Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Sempat terpuruk setelah ditolak NASA dan SpaceX, Nia Asmady mewujudkan mimpinya bekerja di bidang satelit.
Nia Asmady mulai mencintai hal berbau teknik sejak kecil.
Menjadi putri seorang diplomat, Nia Asmady mendapat banyak pengalaman berharga.
Kebanggaan luar biasa tak bisa disembunyikan oleh Adipratnia Satwika Asmady. Perempuan berusia 30 tahun yang juga dikenal dengan Nia Asmady itu dipercaya menangani proyek pembuatan hingga peluncuran Satelit Republik Indonesia 1 atau Satria-1 di bawah panji PT Pasifik Satelit Nusantara (PSN).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ia terlibat dalam proyek tersebut sejak 2018. Pada Juni 2022, Nia terbang ke Cannes, Prancis, tepatnya ke markas perusahaan pembuat satelit, Thales Alenia Space. Selama setahun, ia bertugas mengawal pembuatan desain dan perakitan Satria-1.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kelar Satria-1 dibuat, ia lantas pindah ke Cape Canaveral, Florida, Amerika Serikat, pada Juni lalu. Di sanalah Satria-1 akan diluncurkan menggunakan roket Falcon 9 buatan SpaceX. Akhirnya, pada 19 Juni lalu, satelit berbobot 4,5 ton itu diluncurkan. Nia menyaksikan momen menegangkan tersebut dari ruang pusat kendali peluncuran.
“Ketegangan selama setahun pembuatan dan peluncuran menjadi satu tekanan besar,” kata Nia saat diwawancara Indra Wijaya dari Tempo secara daring, Jumat lalu.
Selain tentang Satria-1, Nia bercerita tentang perjalanannya masuk ke bidang teknik penerbangan. Ya, Nia mengantongi gelar sarjana dan magister Aerospace Engineering di California Polytechnic State University, Amerika Serikat.
Nia juga bercerita tentang pengalamannya berpindah negara lantaran mengikuti ibunya, Adiyatwidi Adiwoso, yang merupakan diplomat dan sempat menjadi Duta Besar Indonesia untuk Spanyol dan Slovakia.
Bagi Nia, menjadi anak seorang diplomat sangat istimewa. Ia berkesempatan melihat dunia lebih luas dan menemukan pengalaman berjumpa dengan diaspora Indonesia dari berbagai penjuru dunia. Berikut ini wawancara dengan Adipratnia Satwika Asmady.
Bagaimana rasanya menjadi perempuan pertama Indonesia yang bertugas memimpin proyek besar satelit Satria-1?
Mungkin kata bangga itu kurang untuk mendeskripsikan rasanya. Tapi tentu saja antara sebuah kehormatan melihat sesuatu yang saya ikuti dari awal dan bertemu dengan banyak orang dalam perjalanannya. Saya bisa mengenal banyak orang pintar di Indonesia dan dunia sampai pada tahap peluncuran. Jadi, dari saya, fokus ke diri saya sendiri sudah hilang. Sudah bukan tentang diri saya sendiri, melainkan semua orang yang punya andil di balik pekerjaan dan perjuangan luar biasa ini. Bagi saya, rasa terharunya lebih pada ini adalah pekerjaan kolektif dan arti proyek ini untuk membantu mempercepat Internet di Indonesia. Jadi, bagi kami dan stakeholder luar negeri pun melihatnya ada sisi humanis dari proyek ini.
Momen apa yang paling menegangkan? Bagaimana cara Anda mengatasinya?
Sebetulnya, saat satelit sampai di Florida, tempat peluncuran, satelit sudah siap. Memang dari pembangunan satelit sudah selesai, tapi masih ada beberapa kegiatan tes. Tapi tentu ada perasaan, kalau ada apa-apa pada satelit itu, imbasnya pasti akan terjadi sesuatu. Tapi, untuk saya sendiri, yang menegangkan itu pada saat pembangunan satelit. Sebab, selama saya ditugaskan di Prancis, itu cukup berat karena saya memegang kendali yang saya rasa cukup besar dan melebihi jam terbang saya.
Jadi, di situ tekanannya bukan di titik tertentu, melainkan lebih ke pengalaman setiap kali mengambil keputusan apakah keputusan ini berdampak pada hal lain. Pokoknya untuk peluncurannya sendiri pasti deg-degan. Namun, menurut saya, tekanan itu datang saat satelit sudah mulai terintegrasi pada Oktober-November 2022 dan mulainya tes di tingkat level. Jadi, banyak dinamika tim teknis dan non-teknis. Setiap keputusan harus diambil dengan bijak.
Jadi, mungkin tekanannya lebih ke rentang waktu tujuh bulan dibanding satu titik peluncuran. Walaupun ada juga tekanan saat satelit hampir selesai dan pada masa tes segala macam. Seperti contoh, kami harus memutuskan sekarang juga kami mau mengetes ulang atau jalan terus. Banyak kejadian seperti itu.
Engineer Satelit Satria-1, Adipratnia Satwika Asmady di kantor PT Pasifik Satelit Nusantara (PSN), Jakarta, 24 Juli 2023. TEMPO/M Taufan Rengganis
Bagaimana pengalaman Anda saat di markas Thales Alenia Space di Prancis? Di sana banyak orang pintar dan ahlinya satelit.
Itu salah satu pengalaman menyenangkan. Saya beruntung bisa merasakan itu di awal karier saya. Karena satelit memang sebuah hal yang berteknologi tinggi, memang melibatkan banyak orang yang benar-benar ahli di bidangnya. Ada yang ahli pada urusan tertentu, tapi ada juga yang ahli di semua hal. Saya sendiri melihatnya orang-orang ini pintar sekali, paham semua hal, dari A, B, C, hingga D. Bidang ini sangat kompleks, tapi ada orang yang bisa menguasai banyak hal yang rumit itu.
Bagaimana Anda bisa masuk ke jurusan teknik pesawat terbang? Apakah memang berminat atau suka pesawat sejak kecil?
Saya kurang tahu, ya, jawaban saya menarik atau tidak. Tapi yang bisa saya katakan adalah semua yang terjadi pada saya cukup natural. Sejak kecil, saya bukan orang yang ambisius bekerja di bidang tertentu. Karena latar belakang saya yang harus pindah-pindah, saya orangnya cukup ikut mengalir saja bersama kawan dan keluarga saya. Jadi, keputusan saya masuk ke aerospace engineering ini juga kebetulan karena dari SMA memang sudah tertarik pada IPA, tapi sebatas ingin masuk di IPA. Tapi, saat kuliah, saya inginnya ke teknik atau engineering, tapi engineering itu sendiri sangat luas.
Kebetulan, ayah saya juga bekerja di bidang teknik mesin kelas industri. Jadi, beliau bisa banyak kasih masukan. Ya sudah, akhirnya saya pilih mechanical engineering yang paling cocok. Tapi, ketika saya sudah masuk kuliah, di awal masih sangat umum. Pada tahun pertama fokus belajarnya masih bisa pindah. Nah, di situlah saat saya masuk universitas di Spanyol, ada industri pesawat Airbus di sana yang menangani pesawat dan satelit.
Saya berdiskusi dengan kolega di sana dan akhirnya saya ingin ambil aerospace engineering karena saya rasa cukup menarik. Lalu saya pindah ke Amerika Serikat. Ya sudah, fokusnya nanti bisa mendapat pekerjaan di industri pesawat. Lalu sampai di universitas di Amerika memilih konsentrasi di aerospace engineering itu bisa ke pesawat atau pesawat tanpa awak yang memang sekarang sedang berkembang. Oke, saya ambil spesialisasi di pesawat tanpa awak. Inginnya masuk ke riset dan pengembangan, ya. Jadi, sama, mengalir saja saat kuliah di Amerika Serikat.
Lalu, setelah lulus, kebetulan sempat di Amerika Serikat belum tahu mau kerja di mana karena ada keterbatasan pilihan pekerjaan di bidang ini di negeri itu. Akhirnya saya pulang ke Indonesia dan masuk ke PSN yang bergerak di dunia satelit. Jadi, perjalanannya memang natural. Saya yakin banyak orang yang seperti itu.
Bagaimana perjalanan sekolah dan kuliah Anda saat itu?
Saya latar belakangnya, karena ibu saya bekerja di Kementerian Luar Negeri, dari SMP sampai kelas XI (SMA) itu di New York karena ibu penempatan di sana. Lalu saya kembali ke Jakarta untuk melanjutkan SMA kelas XII. Setelah itu, ibu saya penempatan di Spanyol. Jadi, saya kuliah di sana sebelum ibu saya pindah lagi ke Amerika Serikat sehingga saya menyelesaikan kuliah S-1 di sana sampai lanjut S-2. Kuliah sarjana saya itu sempat dipisah, selama dua tahun di Spanyol dan selesai di Amerika Serikat bahkan sampai S-2. Kalau di Spanyol itu saya kuliah di universitas milik Amerika Serikat yang kebetulan ada kampusnya di Madrid. Jadi, di situlah saya bisa masuk ke universitas di Amerika sehingga, kalau mau pindah ke Amerika Serikat, lebih mudah kepindahannya.
Engineer Satelit Satria-1, Adipratnia Satwika Asmady di kantor PT Pasifik Satelit Nusantara (PSN), Jakarta, 24 Juli 2023. TEMPO/M Taufan Rengganis
Mengapa Anda suka dengan pesawat tanpa awak?
Karena aplikasi sipilnya masih bisa dikembangkan. Memang pada dasarnya perkembangan teknologi kebanyakan dimulai dari perang atau industri pertahanan. Buktinya Internet yang menjadi kebutuhan militer. Memang betul pesawat tanpa awak berawal dari program militer. Jadi, sampai saat ini, kegunaan pesawat tanpa awak masih besar potensinya. Kebetulan, dosen pembimbing S-2 saya itu sering memberikan contoh dari drone kecil yang bisa dimanfaatkan. Sebagai contoh, pemakaian drone untuk menghitung ketinggian pohon, tugas yang biasa diemban polisi hutan dan petugas konservasi. Biasanya mengukur pohon dengan dipanjat dan dihitung. Dengan penggunaan drone, manusia bisa mengukur tinggi pohon tanpa ada risiko tambahan saat seseorang memanjat pohon.
Sekarang yang lagi sering diobrolkan adalah pemanfaatan drone untuk agrikultur dan sebagainya. Kebetulan, saat kuliah, pembimbing saya bekerja di klub riset untuk mendalami pengaplikasian satelit ini, termasuk di bidang pertanian. Dengan menggunakan data analitis, mereka bisa melakukan pementasan kebutuhan air di lahan tersebut. Tujuan akhir, petani bisa memanfaatkan lebih banyak fokusnya untuk memelihara keuntungan.
Jadi, saat di klub riset itu, kami mencoba menerbangkan drone untuk mengambil foto-foto dan memang untuk pengaplikasian, masih bisa dijadikan data analitis. Serunya, pesawat tanpa awak itu multi-disiplin dan ke depannya masih bisa dikembangkan. Dulu, saat saya masih kuliah, saya ingat Amazon ingin punya pengiriman barang dengan drone. Saya rasa dalam 50 tahun ke depan bisa diwujudkan. Untuk drone memang industrinya tidak sebesar pesawat biasa. Drone lebih kecil masih bisa dimaksimalkan. Saya yakin suatu saat nanti Indonesia bisa memenuhi kebutuhannya sendiri dan tidak terganggu oleh produsen luar negeri.
Apakah Indonesia mampu menguasai dan memaksimalkan potensi pesawat tanpa awak?
Karena memang skalanya lebih kecil, potensinya cukup besar. Kebetulan, rekan kerja saya di Pasifik Satelit Nusantara juga banyak lulusan ITB dan berfokus ke pembangunan pesawat tanpa awak. Jadi, saya rasa potensi Indonesia masih sangat besar. Mungkin biaya pengembangan pesawat tanpa awak untuk kebutuhan sipil tidak sebesar yang untuk spesifikasi militer.
Menurut Anda, pesawat tanpa awak yang paling bisa dioptimalkan Indonesia untuk kebutuhan apa saja?
Saya masih percaya untuk agrikultur karena negara kita banyak bidang pertanian. Ujungnya adalah manajemen sumber daya dan membuat keputusan yang lebih baik dengan adanya teknologi. Jadi, harapannya bukan cuma pesawat tanpa awak yang bisa dioptimalkan untuk agrikultur, tapi data analitis dari penggunaan drone itu yang lebih penting. Sebenarnya pesawat tanpa awak itu cuma bisa foto-foto, membawa barang, dan menyambungkan komunikasi. Proses data itulah yang menjadi nilai dan informasi tambahan bagi penggunanya untuk bisa mendapatkan hasil lebih baik.
Anda menyukai hal berbau teknik mekanik sejak kecil. Apakah ada pengaruh dari ayah?
Sebenarnya enggak begitu. Saya melihat banyak teman kuliah yang memang punya hobi utak-atik robotik. Tapi saya bukan seperti itu. Satu hal yang pasti, sejak kecil saya suka membenahi barang rusak, seperti engsel pintu yang perlu dikencangkan atau keran yang hampir lepas. Itu salah satu hal yang membuat saya tertarik di bidang teknik. Karena engineering itu fungsinya lebih ke penyelesaian masalah dan mengoptimalkan fungsi benda itu.
Anda sempat bekerja di Sea, Air, Space Museum New York sebagai penyambut tamu. Bagaimana ceritanya?
Ini museum yang dibuat dari kapal induk yang sudah pensiun. Isinya pun pesawat-pesawat yang sudah pensiun juga. Kalau boleh cerita, ini masa saya mencari kerja. Saya lulus S-2 itu pada 2016. Saya kembali ke Indonesia pada 2017 bulan Juni. Jadi, saya ada rentang waktu bekerja di bidang riset di universitas. Tapi, untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, saya mendapat pekerjaan di museum. Pengalaman saya, ini lebih ke soal bertahan hidup. Waktu itu, saya lulus S-2 di jurusan aerospace engineering dan mungkin masih sangat idealis. Jadi, saat itu saya masih sangat yakin bisa mendapat pekerjaan di sana. Tiba-tiba, satu bulan lewat saya cari-cari lowongan dan mengajukan lowongan, saya wawancara di Google X, pekerjaan impian saya. Saya sempat wawancara, tapi tidak mendapat pekerjaan itu.
Selama di museum, saya belajar mengerti bahwa tidak semua orang mendapatkan kesempatan yang sama dalam pekerjaan dan pendidikan. Kedua, mungkin itu pengalaman saya untuk bisa lebih ikhlas karena saya sudah susah-susah kuliah, tapi hanya kerja segini. Timbul pertanyaan juga sampai kapan saya bekerja seperti ini. Ya sudah, ini posisi saya dan saya harap tidak akan lama. Tapi, di situ, saya bisa bertemu dengan banyak orang dari berbagai latar belakang. Jadi, saya sadar hidup itu tidak mudah. Selain itu, pekerjaan ini menyadarkan saya bahwa dunia retail itu butuh tenaga luar biasa untuk menyambut ratusan anak setiap hari dan dituntut energi lebih karena harus senyum, harus senang setiap hari.
Kabarnya Anda pernah melamar ke NASA dan SpaceX, tapi ditolak karena bukan warga negara Amerika Serikat. Bagaimana ceritanya?
Memang mereka cukup ketat soal regulasi pembatasan orang asing bekerja di teknologi militer. SpaceX memang saya mendapat undangan wawancara, tapi di akhir saya bilang bukan warga negara Amerika Serikat. Akhirnya mereka bilang tidak bisa lanjut karena roket ini masih tergolong teknologi militer.
Sempat menyesal saat itu?
Iya. Mungkin selama satu tahun setelah kuliah itu saya belajar soal hidup. Saat itu usia saya 22 ke 23, mimpinya ingin kerja di Amerika Serikat dan belum mau pulang ke Indonesia. Namun memang belum rezeki. Tapi, kalau ditanya hari ini apakah menyesal pulang ke Indonesia? Saya jawab 1.000 persen tidak pernah menyesal karena, seiring dengan berjalannya waktu, saya sadar tempat saya di sini dan saya enggak mungkin bisa mengerjakan hal yang sama di negara lain dengan umur dan latar belakang saya. Sebuah kebanggaan saya bisa bekerja di tempat dan bidang ini. Sebuah kebanggaan bisa mengerjakan proyek strategis nasional yang saya yakin di negara lain belum tentu saya bisa alami itu.
Bagaimana ceritanya Anda ikut ibu bertugas di luar negeri?
Setelah saya lahir, ibu saya sempat bertugas di Belgia. Tapi saya masih kecil sehingga tidak ingat detail. Dari umur 3 bulan sampai 3-4 tahun. Ibu saya mengambil tugas ke luar negeri lagi setelah saya SD. Jadi, pada saat SMP kelas VII-IX, saya di New York. Lalu satu tahun saya di Jakarta, lalu ke Spanyol sampai kuliah di Spanyol dan balik ke Amerika Serikat. Jadi, saya ikut ibu itu tiga kali kesempatan. Terakhir, ibu bertugas di Slovakia (Adiyatwidi Adiwoso menjabat 2017-2021), tapi anak-anak enggak ikut.
Bagaimana rasanya jadi anak diplomat?
Menjadi anak diplomat itu sangat spesial karena, walau di luar negeri, kami berinteraksi banyak dan sering berkomunikasi dengan orang Indonesia. Saya bangga bisa tahu orang Indonesia ada di mana-mana dan jaringan diaspora Indonesia sangat baik. Beruntung bisa merasa seperti di rumah meski di luar negeri. Jadi, di rumah masih makan nasi. Lalu saat Lebaran masih bisa kumpul-kumpul karena open house dan salat id juga ada masjidnya. Jadi, walaupun di luar negeri, identitas Indonesia tetap kami pegang.
Lalu anak-anak diplomat itu pasti berteman dengan anak-anak dari orang tua lain yang bekerja di kedutaan itu. Jadi, identitas Indonesia masih sangat kuat, walaupun di luar itu masih ada teman sekolah yang beraneka macam. Itu yang cukup saya syukuri setiap ikut ibu. Bisa mengenal negara baru, apalagi di New York, yang orangnya campur aduk. Lalu di Madrid saya belajar bahasa Spanyol, jalan-jalan keliling Spanyol dan Eropa juga. Namun pasti ada teman-teman Indonesia yang asyik untuk diajak komunikasi.
Apa saja pengalaman paling berharga selama ikut ibu yang seorang diplomat?
Kalau di New York, orangnya beragam sehingga kebudayaannya pun beragam. Mungkin di sini paling berat untuk saya karena saat itu belum bisa bahasa Inggris. Jadi, saya sekolah di sekolah umum di New York, belum dapat kelas, masih luntang-lantung, enggak tahu mau mengobrol dengan siapa dan tidak bisa mengobrol juga. Untuk anak kecil, itu sangat besar, ya. Tapi untungnya saya dapatkan toleransi dari sana. Boleh berbeda agama dan apa pun, tapi akhirnya kita hidup bersama. Keberagaman ini sangat berguna buat saya di masa depan.
Apakah Anda sempat merasakan diskriminasi saat di New York, mengingat isu itu masih sangat kuat di sana?
Alhamdulillah tidak. Tapi secara obyektif adalah ketika sadar teman-teman saya itu satu ras. Dan New York memang cukup beragam. Namun, saat SMA di sana, berteman itu pasti satu ras. Jaranglah yang beragam ketika memilih satu kelompok bermain. Tapi saya tidak pernah kena diskriminasi. Karena beragamnya orang di sana, akhirnya budaya jadi ikut tampak.
Tapi kehidupan di New York memang sangat spesial karena orang dalam satu petak bisa individualis, tapi ketika ada yang kesusahan di jalan pun, pasti ada yang bantu. Lalu saat duduk-duduk di taman pun pasti ada yang menyapa dan mengajak ngobrol. Orang baik masih banyak di sana dan itu dari beragam warna kulit.
Lalu bagaimana pengalaman dengan Madrid?
Kalau di Madrid, minoritas sangat sedikit. Bisa dibilang karena sejarah mereka panjang dan mereka dulu sempat menjajah sebagian besar peta dunia sehingga gaya hidup mereka yang santai, sering berpesta, menikmati hidup itu masih cukup kuat. Itu yang saya lihat bedanya orang Eropa dengan Amerika, yakni soal menikmati hidup dan kesederhanaan. Kalau di Amerika, memang mereka bekerja gila-gilaan karena image mereka ada pada apa yang mereka kerjakan. Tapi, kalau di Madrid dan Eropa, bekerja untuk menikmati hidup.
Apa saja proyek terdekat Anda?
Untuk Satria-1 ini masih berjalan dan langkah berikutnya adalah integrasi dan mulanya layanan Internet. Jadi, cukup banyak pekerjaan dan itu memakan banyak waktu saya. Ke depan, masih banyak proyek lain dan saya masih bisa mengerjakan proyek nasional, khususnya telekomunikasi, entah memakai perantara pesawat tanpa awak atau membantu dukungan pesawat tanpa awak dengan satelit dan sebagainya. Intinya, visi-misi PSN sejalan di bidang antariksa Indonesia. Saya harap ke depan kita lebih mandiri, bisa meningkatkan sumber daya manusianya, dan bisa bermain di industri teknologi tinggi. Contohnya India yang sudah sampai bulan. Tetangga kita saja bisa, pasti kita juga bisa.
Bagaimana Anda masuk PT Pasifik Satelit Nusantara?
Ya, saya mendapat tawaran. Kebetulan waktu itu mereka butuh seseorang untuk bertugas di Amerika Serikat untuk hal yang sama, pembangunan satelit. Dari situlah hidup kadang menyuguhkan plot twist, yang sebelumnya saya tidak mau pulang ke Indonesia, tapi terpaksa saya harus kembali ke Indonesia. Ternyata di Indonesia ada tawaran buat saya kembali ke Amerika Serikat. Buat saya alhamdulillah, perjalanan saya cukup natural. Sudah legawa, sudah ikhlas memutuskan berkarier di Jakarta. Eh, akhirnya dapat kesempatan bekerja di kota yang saya impikan di Silicon Valley.
Adipratnia Satwika Asmady
Apakah Anda sempat berpamitan dengan teman di Amerika Serikat sebelum memutuskan pulang ke Jakarta?
Iya, tentunya. Itu lumayan lucu karena selama enam bulan di sana, sempat bertemu dengan tiga atau beberapa kawan. Bahkan sampai sekarang mereka masih bersyukur saya mendapat pekerjaan yang membanggakan ini dengan proyek berskala nasional dan besar.
Apakah ada masukan dari Anda untuk anak muda yang ingin seperti Anda?
Lakukanlah segala hal dengan tulus. Cari motivasi yang cocok, entah ingin beli mobil mewah atau bahagia dengan jalannya sendiri.
Apa hobi Anda?
Saya sedang ingin mendalami yoga. Hobi yang lain, saya suka bermain bersama keluarga dan teman-teman. Jadi, saya memang selalu mengalokasikan waktu untuk mereka. Karena bertemu dengan mereka, saya bisa mendapat energi positif.
Sejak kapan suka yoga?
Cukup lama mengenalnya, saat masih SMP di New York. Kebetulan ada pilihan untuk kegiatan olahraga, tapi enggak rutin. Saya suka yoga karena kombinasi pelatihan fisik, mental, dan spiritual. Selain belajar napas, ada meditasi. Jadi, untuk saya, ini olahraga yang menyenangkan.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo