Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wawancara

Nursyahbani Katjasungkana: Kita Telanjur Kenyang Mengalami Diskriminasi

17 Juli 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DIA termasuk yang paling gembira dengan lolosnya Rancangan Undang-Undang Kewarganega-raan yang baru dalam Sidang Paripurna DPR RI, Selasa pekan lalu. Sebagai mantan aktivis pembela hak wanita dan anak-anak, masalah kewarganegaraan wanita dan anak hasil perkawinan campur Indonesia-asing sudah ia geluti sejak 15 tahun silam.

Adalah Nursyahbani Katjasungkana yang memasukkan perubahan Undang-Undang No. 62/1958 tentang Kewar-ga-negaraan Republik Indonesia ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Tapi, ketika hal itu akhirnya dibahas, dia mula-mula tak diikutkan dalam Panitia Khusus RUU Kewarganegaraan. Berkali-kali dia menemui sekreta-ris panitia khusus, juga Sekretaris Fraksi Kebangkitan Bangsa (FKB), minta diikutkan, tapi selalu ditolak. "Saya mau mena-ngis," katanya. "Padahal, saya tahu sampai ke pojok-pojok argumentasi apa saja untuk memperjuangkan kepen-tingan kelompok minoritas yang didiskri-mi-nasi, gender maupun anak-anak."

Barulah di tengah jalan, sekitar Februari lalu, ketika panitia khusus mulai membahas soal anak dan kewarganegaraan ganda terbatas, ia tiba-tiba diminta masuk. Alasannya, anggota dari FKB yang lain sering tak hadir. Meski terlambat, Nursyahbani toh bisa membawa beberapa perubahan signifikan pada RUU itu.

Jumat lalu ia berada di Yogyakarta, ber-bicara dalam seminar mengenai Undang-Undang Perkawinan yang dise-lenggarakan oleh Pusat Studi G-ender dan Islam, IAIN Sunan Kalijaga. War-tawan Tem-po Philipus Parera mewa-wancarainya melalui sambungan telepon jarak jauh.

Sebagai mantan aktivis perempu-an, Anda gembira dengan disepakatinya Un-dang-Undang Kewarganegaraan yang baru?

Tentu, dong. Saya sudah memperjuangkan ini sejak 15 tahun lalu, sejak masih di Lembaga Bantuan Hukum Jakarta. Ketika itu saya menangani seorang ibu Indonesia yang merebut anaknya dari suaminya di Belanda. Ibu ini orang Bandung.

Dia berhasil?

Pengadilan Belanda memberi hak asuh anaknya. Tapi, setelah kem-bali ke Indonesia, dia lalai meminta surat izin tinggal untuk anaknya. Persis ke-tika izin tinggal anaknya habis, anak itu di-deportasi. Masih kecil. Waktu itu kami membantu memberi advis. Tapi dia berjuang lagi di Belanda, dan dapat lagi.

Menurut Anda, ini terjadi karena undang-undang yang lama tidak melin-dungi hak ibu dan anak itu?

Ada seorang perempuan Indonesia ka-win dengan orang Pakistan. Namanya Lina. Waktu anaknya berusia sembilan bulan, dia tahu ternyata suaminya sudah beristri di Pakistan. Dia marah. Tapi si suami lalu membawa anaknya ke Pakistan. Ini karena menurut undang-undang yang dulu, anak mengikuti kewarganegaraan ayah.

Lalu, apa yang terjadi dengan anak itu?

Saya minta bantuan network saya di La-hore, Women Legal Aid Center. Lina lalu menggugat suaminya. Karena di Pa-kistan pengadilan mengatur anak-anak di bawah usia 14 tahun harus diasuh ibunya, anak itu dikembalikan. Sekarang anak itu jadi bintang iklan.

Gagasan merevisi undang-undang ini sudah terdengar lama, tapi sulit memasukkannya ke Prolegnas. Kenapa kali ini lolos?

Ketika saya pertama kali di DPR, dua tahun lalu, saya masukkan ini di da-lam daftar Prolegnas. Pada 2005 undang-undang ini nggak masuk dalam daf-tar prioritas. Tapi teman-teman di lem-ba-ga swadaya masyarakat saya minta mempresentasikan policy paper-nya di Badan Legislasi, kebetulan saya anggotanya. Syukur, beberapa anggota DPR setuju agar ini jadi usul inisiatif. Nah, mulailah dibahas.

Bagian mana saja dari undang-undang ini yang menjadi perdebatan serius di panitia khusus?

Pemberian kewarganegaraan ganda terbatas. Ternyata hanya untuk anak kawin campuran. Sangat sempit. Ke-dua, suami-istri tidak bisa mendapat kewarganegaraan ganda. Pak Slamet Effendy Jusuf (ketua panitia khusus) terus mempersalahkan saya: makanya, ja-ngan ketinggalan kereta kalau ikut panitia khusus. Saya marah betul itu. Soalnya, bukan kesalahan saya kalau saya nggak ikut dari awal.

Tapi Anda berhasil, kan?

Tidak seketika. Kebetulan Komunitas Perkawinan Campur Melati-mereka itu sangat flamboyan, ada artis-artisnya-memang hanya memperjuangkan ganda terbatas untuk anak perkawinan campuran. Pak Oka Mahendra, wakil pemerintah, dan Pak Slamet, lalu bilang: mereka itu hanya minta yang itu, kok kamu minta lebih? Baru setelah di tim perumus itu disetujui untuk diperluas.

Diperluas bagaimana?

Semua anak, tanpa memper-hatikan status perkawinan, mau anak angkat atau anak di luar perkawinan, pokoknya semua yang ada bau-bau Indonesianya, bisa mendapat kewarganegaraan Indonesia. Ini saya kira lompatan besar, yang paling fundamental dalam UndangUndang Kewarganegaraan ini.

Meski sebenarnya rumusan ini t-idak disetujui oleh Partai Keadilan Sejah-tera?

Itu karena PKS menggunakan hukum Islam. Dalam hukum Islam, kan tidak ada yang disebut anak angkat, katanya. Kemudian, anak luar kawin juga tidak diakui. Tapi ini kan bukan bicara dalam tataran Undang-Undang Perkawinan. Ini masalah kewarganegaraan.

Tapi, di paripurna, PKS kembali- mem-persoalkannya, antara lain de-ngan me-ngatakan meski berhak atas kewargane-garaan, anak angkat dan anak di luar nikah tidak memiliki hak waris. Ini bagaimana?

Implikasi seorang anak yang diangkat dalam hukum adat maupun hukum positif kita, mereka punya hak yang sama dengan anak kandung. Sudah bertahun-tahun dipraktekkan seperti itu. Kita kan tidak sedang menerapkan hukum Islam. Apalagi hukum waris kan kita tidak punya. Orang Islam diberi pilihan untuk membawa sengketa wa-risnya ke pengadilan agama untuk diselesaikan dengan hukum Islam.

Pasal 23 huruf (i) dan Pasal 26 mendapat banyak protes. Pasal 26 ayat (1), misalnya, menyebut bahwa wanita Indonesia yang menikah dengan pria asing yang negaranya mewajibkan istri mengikuti kewarganegaraan suami akan kehilangan hak kewarganegaraannya. Kenapa sampai lolos?

Saya perjuangkan terus, tapi nggak berhasil. Agar kelihatan tak ada diskri-minasi, lalu dibuat Pasal 26 ayat (2) yang mengatakan: laki-laki Indonesia yang kawin dengan wanita asing yang negaranya mewajibkan suami mengikuti kewarganegaraan istri pun akan kehilang-an kewarganegaraannya. Tapi, mana ada negara di dunia yang mewajibkan suami mengikuti kewarganegaraan istri? Ha-ha-ha. Saya bilang ini pasal ecek-ecek.

Apa argumentasi di balik pemberian waktu tiga tahun bagi anak-anak untuk berpikir sebelum memilih salah satu negara, setelah dia berusia 18 tahun?

Saya mengusulkan lima tahun de-ngan argumen, saat itu mereka sudah selesai sekolah strata 1-nya. Kalau dia mendapat hak-hak sebagai warga negara asing, misalnya di Jerman atau nega-ra-negara Eropa yang pada umumnya menggratiskan sekolah untuk warga negara-bahkan di Finlandia mendapat uang saku-itu kan enak buat mereka.- Ya, biarkan sampai selesai, jangan di-putus di tengah-tengah. Tapi argumen yang kayak gitu itu tidak bisa diterima. Sampai Pak Bomer Pasaribu (Fraksi Golkar) bilang: sudahlah, terima yang tiga tahun ini, kan ada yang mengusulkan masa tenggangnya satu tahun, kompromi sajalah. Jadi, tidak ada argumentasi, hanya sekadar kompromi.

Undang-undang ini baru diperbarui setelah 48 tahun. Apakah tidak ter-lambat?

Ya, perubahan ini sangat terlambat. Kita sudah telanjur kenyang mengalami diskriminasi, terutama saudara-saudara kita yang Tionghoa. Tapi, apa pun, ini tetap sebuah langkah maju.

Menurut Anda, apakah pembelaan ter-hadap wanita dan anak oleh pemerintah dan Dewan dalam 10 tahun terakhir cukup baik?

Sudah cukup bagus. Tapi, menurut saya, masih banyak memang peraturan perundang-undangan dan praktek-prak-tek yang diskriminatif.

Misalnya?

Masalah gender-based violence di dalam KUHP. Belum seluruhnya berperspektif perempuan. Seperti, misal-nya, masalah pemerkosaan. Dalam KUHP yang lama, yang dihukum ha-nya para germo. Tapi, dalam rancang-an KUHP baru yang sebentar lagi di-serahkan pemerintah kepada DPR, ada pasal: gelandangan dan pelacuran di jalan-jalan umum akan dipidana. Pelacuran dalam pikiran orang kan cuma perempuan, dan hanya perempuan kelas bawah saja.

Dulu Anda aktivis, sekarang di DPR. Ada perbedaan nuansa?

Tentu saja, karena apa yang saya bicarakan bisa berefek langsung.

Jadi, merasa lebih kuat?

Ya, ha-ha-ha. Lebih powerful lagi kalau semua perempuan yang ada di DPR itu punya visi yang sama.

Jadi, ada juga wanita di Dewan yang tidak segaris dengan Anda?

Pertama, barangkali ada yang diam karena tidak bisa berargumen. Tapi, ada juga yang tidak setuju sama sekali karena nggak punya perspektif perempuan.

Setelah ini, apa lagi agenda penting lain berkaitan dengan hak wanita dan anak?

Undang-Undang Keimigrasian. Akan dibahas oleh pemerintah dan Komisi III setelah reses kali ini.

Secara khusus, apa yang menurut Anda perlu diperjuangkan dalam RUU ini?

Hak istri untuk bisa mensponsori s-uaminya yang asing memperoleh permanent residence. Juga, anak yang pa-da usia 21 tahun diharuskan memilih, mi-salnya memilih jadi warga negara a-sing, harusnya dia dimungkinkan untuk mendapat permanent residence di sini juga, dong.

Setelah tujuh tahun terjun di politik, Anda tidak lagi aktif di LSM. Bagaimana hubungan dengan teman-teman aktivis dulu?

Memang secara struktural nggak la-gi aktif. Tapi saya nggak pernah lepas da-ri mereka dalam artian ideologi per-juangan.

Nursyahbani Katjasungkana

Lahir: Jakarta, 7 April 1955

Pendidikan:

  • S1 Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya (1973-1978)
  • Spesialisasi Hukum Kriminal, Universitas Airlangga, Surabaya (1979)

Karier:

  • Anggota Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa DPR (2004-2009)
  • Anggota Fraksi Utusan Golongan MPR (1999-2004)
  • Direktur LBH Asosiasi Perempuan untuk Keadilan (APIK), Jakarta (1995-1999)
  • Direktur Eksekutif Solidaritas Perempuan (1994-1995)
  • Pimpinan proyek penelitian tentang gender dan akses kepada keadilan, disponsori oleh APWLD, Kuala Lumpur (1990-1991)
  • Direktur LBH Jakarta (1987-1990)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus