Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Edvin Aldrian mengatakan Indonesia harus memperbanyak kerja sama bilateral untuk mengatasi krisis iklim.
Memutuskan kerja sama dengan Norwegia dalam perdagangan karbon merugikan Indonesia.
Kajian IPCC menyebutkan dunia berada pada jalur 2C krisis iklim.
PEMERINTAH Indonesia memutuskan mengakhiri kerja sama pengurangan emisi gas rumah kaca dari deforestasi dan degradasi hutan (REDD+) dengan Norwegia mulai 10 September lalu. Wakil Ketua Kelompok Kerja I Panel Ahli Antarpemerintah untuk Perubahan Iklim (IPCC) Edvin Aldrian mengatakan pengakhiran kerja sama itu merugikan Indonesia, tapi ia bisa memahami keputusan pemerintah. “Tidak gampang untuk menarik satu dolar yang dijanjikan kepada kita,” tutur Edvin, 52 tahun, dalam wawancara khusus melalui konferensi video dengan Tempo, Selasa, 28 September lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
REDD+ digagas dalam pertemuan Konvensi Kerangka Kerja Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNFCCC) di Bali pada 2007. Berdasarkan surat pernyataan kehendak yang diteken 26 Mei 2010, Indonesia mulai menjalankan program untuk mengimplementasikan kerja sama tersebut. Namun Norwegia tak kunjung membayarkan dana REDD+ sebesar US$ 56 juta hingga akhir 2020. Padahal Indonesia sudah memenuhi kewajiban mengurangi emisi hingga 11,2 juta ton karbon dioksida. Bahkan, ucap Edvin, Presiden Joko Widodo telah membentuk Badan Restorasi Gambut pada 2016 dan memperpanjang masa tugas badan itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menjelang konferensi perubahan iklim ke-26 (COP26) PBB di Glasgow, Skotlandia, 1-12 November nanti, Edvin menyarankan pemerintah Indonesia tidak hanya berfokus pada kerja sama multilateral, tapi juga bilateral. Selain itu, ilmuwan yang pernah menjadi delegasi Indonesia di lima konferensi iklim ini mendesak pemerintah segera beralih dari energi minyak dan batu bara ke energi terbarukan untuk mengatasi krisis iklim dan mencapai target penurunan emisi karbon. “Indonesia sebenarnya sudah harus banyak beralih, misalnya ke geotermal,” ujar pakar iklim dan meteorologi Badan Riset dan Inovasi Nasional tersebut.
Kepada wartawan Tempo, Sapto Yunus, Mahardika Satria Hadi, dan Abdul Manan, Edvin menceritakan persiapan konferensi iklim tahun ini, tindak lanjut laporan penilaian keenam IPCC, strategi mencapai emisi nol karbon, hingga pentingnya Indonesia bergabung dengan berbagai kaukus dalam perundingan iklim global.
Bagaimana persiapan IPCC menjelang COP26?
Saya baru saja rapat online dengan kelompok kerja saya. Saya mewakili daerah Asia Tenggara dan Pasifik Barat Daya. Di situ ada empat kursi, dipegang orang Indonesia, Malaysia, Australia, dan Selandia Baru. Saya satu-satunya dari Indonesia. Kami mendapat mandat sejak 2015 ketika konferensi ke-42 IPCC di Dubrovnik, Kroasia. Berhubung pandemi Covid-19, mandatnya akan diperpanjang sampai awal 2023.
Apa saja yang dibicarakan?
Kebanyakan masalah tanggapan terhadap laporan kami yang dirilis 9 Agustus lalu (Laporan Penilaian Keenam IPCC). Kami banyak melakukan sosialisasi setelah itu. Setiap anggota melaporkan hasilnya, kesulitan, tanggapan audiens, dan sebagainya. Tadi juga membicarakan masalah persiapan COP26 di Glasgow. Kami akan membuka Paviliun IPCC dan menyampaikan tentang Interactive Atlas, situs berisi informasi perubahan iklim yang ditampilkan secara interaktif.
Seberapa penting Laporan Penilaian Keenam IPCC dibahas dalam COP26?
Biasanya assessment report menjadi kekuatan pendorong dalam pelaksanaan COP. Tapi IPCC juga menerima bahwa COP menunggu laporan dari tiga kelompok kerja. Sementara kami baru siap satu. Kelompok kerja II dan III baru tahun depan memaparkan laporannya. Sebenarnya persoalan yang paling hangat adalah pemanasan global akibat kenaikan suhu 1,5 derajat Celsius. Ada permintaan khusus dari negara-negara kepulauan kepada IPCC untuk membuat laporan khusus tentang itu. Kami sudah merilisnya pada 2018 dan diperkuat lagi dengan laporan penilaian Agustus lalu. Biasanya kami memakai standar paling minimal 2 derajat Celsius.
Apa temuan penting dari laporan itu?
Pada 2018 disebutkan, pertama, kami menghitung seluruh INDC (Kontribusi Penurunan Emisi Secara Nasional) semua negara yang sudah merilis INDC-nya. Ternyata hanya memenuhi sepertiga dari kebutuhan INDC untuk menahan laju kenaikan suhu global sampai 1,5 derajat. Kedua, pada 2018 kami mencoba semua skenario model dan menghasilkan kemungkinan kita akan melewati 1,5 derajat pada 2030-2052. Tapi, dalam laporan yang kami rilis Agustus lalu, ternyata kita akan menembus 1,5 derajat dari semua skenario model pada 2042. Jadi sepuluh tahun lebih cepat. Ini berita buruknya. Sekretaris Jenderal PBB (António Guterres) menyebutnya alarming news.
Negara mana yang paling khawatir tentang kenaikan suhu global sebesar 1,5 derajat Celsius?
Negara-negara kepulauan. Mereka mempunyai kaukus dan perhatiannya terhadap kenaikan muka air laut. Jadi 1,5 derajat Celsius bagi mereka adalah patokan maksimum. Kalau bisa kenaikan suhu bumi tidak melewati angka itu.
Apakah Indonesia termasuk dalam kaukus negara-negara kepulauan itu?
Indonesia tidak masuk meskipun sebenarnya layak (bergabung) karena kita negara kepulauan.
Berdasarkan laporan yang dirilis Agustus lalu, apa temuan yang dianggap sangat penting dan harus menjadi perhatian negara-negara peserta COP26?
Terutama soal 1,5 derajat. Masalah lain adalah multibencana yang terjadi berlipat ganda. Di Indonesia ada monsoon atau musim yang lebih lambat atau lebih deras. Juga soal siklon tropis. Banyak masalah seperti itu antarwilayah. Kami membahas juga isu hutan Amazon yang diperkirakan kemampuan menyerap karbonnya berkurang. Fungsi itu akan berakhir. Ini kan mengkhawatirkan. Sayangnya belum ada penelitian serupa untuk wilayah Indonesia.
Bukankah hutan hujan tropis Indonesia juga berperan vital dalam menyerap emisi karbon global?
Sebenarnya sangat penting, tapi IPCC tidak melakukan penelitian. Kami hanya mengumpulkan hasil-hasil penelitian. Dari situ dikaji, dilihat apakah ada sepuluh penelitian yang serupa dengan hasil sama atau menuju satu arah. IPCC tugasnya demikian, yaitu melakukan kajian. Makanya namanya assessment report. Kalau tidak ada penelitian mengenai masalah itu, kami tidak akan membuat kajiannya.
Seberapa serius perhatian negara-negara peserta COP terhadap hasil kajian IPCC?
Sebenarnya ada lebih dari satu institusi PBB yang berbicara tentang perubahan iklim. IPCC tentang sains perubahan iklim. Sementara COP masalah kebijakan perubahan iklim. IPCC membahas persoalan saintifik berdasarkan penelitian yang sudah ada dan dibuat kajian. Nanti kami membuat gambaran untuk para pengambil kebijakan. Kami tidak menilai dan menyarankan. Kalau menilai dan menyarankan itu ranahnya UNFCCC, yaitu COP. Mereka membuat kebijakan yang preskriptif, seperti resep untuk pemerintah harus bagaimana. Mereka memberi usul kebijakan.
Apa yang membedakan laporan penilaian antar-kelompok kerja IPCC?
Working group I banyak bicara permasalahannya, misalnya suhu turun, hujan lebat, dan banjir. Working grup II bicara tentang adaptasi dan dampaknya. Working group III tentang mitigasi. Solusinya di sana. Itu pembagian tugas kami.
Ada berapa orang Indonesia yang terlibat di IPCC?
Dalam Laporan Penilaian Keenam IPCC ada 22 orang Indonesia di berbagai working group. Ada juga di laporan khusus untuk skenario kenaikan suhu 1,5 derajat Celsius, laporan khusus untuk masalah perubahan iklim dan lapisan es di darat dan laut, serta laporan khusus untuk perubahan iklim dan masalah lahan. Masing-masing ada perwakilan orang Indonesia.
Kenaikan suhu 1,5 derajat Celsius diperkirakan terjadi lebih cepat sepuluh tahun. Apa yang akan terjadi jika kondisinya tidak berubah setelah 2042?
Dengan kenaikan gas rumah kaca sekarang diperkirakan kita berada pada jalur 2 derajat. Kenaikan suhu saat ini sudah 1,18 derajat Celsius. Jadi sasaran 1,5 derajat sudah di depan mata. Yang akan terjadi setelah 2042 adalah kita bakal mengalami overshoot. Kalau kita bisa menahan itu, overshoot-nya akan sebentar.
Presiden COP26 Alok Sharma menyatakan menantikan langkah lebih ambisius Indonesia untuk mencapai emisi nol karbon. Dengan kebijakan lingkungan dan iklim saat ini, bagaimana kesiapan Indonesia mencapai target itu?
Biasanya (penyumbang emisi terbesar) setiap negara itu nomor satu dan dua hampir sama. Nomor satu sektor energi, nomor dua sektor lahan dan hutan. Sekarang Indonesia angkanya nomor satu kehutanan, nomor dua energi. Masalahnya sudah jelas juga. Di Indonesia soal kebakaran hutan. Mengkonversi hutan menjadi lahan sawit kebanyakan langsung membersihkan saja. Dibakar biar cepat. Itu kan emisinya banyak. Sementara energi kita memakai batu bara. Jadi secepat mungkin kita keluar dari dilema masalah batu bara, secepat mungkin kita mencapai zero emission.
Bagaimana cara pemerintah mengatasi dilema soal pemakaian batu bara?
Beberapa waktu lalu KLHK (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan) meminta kita mencapai komitmen zero emission pada 2060. Menurut saya, 2060 not bad, lah, meskipun not good juga. Kebanyakan negara juga menargetkan pada 2060. Cina juga sama. Semua ambisi ini sebenarnya agak berat. Tapi inilah jalan yang harus kita tempuh sehingga akan mencapai 1,5 derajat Celsius, tapi hanya beberapa tahun lalu turun lagi.
Mengapa berat?
Dibanding Protokol Kyoto, Perjanjian Paris sebenarnya sangat drastis dalam mencapai zero emission. Tapi dunia sudah mengarah ke sana, ya kita ikuti saja. Protokol Kyoto hanya menyesuaikan pembangunan sesuai dengan tahun 1990. Jadi kelebihan (emisi) itu nanti dinegosiasikan. Agak lumayan daripada Perjanjian Paris yang langsung zero emission. Perubahan dari Protokol Kyoto menuju Perjanjian Paris adalah loncatan besar. Kalau itu saja dijalankan, saya rasa sudah cukup. Sebenarnya sukses-tidaknya masalah perubahan iklim tergantung politik tiap negara. Bergantung pada kerja sama bilateral dengan negara sekitarnya juga.
Apa tindakan realistis yang mesti dilakukan pemerintah Indonesia untuk mencapai target emisi nol karbon pada 2060?
Kebakaran hutan tergantung dari kekompakan pemerintah. Itu kan masalah penegakan hukum. Saya sudah mengikuti berbagai sidang perusahaan pembakar hutan, mendengar argumen mereka. Sewaktu debat calon presiden dengan Prabowo tentang masalah kebakaran hutan, Joko Widodo mengatakan Indonesia sudah mendapatkan pembayaran dari perusahaan-perusahaan itu sampai Rp 20 triliun. Memang benar. Jalan mudahnya kita dapat memperkeras lagi masalah penegakan hukum untuk isu land-use and land-cover change.
Edvin Aldrian dalam ajang 50th Session of the Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC-50), Agustus 2019. https://enb.iisd.org
Bagaimana dengan masalah energi?
Saya rasa dunia sekarang sudah bergerak. Tanpa kita sadari kemarin pemerintah juga lebih gampang membeli ladang-ladang minyak di mana-mana. Bukan karena kita untung sehingga lebih gampang, tapi perusahaan-perusahaan minyak internasional menjual saja ladang-ladang itu karena mereka sudah beralih ke energi terbarukan. Sekarang pembukaan lahan untuk eksplorasi minyak dan gas sudah tidak lagi didanai oleh World Bank dan bank-bank sindikat keuangan dunia. Karena itu, saya melihatnya Indonesia sebenarnya sudah harus banyak beralih, misalnya ke geotermal.
Mengapa geotermal?
Geotermal kita banyak sekali. Indonesia adalah negara dengan jumlah gunung api terbanyak, yaitu 127. Itu pun hanya yang terlihat. Selain itu, ada gunung-gunung api di bawah laut dan aktif juga. Yang dimanfaatkan untuk geotermal masih sedikit dan karenanya belum mencapai critical mass. Berbeda dengan Islandia, Jepang, atau Selandia Baru yang mempunyai banyak pembangkit geotermal. Kita juga punya sumber energi kelautan yang besar sekali. Contohnya ombak. Di negara-negara Skandinavia, meskipun ombaknya kecil, sudah bisa dimanfaatkan sebagai sumber energi. Kita kan punya garis pantai terpanjang nomor dua setelah Kanada. Itu adalah sumber tenaga yang sangat menakjubkan.
Apa pengalaman menarik selama Anda mengikuti panel yang terdiri atas ahli berbagai negara?
Sebenarnya di COP banyak kaukus. Menurut saya, Indonesia agak lemah karena tergabung dalam G77. Itu kumpulan negara yang paling lemah, menurut saya. Ada kaukus negara-negara yang memiliki hutan, seperti Meksiko dan Swiss. Kita tidak menjadi bagian itu. Lalu ada kaukus negara kepulauan kecil, seperi Maladewa dan negara-negara di Pasifik. Sebenarnya kita bisa menjadi pemimpin di situ. Tapi Indonesia tidak masuk. Ada juga negara-negara dengan energi tinggi, seperti Arab Saudi. Sudah jelas kita bukan bagian dari itu. Kita hanya mengambil grup yang gede saja, yaitu G77. Bagi saya itu susah untuk berkata-kata atau memberikan pendapat.
Strategi memilih kaukus menjadi sangat penting bagi Indonesia?
Betul. Belanda hanya negara kecil di Eropa, tapi mereka ikut kaukus Eropa dan kaukus negara-negara bekas jajahan Belanda. Uni Eropa kuat sekali. Lalu negara di daerah Atlantik, misalnya Saint Kitts and Nevis, meskipun kecil punya satu suara. Dalam hukum PBB setiap negara berdaulat punya satu suara. Jadi Indonesia, meskipun besar begini, hanya memiliki satu suara. Kita tidak punya kaukus dengan, misalnya, negara-negara Islam atau OKI (Organisasi Kerja Sama Islam). Tapi mereka punya kaukus negara-negara penghasil minyak. Mereka punya kaukus sehingga punya temen. Kalau Indonesia setiap kali perundingan berdiri sendiri, apa yang mau dikatakan, ya, hanya Indonesia saja. Tapi bagaimanapun kita pernah berhasil mengusulkan sesuatu.
Apa contohnya?
REDD+ itu awalnya usul Indonesia, tapi akhirnya dipakai oleh negara-negara lain, seperti Papua Nugini.
Negara mana saja yang berpotensi digandeng Indonesia setelah kerja sama dengan Norwegia diakhiri?
Saya pikir REDD+ hanya main mata. Introspeksi dulu. Mungkin nanti berganti bentuk. Kemarin Badan Restorasi Gambut sudah diperpanjang Presiden Jokowi. Tiba-tiba kita marah (soal REDD+). Saya rasa ini cuma marah-marahan sedikit saja. Karena ini penting sekali bagi kita untuk menjaga moratorium gambut. Kita menjual nama baik ke depannya dan juga menjadi alasan bagi kita untuk menjaga hutan. Kita sekarang memang lagi enggak punya teman. Indonesia tidak ikut kaukus-kaukus dalam negara-negara peserta COP, ya, berat sekali.
Apa yang semestinya dilakukan Indonesia untuk memuluskan penanganan krisis iklim?
Saya menyarankan kerja sama bilateral diperbanyak. Saya sebenarnya menyayangkan kerja sama dengan Norwegia harus diberhentikan. Tapi kita bisa mencari lagi kerja sama dalam bentuk lain. Banyak sekali skema global environment fund. Bentuk-bentuk adaptasi dan mitigasi dalam COP banyak yang bisa kita manfaatkan. Dan banyak sekali tawaran kerja sama bilateral dalam hal itu.
Bagaimana Anda menilai penghentian kerja sama REDD+ dengan Norwegia bagi Indonesia?
Sebenarnya merugikan kita. Tapi saya bisa mengerti orang-orang KLHK. Saya sendiri pernah mengalami kerja sama bilateral. Tidak gampang untuk menarik satu dolar yang dijanjikan kepada kita.
EDVIN ALDRIAN | Tempat dan tanggal lahir: Jakarta, 2 Agustus 1969 | Pendidikan: Departemen Teknik Fisika Institut Teknologi Bandung (1988); Sarjana Teknik Fisika dari McMaster University, Kanada (1993); Program Master di Institute for Hydrospheric and Atmospheric Science, Nagoya University, Jepang (1998); Program Doktor di Max-Planck-Institut für Meteorologie/University of Hamburg, Jerman (2003); Profesor Riset bidang Meteorologi dan Klimatologi dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (2014) | Karier: Anggota Tim Kelompok Kerja Anomali Iklim Departemen Pertanian (2006-2008); Anggota Tim Rancangan Undang-Undang Meteorologi dan Geofisika (2006-2009); Anggota Tim Kluster Perubahan Iklim Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (2011); Direktur Pusat Perubahan Iklim dan Kualitas Udara Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (2009-2014); Direktur Pusat Penelitian dan Pengembangan BMKG (2014-2016); Wakil Ketua Kelompok Kerja I Panel Ahli Antarpemerintah untuk Perubahan Iklim (2015-2023); Pakar Iklim dan Meteorologi Badan Riset dan Inovasi Nasional (sejak 2021) | Penghargaan: Satyalancana Karya Satya X Tahun (1999), Satyalancana Karya Satya XX Tahun (2010)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo