Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam beberapa waktu terakhir, polemik childfree alias keputusan hidup berumah tangga tanpa memiliki anak ramai dibahas warganet Tanah Air. Polemik ini muncul setelah YouTuber, selebgram, penulis buku, sekaligus influencer yang menetap di Jerman, Gita Savitri, membeberkan rahasia awet muda. Perempuan berusia 30 tahun itu menyebut tak punya anak sebagai resep awet muda.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Namanya polemik, ada orang yang mendukung, tapi ada pula yang mencibir. Perdebatan soal awet muda pun melebar. Polemik childfree juga mendapat tanggapan dari pemerintah. Wakil Presiden Ma'ruf Amin tak setuju atas pandangan hidup tanpa anak. Menurut Ma'ruf, esensi pernikahan adalah memiliki keturunan sehingga manusia bisa berkembang biak dan mengelola bumi. Ia mengatakan, salah satu fungsi pernikahan adalah memiliki keturunan yang akan menjadi generasi penerus Tanah Air untuk menyambut bonus demografi ke depan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), Hasto Wardoyo, pun satu suara. Bedanya, Hasto menyoroti potensi masalah kesehatan dari childfree. Menurut dia, perempuan yang tidak hamil dan melahirkan berisiko mengalami kanker endometrium hingga mioma.
Namun komisioner Komisi Nasional Perempuan, Siti Aminah Tardi, justru memberi pembelaan bagi pendukung gaya hidup childfree, khususnya bagi perempuan. Menurut Ami—demikian Siti Aminah kerap disapa—perempuan punya hak atas tubuhnya sendiri, termasuk hak reproduksi.
Walhasil, Ami tak setuju perempuan yang mencoba menyuarakan gagasan tentang childfree justru mendapat cibiran hingga pertentangan dari masyarakat, bahkan pemerintah. "Seharusnya perempuan diberi kebebasan untuk memilih," kata Ami ketika diwawancarai Indra Wijaya dari Tempo di kantornya, Kamis, 16 Februari lalu.
Selain berbicara soal childfree, Ami bercerita tentang pengalaman hidupnya berkecimpung di dunia pelindungan perempuan. Salah satunya adalah cerita-cerita pilu selama ia membela serta mendampingi korban kekerasan dan pemerkosaan. Berikut ini wawancara dengan Siti Aminah Tardi.
Bagaimana pandangan Anda tentang childfree yang ramai setelah disuarakan seorang perempuan?
Pertama, yang harus dipahami adalah perempuan itu tidak homogen. Bisa jadi satu perempuan akan menginternalisasi nilai yang berbeda dari perempuan lain, tergantung pengalaman hidup apa yang mereka alami serta nilai-nilai yang ditanamkan dalam keluarga atau lingkungan sosial. Jadi, kita harus bisa lihat bahwa suara perempuan beragam. Soal childfree, sebenarnya tidak perlu mempertajam perbedaan ini. Sebab, childfree tidak hanya dianut perempuan, tapi juga laki-laki. Hanya karena disuarakan tokoh publik perempuan, hal itu dianggap mewakili perempuan.
Lalu?
Bagi saya dan Komnas Perempuan, ini berkaitan dengan otonomi tubuh perempuan, hak reproduksi perempuan. Hanya dia yang memiliki rahim, melahirkan, dan menyusui. Seharusnya dia punya hak atas tubuhnya, apa yang akan terjadi padanya, termasuk kehamilan. Ihwal peran gender dan keberlanjutan reproduksi, memang hanya perempuan yang bisa hamil dan melahirkan anak. Karena itu, nilai-nilai dan harapan tersebut dilekatkan kepada perempuan. Namun tidak pernah ditanyakan apakah perempuan itu mau atau enggak.
Jadi, sebenarnya pendapat perempuan yang mendukung dan menentang childfree itu tidak perlu dipertentangkan. Justru yang harus dibangun adalah setiap pasangan harus paham hak kesehatan reproduksi. Termasuk memposisikan hak perempuan untuk menentukan punya anak atau tidak. Jika mau punya anak, kapan dia mau hamil, lalu jarak dengan anak kedua berapa lama, sehingga tubuh perempuan tidak dijadikan alat untuk melahirkan.
Pandangan Anda dan Komnas Perempuan tentang childfree dianggap bertentangan dengan pemerintah, dalam hal ini pernyataan Wakil Presiden dan Kepala BKKBN. Bagaimana tanggapan Anda?
Sebenarnya tidak bertentangan, hanya cara pandang yang berbeda. Pak Wapres adalah kiai, maka beliau akan memandang fungsi perkawinan dalam perspektif Islam. Pertanyaannya, kalau enggak mau punya anak, kenapa harus menikah? Itu pandangan dalam konteks agama. Namun anak muda dan bahkan masa depan orang-orang muda tidak akan lagi seperti itu.
Dalam pandangan mereka, bisa saja makna perkawinan bagi anak muda adalah sebagai rekan hidup yang bisa diajak jalan-jalan dan sebagainya. Belum lagi ada yang berpikir apakah punya anak harus dari darah daging sendiri. Bisa jadi ada yang berpikir lebih baik merawat anak yang telantar saja. Kemudian, dalam isu childfree, BKKBN juga sebenarnya punya program Genre (Generasi Berencana). Jadi, asalkan tidak melanggar aturan hukum, sepertinya boleh.
Apakah sudah terjadi pergeseran pandangan karena masyarakat sebelumnya menganggap anak sebagai harta?
Nilai sukses sudah bergeser, ya. Kalau dulu, ketika kehidupan masih sangat agraris, memiliki anak banyak bertujuan membantu keluarga pertanian. Lalu ada konteks bahwa punya banyak anak, banyak rezeki. Selain konteks membantu pertanian, punya anak untuk menopang di hari tua. Tapi zaman bergerak dan nilai sosial juga berubah. Sekarang perempuan tidak sekadar ditekankan pada ruang domestik.
Tentang narasi childfree bikin awet muda, bagaimana tanggapan Anda?
Itu bias kelas. Kalau semua perempuan punya akses ke skincare, ya, akan awet muda. He-he-he. Atau perempuan yang punya anak dengan sangat terencana tentu bisa membuat awet muda. Jadi, tidak ada kaitannya childfree bikin awet muda. Lebih ke kebahagiaan perempuan itu sendiri. Secara artifisial, ya, itu tergantung akses ke perawatan tubuh dan kulit saja. Selain itu, tergantung konsep cantik. Perempuan itu cantiknya bukan mereka yang menentukan sendiri, melainkan ditentukan orang lain. Misalnya cantik itu tidak keriput, kulit putih, dan rambut lurus. Itu kata orang. Padahal, bagi perempuan, kecantikan itu, ya, mengikuti usia.
Paham childfree belum sederas di luar negeri. Bagaimana pandangan Anda?
Konteks childfree di Indonesia belum terlalu banyak karena posisi tawar perempuan belum setara. Perempuan, untuk bisa menegosiasikan mau punya anak atau tidak, kan harus berada pada posisi yang sama dengan laki-laki. Pertanyaannya, apakah hal itu sudah rata di Indonesia? Kan belum. Yang harus didorong adalah perempuan mampu mengutarakan keinginan dan suaranya.
Apakah Anda punya pengalaman tentang memutuskan punya anak dengan suami?
Berdasarkan pengalaman saya, saya dan suami menunda punya anak sampai tiga tahun sejak menikah. Alasannya sederhana, kami ingin senang-senang dulu. He-he-he. Jadi, ya, senang-senang dulu, jalan-jalan, seperti pacaran. Walaupun secara pribadi saya menemui pertanyaan dari ibu saya setelah tiga tahun. Ibu saya tanya, "Kapan punya anak?" Baru kami sadar bahwa umur sudah bertambah, jadi kami merencanakan kehamilan. Karena kebetulan tidak ada kendala dalam kehamilan, kami merencanakan sampai hari lahirnya. Jadi, anak saya lahir itu hanya berbeda beberapa hari dengan hari ulang tahun saya. Saya belajar ini dari orang tua suami. Jadi, suami saya itu tanggal lahirnya sama dengan orang tuanya.
Dengan perencanaan ini, kehamilan diterima dengan sangat baik. Jadi, tidak semata-mata anak lahir setelah orang tua berhubungan seksual. Saat anak lahir, orang tua harus memastikan kualitas hidupnya. Termasuk soal karier perempuan juga harus dibicarakan. Misalnya perempuan selama tiga tahun pasca-melahirkan pasti akan berfokus pada anak. Nah, suami berkontribusi di sisi mana? Ini yang harus dibangun. Makanya, penting bagi suami-istri punya satu misi melihat anak itu seperti apa.
Masih banyak orang yang mencibir pandangan childfree. Bagaimana sikap Komnas Perempuan?
Pada dasarnya, Komnas Perempuan selalu mendukung kebebasan berpendapat perempuan, termasuk pilihan childfree atau tidak. Saya pikir ini hal yang baru dalam konteks kebudayaan kita. Tentu pencetus pandangan ini seharusnya sudah siap. Sebab, pandangannya memang berbeda. Kemudian, dalam konteks kultur kita, kalau ada hal baru yang datang dari luar, pasti ada penolakan. Mungkin bisa menggunakan bahasa-bahasa yang lebih halus dan mudah diterima untuk menjelaskan apa itu childfree, mengapa memilih paham itu, serta apakah mengganggu masyarakat. Seperti itu bahasa yang harus dikomunikasikan.
Komisioner Komnas Perempuan, Siti Aminah Tardi. TEMPO/ Febri Angga Palguna
Perempuan sekarang dianggap terlalu berlebihan dalam mengemukakan pendapat, termasuk polemik soal childfree ini. Benarkah?
Sebenarnya, ini proses diskusi di ruang publik. Dahulu pun, saat bicara tentang isu kesehatan reproduksi serta keluarga berencana, pasti ada pro dan kontra. Yang jelas, ini bagian dari kebebasan perempuan dalam berekspresi. Kalau ada yang menganggap neko-neko, khawatirnya ada bagian dari masyarakat yang tidak suka akan kebebasan berekspresi perempuan, sehingga akan ada yang bilang, "Sudahlah, perempuan seperti yang sudah-sudah saja."
Kehidupan perempuan itu semakin berkembang, dari mulanya hanya mengurus keperluan domestik dan banyak anak, lalu berubah menjadi perempuan boleh bekerja sembari mengurus keluarga. Lalu semakin ke sini ada yang menganggap, "Perempuan wajar, kok, melajang atau tidak menikah, tapi punya anak adopsi." Nah, ada generasi sebelumnya yang tidak setuju dan terganggu dalam hal nilai dan peran gender dari yang sudah ada.
Anda juga pernah berkomentar saat artis Atta Halilintar ingin punya 12 anak. Bagaimana ceritanya?
Iya, saat itu Atta berbicara ingin punya 12 anak. Lalu saya bicara ke rekan wartawan secara retoris saja, apakah keinginan punya 12 anak itu sudah disepakati dan diskusikan dengan pasangan? Jangan sampai perempuan dianggap sebagai pabrik anak saja. Tapi, kok, yang paling banyak ditulis soal pabrik anak saja?
Lalu, apa yang terjadi? Benarkah Anda dirundung di media sosial?
Saya dirundung di Instagram oleh pendukung Atta Halilintar. Sama seperti yang menyuarakan childfree, komunikasinya tidak tersampaikan antara pemberi dan penerima informasi. Bisa jadi publik menerimanya dengan berbeda. Lagi pula, saya bicara pabrik anak itu konteksnya bukan menghina perempuan, melainkan menyadarkan para laki-laki agar memperlakukan perempuan bukan untuk sekadar menghasilkan anak.
Kasus apa saja yang sedang Anda tangani di Komnas Perempuan saat ini?
Banyak, ya, KDRT, kekerasan seksual, dan perebutan hak asuh anak. Tapi kasus yang mempengaruhi secara psikis itu, ya, jelas kekerasan seksual, dalam artian terkadang itu kekerasannya di luar nalar. Bahkan sampai tahap saya berpikir bahwa pelaku, kok, bisa, ya, sejahat itu? Misalnya kasus kekerasan seksual terhadap anak dari orang tua yang sudah bercerai. Anak ini usia SD, 12 tahun, serta hidup bersama ibu dan adiknya. Ibunya bekerja untuk mereka.
Tetangga tahu bahwa ibu ini kerja untuk menghidupi anak-anaknya. Seharusnya tetangga ikut bantu mengawasi mereka. Tapi ada pelaku, ya, tetangga itu malah menggunakan rasa rindu si anak kepada ayahnya untuk mengelabui korban. Jadi, anak ini dibohongi untuk diajak bertemu di sebuah hotel. Tapi di situ dia diperkosa tetangganya. Saya hanya berpikir seharusnya tetangga itu melindungi dia, tapi mengapa malah menggunakan kerinduan anak kepada ayahnya untuk memanipulasi korban.
Lalu, kasus lain seperti apa?
Saya pernah menemukan kasus KDRT antarnegara. Dari korban ini, saya belajar gigihnya menjadi seorang ibu. Jadi, ibu ini warga negara asing dan menikah dengan warga negara Indonesia. Kemudian mereka punya anak. Perkawinan mereka berbeda agama dan dilakukan di luar negeri, hanya tercatat di Indonesia. Terjadi KDRT, kemudian anak ini dibawa ke Indonesia. Lalu perempuan ini mencari anaknya, terbang dari Eropa ke Indonesia, mencari setiap titik kemungkinan di mana anaknya berada. Sampai kemudian dia ditemukan dan terjadi perebutan. Lalu anak ini ditempatkan di rumah singgah milik yayasan yang bekerja sama dengan pemerintah. Tapi cara hidup anak ini berbeda dengan yang ada di rumah singgah. Anak ini sampai kehilangan cara berbicara bahasa ibunya.
Yang luar biasa dari ibu ini adalah dia harus keluar saat visanya habis. Saat dia keluar itu, anaknya ada di rumah singgah. Kami bantu memantau anak ini dan berkoordinasi dengan Dirjen Imigrasi. Karena visa sudah hampir habis, jadi harus keluar dari Indonesia dulu sembari mengajukan visa. Saat itu, masih awal masa pandemi Covid-19. Celakanya, saat ia keluar, pintu imigrasi di Indonesia masih dibuka. Tapi begitu ia hendak masuk lagi, pemerintah menutup pintu untuk semua warga negara asing. Dia bisa masuk ke Indonesia setelah ada proses vaksinasi dan sebagainya. Lalu dia memutuskan menjadi relawan di rumah singgah tersebut demi bisa bersama anaknya itu. Putusan perceraian dia saat ini sampai di tingkat kasasi. Dari situ, saya belajar bagaimana seorang ibu berjuang habis-habisan demi anaknya.
Pada awal Februari lalu, ada perayaan hari anti-perlukaan kelamin perempuan. Di Indonesia, masih banyak yang menyunat anak perempuan. Bagaimana menurut Anda?
Itu namanya female genital mutilation atau kami di Komnas Perempuan menyebutnya sebagai pemotongan atau perlukaan terhadap organ genital perempuan atau P2GP. Pertanyaannya, apakah itu melanggar hak perempuan? Iya. Tujuannya itu untuk apa? Secara medis, itu tidak terbukti memberikan keuntungan untuk perempuan. Kedua, sunat itu merujuk pada sunah. Apakah merujuk pada agama Islam? Rupanya tidak, hanya laki-laki.
Makanya, kami tidak pernah menggunakan istilah sunat perempuan karena khawatirnya akan membenarkan istilah bahwa sunat merujuk pada perintah agama. Ternyata ini lebih ke budaya semata. Lalu, selain tidak bermanfaat untuk medis, rupanya perlukaan ini merupakan bentuk kontrol terhadap seksualitas perempuan. Mengapa? Karena klitoris itu adalah pusat saraf perempuan. Kan harapannya, begitu, ya, agar perempuan tidak nafsuan. Justru itu bisa mengurangi kenikmatan perempuan dalam berhubungan seksual pada saat dewasa. Komnas Perempuan terus mendorong agar P2GP ini dihapus. Tapi harapannya dibantu dengan penjelasan secara agama bahwa itu tidak dianjurkan dari segi agama.
Bagaimana cerita Anda bisa masuk ke isu pelindungan perempuan?
Dulu saya kuliah S-1 Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang. Saat menulis skripsi, saya ambil tentang pemerkosaan. Jadi, sudah lama saya mendalami isu pemerkosaan. Saya membaca banyak buku kekerasan terhadap perempuan. Singkatnya, setelah lulus, saya pernah menjadi peneliti suku anak rimba di Jambi di Yayasan Warung Konservasi Indonesia (WARSI) pada 1998. Saat itu, saya lulus pada Februari 1998, lalu melamar di WARSI dan diterima.
Saya menikah dengan suami saya hanya beberapa hari sebelum saya berangkat ke Jambi. Saya di Jambi hanya 10 bulan karena, ya, waktu itu suami saya dapat kerja di LBH Semarang dan enggak enak, ya, hubungan jarak jauh. Menariknya, saya mengalami reformasi itu dalam hutan Jambi. Saya masih ingat, untuk melihat pidato Presiden Suharto saat lengser, saya harus berjalan dua jam keluar hutan. Itu hanya untuk melihat berita. Jadi, unik sekali kami masuk hutan dan keluar hutan, sudah berbeda sekali kondisinya.
Bagaimana ceritanya Anda menikah secara kilat itu?
Saat menerima pekerjaan di Jambi, saya sudah tunangan. Lalu saya bilang ke tunangan bahwa saya diterima kerja di Jambi. Mertua saya meminta kami menikah dulu karena ada asumsi bahwa nanti tidak akan menikah. Akhirnya saya bilang ke ibu saya bahwa saya diterima kerja di Jambi dan ingin segera menikah. Ibu saya bingung, bahkan berpikir apakah saya hamil duluan atau bagaimana? He-he-he. Ya, sudah, kami menikah sebelum berangkat ke Jambi.
Kami sudah lama berpacaran sampai lima tahun. Ya, sudah, langsung menikah. Jadi, Senin saya mendaftar ke KUA, lalu Jumat kami menikah di Tasikmalaya. Hanya menggelar akad nikah dan selamatan. Sabtu, kami ke Jakarta. Suami saya balik ke Semarang dan saya ke Jambi. Pernikahan kami ibaratnya makruh karena belum melakukan hubungan seksual secara utuh. He-he-he. Itu keluarga saya kaget semua karena kami pisah, saya ke Jambi dan suami ke Semarang. Keluarga saya berpikir, kalau sudah menikah, ya, sama-sama terus.
Apa saja yang Anda lakukan di Jambi?
Saat itu kami meneliti orang rimba. Orang menyebut mereka orang Kubu atau suku Anak Dalam. Mereka mengatakan dirinya sebagai orang rimba. Kami berusaha meneliti bagaimana memberi hak atas pendidikan dan kesehatan mereka, juga memperluas ruang pengembaraan mereka di Cagar Biosfer Bukit Dua Belas. Jadi unik, mereka masih berpindah-pindah. Jadi, kalau ada anggota kelompok mereka yang meninggal, mereka akan pindah ke tempat lain. Suka-duka di Jambi, dulu saya, kok, enggak takut, ya, di sana? Minimal pada hewan buas, seperti harimau Sumatera. Dulu kami, kalau hendak tidur, bikin tenda atau ikut di rumah penduduk. Kalau dipikir, sekarang memang tampak menakutkan, tapi saat itu malah tidak. He-he-he.
Di situ saya belajar tentang cara pandang masyarakat adat terhadap hutan, ya, kearifan lokal mereka. Pernah ada ibu anak rimba melahirkan. Proses melahirkan itu dibantu kepala adatnya. Selama hamil, ibu ini tempat tinggalnya dipisahkan, tidak di rumah utama, dibikinkan gubuk khusus untuk dia. Waktu itu, ibu ini mengalami demam, mungkin infeksi, pasca-melahirkan. Lalu kami ajak bidan untuk memeriksa ibu ini. Saya melihat kesehatan perempuan di sana masih sangat memprihatinkan. Beruntung ada bidan yang bisa ikut memberi layanan kesehatan.
Lalu saya belajar tentang konsep tubuh. Kalau di hutan, untuk perempuan rimba yang belum menikah, sarungnya diikat di atas dada. Sedangkan yang sudah menikah, itu sarungnya di bawah dada. Pertanyaannya, saya kan muslim, tapi ketika kami berada di lingkungan mereka, itu tidak menjadi soal. Jadi, sebenarnya tidak menjadi soal ketika seseorang berada di sana, yang dalam tanda kutip, terjadi ketelanjangan. Sebab, memang begitu cara mereka berpakaian. Jadi, refleksi saya, sebenarnya itu tergantung cara pandang orang.
Setelah dari Jambi, ke mana perjalanan Anda?
Sebenarnya ke PKBI (Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia) di Semarang. Karena itu, saya tahu sedikit tentang keluarga berencana dan hak seksual. Saya waktu itu berfokus pada pekerja seks dan anak jalanan. Setelah reformasi, banyak anak menjadi anak jalanan dan pekerja seks banyak turun ke jalan. PKBI saat itu memang lebih berfokus pada pencegahan HIV/AIDS. Saya ikut di situ, tapi pengalaman dan belajar lagi bagaimana kehidupan pekerja seks dan anak jalanan. Lalu saya ditawari bekerja di LBH Semarang untuk unit khusus penanganan kasus kekerasan seksual terhadap perempuan. Dulu, kasus pemerkosaan pertama yang saya tangani menjadi guru yang luar biasa buat saya.
Bagaimana ceritanya?
Jadi, ada kasus korban lulus SMA diperkosa tetangga rumah. Korban mengadu ke LBH dan kami tangani. Waktu itu belum seperti sekarang, ya, dalam pelayanan kasus pemerkosaan. Saat itu kasus mandek. Di kepolisian, kami menemani korban. Pemeriksaannya bareng dengan kasus pencurian yang dibentak-bentak. Saat itu belum ada ruang pelayanan perempuan dan anak. Saya terkaget-kaget. Kemudian membuktikan terjadinya kekerasan seksual juga susah. Peristiwa itu terjadi sekitar jam 3-4 subuh. Stereotipe gender, lalu muncul pertanyaan, "Kok, bisa pemerkosaan terjadi pada jam segitu dan di kamar perempuan?"
Orang yang tidak paham kasus itu pasti berpikir, "Kok, bisa jam segitu dan di kamar korban diperkosa?" Lalu kami masuk dan mengecek. Ternyata perempuan ini punya pacar dan si pelaku cemburu. Dia masuk lewat pintu kamar mandi dan menuju kamar perempuan itu. Jam segitu rumah korban sepi karena orang tua korban adalah pedagang sayur. Jam tiga sudah pergi ke pasar. Lalu perdebatan dengan jaksa adalah soal kejadian pemerkosaan di kamar perempuan. Jaksa bertanya mengapa pintu tidak ditutup dan tidak membela diri. Jaksa tidak tahu bahwa rumah korban itu tanpa pintu, hanya gorden. Jadi, untuk memahami kasus pemerkosaan itu, harus detail. Tidak boleh melihat secara kasatmata, melainkan konteks yang terjadi.
Lalu, apakah ada kasus lain yang berharga besar untuk Anda?
Ada kasus lain, yakni korban KDRT membunuh suaminya. Itu kami kerjakan bersama LBH Apik dan Indonesian Legal Resource Center. Jadi, ibu ini sudah menjadi korban KDRT suaminya selama 25-26 tahun perkawinan. Selama menikah itu, berbagai bentuk kekerasan ia alami. Jadi, kalau suami marah, semua barang dari lemari dikeluarkan dan dibakar. Di masyarakat, sang suami dikenal sebagai preman kampung. Kejadiannya bermula pada malam itu, suami dipijiti oleh istri sampai tidur. Lalu pada subuh, si suami kembali marah dan terjadi kekerasan lagi. Ibu ini ditendang dan dicekik sampai didesak di pintu. Rumah orang Jawa kan pintunya dikunci dengan batang kayu. Karena perempuan ini terdesak di pintu, secara spontan dia ambil kayu dan dipukul ke kepala suami sampai meninggal. Perempuan ini dipidana selama 1 tahun 6 bulan kalau tidak salah. Itu kasus terjadi pada awal 2000.
Lalu, adakah kasus lain yang menarik?
Ada lagi kasus yang bikin saya belajar juga. Saya menangani kasus KDRT. Suami melakukan KDRT dan selingkuh. Kebetulan si suami dan selingkuhan itu adalah teman saya. Korban datang kepada kami. Saya langsung mendapat tantangan karena mereka teman saya. Ya, sudah, kami harus obyektif memberi pendampingan. Awalnya, korban hanya ingin bercerai, tapi si laki-laki ini seperti tidak mau melepas kedua perempuan itu. Akhirnya korban memilih cerai dan harus dikomunikasikan dengan keluarga besar. Ya, si suami ini ngamuknya sampai hendak melukai dengan benda tajam. Lalu korban lapor ke polisi dan polisi menangkap si suami. Saya melakukan pendampingan ke kantor polisi. Kebetulan keluarga si laki-laki mengenal saya. Malah keluarga itu memarahi saya dengan menganggap saya menjadi provokator. Saat itu KDRT dianggap aib dan tabu. Tindakan saya mendampingi korban sampai ke polisi malah dianggap salah oleh keluarga pelaku. Hak korban, dong, lapor ke polisi atas tindak KDRT.
Ya, sudah, dimediasi polisi. Akhirnya korban memaafkan dan menerima kembali suaminya. Itu suaminya sudah menyembah dan berjanji tidak mengulangi perbuatannya. Selalu seperti itu modusnya. Akhirnya korban mencabut laporan. Lalu saya sampaikan saya tidak sepakat dengan korban. Jadi, saya mempersilakan korban mencabut laporan. Tapi saya juga mencabut pendampingan karena perbedaan persepsi. Dua minggu kemudian, korban datang lagi kepada saya dalam kondisi terluka. Jadi, si suami masih tetap melakukan kekerasan karena tepergok masih jalan dengan perempuan itu.
Bagaimana perjalanan Anda selanjutnya?
Saya sempat pindah ke Jakarta dan bekerja di YLBHI. Di situ, saya lebih banyak mendorong advokasi kebijakan, riset, dan isu-isu keberagaman. Selain di YLBHI, saya juga sempat bekerja untuk ILRC. Ada satu kasus pemerkosaan di Kota Depok yang membuat saya belajar banyak. Kasus itu terjadi pada 2014. Jadi, korban ini diperkosa di rel di stasiun Depok. Itu terjadi ketika dia main ke rumah tetangganya untuk mengerjakan PR. Dia enggak mau cerita ke siapa pun karena diancam dan enggak mau dinikahkan dengan pelaku. Jadi, pelaku itu naksir, tapi ditolak. Pelaku ini penguasa daerah situlah. Dia pikir, kalau dia memperkosa, perempuan itu akan dinikahkan dengannya. Itu benar-benar anggapan yang salah, tapi terjadi di Indonesia. Jadi, korban pendam sendiri masalah itu sampai dia hamil. Orang tua tidak paham karena kebetulan korban ini badannya bongsor. Tapi sudah jalan delapan bulan, pasti kelihatan. Umurnya saat itu masih 15 tahun. Orang tua mengadu ke kami dan saya dampingi.
Selain takut dikawinkan, si korban diancam. Pelaku mengancam akan memperkosa kakak-kakak korban. Saya lakukan pendampingan. Sebenarnya yang juga mengalami masalah mental berat itu ayahnya. Jadi, kalau ada kasus pemerkosaan, itu sebenarnya yang harus dipulihkan bukan cuma korban, tapi juga keluarga. Kami merujuk satu keluarga ini untuk mendapat konseling ke Yayasan Pulih. Yang mendapat sesi paling banyak adalah ayahnya. Dia merasa emosional dan gagal melindungi anak perempuannya. Konseling ini sangat membantu. Jadi, pertama kali saya datang ke rumah korban itu suasananya sungguh kelam. Tapi, setelah konseling, ada proses penerimaan, mulai ada senyum. Aura rumah lebih ada nyawanya.
Seperti apa tantangan membela korban saat itu?
Saat kasus ini disidangkan, saya bertemu dengan pengacara pelaku. Pengacara itu mengajak negosiasi. Korban sudah melahirkan. Sudah ada bayi. Nah, pengacara itu membujuk, jika tidak dinikahkan, anaknya akan kehilangan nasab. Dengan tegas saya menjawab bahwa itu dosa dan masuk neraka. Biar saya yang tanggung asalkan korban tidak menikah dengan pelaku. Pelaku dihukum 5 atau 8 tahun penjara saat itu.
Lalu bagaimana dengan anak korban?
Keputusan ini didiskusikan keluarga besar korban. Melalui proses pendampingan psikologis dan keagamaan mereka, akhirnya mereka memutuskan merawat bayi itu karena tidak berdosa dan sungguh cantik. Orang tua korban berkata, "Anak ini masih suci. Apa pun nasabnya, dia pemberian Tuhan." Jadi, akan dibesarkan sendiri oleh keluarga. Saya sadar banyak sekali nilai-nilai yang saya ambil ketika menjadi pendamping. Keluarga ini memutuskan keluar dari Depok. Kebetulan mereka menjajaki usaha di tempat lain. Mereka memilih pindah karena lingkungan itu lebih dekat dengan pelaku. Wajar sebagai pendatang pasti enggak nyaman dan kebanyakan yang tinggal di situ adalah keluarga pelaku. Mereka takut anak ini diambil keluarga pelaku. Meski pelaku dihukum, tetap saja korban dan keluarga yang kami dampingi kalah. Ini yang membuat kami sedih.
Maria Ulfah Anshor (kanan), Siti Aminah Tardi (kedua kanan), dan Mariana Amiruddin (ketiga kanan) dari Komnas Perempuan beserta Jaringan Masyarakat Sipil menghadiri undangan Badan Legislasi DPR RI untuk memberikan pandangan atau masukan tentang Naskah Akademik dan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, 29 Maret 2021. Dok. Komnas Perempuan
Bagaimana cerita Anda berkontribusi mendorong RUU PKS?
Saya terlibat dalam upaya mendorong RUU tersebut sejak 2016. Karena berpengalaman mendampingi korban kekerasan seksual, saya sangat mendampingi agar korban tidak kalah lagi. Korban harus diperjuangkan. Perjuangan kami mendorong RUU PKS ini sempat gagal pada 2019. Lalu, saat ada pembukaan penerimaan komisioner Komnas Perempuan, saya dan beberapa kawan mendaftar dengan target RUU PKS bisa disahkan.
Bagaimana perasaan Anda akhirnya UU TPKS disahkan?
Alhamdulillah saya terpilih dan Undang-Undang TPKS disahkan. Rasanya di satu titik Undang-Undang TPKS itu ibarat menjadi pengikat atas pengalaman yang sama dalam mendampingi korban kekerasan seksual. Perempuan rentan mendapat kekerasan seksual. Ketika sudah menjadi korban, sangat sulit mengklaim keadilan. Bahkan dipercaya sebagai korban saja sulit karena disangkal dan dianggap suka sama suka. Itu seperti menganggap tubuh perempuan sebagai mainan saja. Sama seperti kasus Mei 1998, Komnas Perempuan menyatakan hasil investigasi dan pemantauan, bahwa pemerkosaan tragedi Mei 1998 itu benar terjadi. Yang berhasil kami verifikasi sekian dan sampai sekarang tidak diakui terjadi pelanggaran HAM berat.
Apa saja hobi Anda?
Saya suka membaca, berkebun, dan merajut. Kebanyakan yang saya baca, ya, isu hukum dan perempuan karena itu menjadi bekal saya menulis dan melakukan advokasi. Kalau berkebun dan merajut, itu saya jadikan untuk healing.
Berkebun seperti apa yang Anda lakukan?
Orang bilang, kalau tanaman, bahkan hewan, kita rawat dengan baik, ia akan tumbuh baik juga. Entah itu kepercayaan atau tidak. Kebetulan saya juga memelihara kucing. Saya merasa hewan dan tanaman itu mengerti, kok, kalau mereka disayang. Kembali ke jenis tanaman, saya enggak pernah milih-milih dan selama ini kebanyakan dikasih orang. Misalnya ada tetangga yang bosan dengan tanaman hias, seperti gelombang cinta yang dulu jadi tren, lalu diberikan kepada saya. Lalu kadang bertukar tanaman dengan kawan. Setiap Sabtu-Minggu, kalau enggak ada kerjaan, ya, saya kerjakan tanaman hias, entah ganti pot atau sekadar mengecek satu per satu. Jadi hiburan saja.
Kalau merajut itu seperti apa?
Dalam merajut, saya belajar tenang. Saya baru beberapa bulan menjalani hobi ini. Jadi hal baru sebenarnya. Ini sangat baik untuk melatih konsentrasi. Merajut itu melatih ketenangan juga.
Belajar dan beli alat merajut dari mana?
Saya belajar dari YouTube. Paling merajut dasar bikin taplak, bunga, dan tempat kosmetik. Itu saja. Belanja juga daring. He-he-he. Gampang kan belajar dan belanja secara daring.
Profil
Nama: Siti Aminah Tardi
Pendidikan
- Fakultas Hukum Universitas Diponegoro
- International Fellowship dari Public Interest Lawyer Global Network (PILNET/2012) serta Visiting Scholar di Columbia Law School, New York, dan Central Europe University, Budapest
Perjalanan Karier
- Indonesian Legal Resource Center (ILRC)
- Yayasan LBH Indonesia (YLBHI)
- LBH APIK Semarang
- Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Jawa Tengah
- Kelompok Kerja Keadilan Jender dan HAM (K2JHAM) LBH Semarang
- Yayasan Warung Konservasi Indonesia (WARSI) Jambi
Komnas Perempuan (2020-2024)
Jabatan: Ketua Subkom Reformasi Hukum dan Kebijakan (RHK) dan mengampu Pusat Pengetahuan Perempuan (Resource Center)
Buku
- Dari Dunia Nyata ke Dunia Siber Isu-Isu Kontemporer Kekerasan terhadap Perempuan (2021)
- Mampir ke New York: Catatan Perjalanan tentang Kekerasan terhadap Perempuan (2020)
- Paralegal bukan Parabegal, Studi Persepsi Masyarakat atas Peran Paralegal dalam Memenuhi Hak Bantuan Hukum (2019)
- Buku Sumber Hak Kebebasan Beragama/Berkeyakinan, Wahid Foundation (2017)
- Religious Hate Speech in Islam and Law Perspective, Rahima Institute, (2017)
- Keadilan dari Kampus: Buku Panduan Memberikan Bantuan Hukum untuk LKBH Kampus (2016)
- Menjadi Sahabat Keadilan: Panduan Menyusun Amicus Brief, ILRC (2016)
- Panduan Bantuan Hukum (2008 dan 2010)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo