Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wawancara

Jendi Pangabean, Bintang Renang Paragames dari Muara Enim  

Kehilangan kaki kiri tak berarti membuat Jendi Pangabean mustahil berprestasi. Berkat olahraga renang, kini ia bisa mengubah tangis pilu orang tuanya menjadi haru kebahagiaan. Baru-baru ini ia membawa pulang lima medali emas ASEAN Paragames 2022.

21 Agustus 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wangi betul nama Jendi Pangabean di pentas ASEAN Paragames 2022 di Indonesia, dua pekan lalu. Betapa tidak, pria berusia 31 tahun itu menjadi bintang paling terang di venue kolam renang Kompleks Olahraga Jatidiri, Semarang, Jawa Tengah. Jendi memborong lima medali emas dari lima nomor pertandingan, yakni tiga nomor individu dan dua nomor estafet.

Pararenang dalam pesta olahraga difabel Asia Tenggara yang berlangsung di Jawa Tengah, 30 Juli-6 Agustus lalu, itu terbagi dalam sejumlah klasifikasi, tergantung kondisi fisik atlet. Jendi masuk klasifikasi S-9 atau kelas atlet yang memiliki kelemahan di satu kaki. Bisa jadi atlet tersebut menyandang disabilitas berupa amputasi ataupun cerebral palsy.

Kini Jendi sedang rehat sejenak di Palembang, Sumatera Selatan, selepas ASEAN Paragames. Tim pelatih pelatnas pararenang memberinya jatah libur dua pekan. "Selesai libur, saya balik ke Solo untuk ikut pelatnas lagi," ujar dia ketika diwawancara Indra Wijaya dari Tempo secara daring, Selasa lalu.

Di sela-sela waktunya beristirahat, Jendi menyempatkan diri berbincang-bincang tentang perjalanan hidup dan kariernya. Berikut ini wawancara dengan “Si Aquaman dari Muara Enim” itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Anda berhasil meraih lima medali emas di ASEAN Paragames 2022. Bagaimana rasanya?
Pastinya senang. Bangga juga. Sebab, sesuai dengan target pelatih, yakni lima medali emas. Saya diminta mempertahankan torehan medali di ASEAN Paragames sebelumnya di Malaysia pada 2017, yang juga memperoleh lima medali emas di lima nomor.

Lima medali emas ini dari nomor apa saja?
Ada tiga nomor individu dan dua nomor estafet. Kalau nomor individu di 100 meter gaya punggung, 200 meter gaya ganti individu, dan 100 meter gaya kupu-kupu. Sedangkan di estafet itu nomor 4 x 100 meter gaya bebas dan 4 x 100 meter gaya ganti.

Bagaimana persaingan medali di ASEAN Paragames di Semarang ini?
Persaingannya lumayan ketat karena lawan-lawannya ada yang baru. Ada pula yang sudah sering bertemu dalam laga internasional. Tapi, yang jelas, karena ASEAN Paragames 2017 dengan yang sekarang lumayan lama jedanya, kami enggak bisa membaca atau memprediksi lawan. Terlebih ada beberapa atlet baru. Jadi, persaingannya lebih ketat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Atlet renang Jendi Pangabean menunjukkan medali yang diraih dalam ASEAN Paragames XI. Dok. Jendi Pangabean

Bagaimana awal mula kisah Anda kehilangan kaki kiri?
Pada umur 12 tahun saya mengalami kecelakaan sepeda motor di kampung, di Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan. Saya membonceng teman naik sepeda motor. Kaki saya sebelah kiri hancur tak bisa diselamatkan lagi. Jadi, terpaksa diamputasi. Saat itu saya masih kelas VI sekolah dasar, baru selesai ujian nasional hendak masuk sekolah menengah pertama. Setelah kecelakaan itu sudah masuk pendaftaran ke SMP.

Apa yang terjadi pada Anda setelah itu?
Ya, berubah drastis, dari semula saya normal menjadi difabel. Berat juga. Saya lebih melihatnya ke keluarga, orang tua. Mereka melihat saya masih kecil. Saya belum bisa memahami bagaimana nanti ke depannya. Orang tua saya lebih paham, bagaimana tantangan saya ke depan. Seperti lingkungan sosial, orang-orang di sekitar saya, pasti melihat saya berbeda. Yang saya khawatirkan saat itu adalah orang tua. Saya masih ingat betapa terpukulnya mereka. Saya ikut menangis saat mereka menangis.

Ada hambatan masuk SMP setelah kecelakaan itu?
Kalau sekolah, dua pekan masa pemulihan pasca-operasi saya langsung masuk SMP di kampung di desa saya. Awalnya agak minder. Tapi kebetulan di SMP itu banyak kawan saya dari SD. Jadi, gampang beradaptasi. Beruntung, kawan-kawan saya ini tidak melihat saya sebagai orang yang berbeda. Masih sama seperti dulu. Ini yang bikin saya cepat beradaptasi. Lalu SMA saya putuskan pindah ke Palembang.

Anda pindah ke Palembang bersama keluarga?
Saya pindah ke Palembang sendiri khusus untuk sekolah. Saya di Palembang tinggal di asrama khusus para difabel. Namanya SBD Budi Perkasa Palembang. Itu tempat anak penyandang disabilitas yang diajari kemampuan untuk mandiri. Ada beberapa jurusan skill, seperti komputer, penjahitan, serta elektronik. Nanti kalau lulus mendapat piagam. Tapi, selain itu, saya sekolah di luar, ya SMA umum. Jadi, pagi saya sekolah di asrama itu, siang saya sekolah di SMA umum. Kalau di asrama, saya mengambil jurusan komputer.

Anda mengalami hambatan ketika sekolah di Palembang?
Masa SMA ini tantangan terbesar saya. Sekolah baru, teman-teman baru. Harus beradaptasi lebih karena jauh dari keluarga juga. Pada masa SMA ini saya merasa lebih minder. Ada banyak pertanyaan di benak saya. Semacam proses mencari jati diri. Tapi justru saat pelik itu saya dipertemukan dengan olahraga renang difabel ini.

Pernah mengalami perundungan saat itu?
Ya, ada sedikit-sedikit. Seperti teman-teman kurang menghargai saya. Mereka seperti enggan berteman dengan saya. Teman saya sedikit saat SMA. Tapi saya sadar diri juga. Takutnya saya menjadi beban buat mereka.

Bagaimana Anda masuk dunia renang?
Di Palembang, saya dikenalkan dengan olahraga untuk para difabel. Waktu itu ditanyai ada bakat di olahraga atau tidak dan akan diikutkan acara Hari Disabilitas Nasional. Saya sempat bingung, bakat saya apa. Saya sempat ke tenis meja. Hanya, waktu itu cuma main-main saja karena tidak ada pelatihnya. Lalu ke renang karena sejak kecil sudah kenal renang. Kebetulan saya kenal pelatih renangnya waktu itu. Jadi, ada salah satu klub renang di Palembang, saya meminta kepada pelatih, "Boleh tidak saya ikut latihan bareng, Pak?" Dan saya boleh bergabung.

Klub renang umum atau khusus disabilitas?
Klub renang umum. Saya sendiri yang difabel. Jadi, teman-teman saya normal. Itu tahun 2011.

Apakah pelatih memberi materi khusus untuk Anda?
Kalau awal, memang agak susah meski sejak kecil saya sudah bisa berenang secara otodidaktik. Tapi, ketika masuk kolam renang, ya, susah juga. Tapi tidak apa, saya beradaptasi dulu. Lalu, karena kemauan saya tinggi, lama-kelamaan bisa juga. Kemudian, saya bisa mengikuti program latihan hingga sama satu program latihan dengan yang lain.

Bagaimana kesulitan memulai berenang?
Tidak ada, sih. Sama saja sebenarnya. Bedanya cuma ada pelatihan khusus penguatan kaki dan tangan. Kaki saya kuat. Tapi, karena kaki saya cuma satu, jadi kekuatan dipindahkan ke tangan. Yang penting beradaptasi saja di awal.

Masuk satu program latihan dengan yang umum, apa tantangannya?
Pertama-tama saya merasa berat karena mereka jago berenang. Ya, saya punya tekad saja, saya harus bisa mengikuti mereka. Mungkin salah satu faktor yang bikin saya jadi seperti ini, ya, mereka. Karena saya merasa ada persaingan di sana. Sebab, saat itu saya ikut kejuaraan kategori umum karena di Palembang tidak ada kejuaraan renang khusus difabel. Jadi, saya sering ikut kejuaraan tingkat daerah sampai pekan olahraga daerah. Hasilnya kadang-kadang bagus, kadang tidak.

Bagaimana perasaan Anda bisa setara dengan perenang umum lainnya?
Senang pastinya. Rasanya ingin berproses terus. Ingin meningkatkan kemampuan terus. Bisa bersaing hingga lebih baik dari mereka.

Apa kejuaraan pertama yang Anda ikuti?
Dulu tingkat pelajar di Yogyakarta pada 2009. Lalu masih di tingkat pelajar juga di Riau pada 2011. Di Riau itu saya mendapat medali pertama, yakni perunggu. Lalu naik ke Pekan Paralimpik Nasional atau PON untuk difabel. Di situ saya mendapat 2 medali emas, 1 medali perak, dan 1 medali perunggu.

Atlet renang Jendi Pangabean (atas) berlomba di nomor Men's 200 m Individual Medley SM9 dalam Indonesia Para Games Invitational Tournament final di Stadion Akuatik Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta, 2 Juli 2018. Dok. TEMPO/Fakhri Hermansyah

Bagaimana bisa naik ke ajang internasional?
Ya, dari 2012 Pekan Paralimpik Nasional itu saya mendapat medali emas dan catatan waktu saya bagus. Malah di salah satu nomor, tepatnya 200 meter gaya ganti, saya memecahkan rekor ASEAN. Akhirnya pada 2013 saya dipanggil pelatnas untuk mengikuti kejuaraan ASEAN Paragames di Myanmar. Waktu itu pelatnasnya di Solo. Di Myanmar, saya berhasil mendapat dua medali emas dan satu medali perak dari tiga nomor perlombaan yang saya ikuti.

Setelah itu?
Pada 2014 ada ajang Asian Paragames di Incheon, Korea Selatan, tapi saya tidak meraih medali. Saat itu saya merasa terpuruk karena prestasi dan medali seperti menjauh dari saya. Waktu itu ada kejadian kami sudah mendapat perak di nomor estafet. Tapi kami didiskualifikasi karena ada kesalahan. Makanya saya merasa jatuh. Tapi kami coba introspeksi diri, mencari tahu apa saja kesalahan kami. Seperti contoh, saya tidak meraih medali. Tapi catatan waktu saya meningkat. Jadi, masih ada kemajuan.

Apakah Anda menyerah setelah itu?
Tidak. Setelah itu saya mencoba lagi di ASEAN Paragames di Singapura pada 2015. Di sana saya menyumbang medali terbanyak untuk Indonesia. Saya mendapat 6 medali, 3 emas, 2 perak, dan 1 perunggu. Dan di nomor andalan saya, 100 meter gaya punggung, catatan waktu saya masuk kualifikasi ke Paralimpiade atau Olimpiade disabilitas pada 2016 di Rio de Janeiro, Brasil.

Bagaimana penampilan Anda di Paralimpiade 2016?
Waktu itu ada empat atlet renang yang berangkat ke Rio. Saat itu belum dapat meraih medali. Tapi, menurut saya, itu capaian luar biasa karena sudah masuk Paralimpiade. Tapi, sebelum Paralimpiade, saya ikut beberapa kejuaraan internasional untuk menjaga poin ke Paralimpiade. Catatan saya di Paralimpiade masih bagus. Saya masuk peringkat 11 besar. Lalu lanjut ke ASEAN Paragames 2017 di Malaysia dengan hasil lima medali emas.

Lebih berat tampil di negeri orang atau di Indonesia?
Di Asian Paragames, tentu rasanya lebih berat tampil di Jakarta. Sebab, saat itu saya merasa adrenalin terpacu karena sebagai tuan rumah. Tapi di ASEAN Paragames 2022 ini saya merasa lebih nyaman dan rasanya lebih senang. Mungkin karena orang tua ikut menonton. Senang saja. Bahkan di Paragames itu pertama kali saya bereaksi lebih ketika menang. Dulu sebelumnya setelah menang, ya, biasa saja.  

Seperti apa program pelatnas selanjutnya?
Setelah ASEAN Paragames, kami diberi waktu libur dua pekan. Nanti balik ke Solo lagi untuk ikut pelatnas persiapan Asian Paragames di Guangzhou, Cina. Tapi untuk Asian Paragames ini masih diundur sampai kapan belum tahu. Tapi setidaknya pada 2023 ada ASEAN Paragames di Kamboja.

Target paling dekat?
Yang terbaik saja. Saya belum berani bicara tentang medali. Saya hanya ingin mempertahankan medali.

Porsi latihan pelatnas bagaimana?
Seperti atlet pada umumnya. Latihan setiap hari ada dua sesi, pagi dan sore. Ada juga latihan fisik di sela-sela latihan itu. Kalau Ahad libur.

Adakah pendampingan psikologis?
Ada juga. Sewaktu Asian Paragames juga ada. Ini sangat membantu karena, mendekati hari pertandingan, secara psikologis mental kita terpengaruh. Justru pendampingan psikologis ini penting karena secara fisik kita siap, tapi mental belum siap, bisa demam panggung.

Persiapan mental sebelum bertanding itu seperti apa?
Grogi itu pasti ada. Saya juga masih mengalaminya. Tapi cara mengatasinya, ya, balik ke diri sendiri. Sebab, semua lawan pasti merasakan hal yang sama.

Bagaimana jalan karier Anda menjadi aparatur sipil negara?
Sewaktu kepemimpinan Imam Nahrawi, tepatnya pada 2018, kami yang meraih medali emas mendapat bonus diangkat menjadi pegawai negeri. Saya di Kemenpora di bagian Deputi Empat, Peningkatan Prestasi. Sekarang memang atlet disabilitas dan non-disabilitas sudah disamakan. Jadi, senang saja sudah enggak ada perbedaan lagi, seperti bonus-bonus. Ya, sejak pemerintahan Presiden Joko Widodo. Pada pemerintahan sebelumnya, kan, memang ada perbedaan.

Bedanya bagaimana?
Kalau pemerintahan sebelumnya beda. Dari bonus saja berbeda. Kalau atlet normal itu mendapat medali dikasih bonus sekian. Kalau kami hanya setengahnya dari nilai bonus itu. Untuk fasilitas pelatnas juga belum sebagus sekarang. Dulu kami ikut pelatnas tinggalnya di asrama. Sekarang sudah tinggal di hotel. Dan jangka pelatnasnya lama juga. Dulu, untuk disabilitas, jumlah atlet yang dikirim sedikit. Baru sekarang-sekarang ini saja banyak mengirim atlet. Senang rasanya sudah ada perubahan seperti ini. Kami merasa seperti diakui dan disamakan. Kami apresiasi pemerintah saat ini.

Banyak yang bangga atas prestasi Anda karena, meski punya keterbatasan, tetap bisa berprestasi. Bagaimana pesan Anda untuk kawan-kawan disabilitas lainnya?
Buat kawan-kawan disabilitas lainnya, terus semangat. Kalau memang punya bakat apa pun, tidak harus olahraga, kerjakan dan lakukan saja sungguh-sungguh. Sebab, dalam kondisi apa pun, kita punya hak untuk bekerja dan melakukan apa pun. Saya berharap, dengan adanya kami ini, bisa menjadi inspirasi bahwa ada kami yang berani keluar, berani memberikan yang terbaik, bisa mandiri. Mudah-mudahan kami bisa ditiru oleh kawan disabilitas lainnya.

Bagaimana agar bisa keluar dari bingkai keterbatasan hingga berprestasi?
Kalau bagi saya, berani saja. Saya harus mandiri karena kita tak boleh bergantung pada orang lain. Walaupun untuk kehidupan sosial kita butuh orang lain, tapi untuk menghidupi diri, ya, kita sendiri. Satu lagi, keluarga dan orang tua. Sebab, selama ini mereka beranggapan saya akan menjadi beban mereka. Tapi saya ingin sampaikan bahwa tidak apa-apa mereka punya anak berkebutuhan khusus seperti saya. Tapi saya bisa bikin mereka bangga.

Soal perundungan yang semakin parah, bagaimana Anda memberi semangat kepada kawan-kawan disabilitas?
Memang agak disayangkan yang namanya dark jokes itu. Di media sosial terkadang keterlaluan. Orang-orang seperti kami sudah biasa mengalami perundungan. Kami sudah enggak memikirkan itu lagi. Saya khawatirnya ke teman-teman yang baru mengalami menjadi disabilitas. Mereka baru hendak melangkah, tapi sudah melihat dark jokes di media sosial. Itu sangat disayangkan.

Bagaimana menghadapinya?
Kembali ke diri sendiri, dengan kondisi seperti ini, ya, harus bersabar. Sebab, memang kadang-kadang kondisinya seperti itu. Bahkan itu harus menjadi penyemangat bagi mereka. Saya berharap teman-teman disabilitas di luar sana, yang punya pengikut banyak di media sosial itu, tetap mendukung kawan-kawan disabilitas lainnya. Jangan dijadikan bahan bercanda. Kasihan kawan-kawan disabilitas yang masih baru. Hentikan dululah dark jokes.

Bagaimana sekarang orang tua melihat Anda?
Pasti bangga. Dulu mereka menangis karena sedih. Sekarang mereka menangis karena bahagia, bangga. Walaupun sama keluar air mata, tapi kan beda artinya.

Dok. Jendi Pangabean

BIODATA
Nama: Jendi Pangabean
Lahir: Muara Enim, 10 Juni 1991
Pekerjaan: Atlet pararenang dan ASN di Kementerian Pemuda dan Olahraga
Orang tua: Akmal (ayah), Misrawati (ibu)

Riwayat Pendidikan:
- Sekolah Dasar Negeri 5 Rambang, Muara Enim (1997-2003)
- Sekolah Menengah Pertama Negeri 1 Rambang, Muara Enim (2003-2006)  
- Sekolah Menengah Atas Karya Ibu, Palembang (2006-2009)

Prestasi Pararenang:
- Pekan Paralimpiade Nasional 2012: 2 medali emas, 1 medali perak, 1 medali perunggu

- ASEAN Paragames 2013 Myanmar: 2 medali emas, 1 medali perak

- ASEAN Paragames 2015 Singapura: 3 medali emas 2 medali perak, 1 medali perunggu

- ASEAN Paragames 2017 Malaysia: 5 medali emas

- Asian Paragames 2018 Indonesia: 4 medali emas

- ASEAN Paragames 2022 Indonesia: 5 medali emas

 

 

 

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus