Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
WAKIL Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Nurul Ghufron mengajukan permohonan judicial review (uji materi) terhadap Pasal 29 huruf e dan Pasal 34 Undang-Undang KPK ke Mahkamah Konstitusi. Ia menilai pasal pertama itu, yang menggariskan bahwa calon pimpinan KPK harus berusia paling rendah 50 tahun, merugikan hak konstitusionalnya. Ia juga mengugat pasal kedua yang mengatur masa jabatan pimpinan KPK hanya empat tahun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mahkamah mengabulkan semua permohonan Ghufron. Dalam sidang pada Kamis, 25 Mei lalu, hakim MK mengubah ketentuan Pasal 29 huruf e itu menjadi “berusia paling rendah 50 tahun atau berpengalaman sebagai pimpinan KPK”. Dengan ketentuan baru ini, Ghufron bisa maju lagi dalam pemilihan KPK periode berikutnya. MK juga setuju masa jabatan pimpinan KPK diperpanjang dari empat menjadi lima tahun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Putusan Mahkamah Konstitusi itu memicu kontroversi. Hakim MK dinilai melampaui kewenangan karena menambahkan ketentuan yang seharusnya masuk domain lembaga pembuat undang-undang, yaitu Dewan Perwakilan Rakyat. Putusan itu juga mengabaikan fakta bahwa KPK kini tak lagi independen karena undang-undang menempatkannya dalam rumpun eksekutif. “Jabatan empat tahun itu ada pesan moralnya yang dilembagakan: jangan kelamaan,” kata Busyro Muqoddas, Ketua KPK periode 2010-2011, kepada wartawan Tempo, Abdul Manan dan Iwan Kurniawan, pada Rabu, 7 Juni lalu.
Kejadian-kejadian yang menimpa KPK itu berkontribusi pada turunnya Indeks Persepsi Korupsi (IPK) yang dirilis Transparency International, dari 38 pada 2021 menjadi 34 pada 2022. Dalam hal kepercayaan publik, hasil survei Indikator Politik Indonesia menunjukkan KPK berada di peringkat keenam sebagai lembaga yang dipercaya publik setelah Tentara Nasional Indonesia, Presiden, Kepolisian RI, dan Kejaksaan Agung.
Nurul Ghufron menyadari gugatannya itu akan segera dituding mengandung unsur politis, yakni jabatan pimpinan KPK baru selesai setelah Pemilihan Umum 2024. Banyak yang menilai pengusutan dugaan korupsi Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo sebagai cara kekuasaan menggembosi Partai NasDem yang tak sejalan dengan pemerintah dalam mendukung calon presiden. "Perspektif saya menyamakan atau menyetarakan hak,” kata Ghufron kepada Abdul Manan pada Selasa, 30 Mei lalu.
***
Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron:
Independensi KPK Tidak Berubah
Apa alasan Anda mengajukan permohonan uji materi Undang-Undang KPK?
Judicial review adalah fasilitas atau hak yang diberikan konstitusi kepada warga negara untuk mengajukan pengujian terhadap peraturan perundang-undangan. Saya merasa ada kerugian konstitusional, yaitu saya dinyatakan tidak dewasa mengikuti pemilihan ketua. Makanya saya mengajukan uji materi pasal 29 huruf e. Pasal 34 itu soal masa jabatan empat tahun. Itu inkonsisten. Undang-undang, peraturan daerah, dan undang-undang alat kelengkapan negara lain, misalnya Komisi Yudisial, Ombudsman, Komnas HAM, Komisi Pemilihan Umum, dan Badan Pengawas Pemilu, ada sekitar 12 lembaga negara nonkementerian, masa kerjanya sama: lima tahun.
Ini inisiatif pribadi atau lembaga?
Saat menyampaikan kepada pimpinan yang lain, yang lain hanya mengizinkan atau mengiyakan, karena sifatnya tidak perlu persetujuan.
Anda ingin lama menjabat?
Perspektif orang boleh begitu. Tapi perspektif saya menyamakan atau menyetarakan hak. Persamaan hak. Seandainya mungkin standarnya lima tahun dan KPK di enam atau tujuh tahun, mungkin saya mintanya malah dikurangi.
Ada yang menilai putusan ini politis karena KPK sedang menangani kasus hukum yang bisa berdampak pada pencalonan presiden?
Karena saya di posisi yang Anda tahu sebelumnya. Tidak relevan saya dianggap punya motif politis. Saya bukan bagian yang begitu. Intinya, ini proses hukum. Bila proses hukum ini dimaknai atau ditafsirkan oleh eksternal secara politis, itu hak mereka.
Masalahnya, KPK kini tidak independen lagi....
Sebenarnya uji materi saya sudah di akhir tahun lalu, kemudian diputus pada pertengahan tahun ini, yang sudah dekat dengan momen (Pemilihan Umum) 2024, sehingga mau tidak mau dan tak bisa saya hindari juga tafsir masyarakat menjadi politis. Kemudian juga dikaitkan dengan prestasi, reputasi, IPK, dan lain-lain. Itu hak masyarakat. Walaupun dalam perspektif saya, hak untuk meminta kesetaraan itu tidak ada konteks politiknya.
Tingkat kepercayaan publik kepada KPK juga menurun....
Penurunan itu soal reputasi dan persepsi. Tergantung konteksnya. Dari kami lahir saat Undang-Undang KPK diubah dengan Undang-Undang KPK tahun 2019, pada saat itu aroma dan milieu publik sudah digaungkan dengan pesimisme bahwa mengubah (undang-undang) itu sudah dengan tujuan melemahkan KPK. Siapa yang menggaungkan pelemahan? Siapa yang menentang TWK (Tes Wawasan Kebangsaan) sampai kemudian ke uji materinya? Ya, mereka-mereka saja.
Penurunan tingkat kepercayaan publik itu obyektif atau subyektif?
Kalau bicara obyektif, tentu bicara data, bukan persepsi. Datanya, di tahun pertama kami, sudah Rp 594 triliun yang kami cegah dan kami selamatkan agar tidak dikorupsi. Ini pencegahan. Angka pada tahun pertama saja sudah melebihi lima tahun dari periode sebelumnya. Kalau main data, yang begitu tidak pernah diangkat. Yang diangkat dari sisi negatifnya. Misalnya tangkap tangan. Bagaimana kami melakukan tangkap tangan pada periode saat-saat awal 2020-2021? Itu kan masa Covid-19. Kami dapat dan hasilnya dapat dua menteri sudah untung.
Anda ingin mengatakan KPK periode Anda tidak kalah berani daripada sebelumnya?
Bukan tak kalah berani. Coba, sebelumnya ada atau enggak yang satu periode (menangkap) dua menteri? Itu kalau mau bicara obyektif. Dari MA ada dua hakim agung (yang ditangkap). Sampai kemudian saat ini Sekretaris Mahkamah Agung. Bahkan pada periode sebelumnya Gubernur Papua tidak tersentuh, (kini) kami bongkar sampai ke akar-akarnya. Tapi yang begini-begini ditenggelamkan dengan mengangkat isu yang melemahkan, yang politis, lah.
Undang-Undang KPK yang baru kan menempatkan KPK sebagai bagian eksekutif?
Sebenarnya perubahan itu menempatkan KPK dalam rumpun, bukan di bawah, eksekutif. Ini hanya menempatkan. Independensinya tidak ada yang berubah. Bahkan kami, ketika diajak di beberapa tim satuan tugas khusus, secara tegas mengatakan bahwa kami adalah lembaga independen yang tidak mungkin masuk pemerintahan.
Salah satu yang jadi sorotan terhadap KPK adalah kasus pengusutan dugaan korupsi Formula E yang menyeret Anies Baswedan. Bagaimana kemajuannya?
Formula E masih dalam proses penyelidikan dan ini fakta dan kemewahan KPK bahwa proses hukum di KPK itu tidak bisa dan tidak hanya ditentukan oleh satu orang. Kami berdialektika. Diskusi dan debatnya panjang dan dalam sekali. Faktanya, ini kemudian sampai sejauh ini, proses penyelidikan masih mencari bukti-bukti.
Pimpinan KPK terbelah dalam soal Formula E?
Pimpinan KPK itu lima orang. Ada kalanya lima-limanya sepakat di satu titik. Lumrah juga kalau ternyata terbelah. Terbelah dua itu masih untung. Kadang terbelah lima. Jadi, menurut saya, terbelah itu bagian hal yang natural.
Belum ada indikasi kasus itu akan naik ke penyidikan?
Prinsipnya, pimpinan itu mengarahkan, supervisi, kemudian menerima laporan perkembangan dari tim penyelidik. Kalau nanti tim penyelidik sudah ada progres, tentu disampaikan ke pimpinan untuk ekspose.
Ketua KPK Firli Bahuri dilaporkan dalam sejumlah kasus, termasuk etik. Bagaimana Anda melihatnya?
Namanya laporan, ya kami pasrahkan. Artinya, kami mempersilakan setiap warga negara yang diduga mengetahui untuk melaporkan sesuai dengan prosedur hukum. Kalau etik, ya kami pimpinan tidak memiliki wewenang. Itu wewenang Dewan Pengawas, yang akan memeriksa dan membuktikan.
Apakah itu mengganggu kerja KPK?
Enggak. Pimpinan KPK tetap melakukan tugasnya kecuali nanti ada hasil, ada putusan, yang menyatakan bersalah, baru kemudian (kami) menyikapi.
Nurul Ghufron
Tempat dan tanggal lahir:
Sumenep, Jawa Timur, 22 September 1974
Pekerjaan:
- Pengajar di Universitas Negeri Jember, Jawa Timur
- Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi, 2019-sekarang
Pendidikan:
- S-1 Fakultas Hukum Universitas Jember, 1997
- S-2 Fakultas Hukum Universitas Airlangga, 2004
- S-3 Universitas Padjadjaran, Bandung
Ketua KPK 2010-2011, Busyro Muqoddas:
KPK Sudah Main-main dengan Politik Pesanan
Mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi, Busyro Muqoddas di Yogyakarta, 14 Juni 2023/Tempo/Shinta Maharani
Bagaimana Anda menilai putusan MK?
Putusan MK itu tidak bisa dilepaskan dari latar belakang politik yang sangat menonjol, yakni revisi Undang-Undang KPK. Dengan undang-undang baru itu, KPK sudah tidak independen lagi. Dia di bawah presiden. Presiden dalam bayang-bayang partai politik. Nah, dari situ saja sudah bermasalah. Kalau sebuah lembaga penegak hukum, apalagi di bidang pemberantasan korupsi, sudah tidak independen lagi, siapa yang bisa percaya KPK tidak menjadi alat politik? Politik dalam arti pemerintahan ataupun politik bisnis. Itu diperkuat dengan kewajiban (pegawai KPK) menjadi aparatur sipil negara.
Tahapan-tahapan yang bertubi-tubi itu mudah sekali membentuk opini yang sesuai dengan akal sehat bahwa KPK ini, yang permohonan judicial review-nya dikabulkan MK, bagian tak terpisahkan dari gerakan politik yang vulgar. Sayangnya, MK serta-merta memutuskan itu. Tidak mendengarkan sejumlah pihak yang memiliki otoritas historis yang orisinal, misalnya apakah KPK sekarang cenderung menjadi alat politik. MK perlu mendengar ahli yang independen. Kan, (kenyataannya) tidak. Tanpa menyebut kasus-kasus tertentu, kan ada banyak kasus yang ditutup. Harun Masiku, Meikarta, Reklamasi, BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia) tutup, dan sejumlah kasus lain. Dari situ, muatan kepentingan politik sesaat itu sangat kuat sekali.
Nurul Ghufron menyatakan gugatan ini inisiatif pribadi. Apakah itu lumrah?
Masuk akal jika ia sudah tidak lagi sebagai pimpinan KPK. Tapi, karena dia masih di dalam lembaga itu, sulit sekali untuk membangun argumen dia punya legal standing secara individual. Kalau ada pengakuan “itu inisiatif sendiri”, saya tidak percaya karena enggak mungkin model kepemimpinan di KPK yang kolektif kolegial itu, apalagi sebagai unsur pimpinan, mengambil keputusan sendiri.
Ghufron menyebut gugatan ini semata bertujuan menuntut persamaan periode masa jabatan seperti lembaga lain.
Harus flashback ke sejarahnya mengapa empat tahun. Kan, kita juga perlu melihat analisis produk KPK yang hanya empat tahun itu. Ada masalah enggak selama ini? Tidak ada permasalahan sama sekali. Permasalahan justru muncul di era Firli Bahuri.
Apakah komisioner KPK dulu pernah punya ide meminta perpanjangan masa jabatan?
Tidak pernah terpikir secara individual, apalagi institusional. Ada kode etik yang kami buat bahwa pimpinan KPK yang sudah selesai periodenya disarankan tidak menduduki jabatan publik semacam komisaris atau sejenisnya untuk mencegah sekuat mungkin, jangan sampai orang yang ikut tes KPK itu berpikir, “Oh, nanti setelah KPK akhirnya bisa jadi komisaris.”
Apa akibatnya?
Untuk mencegah sejak dini, jangan sampai ke depan ada yang mau masuk KPK itu punya hitungan yang salah secara moral. Kayak batu loncatan.
Apa kritik utama Anda terhadap perpanjangan masa jabatan ini?
Empat tahun itu ada pesan moral yang dilembagakan: jangan kelamaan.
Apa yang membuat KPK dibungkam melalui revisi undang-undang?
Ada latar belakang, yaitu ketika periode sebelumnya, termasuk periode kami bersama Abraham Samad, strategi pencegahan itu integratif dengan penindakan. Operasi tangkap tangan (OTT) jalan terus, tapi bersamaan dengan itu dilakukan pencegahan sejak dini. Kami memilih tiga sektor: pajak, ketahanan pangan, ketahanan energi. Yang menonjol waktu itu di bidang minyak, gas, dan batu bara. Dari penelitian, di sektor migas, pencegahan yang dilakukan KPK bisa menyelamatkan pendapatan dari sektor migas, yang waktu itu nyaris hilang, di sektor hilir kira-kira Rp 260 triliun. Di hulu, kami kaji undang-undang dan peraturannya. Dari kajian kami menemukan banyak (masalah pada) izin usaha pertambangan (IUP). Kami presentasikan ke kepala daerah. Banyak IUP yang kemudian dicabut. Izin tambang yang diobral di daerah-daerah itu berkorelasi dengan saat-saat pemilihan kepala daerah. Dari contoh itu, wajar sekali kalau oligarki, elite bisnis yang bergerak di bidang tadi, kelabakan, arena dana itu berkorelasi penggunaannya dengan musim pilkada. Pilkada kaitannya dengan pemilu. Itulah yang kemudian, setelah kami kaji sejarahnya, “Oh, ini latar belakang diobrak-abriknya KPK dengan revisi (undang-undang) itu.”
Apa dampak yang paling terlihat dari KPK setelah revisi itu?
Ditutupnya kasus-kasus tertentu yang saya sebutkan tadi. Misalnya Meikarta, kenapa terbatas pada direktur? Kenapa tidak naik ke atasnya? Kasus reklamasi, kenapa tidak ke atas? Reklamasi itu kan sudah terbukti korupsi. Itu seharusnya ditarik ke struktur di atasnya. Siapa gubernur yang mengizinkan reklamasi? Siapa Menteri Dalam Negeri dalam kaitan dengan otoritas pemberi izin tanah. Ini muatan politiknya sangat kental.
Kepercayaan publik kepada KPK dan IPK turun setelah ada revisi Undang-Undang KPK. Apakah itu mengejutkan?
Saya enggak heran karena, terus terang, begitu tinggi kepercayaan masyarakat kepada KPK sebelumnya. Indikatornya antara lain OTT pada saat itu sumber informasinya dari masyarakat. IPK setelah reformasi itu justru paling jeblok di era Presiden Jokowi.
Apa penyebab utamanya?
Pertama, kasus helikopter, yang sampai sekarang masih diselidiki Trunojoyo (Markas Besar Polri). Kedua, menarik dilacak apakah berita pembocoran tentang penyelidikan di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral itu ada korelasinya secara runtut sehingga Endar Priantoro, Deputi Penindakan KPK (yang dikeluarkan), sampai melapor ke Ombudsman. Itu indikasi bahwa KPK sudah main-main dengan politik pesanan. Ini yang sangat membahayakan.
Apakah masih ada harapan KPK bisa kembali mendapat kepercayaan masyarakat?
Kalau Presiden Jokowi ingin mengakhiri periode (pemerintahan) dengan cantik, pilihan yang risikonya paling ringan adalah tidak menerapkan putusan MK itu. Ditangguhkan saja dan segera bentuk panitia seleksi KPK secara lebih transparan.
Busyro Muqoddas
Tempat dan tanggal lahir:
Yogyakarta, 17 Juli 1952
Karier:
- Ketua Komisi Yudisial, 2005-2010
- Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi, 2010
Pendidikan:
- S-1 Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, 1977
- S-2 Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, 1995
- S-3 Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, 2010
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo