto meraih gelar kelas super series pertama sepanjang kariernya di bulu tangkis pada kejuaraan Li Ning Singapore Open Super Series 2013.
Rexy bertangan dingin. Pengalamannya melatih 13 tahun di berbagai negara—Inggris, Malaysia, dan Filipina—punya peran besar mematangkan kepelatihannya.
Kini bukan hanya prestasinya yang semakin gemuk. Badannya juga. Rasanya tidak mungkin lagi ia minta gendong Christian Hadinata, seperti ketika menggondol emas Olimpiade Atlanta 1996 bersama Ricky Subagja. Dandanannya juga lebih perlente. Ketika ditemui wartawan Tempo Purwani Diyah Prabandari, Heru Triyono, Aditya Budiman, serta fotografer Aditya Noviansyah pada Kamis pekan lalu di kompleks Pemusatan Latihan Nasional (Pelatnas) Cipayung, ia mengenakan celana kargo putih dipadu kaus berkerah putih dengan dua kancing atas dibuka.
Apakah keberhasilan meraih dua gelar juara dunia ini adalah hasil implementasi roadmap (rencana kerja) yang Anda buat pada awal Anda menjabat Kepala Bidang Pembinaan dan Prestasi PBSI?
Yang pasti, setahun ini saya berfokus bagaimana memperbaiki motivasi pemain dan pelatih. Tapi saya tidak sendiri. Ini kerja tim.
Perbaikan konkret apa yang sudah Anda lakukan?
Bicara tentang hal itu agak sensitif. Yang jelas, perbaikan konkret yang saya lakukan adalah membentuk pemain dan pelatih untuk memiliki motivasi juara.
Bagaimana caranya?
Kami memberi kewenangan penuh kepada pelatih membuat program untuk pemainnya. Kini pemain juga jelas akan bermain di kejuaraan mana saja, sehingga ada latihan teratur.
Apa lagi yang kini membaik?
Dulu ada blok-blokan, baik pengurus maupun pemain. Kalau sekarang, pengurus dan pemain jadi satu. Tidak kubu-kubuan. Satu tujuan. Tujuannya mengembalikan prestasi bulu tangkis Indonesia.
Apakah semua atlet mendapat kesempatan bertanding yang sama?
Sejauh ini, ya. Di sini total ada 83 atlet. Tapi kan yang ikut super series tergantung peringkatnya. Super series itu harus 20 besar, dan yang 10 besar wajib ikut. Cedera atau tidak, harus datang. Itu aturannya. Kalau tidak, dendanya US$ 5.000.
Tapi kan tetap ada pemain yang lebih sering bertanding. Bagaimana mengatasi kecemburuan antarpemain?
Seharusnya jangan cemburu. Setiap pemain sudah dikasih kesempatan. Ya, pemain harus membuktikan mereka kompetitif dan memaksimalkan peluang. Lagi pula pemain dikirim berdasarkan track record dan usulan pelatih. Itu proses yang adil dan tidak ada pilih kasih.
Dari semua nomor, mana yang menjanjikan?
Sebut saja Muhammad Rizal/Debby Susanto, Riky Widianto/Richi Puspita Dili, Irfan Fadhilah/Weni Anggraeni, Edi Subaktiar/Gloria Emanuelle Widjaja, dan Lucky Mahendra/Anisa. Ganda memang cukup menjanjikan. Tentu juga pasangan Tontowi Ahmad/Liliyana Natsir dan Hendra/Ahsan.
Bagaimana dengan nomor tunggal putri?
Masih ada Linda di nomor 11 dunia. Tapi sesudah kejuaraan dunia kemarin sepertinya peringkatnya turun. Tunggal putri memang sangat memprihatinkan.
Bahkan tertinggal dibanding India atau Thailand?
Kita tak usah melihat Cina, Jepang, atau Denmark. Atau juga India dan Thailand, yang sudah di atas kita pada nomor tunggal putri. Bahkan, dibanding negara yang kalau di badminton itu enggak ada apa-apanya, misalnya Spanyol, kita kalah. Nyatanya pemain Spanyol, Carolina Marin, dalam kejuaraan dunia kemarin mengalahkan Adriyanti Firdasari.
Kenapa pemain putri kita lemah?
Jujur, saya melihatnya sebagai masalah latihan dan motivasi. Kalau saya lihat, tunggal putri bertanding tanpa menunjukkan semangat bertarung. Jadi, ini adalah masalah motivasi.
Lalu apa yang Anda lakukan?
Saya harus mengevaluasi kinerja latihan mereka, dari pemain hingga program pelatih. Saya akan berdiskusi dengan Liang Chiu Sia selaku pelatih tunggal putri untuk evaluasi semuanya.
Sejauh ini masalah apa yang Anda lihat dalam latihan tunggal putri?
Masih kurang ngotot. Kalau sudah tahu akan tampil di kejuaraan dunia, misalnya, seharusnya ada usaha lebih. Tapi, yang saya lihat, persiapan mereka untuk kejuaraan dunia begitu-begitu saja. Misalnya normalnya latihan dua jam. Seharusnya, kalau mau mengikuti kejuaraan, ada pengorbanan waktu lebih untuk latihan.
Tapi benarkah dulu memang ada masalah disiplin pada banyak pemain?
Ya, memang. Tapi untuk tunggal putra sudah membaik.
Lalu bagaimana meningkatkan motivasi pemain?
Saya duduk dengan pelatih. Sekarang kami tidak hanya melihat pemain dari sisi penguasaan teknis, tapi juga fisik dan kemampuan, lalu program. Jangan sampai pelatih bilang ke pemainnya kamu begini atau begitu tanpa ada dasar. Harus spesifik, misalnya motivasi kamu tidak ada karena kamu takut atau karena adalah masalah fisik. Ini yang harus didapatkan dulu.
Bagaimana dengan masalah insentif yang mungkin kurang?
Sekarang tidak bisa bilang begitu. Dulu kontrak dibuat secara kolektif. Satu kue dibagi-bagi. Setengah dipakai PBSI untuk biaya operasional, dan setengahnya untuk pemain. Sekarang 100 persen sponsor dan hadiah pertandingan langsung dikasih ke pemain.
Dari 83 pemain nasional itu, apakah semuanya sudah dapat sponsor?
Iya. Jadi, dari segi finansial, mereka baik. Kalau juara, misalnya hadiahnya US$ 20 ribu, ya mereka ambil semua itu.
Lalu dari mana PBSI memperoleh dana?
Kami harus banting tulang untuk mencari dana. Tapi itu urusan bagian keuangan.
Lalu bagaimana mengatasi masalah putri ini?
Pemain harus punya target. Kalau ada pemain yang sebelum diberi target saja sudah kelihatan tidak layak, ya, akan kami keluarkan.
Bagaimana dengan pelatihnya?
Kalau memang kinerjanya tidak bagus, ya, kami keluarkan juga. Bahkan itu berlaku ke saya sendiri juga. Kalau saya tidak bisa membawa Indonesia berprestasi, artinya saya tidak mampu.
Kemudian bagaimana meningkatkan motivasi pelatih, apakah mereka juga ada sponsor langsung?
Ya. Mereka mendapat sponsor individual juga. Gaji juga dinaikkan. Bonus juga ada. Misalnya pemainnya juara All England, mereka bisa mendapat tiga kali gaji. Kalau juara dunia, dapat lima kali gaji.
Apakah sponsor bisa menentukan pasangan pelatih dan pemain?
Boleh. Jadi sistemnya, pertama yang ditawarkan adalah pemain. Sponsor tinggal cari siapa yang akan disponsori. Setelah pemain sudah deal, baru nama-nama pelatih dikeluarkan. Tinggal pilih, pelatih mana yang akan dikontrak.
Bagaimana dengan pembinaan pemain baru?
Sebenarnya tidak ada masalah. Tapi memang harus kita betulkan sistemnya. Ada pelatihan yang sama antara yang diterapkan di klub dan di Pelatnas. Agar pelatihan di Pelatnas berbeda, kami juga membina para pelatih, terutama untuk menggunakan sains olahraga.
Memangnya masih banyak pelatih konservatif?
Lihat saja hasil pembinaan dan perkembangan pemain kita, mereka banyak yang berbadan kecil. Jadi, mari sama-sama belajar dan ubah pemikiran kita. Saya tidak bisa memaksa berubah pelatih yang masih beranggapan apa yang saya terima dulu harus diterapkan ke pemain sekarang. Tapi sekarang kan sudah modern. Kita harus lebih berani. Saya yakin Cina, meski masih mempertahankan tradisi berlatih yang lama, juga mengkombinasikannya dengan sains olahraga.
Seberapa jauh pengaruh sains olahraga terhadap prestasi?
Sangat penting. Mungkin, dengan metode lama, atlet hanya bisa bermain selama lima tahun. Tapi, dengan metode sains olahraga, atlet bisa bermain sampai 10 tahun. Dengan metode ini atlet juga bisa terhindar dari cedera, misalnya dengan cara pola makan tertentu.
Kalau melihat pemain yang ada, apakah ada bibit Taufik Hidayat baru?
Ada, namanya Bayu dan Anthony Ginting. Usianya masih 18-an tahun. Mereka punya potensi. Tapi, kalau soal prestasi, tetap dikembalikan ke atletnya sendiri.
Bibit Susi Susanti baru?
Ah, saya harus jujur, susah. Untuk pemain putri, ibaratnya saya harus jalan tapi enggak tahu harus jalan ke mana. Parah.
Jadi, apa target akhir Anda sebagai Kepala Bidang Pembinaan dan Prestasi PBSI?
Saya ingin mengembalikan kejayaan bulu tangkis Indonesia. Saya ingin saat Indonesia mengirim delapan tunggal ke sebuah kejuaraan, semuanya bisa masuk delapan besar. Itu terjadi tahun 1990-an.
Rexy Ronald Mainaky Tempat dan tanggal lahir: Ternate, 9 Maret 1968 Karier Sebagai Pelatih: l Melatih tim Inggris: 2001-2005 (Mengantarkan pasangan Inggris, Nathan Robertson dan Gail Emms, meraih perak Olimpiade Athena 2004 dan juara All England 2005) l Melatih Malaysia: 2005-2012 (Emas Asian Games 2006, juara ganda pria All England Super Series 2007, juara ganda pria Malaysia Super Series 2007, juara ganda pria Swiss Super Series 2007) l Melatih Filipina: 2012- (Di Macau Grand Prix Gold 2012, pasangan Filipina yang tidak diperhitungkan, Ronel Estanislao/Paul Jefferson Vivas, menumbangkan unggulan keempat Malaysia, Gan Teik Chai/Ong Soon Hock) l Melatih Indonesia: 2012-sekarang Penghargaan Prestisius: l 1992: Juara Final Grand Prix l1994, 1996, 1998, 2000: bersama tim Indonesia merebut Piala Thomas l 1995: Juara Dunia l 1996: Medali emas Olimpiade Atlanta, Amerika Serikat, bersama Ricky Subagja l 1997: Medali perunggu IBW World Championship, bersama Ricky l 2000: Juara Asian Badminton Championship bersama Tony Gunawan |
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo