Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wawancara

Satu Nyawa pun Mesti Diselamatkan

4 Mei 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Selama dua hari, pada 27-28 April lalu, Todung Mulya Lubis mengaku beberapa kali menangis. Hati pengacara dan aktivis hak asasi manusia ini tergetar mendampingi dua terpidana kasus narkotik, Andrew Chan dan Myuran Sukumaran, di Lembaga Pemasyarakatan Nusakambangan, Cilacap. Todung tak sampai hati melihat Chan dan Sukumaran bakal hilang nyawa di hadapan regu tembak. Apalagi Chan, sehari sebelum meninggal, sempat menikahi Febyanti Herewila di penjara.

Seorang jaksa disebut Todung sempat menawarinya ikut masuk ruang eksekusi. Tapi ia emoh lantaran tidak tega. Todung akhirnya memilih balik ke hotel dan memantau proses eksekusi dari layar televisi. Namun itu ternyata tak ampuh menahan air matanya. Sekitar pukul 01.00 pada Rabu, Todung menulis cuitan di akun media sosial Twitternya. "I failed. I lost," yang disusul cuit, "I'm sorry."

Todung, 65 tahun, menjadi pengacara Chan dan Sukumaran sejak 2007. Aneka upaya sudah dia lakukan untuk menghindarkan duo Bali Nine yang dipidana karena menyelundupkan 8 kilogram heroin itu dari hukuman mati. Menurut Todung, ia semula ogah menjadi kuasa hukum terpidana kasus narkotik. Ia akhirnya bersedia mendampingi Chan dan Sukumaran karena menganggap hukuman mati, apa pun alasannya, tak bisa dibenarkan.

Menghapus hukuman mati di Indonesia diperjuangkan Todung sejak 1979. Ketika itu, bersama aktivis hak asasi lainnya, seperti Yap Thiam Hien dan Mulyana W. Kusumah, Todung terus mengkampanyekan penegakan hak atas hidup. Ia juga pernah mengajukan uji materi mengenai aturan hukuman mati di Mahkamah Konstitusi, dan kini sedang mengajukan uji konstitusi untuk tujuan yang sama. Menurut Todung, hak manusia atas hidup adalah mutlak.

Rabu sore pekan lalu, enam jam setelah tiba di Jakarta, Todung menerima Isma Savitri, Rusman Paraqbueq, dan fotografer Tempo Frannoto untuk wawancara di ruang kantornya di Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta Pusat. Matanya terlihat sayu karena kurang tidur. Bahkan ia mengatakan tak sempat makan siang karena jadwalnya hari itu begitu padat. Namun, begitu berbicara tentang hukuman mati dan hak asasi manusia, Todung kembali bersemangat. "Menegakkan hak atas hidup adalah penghargaan yang paling puncak terhadap kemanusiaan," ujarnya.

Di tengah wawancara yang berlangsung hampir dua jam, mata Todung sempat berkaca-kaca ketika mengingat saat-saat terakhir kepergian duo Bali Nine. Ia mengaku belum bisa memahami mengapa Chan dan Sukumaran, serta terpidana mati lainnya, tak mendapat ampun Presiden Joko Widodo. "Why there is no mercy?"

Apa pesan terakhir Chan dan Sukumaran kepada Anda?

Saya bilang kepada Andrew, "I've done everything...." Tapi sekarang saya tidak tahu harus bagaimana lagi. Dia lalu mengajak saya berdoa, dan bilang terima kasih sudah banyak membantunya. Saat saya mengucapkan selamat tinggal kepada Sukumaran, dia juga bilang terima kasih karena saya sudah percaya kepada mereka. Katanya, jangan lagi ada orang yang dieksekusi setelah ini. "You're the only one who can do it," kata Sukumaran. Saya menangis.

Mengapa Anda bersedia menjadi pengacara duo Bali Nine itu?

Pada 2007, saya diminta pemerintah Australia melalui pengacara mereka untuk mengubah hukuman mati Chan dan Sukumaran. Australia berharap dua warganya tidak dijatuhi hukuman mati. Tapi kalau dihukum seumur hidup, walaupun tanpa remisi, silakan.

Saya sempat menolak menangani kasus seperti ini karena menganggap narkotik musuh besar. Saya tahu penderitaan orang karena narkotik. Ada teman dan keluarga jauh saya yang jadi korbannya. Julian McMahon, pengacara Australia, minta saya melihat kasus ini dari perspektif hak asasi manusia. Katanya, karena hukuman mati bertentangan dengan hak asasi manusia, semestinya saya terpanggil untuk menangani kasus ini. Saya akhirnya menerima permintaan mereka.

Hal pertama apa yang Anda lakukan?

Saya lalu mengecek profil Sukumaran dan Chan, dan mendapati mereka adalah produk kemiskinan. Orang tua Sukumaran bercerai, dan ekonomi keluarganya pas-pasan. Sedangkan Chan adalah anak jalanan keturunan Vietnam yang kondisi keluarganya biasa saja. Tapi mereka bukan bandar narkotik, hanya bagian dari mesin.

Selama membela Chan dan Sukumuran, ada yang menentang Anda?

Saya di-bully seolah-olah mendapat banyak duit dari sindikat narkotik. Lha, saya ini cuma membantu dalam konteks kemanusiaan, bukan komersial, karena konsisten tidak mendukung hukuman mati.

Mary Jane dibela habis-habisan oleh masyarakat kita di media sosial, sampai akhirnya eksekusinya ditunda. Apakah itu adil, sementara Chan dan Sukumaran tetap dihukum mati?

Saya berterima kasih Mary Jane tidak dieksekusi, karena dia sebetulnya hanya ibu rumah tangga biasa. Tapi saya sebetulnya minta Chan dan Sukumaran mendapat perlakuan yang sama, karena keterangan mereka masih dibutuhkan Komisi Yudisial atas laporan yang saya ajukan.

Apa materi laporan Anda ke Komisi Yudisial?

Pengacara lain Chan dan Sukumaran, Muhammad Rifan, pernah bilang ada negosiasi atau permintaan sejumlah uang demi hukuman yang lebih ringan—tak sampai 20 tahun. Dia tidak bilang jumlahnya, tapi katanya ada negosiasi. Negosiasi itu berhenti karena ada perintah atasan bahwa Sukumaran dan Chan tetap harus dihukum mati. Saya lalu minta KY menginvestigasi ini. Kata Ketua KY, ini akan diprioritaskan. Ketua KY juga mau menerima saran saya mendatangi Chan dan Sukumaran. Kalau KY mau melakukan investigasi, seharusnya yang jadi saksi adalah Sukumaran dan Chan, juga Rifan. Tapi sekarang mereka sudah dieksekusi....

Siapa atasan itu?

Apakah MA atau yang lain, saya enggak tahu. Saya tanya kepada Sukumaran dan Chan, katanya Rifan memang sempat minta uang kepada mereka.

KY pernah mengirim surat ke Jaksa Agung untuk menyatakan Chan dan Sukumaran dibutuhkan keterangannya?

Setahu saya tidak. Rifan saja belum dipanggil, kok. Saya dipanggil sebagai pelapor juga baru minggu depan.

Sepertinya tidak ada yang berani melawan kehendak Presiden, ya?

Iya. Kalau kita lihat, negeri ini kan meratifikasi International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR), yang melarang hukuman mati. ICCPR masih memungkinkan hukuman mati terbatas untuk kejahatan paling serius (most serious crime). Dalam resolusi PBB dikatakan kejahatan paling serius adalah pembunuhan yang direncanakan (intentional killing), tidak termasuk kejahatan narkotik. Karena itu, Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki-moon kecewa Indonesia masih menerapkan hukuman mati.

Tapi Ban Ki-moon diam saja ketika ada TKI kita yang dihukum mati di Arab Saudi beberapa waktu lalu....

Kritik seperti itu boleh saja. Tapi terlepas dari itu, sesuai dengan penafsiran hukum internasional, intentional killing tidak mencakup narkotik. Saya kecewa kalau ada yang bilang kejahatan paling serius itu narkotik.

Anda bergerilya ke mana saja untuk membatalkan hukuman mati duo Bali Nine?

Setelah permohonan peninjauan kembali (PK) ditolak Mahkamah Agung, pada 2013 saya mengajukan permohonan grasi setebal 43 halaman kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Tapi SBY tidak menyentuh surat saya sama sekali. Menurut undang-undang, grasi harus diputuskan paling lambat tiga bulan setelah diajukan, tapi SBY tidak menjawab.

Kami kembali mengajukan permohonan grasi kepada pemerintah Joko Widodo. Tapi ternyata Jokowi menggunakan darurat narkotik sebagai agenda pemerintahannya. Karena itu, dia bilang akan menolak semua permohonan grasi terpidana narkotik. Dia menyebut jumlah korban narkotik setiap hari, berapa yang direhabilitasi. Saya enggak menafikan penyebaran narkotik membuat kita khawatir. Tapi saya ragu terhadap data yang dimiliki Jokowi. Karena sebetulnya data yang dibuat pada 2013 itu sifatnya asumsi dan tidak akurat. Jadi keliru kalau pakai data tersebut.

Pernah melobi Presiden Jokowi langsung?

Tidak pernah. Tapi, melalui cara informal, saya sudah menyampaikan. Presiden Jokowi seharusnya membaca semua permohonan grasi dan menilainya secara individual, bukan kolektif. Karena ada terpidana narkotik yang setelah tinggal di lembaga pemasyarakatan menyesali perbuatannya dan menjadi orang baik. Sayangnya, Presiden tidak membaca grasi kami. Dia menolak permohonan kami tanpa menyertainya dengan penjelasan. Menurut saya, itu tidak adil.

Atau lewat staf khusus Presiden, Sekretariat Negara, juga Sekretaris Kabinet?

Saya sudah pesan ke teman di lingkungan Istana, seperti Teten Masduki dan Alexander Lay, untuk menyampaikan ke Presiden agar mempertimbangkan grasi secara individual. Ada yang menyatakan bahwa sebenarnya Jokowi harus diberi masukan agar informasinya berimbang. Cuma, memang itu tidak mudah, ya. Saya juga sudah menyampaikan hal yang sama ke Pak Luhut Panjaitan. Tapi apakah itu mereka sampaikan kepada Jokowi, saya enggak tahu.

Bagaimana dengan lobi lewat jalur Wakil Presiden?

Enggak. Karena saya percaya Wakil Presiden setuju hukuman mati.

Jokowi pernah bilang lebih baik mengekspos 18 ribu korban narkotik ketimbang berita eksekusi. Anda setuju?

Itu pernyataan yang menyesatkan karena statistiknya kurang bisa dipertanggungjawabkan. Beginilah, satu nyawa sekalipun mesti diselamatkan kalau memang tidak bersalah dan tidak pantas dihukum mati. Jadi bukan persoalan jumlah nyawa. Ini yang bikin saya sedih.

Ada yang menyebut hukuman mati terpidana narkotik adalah upaya pencitraan Jokowi....

Saya tidak mau hukuman mati terpidana kasus narkotik diterapkan untuk menghindari kegagalan-kegagalan dalam menyelesaikan konflik Komisi Pemberantasan Korupsi dengan kepolisian. Kalau hukuman mati dijadikan pelarian dari kegagalan menjalankan kebijakan yang lain, itu tragis dan ironis.

Anda melihat Presiden dikelilingi banyak orang yang setuju dengan hukuman mati?

Media massa ada di belakang Jokowi, sehingga publik dibius oleh data itu. Padahal belum ada survei komprehensif. Peredaran narkotik kan terjadi di banyak pub, bar, diskotek, juga penjara dengan bebas. Pasti ini ada bekingnya. Bisnis ini "dilindungi" oleh pihak tertentu, dan saya tidak melihat ada beking yang dihukum mati. Jadi alasan-alasan Jokowi memerangi narkotik ada sebagian yang tidak bisa saya terima.

Mengapa politikus dan pejabat pemerintah yang tak setuju hukuman mati seperti tidak bersuara apa-apa?

Kalau saya lihat kebanyakan memang pro-hukuman mati. Ada juga yang tidak setuju, tapi karena dia pejabat publik, dia tidak bisa bicara. Saya sempat bertemu dengan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly dalam acara Yap Thiam Hien Award. Dia pun sebenarnya tidak setuju hukuman mati. Saya minta dia menyampaikan ke Presiden agar penolakan grasi harus disertai penjelasan. Sebab, hukuman mati ini bisa menimbulkan implikasi yang cukup serius.

Anda tidak berusaha bertemu dengan Jaksa Agung Prasetyo?

Saya sempat mau menemui Pak Prasetyo saat mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara. Saya telepon stafnya, tapi katanya Pak Prasetyo sibuk. Sebelumnya, saya menulis surat ke Jaksa Agung, memohon agar eksekusi tidak dilakukan sekaligus minta waktu bertemu. Saya datang langsung juga ke Kejaksaan Agung, tapi katanya tidak bisa bertemu. Ya sudah, jadi memang tidak ada yang bisa dilakukan.

Lobi apa yang dilakukan pemerintah Australia untuk membebaskan Chan dan Sukumaran?

Sebetulnya pemerintah Australia, kalau mau, semestinya melakukan lobi ketika prosesnya belum sampai ke pengadilan. Ketika sudah ada vonis, ekstradisi sudah tidak bisa.

Mengapa Anda menolak hukuman mati?

Hukuman mati bertentangan dengan hak asasi manusia yang paling mendasar, dan tidak terbukti menimbulkan efek jera. Alasan lain, pengadilan di dunia tidak pernah lepas dari kesalahan, karena dikelola oleh manusia. Lebih baik membebaskan seribu orang yang bersalah ketimbang menghukum satu orang yang tidak bersalah. Dalam agama pun sudah dijelaskan, yang berhak mencabut nyawa manusia hanya Tuhan. Selain itu, filosofi pembinaan selama ini adalah lembaga pemasyarakatan. Jadi kenapa sekarang malah menjalankan filosofi balas dendam? Ini kan kemunduran.

Apa saja yang sudah Anda lakukan untuk ini?

Pada 1979, saya mendirikan Hati, atau Hapus Hukuman Mati. Yang menjadi anggota antara lain Yap Thiam Hien, Abdul Rahman Saleh, dan Mulyana Kusumah. Kami ketika itu melakukan aksi tolak hukuman mati. Lalu, pada 2008, saya mengajukan uji materi Undang-Undang Narkoba yang menyangkut hukuman mati. Saat itu saya sudah menjadi pengacara Chan dan Sukumaran. Lewat uji materi, saya minta agar Mahkamah Konstitusi menyatakan hukuman mati bertentangan dengan konstitusi. Pasal 28 UUD 1945 menyatakan hak hidup adalah hak asasi manusia yang mesti dilindungi.

Kasus narkotik, terorisme, dan korupsi adalah kejahatan luar biasa, maka hukuman bagi terpidana mesti luar biasa juga. Kalau bukan hukuman mati, ganjaran apa yang layak?

Sebetulnya hukuman seumur hidup itu kejam, apalagi kalau ditempatkan di Nusakambangan. Saya dua hari berturut-turut datang ke Lembaga Pemasyarakatan Besi di Nusakambangan, merasa hukuman seumur hidup di sana kejam.

Yang mendukung vonis mati adalah mereka yang sudah muak terhadap bahaya narkotik di negeri ini. Menurut Anda, apakah wajar ada yang mendukung vonis mati?

Kejahatan narkotik itu terorganisasi. Tidak mungkin kejahatan itu dilakukan individual. Jadi ini kerja sama di antara banyak pihak, termasuk penguasa. Mungkin ada polisi, jaksa, atau pihak lain. Karena itu, saya menganggap tidak adil menjatuhkan hukuman hanya pada satu orang. Apalagi mereka yang bukan kakap.

Tenaga kerja Indonesia juga banyak yang menghadapi ancaman hukuman mati, karena dalilnya "di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung". Apa bedanya dengan di sini?

Kalau kita ingin membuat negara jadi beradab dan menghormati hak asasi, ya, hapus hukuman mati. Kejahatan harus dihukum seberat-beratnya, tapi mesti dilihat secara proporsional. Menegakkan hak atas hidup adalah penghargaan yang paling puncak terhadap kemanusiaan. Itu termasuk memberikan justifikasi hukuman berat, sejauh tidak mencabut nyawa manusia.

Data Badan Narkotika Nasional menyebutkan Indonesia sudah darurat narkotik. Ada 4 juta orang tersangkut penyalahgunaan narkotik. Kebutuhan akan ganja mencapai 158 ton, sabu 219 ton, dan pil ekstasi 14 juta ton. Lalu apa yang semestinya dilakukan pemerintah untuk mengurangi angka itu?

Saya sendiri lebih melihat edukasi yang paling penting untuk narkotik.

Terakhir, apakah koruptor layak dihukum mati?

Saya tidak setuju. Dihukum seumur hidup tanpa remisi, saya setuju.

Todung Mulya Lubis
Tempat dan tanggal lahir: Tapanuli Selatan, 4 Juli 1949 Pendidikan: Fakultas Hukum Universitas Indonesia (lulus tahun 1974), Master of Law, Law School, University of California at Berkeley, Amerika Serikat (1978) Master of Law, Harvard Law School, Amerika Serikat (1980), Doctor of Juridical Science, University of California at Berkeley, Amerika Serikat (1990) Karier: Direktur Bidang Nonlitigasi Lembaga Bantuan Hukum Jakarta (1974), pendiri Divisi Hak Asasi Manusia di LBH Jakarta, Ketua Dewan Hak Asasi Manusia Regional Asia (1981-1985), anggota Koalisi Hak Asasi Manusia Asia (1982-1986), anggota International Bar Association (IBA) (sejak 1983), pembentuk Dewan Hak Asasi Manusia Internet (1987-1989), pendiri Firma Lubis Santosa dan Maramis (1991), pendiri Yayasan Pusat Studi Hak Asasi Manusia (1992), pendiri dan anggota Dewan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) (1998), Wakil Ketua Komisi Investigasi Hak Asasi Manusia untuk Timor Timur (1999), Ketua Dewan Pengawas Transparency International Indonesia (2000-2003), Ketua Indonesian International Crisis Group (2000-2006), anggota Indonesian Human Rights Monitor (2002), anggota Dewan Pengawas Indonesian Procurement Watch (2002), dosen tidak tetap di sejumlah kampus, antara lain Fakultas Hukum dan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta, serta Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, anggota Asosiasi Advokat Indonesia (Ikadin) Penghargaan: Gelar profesor dari University of Melbourne, Australia (2014), doctor honoris causa dari Murdoch University, Australia (2014)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus