Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wawancara

Regenerasi Jangan Sampai Terlambat

Kepala Pelatih Ganda Putra PBSI Herry Iman Pierngadi.

23 November 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PASANGAN Marcus Fernaldi Gideon/Kevin Sanjaya Sukamuljo yang mengoleksi delapan gelar tahun ini menempati peringkat pertama; diikuti pasangan senior Hendra Setiawan/Mohammad Ahsan di posisi kedua dan Fajar Alfian/Muhammad Rian Ardianto di tempat kelima.

Prestasi tersebut tak lepas dari peran kepala pelatih ganda putra Persatuan Bulu Tangkis Seluruh Indonesia, Herry Iman Pierngadi. Di tangan Herry, 57 tahun, ganda putra Indonesia tahun ini menjuarai semua turnamen Super 1000--turnamen berhadiah total sekitar US$ 1 juta--yaitu All England, Indonesia Terbuka, dan Cina Terbuka. Bahkan Hendra/Ahsan menjadi juara dunia. Ini prestasi terbaik ganda putra Indonesia dalam beberapa tahun terakhir. Selama melatih di pemusatan latihan nasional PBSI sejak 1993, Herry sudah mengantar pemainnya menjuarai Olimpiade, Asian Games, dan kejuaraan dunia. “Buat karier saya, kalau dari gelar kejuaraan sudah dapat semua. Komplet,” kata Herry dalam wawancara khusus dengan Tempo, Kamis, 21 November lalu.

Siang itu Herry sedang menggembleng anak didiknya di Pemusatan Latihan Nasional PBSI, Cipayung, Jakarta Timur. Dengan pukulan backhand, Fajar Alfian berjibaku mengembalikan smes Mohammad Ahsan dan Marcus Fernaldi Gideon. Serbuan kok meluncur bertubi-tubi dari arah depan kanan dan kirinya. Di pinggir lapangan, Herry menatap pergerakan Fajar. “Jar, naik lagi defense-nya,” ujarnya kepada Fajar, yang beberapa kali menyeberangkan kok yang menyusur tipis di atas net.

Herry sedang melatih teknik bertahan Fajar, yang akan turun berpasangan dengan Rian di SEA Games Filipina pada 1-9 Desember mendatang. Sambil sesekali berkacak pinggang dan menengok jam tangannya, pria yang akrab disapa Koh Herry itu mondar-mandir dari satu lapangan ke lapangan lain.

Setelah tiga jam melatih teknik para pemainnya, Herry menerima wartawan Tempo, Mahardika Satria Hadi dan Aisha Shaidra. Selama kurang-lebih dua jam, ayah tiga anak yang menggeluti hobi memelihara burung murai ini menjelaskan berbagai hal, dari sepak terjangnya sebagai pelatih, regenerasi pemain, hingga tantangan menghadapi atlet milenial.

 

 

Bagaimana Anda melihat perkembangan bulu tangkis belakangan ini?

Dua tahun terakhir, kekuatan bulu tangkis banyak bergeser. Di ganda putra, Denmark dulu salah satu pesaing terberat kita. Sekarang prestasi Denmark menurun, pemainnya tinggal satu-dua pasang. Korea Selatan juga pernah kuat, kini tinggal satu pasang pemainnya. Dulu kita masih menang-kalah, tapi dua tahun terakhir ganda putra kita dominan.

Bagaimana dengan Cina?

Sebelumnya Cina masih dominan, tapi ada pergeseran juga. Dulu ketua pelatihnya Li Yongbo, tapi dalam dua tahun terakhir diganti. Mungkin ada perubahan sistem atau penurunan prestasi.

Prestasi Cina merosot?

Ganda dan tunggal putrinya banyak merosot. Mereka kuat di nomor ganda campuran.

Tim negara mana yang sekarang paling tangguh untuk dilawan?

Tadinya sih Cina, tapi sekarang mereka sudah menyerah. Dulu kita fight terus melawan pasangan Li Junhui/Liu Yuchen. Belakangan, mereka kendur, kalah terus. Mereka dulu bersaing dengan Kevin/Gideon, kini melawan Fajar/Rian juga bisa kalah.

Berarti sekarang tidak ada lawan, ya?

Ada-lah. Bukan berarti kita lebih unggul, enggak juga. Jangan punya pemikiran seperti itu.

Apa kelebihan ganda putra Indonesia?

Pemain ganda putra di dunia sudah mengerti gaya Indonesia. Kita terkenal dengan permainan bola-bola kecil (permainan net). Unggulnya di situ, spesialisasi kita di situ. Atlet negara lain kalau melawan Indonesia harus banyak mikir. Kita lebih banyak main ke teknik. Kalau mereka mengandalkan power dan speed.

Apa yang menyebabkan keunikan gaya pemain Indonesia ini?

Hampir semua gedung pertandingan sekarang pakai penyejuk udara, jadi ada faktor angin. Menang angin, kalah angin itu pengaruh. Lalu anatomi tubuh pemain Indonesia tidak seperti pemain Korea Selatan dan Cina. Mereka besar-besar, tenaganya juga besar. Jadi kita lebih pakai teknik, tidak selalu hanya mengandalkan power.

Sejak kapan teknik ini dikembangkan?

Saya meneruskan dari Koh Chris (Christian Hadinata). Salah satunya strategi no lob (tidak mengangkat bola), tapi saya kembangkan lagi. Saya lebih detail dan banyak variasi. Dulu waktu Koh Chris hanya dua pola, sekarang saya punya empat-lima pola main bola kecil.

Pemain negara lain tidak bisa mengadopsi gaya pemain Indonesia?

Sudah mulai diadopsi sama Malaysia dan India, karena pelatihnya dulu anak buah saya semua.

Apakah atletnya bisa mengikuti?

Ada yang bisa, ada yang enggak. Tapi tetap saya pelajari kelemahan mereka. Contoh, India sekarang gandanya maju pesat. Kami punya tim yang merekam pertandingan. Kami pelajari kelemahan mereka. Kalau nanti bertanding, saya kasih tahu pemain saya tentang itu.

Siapa yang menentukan pemain untuk Anda latih?

Saya yang pilih.

Bagaimana Anda memilih pemain yang dilatih?

Salah satunya dari kualitas pukulan, karena pukulan ganda dan tunggal beda. Saya bisa melihat jika pemain itu bakatnya di ganda. Dasar pukulan ganda itu harus ada.

Seperti apa pukulan pemain ganda?

Pukulan pemain ganda lebih banyak nge-drive, bolanya enggak nge-lob. Po­wer tenaga smesnya keras. Lalu permainan bola-bola kecilnya bagus. Tapi bakat seperti itu saja tidak cukup dan tak menjamin pemain sukses. Jauh lebih penting adalah karakter.

Karakter seperti apa yang dibutuhkan?

Disiplin, motivasi, semangat bertarung. Kalau bakatnya bagus tapi dia malas, disiplin enggak ada, jangan harap, deh.

Sering menemukan pemain seperti itu?

Banyak, he-he-he.... Dari pengalaman saya, pemain seperti itu hanya bisa bertahan setahun. Setelah itu keluar (dari pusat pelatihan nasional).

Karakter asli pemain biasanya terlihat setelah berapa lama?

Biasanya satu-dua tahun sudah kelihatan. Itu juga masih tergantung rezekinya. Contohnya, selama latihan bagus, enggak pernah cedera. Menjelang berangkat bertanding malah sakit. Ada yang seperti itu.

Pendekatan seperti apa yang Anda terapkan kepada pemain?

Tergantung pemainnya, karena setiap individu berbeda. Saya juga harus menye­lami karakter dia. Dia juga harus pahami karakter saya. Sama-sama belajar.

Sampai membicarakan hal di luar lapangan?

Sampai soal pacaran, biasanya sih sambil guyon. Saya pelatih, tapi saya punya kepentingan untuk menjaga mereka. Kan, ada pacaran yang membuat bangkit, lebih hebat, ada juga sebaliknya. Cerita di sini banyak kalau mau dibikin novel.

Ada pengalaman unik soal itu?

Ada satu atlet saya pacaran dengan sesama atlet. Saya lihat pacarnya ini mengganggu anak didik saya. Jam istirahat diminta nyetirin mobil, terus mukanya terlihat enggak happy. Lalu saya bilang ke dia, “Udah putusin aja. Muka elu kan ganteng, cari aja yang lain.” Sambil guyon ngomongnya. Kira-kira empat-lima bulan kemudian dia bilang ke saya, “Iya Koh, udah saya putusin. Abis dia ngatur saya terus.”

Bagaimana prestasi pemain itu setelah putus?

Lebih bagus. Istirahatnya cukup, konsentrasinya lebih baik. Dia pernah juara Thailand Open dan turnamen di Malaysia.

Anda pernah ribut dengan pemain?

Waktu lima-enam tahun lalu, mungkin saya masih emosian, pemain juga. Tapi enggak sampai berantem, ya. Sekarang relatif enggak ada. Kalau perbedaan pendapat itu hal biasa.

Apa perbedaan melatih atlet zaman dulu dengan atlet milenial?

Atlet sekarang lebih profesional. Tampaknya itu pengaruh dari kontrak. Karena dulu kontrak itu masuk ke PBSI secara keseluruhan. Sekarang sponsornya langsung ke pemain dan PBSI enggak ambil uang. Ini membuat pemain memiliki tanggung jawab lebih besar.

Selain profesionalisme karena kontrak, ada alasan lain?

Dulu latihan fisik jauh lebih berat dibanding sekarang. Kini metode latihan lebih banyak ke teknik. Dulu fisiknya harus kuat karena pakai sistem 15 poin. Sekarang rally point. Itu perbedaannya banyak banget. (Dalam sistem rally point, pemain yang sedang tidak memegang kendali servis bisa langsung memperoleh angka jika kok pukul­annya masuk ke daerah lawan atau lawan berbuat kesalahan. Sistem yang dite­rapkan sejak Desember 2005 itu menggunakan format skor 3 x 21. Sistem rally point cukup signifikan dalam memangkas du­rasi pertandingan.)

Herry Iman Pierngadi memberi arahan kepada Kevin Sanjaya Sukamuljo pada Kejuaraan Dunia 2018 di Nanjing, Cina, Agustus 2018./badmintonindonesia.org

Apa tantangan dalam melatih pemain milenial?

Yang pasti gadget. Kalau pemain dulu enggak ada media sosial, kita di lapangan cuma ngobrol. Sekarang, jika latihan tidak dijaga, mereka bisa pegang gadget. Kita sampai harus bikin aturan. Pemain zaman dulu memang jauh lebih bisa berfokus. Pengaruh dari media sosial itu luar biasa, bisa bikin performa pemain naik ataupun turun.

Anda menjadi pelatih di pelatnas sejak 1993. Bagaimana pembibitan dulu sampai sekarang?

Dalam lima-tujuh tahun ke belakang, di Indonesia ada perubahan dengan diadakannya audisi beasiswa bulu tangkis. Animo masyarakat, terutama anak muda, sangat besar. Efeknya luar biasa. Dari audisi di Bandung, Purwokerto, Sumatera, dan kota-kota lain menjamur.

Pasokan bibit pemain menjadi lebih banyak?

Saya tidak tahu persis datanya, tapi se­pertinya meningkat di atas 50 persen. Itu menjadi keuntungan pembibitan di Indonesia. Contohnya Kevin, yang merupakan hasil dari audisi 2007. Dengan adanya audisi ini, klub lain mulai mengikuti.

Ganda putra Indonesia terbilang paling moncer dan tak pernah kehabisan stok pemain. Mengapa sektor lain tidak bisa demikian?

Saya selalu memperhatikan regenerasi. Itu penting buat kita. Jangan selalu bertumpu pada satu pasang pemain. Misalkan sekarang Kevin/Gideon nomor satu dunia. Kita enggak perlu fokus ke mereka, mereka sudah jalan. Kita cari lagi pemain yang baru untuk kita siapkan. Saya sekarang sedang menyiapkan pasangan Fajar/Rian, permainan mereka masih naik-turun. Tapi di bawahnya harus disiapkan lagi. Istilahnya harus punya tiga lapis. Jadi regenerasi akan jalan terus.

Bagaimana caranya?

Setiap akhir tahun kan ada promosi dan degradasi. Pemain-pemain muda sudah saya naikin lagi. Harus selalu begitu, jadi regenerasi jangan sampai terlambat. Proses regenerasi itu butuh waktu.

Apakah regenerasi di sektor lain kurang berjalan dengan baik?

Kurang tahu juga. Sebenarnya sih ada, tapi tiap pelatih punya sistem. Itu yang mungkin masih belum berjalan atau sumber pemainnya masih terbatas.

Anda sempat berada di luar pelatnas. Apa yang terjadi saat itu?

Saya diberhentikan pada 2009-2010. Saya bertanya kepada PBSI apa alasannya, tapi enggak ada yang bisa memberi jawaban. Wong saya prestasinya bagus. Jadi kelemahan saya yang dicari.

Benarkah Anda berkonflik dengan Markis Kido?

Dia bilang enggak cocok dilatih saya. Padahal dia enggak cocok dengan program saya karena saya kan keras. (Herry Piernga­di sempat bersitegang dengan pemainnya, Markis Kido, yang mengadukan ketidakcocokan dengan Herry ke PBSI. Herry diberhentikan dari pelatnas menjelang Olimpiade 2008. Posisinya diisi Sigit Pamungkas, bekas asistennya.)

Apa yang Anda lakukan ketika itu?

Saya ikut event organizer di lomba burung, keliling Indonesia.

Mengapa Anda tidak melatih di negara lain?

Sebenarnya saya ditawari melatih di Malaysia, cuma saya enggak mau. Saya mau melupakan bulu tangkis dulu. Waktu itu masih kecewa banget.

Tapi Anda akhirnya dipanggil lagi ke pelatnas.

Koh Chris menelepon saya pada 2011. Jabatannya waktu itu direktur pelatnas. Dia bertanya, “Her, masih ada minat enggak ngelatih di pelatnas?” Saya bilang bersedia jika PBSI memberikan kepercayaan kepada saya. Dulu ada Bambang Suprianto dan kandidat lain, tapi saya yang dipilih.

Kapan Anda mengawali karier melatih?

Saya pertama kali melatih di klub Tangkas pada 1989. Itu setelah saya tidak bisa melanjutkan sebagai pemain karena lutut kiri cedera. Saya pelatih pertama ganda putra di sana.

Berapa gajinya?

Rp 400 ribu.

Kalau gaji di pelatnas?

Gaji pertama pada 1993 sebesar Rp 750 ribu. Kalau sekarang jauh lebih besar, cukuplah digunakan untuk kehidupan saya. Kisaran di atas Rp 60 juta dan di bawah Rp 100 juta per bulan.

Mendapat fasilitas apa saja?

Kamar untuk istirahat di asrama Cipayung, makan, dan asuransi kesehatan.

Masih ada yang menawari jadi pelatih di negara lain?

Kalau sekarang hampir semua, he-he-he.... Malaysia, Korea Selatan, dan terakhir Cina. Saya disuruh buka harga, tapi tidak saya ladeni. Kerja bukan hanya soal uang, tapi harus ada kebanggaan. Kalau orientasinya uang, saya sudah lari ke mana-mana.

Dari mana Anda mencari inspirasi untuk melatih?

Dari pengalaman saya. Lalu banyak nonton pertandingan, kan saya sering ikut pertandingan di luar negeri. Saya juga mengkombinasikan hal-hal yang bagus dari pelatih lain. Lalu saya praktikkan.

Siapa pelatih panutan Anda?

Senior saya, Koh Chris. Saya banyak bela­jar dari dia. Dia juga sering kasih ­masukan. Saya belajar terutama soal kedisiplin­annya, cara dia ngomong ke pemainnya.

Bagaimana perbedaan sistem di PBSI sekarang?

Ada perubahan sedikit-sedikit, tergantung kebijakan ketua umum yang berganti setiap lima tahun. Misalnya, kalau zaman dulu hadiah atau bonus pemain dipotong 25 persen untuk klub dan pemerintah provinsi, sekarang murni buat pemain. Dulu kontrak pemain secara kolektif, sekarang individu.

Sejak kapan hal itu berubah?

Sejak zaman Pak Gita Wirjawan (Ketua Umum PBSI 2012-2016).

Dari sekian banyak pasangan ganda yang dilatih, siapa yang paling membuat Anda berkesan?

Setiap pasangan punya kesan tersendiri. Tapi saya surprised dan bangga saat Candra Wijaya/Tony Gunawan juara Olimpiade 2000 di Sydney, karena itu satu-satunya emas untuk Indonesia. Lalu ketika Ahsan/Hendra menang BWF World Championships 2013 di Guangzhou dan Kevin/Gideon menjuarai All England pertamanya pada 2017.

Anda tidak menduga Candra/Tony bisa menyabet medali emas?

Waktu itu Indonesia masuk ke tiga final. Pasangan Tri Kusharyanto/Minarti Timur kalah, Hendrawan juga kalah. Tinggal pasangan saya, terakhir lagi mainnya. Sudah begitu, Koh Chris ngomong gini, “Her, emasnya Indonesia tergantung kamu.” Lho, saya bilang ya tergantung pemainlah. Pemain juga saat itu enggak bisa tidur. Candra/Tony stres karena penentuan terakhir. Saya bilang ke mereka, “Nasib Indonesia ada pada kalian.” Syukurlah mereka bisa memberikan emas. Kan, sebelumnya mereka kalah di All England. Banggalah saya bisa nganterin medali emas.

Ada momen tidak puas sebagai pelatih?

Saat Olimpiade Rio de Janeiro, Brasil, pada 2016. Saya menyiapkan Ahsan/Hendra. Saya pikir mereka bisa sampai semifinal, tapi enggak lolos penyisihan grup. Saya agak down saat itu.

Ada kejuaraan yang belum diraih?

Buat karier saya, kalau dari gelar kejuaraan sudah dapat semua. Komplet.

Sejak kapan Anda menggemari bulu tangkis?

Waktu umur saya 8-9 tahun. Sebelumnya saya main sepak bola. Setiap musim hujan lapangan becek, baju saya kotor sehabis main. Ibu saya yang nyuci baju ngomel, “Kamu ngapain main sepak bola, bikin baju kotor, udah main badminton saja.” Sejak itu, saya mulai bermain bulu tangkis.

Ada anggota keluarga yang bermain bulu tangkis?

Bapak saya bermain, tapi hanya di kampung.

Raket pertama dari ayah?

Awalnya saya selalu pinjam raket bapak saya. Tapi ibu saya kemudian membelikan raket Yonex Blacken, warnanya hitam semua, belinya di Pasar Baru.

Bakat bulu tangkis diturunkan ke anak-anak?

Dari ketiga anak saya, hanya yang bontot, Karen Aprilia, yang main bulu tangkis. Dia ikut kejuaraan nasional di Palembang (24-28 November 2019).

Anda punya olahraga favorit lain?

Yang pasti sepak bola. Saya suka nonton pertandingannya, Liga Inggris, Liga Spanyol. Dulu pernah main basket, tapi hanya olahraga sampingan.

Masih menggeluti hobi memelihara burung?

Sekarang bukan hanya hobi, tapi arahnya sudah ke bisnis. Ikut lomba. Transaksinya cukup bagus. Saya mencatat rekor dapat Rp 250 juta per ekor. Awalnya memang buat refreshing. Dulu, kalau dihadapkan pada pertandingan dan target, terasa beban dan stres. Burung itu buat penghibur.

 


 

Herry Iman Pierngadi

Tempat dan tanggal lahir: Pangkal Pinang, Bangka Belitung, 21 Agustus 1962 | Pendidikan: Diploma-III Kepelatihan Universitas Negeri Jakarta (1993-1994) | Karier:  Pemain klub Tangkas (1977-1988), Pelatih klub Tangkas (1989-1992), Pelatih ganda putra PBSI (1993-2009; 2011-sekarang) | Prestasi pemain yang dilatih: Medali emas di Olimpiade Sydney 2000 dan Olimpiade Beijing 2008; Juara All England 2014, 2017, 2018, dan 2019; Medali emas Kejuaraan Dunia 2013 dan 2015; Medali emas Asian Games 2014 dan 2018, Juara Indonesia Open 2013 dan 2018; Juara Cina Open 2016 dan 2017; Juara BWF World Championships 2013

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus