Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pertemuan dengan seorang eksil di Berlin, Jerman, membawa Lola Amaria menjelajahi fakta baru korban 1965.
Butuh waktu dan pendekatan ekstra bagi Lola Amaria untuk membuka rasa takut para eksil.
Wafatnya sejumlah narasumber membuat beban pengerjaan film Eksil semakin bertambah.
Isu peristiwa 1965 sudah menghantui benak Lola Amaria sejak duduk di bangku sekolah. Sebagai generasi yang tumbuh di era Orde Baru, ia seperti dipaksa untuk menelan mentah-mentah informasi tentang 1965 dan pelarangan Partai Komunis Indonesia (PKI).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mulai dari pelajaran di sekolah sampai film Penumpasan Pengkhianatan G 30 S PKI yang saat itu wajib ditonton oleh para pelajar. Namun informasi sepotong-sepotong itu membuat rasa ingin tahu Lola semakin memuncak.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Masalahnya, saat pemerintah Orde Baru berkuasa, informasi tentang PKI sangat minim. Bayang-bayang kekuasaan seperti menciutkan nyali orang untuk memenuhi rasa dahaga informasi tentang apa sebenarnya PKI itu. Bukan sekadar penjara, mereka takut nyawa melayang cuma gara-gara mendalami informasi tentang PKI.
Rasa penasaran itu tersimpan jauh hingga 2013, saat Lola bertemu dengan salah seorang korban peristiwa 1965. Namanya Waruno Mahdi. Ia terdampar di Jerman. Waruno salah satu mahasiswa yang dikirim pemerintah Orde Lama untuk menimba ilmu di Uni Soviet.
Setelah peristiwa 1965 pecah, hidup Waruno buncah. Ia dianggap sebagai orang kiri dan tak diterima lagi sebagai WNI. Paspor Indonesia-nya dicabut sehingga ia sempat menjadi warga tanpa identitas. Sejak Orde Baru tumbang, Waruno memilih menjadi warga negara Jerman.
Dari Waruno, Lola berkenalan dengan para eksil lain. Jumlahnya mencapai 30 orang. Dari mereka, rasa penasaran Lola pelan-pelan terobati. Perempuan 46 tahun itu seperti mendapat kacamata baru yang membuat daya penglihatannya semakin jauh.
Berkat pertemuannya dengan para eksil, Lola memutuskan untuk membuat karya film dokumenter yang bercerita tentang kehidupan mereka di pengasingan. Ada juga yang memulai lembaran baru bersama keluarga kecilnya sampai ada yang tetap melajang hingga senja sembari menyimpan sakit hati yang mendalam.
"Saya lebih ingin menyentuh sisi kemanusiaan ketimbang politik," kata Lola kepada Tempo saat ditemui di kantornya, di Jakarta Selatan, Jumat, 2 Februari 2024.
Film dokumenter Lola Amaria yang berjudul Eksil tayang di bioskop di Jakarta, Medan, Surabaya, Bekasi, Tangerang, dan Yogyakarta sejak 1 Februari 2024. Sejatinya, film ini sudah siap tayang pada 2022, tapi jalan berliku harus ia lalui untuk bisa tayang di bioskop.
"Sebenarnya saya ingin film ini tayang sebelum 30 September 2023, tapi baru diberi kesempatan tayang tahun ini."
Lola bercerita panjang tentang proses riset, syuting, hingga pasca-produksi yang juga tidak mudah. Lola juga bercerita tentang ketakutan yang sangat mendalam dari para eksil. Berikut wawancara lengkap dengan Lola Amaria.
Sutradara Film Dokumenter Eksil, Lola Amaria. TEMPO/M Taufan Rengganis
Bagaimana proses Anda mendapat ide untuk pembuatan film ini?
Saya tumbuh pada era Orde Baru. Sebelum peristiwa 1998 atau saat Soeharto jatuh itu ada banyak hal yang bikin saya penasaran dan bertanya-tanya tapi enggak tahu ke mana cari jawabannya. Jadi, dalam film Eksil, jelas sekali penonton ikut perjalanan saya untuk mencari puzzle-puzzle yang selama ini enggak pernah tahu di mana jawabannya, yang ternyata ada di mereka (pemeran film).
Adapun melalui film yang dipaksakan untuk saya tonton (film Penumpasan Pengkhianatan G 30 S PKI) selama kurang-lebih 12 tahun itu saya didoktrin oleh kebencian dan rasa takut. Ketakutan itu diwariskan sampai sekarang. Kalau mau tanya pun takut diculik, dibuang, dibunuh mungkin, dipenjara. Jadi, tidak ada yang berani.
Sampai saya kuliah berteman dengan mahasiswa sejarah jadi tahu sedikit dari buku tentang 1965 yang saya pinjam. Ternyata banyak versi dari peristiwa itu.
Lalu?
Puncak rasa penasaran itu terjawab ketika saya dapat banyak undangan pemutaran film ke Eropa pada sekitar 2010-2013. Di sela-sela itu saya dikenalkan oleh salah satu mahasiswa di Berlin, Jerman, dan datang ke rumah salah satu eksil bernama Bapak Waruno Mahdi.
Dari situ beliau cerita kenapa bisa di Jerman, sejak tahun berapa, ceritanya bagaimana. Setelah diceritakan, saya paham beliau adalah salah satu korban dari peristiwa itu. Lalu saya bertanya kepada beliau, "Ada berapa orang seperti Anda?"
Jadi, dari Waruno Mahdi itu Anda mencari para eksil lainnya?
Iya. Dari cerita Pak Waruno ternyata banyak orangnya dan tersebar. Ada yang di Rusia, Belanda, Prancis, Republik Cek, dan sebagainya. Saya minta kontak mereka dengan alasan waktu itu siapa tahu nanti ketika saya berkunjung di negara itu saya bisa sempatkan bertemu.
Lalu baru pada 2013 saya mulai melakukan riset. Dari situ saya punya ide untuk membuat film dokumenter karena orang-orangnya masih hidup. Kalau misalnya diperankan orang lain, pasti akan beda, ya, malah takutnya dianggap fiksi. Lagi pula kalau diperankan oleh orangnya, tentu akan semakin dalam.
Apakah Anda menemui mereka di beberapa negara?
Iya, tapi itu enggak mudah juga. Jadi, ketika saya sudah niat merekam mereka untuk menguatkan riset saya, mereka justru menolak saya. Mungkin karena mereka sudah trauma. Padahal awalnya itu enak banget cerita ketika saya tidak merekam. Sudah seperti cerita anak dan bapak.
Tapi ketika saya sudah bawa alat kamera dan perekam, kebanyakan dari mereka seketika galak sembari bertanya siapa saya sebenarnya? Siapa yang menyuruh saya? Organisasi apa di belakang saya? Saya kaget sekali waktu itu. Akhirnya saya mengalah karena saya tahu saya enggak boleh ikut keras karena trauma mereka sampai sedemikian kuat.
Sutradara Film Dokumenter Eksil, Lola Amaria (tengah) dalam pembuatan film Eksil. Dok. Lola Amaria Production
Bagaimana cara Anda meyakinkan mereka?
Jadi, beberapa bulan saya berpikir, lalu saya bercerita kepada teman saya yang tinggal di Belanda. Saya minta tolong kepada mereka untuk melakukan pendekatan personal. Maklum, saat itu saya belum terkenal sampai ke mereka karena karya-karya saya pun belum banyak.
Akhirnya pelan-pelan teman saya meyakinkan mereka bahwa saya tidak terlibat dalam organisasi apa pun. Proses negosiasi ini saja cukup lama, sekitar setengah tahun. Tidak mudah mengembalikan kepercayaan mereka. Akhirnya kami mulai diperbolehkan syuting pada 2015.
Lama sekali ya dari ide muncul pada 2013 sampai pengambilan gambar dimulai pada 2015?
Ya, risetnya itu hampir setahun, lalu menunggu segala persiapan produksi, termasuk uang kami. Menariknya, pada 2015 itu ada dua peristiwa yang membuat kami semakin yakin harus segera syuting pada tahun itu. Pertama, para narasumber ini sudah siap dari jumlah awal 30 orang yang bersedia itu 10 orang yang enggak keberatan kami ambil gambar tanpa ditutup wajah dari mulai bangun tidur sampai tidur lagi. Jadi, mereka bersedia kami ambil gambarnya saat beraktivitas seperti berkebun, bekerja, masak, dan makan.
Sisanya bersedia diwawancarai, tapi minta ditutup wajahnya. Menurut saya, bagaimana bisa film dokumenter ini jalan dengan cara seperti itu. Akhirnya kami jalan dengan 10 narasumber itu saja. Sayangnya enggak ada perempuan karena mereka butuh persiapan lebih.
Ketika 10 orang ini sudah siap, Mei 2015 salah satu narasumber kami bernama Sarjio Mintardjo ke Indonesia dan terkena serangan jantung, kemudian meninggal. Lalu pada Juli 2015 ada salah satu narasumber kami bernama Pak Tom Iljas yang dideportasi saat berkunjung di Sumatera Barat.
Setelah kejadian deportasi, Pak Tom ini kami putuskan untuk segera pergi ke Eropa, ke beberapa negara. Di situ kami mulai hitung anggarannya berapa untuk tim kami berjumlah lima orang. Kami khawatir kalau ditunda enggak akan kelar. Karena kami selalu merasa ada saja yang enggak cukup persiapannya. Kami khawatir narasumber kami hilang karena umur siapa yang tahu.
Apa yang mereka takutkan?
Mereka takutnya saya dan tim itu intelijen yang memata-matai mereka. Karena sepanjang hidup mereka memang dimata-matai. Kejadian unik lain, ketika kami bawa kamera, ada eksil yang membawa kamera dan memasang di depan muka saya.
Kami enggak keberatan, toh kami memang minta izin wawancara, termasuk apa yang boleh dan tidak boleh kami tanyakan. Keluarga adalah salah satu isu yang sama sekali enggak mau mereka ceritakan. Keluarga mereka yang ada di Indonesia.
Lalu kapan Anda berangkat ke Eropa untuk syuting?
Akhirnya, Juli, Agustus, dan September itu saya berkeliling mencari dana setidaknya untuk biaya kami selesai syuting di Eropa. Lalu, pada Oktober 2015 kami berangkat. Selama tiga bulan kami bekerja di Belanda, Jerman, Swedia, dan Republik Cek. Ke Belanda itu paling lama karena ke beberapa kota.
Dari hal-hal yang sudah ada di konsep saya, ternyata ada yang meleset. Ya, namanya juga dokumenter. Ada banyak hal yang tak terduga yang tidak kami rencanakan malah kami temukan dengan cerita kuat. Jadi, di Belanda saat itu sedang ramai IPT 1965 (International People's Tribunal atau Pengadilan Publik Internasional).
Saya bilang ke tim saya, apa pun yang terjadi, jangan pernah ada yang tahu kami mau ke mana, mau ngapain saja, mau bikin apa. Kalau ke keluarga, bilang saja mau syuting kuliner atau wisata ke Eropa. Jadi, itu enggak ada yang boleh tahu.
Harus saya rahasiakan karena risikonya besar dan berat. Jadi, begitu sampai di Indonesia pun kami pikirkan juga materi di hardisk yang kami peroleh ini harus disalin dua lagi untuk disimpan di Belanda dan Jerman. Jadi, kami punya dua cadangan data kalau terjadi apa-apa, entah ditahan atau disita. Akhirnya aman sampai di Indonesia dan segera kami lakukan kegiatan pasca-produksi.
Lola Amaria. TEMPO/M Taufan Rengganis
Seperti apa tantangan pengerjaan pasca-produksi?
Ternyata pekerjaan itu tidak mudah juga karena saya ada pekerjaan yang lain. Materinya itu sepanjang 60 jam yang diolah dan itu berat untuk menyelesaikan sampai film yang jadi sekarang itu sampai tujuh tahun. Tapi tentang 2016-2019 itu memang sering on-off karena saya banyak pekerjaan lain. Jadi, memang Eksil ini enggak bisa disambi. Harus perhatian penuh sampai berganti editor.
Mengapa berganti-ganti editor?
Karena ada saja perasaan hasil edit filmnya belum pas, selalu ada yang kurang. Lalu pada 2020 saat pandemi sama sekali enggak ada kerjaan. Walhasil saya hubungi teman baik saya, Shalahuddin Siregar. Dia juga sutradara film dokumenter. Saya ngobrol dengan dia bahwa saya punya film tapi masih acak-acakan dan belum jelas mau dibikin seperti apa.
Lalu saya tawarkan untuk mengedit film saya. Waktu itu dia belum jawab iya atau tidak. Dia menonton dulu bahan kami 60 jam selama dua minggu, kemudian dia mau. Dia bertanya, saya maunya segmen mana karena untuk film dokumenter enggak bisa masuk ke semua segmen yang semua harus suka.
Lalu saya garisbawahi bahwa film ini bukan buat mereka yang paham soal 1965, bukan orang yang mengerti sejarah. Film ini untuk saya dan generasi di bawah saya. Jadi, gaya bertutur pun enggak boleh disuapin. Harus berupa pertanyaan yang sama soal lambang palu arit dilarang, soal PKI, dan mengapa para eksil ini enggak bisa pulang, apakah benar PKI itu jahat, apa yang mereka perbuat sampai seperti ini? Jadilah film ini berjalan sampai menemukan jawaban itu.
Termasuk animasi atau ilustrasi dan rekaman kejadian masa lalu untuk lebih mudah diterima anak muda?
Animasi dan rekaman lawas itu kan pelengkap film dokumenter. Supaya penontonnya enggak bosan karena isinya kebanyakan adalah wawancara. Jadi, saat diedit itu, film ini diberi lubang-lubang untuk ruang menceritakan berbagai kejadian, seperti Perestroika dan kejadian 1965.
Nah, untuk bagian Revolusi Kebudayaan di Cina, kami enggak dapat rekaman lawas kejadian itu. Karena kami minta rekaman itu ke Cina pun enggak akan bisa, sementara di Indonesia enggak ada sama sekali.
Akhirnya saya dan tim cuma membayangkan dari cerita narasumber bahwa itu seperti benteng dan orang-orang Indonesia itu dikumpulkan, dijaga berlapis selama bertahun-tahun. Tetap dikasih makan, tapi enggak boleh ngapa-ngapain, maka jadi stres. Berdasarkan hal itu, kami sepakat bikin ilustrasi dua dimensi yang bergerak.
Saya libatkan animator muda yang usianya masih di bawah 30 tahun. Saya libatkan mereka agar lebih menyasar anak muda yang enggak tahu apa-apa soal isu ini tapi akhirnya jadi tahu. Lalu rekaman-rekaman lawas itu harus sabar juga mencarinya karena enggak ada di Indonesia. Termasuk peristiwa 1998, itu saya beli dari Amerika Serikat. Lalu kondisi Jakarta pada 1964 itu saya beli dari Australia. Ini mahal sekali lho karena hitungannya per detik. Kami habis ratusan juta rupiah untuk footage atau rekaman lawas.
Bagaimana cerita Anda berpindah-pindah di Eropa saat syuting? Apakah ada kendala?
Sebenarnya enggak ada kendala karena sebelum berangkat itu saya sudah tahu 10 orang ini tinggal di mana. Saya tinggal atur saja. Jadwal kami waktu itu habiskan dulu narasumber yang ada di Belanda karena memang paling banyak. Selama Oktober 2015 itu kami hampir satu bulan di Belanda berkeliling dari Woerden, Amsterdam, Leiden, sampai Den Haag. Setelah itu baru ke Stockholm, Swedia. Selanjutnya ke Republik Cek, lalu naik kereta ke Jerman dan kembali ke Belanda lagi.
Di Belanda itu, hari pertama seperti Pak Kuslan Budiman ini sensitif sekali, suasana hatinya naik-turun. Jadi, kalau dapat pertanyaan yang agak keras itu, wajahnya langsung berubah. Walhasil saya harus hati-hati bertanya. Begitupun juru kamera, saya minta untuk fokus ke wajahnya. Ambil gambar dia sedang diam atau marah sekalipun.
Seperti juga Pak Asahan Aidit, beliau adik dari D.N. Aidit. Ketika kami mengobrol hal-hal yang bikin dia senang itu, cerita asyik sekali. Tapi begitu ditanya soal permintaan maaf pemerintah, dia langsung meradang. Tapi balik lagi ketika kami tanya soal masa kecilnya Aidit atau keluarganya itu dia senang sekali.
Mereka itu selalu bertanya, salah apa mereka sampai diperlakukan seperti ini. Membunuh enggak, korupsi juga enggak, tapi keluarganya diberi stigma sampai anak cucu hingga sekarang. Padahal sejatinya mereka tidak berbuat apa-apa dan tidak merugikan negara.
Dalam film, Anda juga mempertanyakan musabab lambang palu arit yang sangat dilarang. Bagaimana?
Soal lambang palu arit, mengapa dilarang di Indonesia? Ketika Pak Kuslan pakai lambang itu di jasnya, dia cuma bilang ini cuma lambang buruh dan petani. Apa yang ditakutkan?
Sangat berbahaya ketika kita didoktrin bahwa si A ini jahat dan kita semua harus ikut jahat kepada si A. Padahal bukan untuk menjadi jahat yang seutuhnya, cuma untuk membenci.
Jadi, ini yang ingin saya kasih tahu ke masyarakat bahwa apa pun harus ada dua belah pihak yang jadi acuan. Nanti mau percaya yang mana, terserah masyarakat. Yang penting, ada film versi pemerintah dan ada film versi korban. Lihat dua-duanya, mau percaya yang mana, terserah. Toh, saya enggak melawan pemerintah. Saya enggak mengajak penonton untuk jadi komunis atau PKI.
Lagi pula, apakah PKI masih ada? Sampai saat ini masih ada lho tulisan hati-hati bahaya laten PKI. Tapi di mana coba PKI itu? Sudah enggak ada. Kita takut akan PKI itu karena ditakut-takuti sampai sekarang. Jadi, isu PKI itu dimunculkan kembali hanya untuk mengalahkan lawan politik karena label PKI itu kuat banget untuk dijadikan bahan dagangan. Pokoknya, kalau ada apa-apa, tuduh saja PKI, kelar sudah.
Tapi pernahkah berpikir bahwa orang yang dituduh PKI itu sekeluarga seketurunan seumur hidup. Kita mungkin tidak merasakan itu, tapi coba lihat para eksil itu traumanya mereka sampai seperti apa. Bahkan anak cucu sampai enggak bisa sekolah dan bekerja.
Bagaimana kehidupan sesungguhnya para eksil di luar negeri yang Anda temui?
Saya merasa mereka semua pintar. Tapi terlihat sangat stres. Saya yakin, kalau saat itu mereka pulang ke Indonesia, pasti akan jadi orang penting semua, ada yang ekonom, teknik, arsitek, sampai teknologi kedokteran. Waktu mereka selesai sekolah, paspor Indonesia-nya tidak boleh diperpanjang lagi. Walhasil, mereka tanpa identitas sehingga tidak bisa bekerja sesuai dengan pendidikan mereka di negara suaka. Jadi, untuk menyambung hidup, mereka bekerja sosial, misalnya jaga perpustakaan, jaga kasir, atau menjadi pelayan restoran, seperti itu.
Bagaimana perasaan Anda melihat kehidupan mereka?
Miris, ya. Sebab, bukan cuma mereka yang meninggalkan Indonesia, tapi mereka yang ditinggalkan di Indonesia juga menderita karena enggak bisa berkomunikasi. Kalau ketahuan berkomunikasi bisa kena masalah besar, bahkan bisa masuk penjara.
Ada beberapa narasumber Anda yang meninggal sebelum film ini jadi dan tayang. Apakah jadi beban untuk Anda?
Iya, jadi beban banget. Sepuluh tahun itu lama, sampai ada beberapa dari mereka tutup usia. Pada saat syuting itu ada satu yang meninggal, Pak Mintardjo. Lalu saat selesaikan syuting itu, ada dua yang meninggal, yakni Pak Kuslan dan Pak Asahan. Karena keduanya paling baik, saya sampai bingung bagaimana cara presentasikan filmnya.
Pada masa penyelesaian film itu ada tiga orang meninggal. Pak Chalik Hamid meninggal pada Juli 2022. Pak Sarmadji meninggal pada Desember 2022. Lalu Pak Djumaini Kartaprawira meninggal pada Desember 2023. Jadi, yang tersisa tinggal empat. Kepada empat orang ini saya presentasikan filmnya di Eropa pada Januari 2023. Saya mampir ke rumah mereka. Seperti di Berlin ke rumah Pak Waruno, saya presentasi film. Lalu dia memeluk saya dan bilang terima kasih sudah bikin film ini.
Sutradara Film Dokumenter Eksil, Lola Amaria. TEMPO/M Taufan Rengganis
Lalu?
Kemudian saya ke Swedia untuk putarkan film kepada Pak Tom. Dia menangis haru. Saya minta maaf karena begitu lama saya selesaikan filmnya. Lalu saya pergi ke Republik Cek bertemu dengan Pak Hartoni Ubes di rumahnya di pinggir Kota Praha yang banyak pertanian dan sedang turun salju juga. Dia sedih karena dia pikir saya akan menginap di rumahnya, tapi saya buru-buru harus balik ke Berlin. Dia menangis.
Saya ke Belanda pada Maret 2023 sekalian ke festival film. Saya bertemu dengan Pak I Gede Arka. Beliau bahkan jadi panel dalam diskusi juga. Saya senang berhasil menyelesaikan film ini dengan waktu lama dan mereka sadar bahwa suara mereka penting untuk film kami.
Sampai sekarang peristiwa 1965 itu tidak pernah diadili orang-orangnya. Diakui sebagai kejahatan HAM berat masa lalu tapi minta maaf pun enggak. Yang mereka inginkan bukan seperti Pak Mahfud Md. (mantan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan) yang memberikan paspor WNI agar bisa pulang ke Indonesia. Mereka minta dipulihkan hak-hak dasarnya, tuduhan yang selama ini membuat mereka menderita dan berkorban begitu berat.
Apa bagian terberat dari proses produksi film ini?
Membuat rekaman sepanjang 60 jam menjadi dua jam. Itu berat karena semua bahan itu penting. Bahkan dua jam saja masih banyak yang enggak bisa masuk ke film. Eksil ini film dokumenter pertama saya. Sebelumnya saya sering bikin film fiksi. Ada satu hal perbedaan mencolok. Kalau fiksi, kita punya skenario yang ditulis, lalu krunya banyak, menyunting film juga sesuai dengan skenario.
Tapi film Eksil ini banyak jalannya. Jadi, ketika struktur film sudah dibuat, ternyata ada konsep yang tidak kami temukan pada para narasumber. Ketika Pak Mintardjo meninggal, saya sempat bingung siapa penggantinya.
Lalu bagaimana akhirnya Anda bisa memasukkan anak Mintardjo dalam film ini?
Saat kami libur syuting, saya punya ide mengambil gambar makam Pak Mintardjo, siapa tahu dibutuhkan nanti. Ya, sudah kami jalan dari Amsterdam ke Leiden satu jam saja. Kami kalau syuting tidak pernah kumpul lima orang biar enggak dilihat orang. Di tengah-tengah melamun, kami sadar ada dua anak Pak Mintardjo datang untuk berziarah.
Ya, sudah kami langsung lari untuk bertanya tentang kesediaan mereka untuk kami wawancarai. Akhirnya mereka mau, tapi setelah berdoa di makam Pak Mintardjo. Setelah itu, saya minta keduanya duduk dan kami wawancara dadakan semuanya. Kebetulan yang bisa bahasa Inggris cuma anak perempuan bernama Nurkasih Mintard.
Kebetulan sekali, ya?
Iya, sangat kebetulan. Saya juga minta izin main ke rumah mereka untuk melihat barang-barang milik mendiang ayah mereka. Mereka bersedia, tapi setelah Natal, karena saat itu tiga pekan lagi Natal. Hal-hal seperti ini yang sejak awal tidak pernah ada di konsep kami tapi justru jadi kekuatan terbesar dalam film ini.
Saya dan kedua anak Pak Mintardjo benar-benar tidak menyangka bisa bertemu di makam saat itu. Anak laki-laki mendiang Pak Mintardjo bernama Heru sempat bilang bahwa arwah Bapak mereka menuntun langkah saya untuk ke makam dan bertemu dengan Heru dan Nurkasih. Itu benar-benar mengherankan. Sebab, jangankan beda hari, beda jam ziarah ke makam saja enggak akan bisa bertemu.
Apa harapan Anda untuk film ini?
Sebagai pembuat film, tentu saya ingin film ini ditonton. Tidak ada hal yang lebih menyenangkan ketika film itu sudah dibuat, selain ditonton oleh sebanyak-banyaknya orang. Jujur, undangan untuk film ini lebih banyak dari luar negeri, tapi saya masih menahan dulu dan ingin diputar di Indonesia dulu sebelum pemilihan presiden. Saya minta jadwal bioskop saja sejak Mei 2023 itu antre. Saya sebenarnya ingin film ini tayang tahun lalu.
Ketika film Eksil menang dalam Festival Film Indonesia 2023 dan Festival Film Dokumenter 2023, banyak orang yang tanya kapan film ini akan tayang. Saya pun enggak tahu kapan dapat jadwal dari bioskop. Kemudian Desember 2023, saya dikabari pihak bioskop tahun depan mau apa enggak? Ya, saya jawab mau. Lalu dapat tanggal 1 Februari 2024. Jadi, pihak bioskop yang menentukan.
Banyak yang tanya ke saya, apakah film ini memang sengaja diputar sebelum pilpres? Saya jawab enggak karena saya ikut sama bioskop saja.
Sepertinya banyak orang yang berpikir demikian. Bagaimana cara Anda menanggapinya?
Kami benar-benar tidak ada agenda khusus untuk pemutaran film ini. Jadi, saya mengirim surat pada Mei 2023 untuk diputar September 2023 karena menurut kami film ini pantas diputar menjelang 30 September.
Sampai Juli 2023, saya enggak dapat kabar, lalu saya kirim surat lagi. Lalu saya kirim lagi surat ke bioskop itu November 2023 untuk minta jadwal, tapi belum ada kepastian. Hingga saya dikabari pihak bioskop pada Desember 2023. Semua bukti persuratan ada, kok. Sebab, memang begitu sulit menembus bioskop. Apalagi ini film dokumenter yang harus bersaing antrean dengan film horor, sudah pasti kalah.
Bagaimana Anda bernegosiasi tentang lokasi bioskop-bioskop untuk film Eksil? Mungkin di kota mana saja penayangannya?
Waktu awal, saya minta lebih banyak kota untuk pemutaran bioskop. Ada di Medan, Palembang, Lampung, paling enggak satu kota satu bioskop. Tapi oleh pihak bioskop, dalam hal ini XXI, dikurangi. Jadi, kami hanya dapat Medan, Surabaya, Jakarta, Bekasi, dan Tangerang. Lalu ditambahkan lagi Yogyakarta. Lalu saya ke CGV cuma dapat dua, itu pun jauh-jauh lokasinya.
Kenapa enggak dikasih di tengah kota yang ramai? Entah mengapa, tapi saya sadar diri bahwa film saya bukan film horor yang laku. Tapi setidaknya ini kan juga film yang dibuatnya pakai waktu, tenaga, pikiran, dan uang. Yang mereka pikir cuma ini film laku atau tidak laku atau menguntungkan mereka atau tidak. Tapi ya sudah enggak apa-apa. Begini, kami minta 10, tapi sudah dikasih lima, ya sudah enggak apa-apa. Dari yang ada dimaksimalkan saja penontonnya.
Ada yang mengaitkan film Eksil dengan isu kebangkitan PKI. Bagaimana menurut Anda?
Sejak awal kami sudah berpikir sepertinya perlu memitigasi hal ini. Karena saya harus menjamin keselamatan orang yang bekerja bersama saya. Mereka mempertanyakan keselamatan mereka nanti seperti apa. Ya pasti saya jawab saya menjamin keselamatan mereka.
Kami sempat rapat bersama pengacara juga. Lami cari tahu apakah ada potensi yang membahayakan dari film ini. Pertama, apakah film ini berarti kami melawan pemerintah? Ternyata enggak ada. Kedua, apakah film ini menyuruh orang untuk pro-komunis? Ketiga, apakah film ini menyuruh orang jadi PKI? Enggak. Dari ketiga pertanyaan dasar itu, tidak ada kaitannya. Sebab, kami menceritakan dari sisi kemanusiaan.
Setelah itu, kami masukkan ke Lembaga Sensor Film sebagai syarat sebelum tayang. Hasilnya aman 13 tahun ke atas. Jadi, kalau sudah lulus sensor, saya punya hak yang sama dengan film lain. Tapi lulus sensor belum berarti lulus tekanan publik. Kalau ini, ya kami harus pintar-pintar, enggak boleh gampang terpancing. Kalau suara itu dari orang tidak dikenal, ya diamkan saja.
Apakah sudah ada tekanan itu yang Anda rasakan?
Ada. Cuma misalnya dia menganggap film ini tidak adil karena tak ada sisi pemerintah. Jadi, dianggap provokasi. Akhirnya saya enggak ladeni. Cuma saya bilang pelan-pelan memangnya selama film Penumpasan Pengkhianatan G 30 S PKI dulu ada sisi PKI atau korban? Kan enggak ada.
Ada juga yang menganggap saya kelompok salah satu calon presiden. Saya bilang saya enggak mewakili dan enggak dibiayai oleh calon atau partai mana pun. Saya juga enggak mau kelihatan memihak karena yang saya pikirkan itu cuma film saya.
Apa yang ingin Anda sampaikan dalam film Eksil untuk anak muda yang tidak tahu sama sekali tentang peristiwa 1965?
Ada satu generasi yang sengaja dibuat enggak tahu apa itu peristiwa 1965. Mereka seperti dibikin bodo amat atau apatis hingga enggak peduli dengan sejarah. Sampai ada anak presiden yang bilang, "Ada apa dengan 1965? Saya belum lahir," itu enggak boleh bilang seperti itu. Walau dia enggak tahu, seharusnya enggak boleh bicara seperti itu. Seharusnya ia cari tahu apa yang terjadi saat itu.
Belum lagi ada anak muda yang bilang lebih enak zaman Orde Baru. Memangnya mereka merasakan zaman itu? Pada zaman itu, pembuat film seperti saya itu sudah diciduk. Jangankan lulus sensor, belum selesai bikin filmnya sudah diciduk. Buktinya, peristiwa penculikan itu benar terjadi. Orang-orang yang pernah diculik dan dikembalikan itu sudah mengakui hal tersebut.
Berapa total biaya yang Anda keluarkan untuk film Eksil ini dari awal sampai masuk ke bioskop?
Miliaran rupiah sebenarnya. Tapi totalnya berapa belum final karena ini masih berjalan.
Apakah ada target Anda untuk film ini?
Sebenarnya untuk target penonton ini buat hitungan apa dulu, kalau misal untuk balik modal, kayaknya enggak mungkin. Jadi, kalau ditanya, "Ini lebih ke value atau nilai non-material, bagi saya value ini melebihi nominal uang. Ketika film ini ditonton banyak orang, kemudian orang lain dapat manfaat pembelajaran itu, menurut saya nilainya lebih daripada yang kami keluarkan.
Soal hitungan balik modal, mungkin dari film ini tidak balik modal, tapi mungkin ada pekerjaan lain yang dibayar tunai. Intinya, ketika sudah tulus bikin ini bukan untuk cari uang, maka uang akan datang lewat pintu lain itu yang saya percaya.
Berapa orang yang terlibat ketika Anda syuting di Eropa?
Ada lima orang. Saya, dua juru kamera, satu line produser, dan satu juru suara. Lalu kami bawa dua kamera, satu untuk wawancara, satu lagi untuk kumpulkan bahan gambar lain yang diperlukan.
Sepuluh tahun itu bukan waktu sebentar. Bagaimana cara Anda menjaga konsistensi dan dedikasi untuk film ini karena waktunya panjang sekali?
Ini hal unik juga karena saya sebenarnya enggak yakin bisa sesabar ini. Jadi, enggak tahu jawabannya apa. Kalau menjaga informasi biar enggak bocor itu enggak susah, ya, jangan bocor saja. Beruntung kami cuma sedikit orang, jadi lebih mudah menjaga rahasia. Bahkan sampai tiba di Jakarta setelah syuting di Eropa, saya selalu sampaikan kepada tim saya agar jangan sampai cerita film yang kami produksi ini. Sebab, kalau ada yang datang iseng mengobrak-abrik bahan kami, ya matilah kami.
Ini film dokumenter pertama, apakah sudah ada proyek berikutnya?
Enggak tahu ya. Soalnya 10 tahun itu waktu yang lama. Bersyukurnya, selama itu saya masih dapat proyek lain. Kalau mau bikin film lagi, sudah pasti. Namun setelah ini akan ada satu film fiksi, cuma saya belum tahu akan mulai kapan. Sebab, sebentar lagi pemilu, setelah itu Lebaran. Mungkin setelah Lebaran. Itu pun kalau pemilu satu putaran. Kalau dua putaran, harus menunggu lagi hingga Juni.
INDRA WIJAYA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo