Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wawancara

Debeasinta Budiman, agar Bahan Pokok Murah di Pelosok

Aplikasi Super membawa Debeasinta Budiman bersama koleganya, Garret Koeswandi, masuk dalam Forbes 30 Under 30 Asia 2022. Mereka menjadi bagian dari anak-anak muda usia di bawah 30 tahun yang memberi kontibusi positif dalam berbagai bidang. Debeasinta dan timnya membuat dan mengembangkan aplikasi itu untuk mendistribusikan bahan pokok dengan harga murah di pelosok. 

 

 

 

7 Agustus 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Debeasinta Budiman, bersama koleganya, Garret Koeswandi, mewarnai halaman sampul majalah Forbes Indonesia, beberapa bulan lalu. Mereka bersama lima orang muda lainnya meraih penghargaan Forbes 30 Under 30 Asia. Mereka masuk sebagai anak-anak muda di bawah usia 30 tahun yang karyanya memberi dampak positif di berbagai bidang. Debby—panggilan Debeasinta—dan Garret membuat Aplikasi Super demi membantu kelancaran distribusi kebutuhan pokok di masyarakat pelosok dan kota kecil di Indonesia.  

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Aplikasi Super menghubungkan para konsumen barang kebutuhan pokok dengan prinsip bisnis dan sosial. Usaha anak-anak muda ini kemudian mendapat dukungan investasi dari dalam dan luar negeri. “Investor ternyata sangat peduli untuk aspek ini. Jadi, tidak hanya melihat cuan-cuan, tapi juga good society,” ujar Debby, Consumer Tech dan co-founder Aplikasi Super, kepada Dian Yuliastuti melalui aplikasi pertemuan pada Sabtu, 30 Juli lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ia menggagas aplikasi itu berangkat dari pengalamannya sejak kecil. Keluarganya kerap mengajaknya mengunjungi daerah perdesaan dan melihat langsung persoalan di sana. Dari sana ia tergerak untuk melakukan sesuatu demi membantu masyarakat di pelosok-pelosok itu. Kini aplikasi ini telah melayani kota- kota di Jawa Timur dan Sulawesi Selatan. Perusahaan rintisan itu pun terus berkembang hingga mencapai nilai US$ 106 juta.

Perempuan kelahiran Yogyakarta, 29 tahun lalu, itu belajar bisnis di Universitas California, Amerika Serikat. Di sela-sela kuliah, ia juga mengambil kelas-kelas dalam bidang lain yang ia senangi, dari budaya hingga pertanian. Debby memang tak hanya aktif di bidang bisnis, tapi juga bertalenta di bidang budaya dan sosial. Ia mengisahkan pengalaman, aktivitas, hingga kegiatan senggangnya. Berikut ini petikan wawancara dengan Debby.

Anda masuk dalam Forbes 30 Under 30. Pernah menduga?

Enggak nyangka, ya. Saya kaget saja. Saya kan orangnya suka bekerja di belakang layar, tidak berfokus pada ketenaran. Ya, (penghargaan) itu memang prestisius. Tapi yang penting dampak buat masyarakat ke depan. Ada keinginan bisa masuk, ya, tapi tidak pernah nyangka saja, kok bisa. Dinominasikan oleh investor. Ya, ini impian yang jadi kenyataan.

Bagaimana prosesnya?

Saya mendapat pemberitahuan lewat e-mail (bahwa saya) masuk nominasi, lalu ada sesi foto. Waktu itu sampai ada fotografer datang dan diberi tahu ini belum tentu terpilih. Ternyata, ketika diumumkan, malah ada di halaman sampul depan. Itu benar-benar enggak nyangka.

Bagaimana awal Anda memasuki bisnis ini?

Itu diawali dari keprihatinan kepada masyarakat yang sering mengalami ketidakadilan. Secara income per kapitanya kecil, tapi mereka harus membeli barang-barang yang lebih mahal. Seperti di Indonesia timur atau pelosok, contohnya, harga air minum jadi berlipat. Aplikasi Super menghadirkan distribusi barang kebutuhan pokok di daerah terpencil dengan harga lebih terjangkau. Bisnis kami dimulai dengan modal kecil, tidak punya gudang dan armada. Waktu itu pun cuma dua agen yang mengumpulkan orderan di daerah Rungkut, Surabaya.

Setelah itu?

Ya, kemudian ada pengembangan usaha. Kan, kalau di start-up itu ada seri-serinya gitu untuk investasi. Kami buka fundraising. Nah, dari modal awal kecil-kecilan, sekarang sudah mencapai US$ 106 juta. Kami melayani daerah Jawa Timur dan Sulawesi Selatan.

Bagaimana meyakinkan investor?

Ada dua aspek yang dipertimbangkan dan sama visinya, yakni aspek bisnis dan sosial. Aspek bisnis itu kami lihat 75-80 persen penduduk tinggal di kota kecil dan daerah terpencil. Sementara itu, di Indonesia timur, penetrasinya sekitar 5 persen, dan ini belum tersentuh. Investor melihat peluang bisnis di sini. Lalu dari aspek sosial, kami coba menangani 75-80 persen ini. Kami membeli barang dengan harga di Indonesia bagian barat (lalu dibawa ke pelosok dan Indonesia timur). Investor ternyata sangat peduli untuk aspek ini. Jadi, tidak hanya melihat cuan-cuan, tapi juga good society.

Mengapa Anda ikut tergerak di bisnis ini? Ada pengalaman khususkah?

Tidak usah jauh-jauh jalan ke Indonesia timur juga sebenarnya. Sejak saya kecil, Papa kan punya usaha pupuk organik. Saya sering diajak ke sawah, ke desa-desa di pelosok, yang berbukit-bukit dan kiri-kanan jurang di daerah Jawa Tengah. Kami ngobrol dengan mereka. Saya kan suka makan permen. Nah, beli permen di daerah itu lebih mahal dibanding yang saya beli di kota. Saya jadi mikir, wah berarti mereka lebih kaya, dong. Tapi kan ternyata tidak. Tapi mereka beli lebih mahal. Saya ngobrol juga dengan anak-anak mereka. Mereka juga tidak pernah beli baju baru. Dari kecil saya kepikiran hal-hal yang unfair tadi.

Debeasinta Budiman (ketiga dari kanan) bersama tim Super di Pulau Padar, Taman Nasional Komodo, Nusa Tenggara Timur, Mei 2022. Dok. Debeasinta Budiman

Lalu bagaimana usaha menembus partner atau investor global?

Kami pernah mendapat coaching, namanya Y Combination. Sesi coaching-nya selama beberapa bulan. Steven Wongsoredjo (CEO Aplikasi Super) dan Michael Randy (COO Aplikasi Super) ikut. Mereka diajari selama tiga bulan di Amerika Serikat untuk belajar bisnis dan aspek digitalnya, diajak ke berbagai platform juga. Lalu, balik ke Indonesia, ada investor lokal juga. Mereka juga mengajari kami lagi tentang strategi, berjejaring, termasuk dengan investor luar negeri.

Permodalan awal seperti apa?

Modal kami sangat kecil, mungkin cuma Rp 1 jutaan. Kami nebeng di rumah salah satu co-founder. Tidak ada stok barang. Cuma dua agen yang membantu memenuhi barang kebutuhan pokok, seperti mi instan, beras, bumbu-bumbu, atau snack.

Bagaimana selisih harga barang di Aplikasi Super dengan tanpa aplikasi?

Lumayan, ya, selisihnya untuk yang tidak memakai aplikasi. Beras, contohnya, selisihnya Rp 1.000-5.000.

Apa tantangannya saat ini?

Kami punya visi merambah Indonesia timur. Tapi di setiap daerah itu memang ada tantangan sendiri. Tidak lepas juga dengan masalah budaya. Contohnya soal beras, keinginan atau kebutuhan tiap daerah itu beda. Kalau konsumen di Makassar suka yang agak keras. Sedangkan yang di Jawa Timur ini lebih suka yang pulen. Maka kami harus baca pasar ini dan keinginan mereka.

Demikian juga untuk pengembangan produk, ada tantangannya sendiri. Sewaktu membeli produk partner, mereka penginnya kami beli dalam jumlah besar. Sedangkan kami masih kecil. Jadinya kami berpartner dengan pabrik lokal. Untuk preferensi sumber daya manusia juga, kami memberdayakan dan mempekerjakan masyarakat lokal. Mereka lebih memahami budaya setempat.

Pengembangan ke depan seperti apa?

Kami ingin berekspansi ke Indonesia timur. Harapannya bisa ke Merauke di Papua, atau provinsi lain. Pengin jadi the next unicorn dari Indonesia timur. Super ini adalah social commerce group buying di mana  model bisnis kami mencakup dua hal yakni B2A2B, di mana para superagen kami mengumpulkan pesanan dari warung kelontong dan B2A2C  di mana super agen mengumpulkan pesanan dari tetangga-tetangga mereka. 

Hal lain?

Di Aplikasi Super, ada super eat, unit bisnis untuk pengembangan label privat. Misalnya, merek air minum sebuah minimarket kami sesuaikan dengan kebutuhan lokal.

Selain Aplikasi Super, Anda memegang Max Indonesia dan Bakpiaku. Ini seperti apa?

Max ini kebetulan perusahaan pupuk organik milik orang tua. Saya di marketing-nya. Nah, kalau Bakpiaku itu berpartner dengan perajin bakpia lokal. Max itu berawal dari keprihatinan orang tua dengan pendapatan petani yang kecil. Kalau bakpia itu bisnis keluarga dan bermitra dengan petani untuk menjualkan kacang hijau. Ya, sudah coba bikin bakpia. Dari tiga usaha ini ada tantangannya sendiri, ya. Tapi saya paling fokus di Superapp.

Saat ini banyak anak muda bikin usaha rintisan. Bagaimana tantangannya dan supaya sukses?

To be original dan tidak takut. Tidak takut untuk ambil langkah pertama, keluar dari zona nyaman. Pasti enggak nyaman pada awalnya, tapi harus maju terus. Akan banyak kesalahan, tapi anggap itu sebagai step stone.

Anda aktif mengikuti kegiatan rohani di gereja juga?

Pernah melakukan pelayanan beberapa kali, jadi lecture untuk bacakan Al-Kitab dan aktif di komunitas kepemudaan gereja. Ikut kelompok gamelan gereja juga. Saya bisa memainkan kenong, kempul, dan saron. Yang tidak bisa main kendang saja, he-he-he. Saya belajar gamelan sejak SMA. Lalu, sewaktu di California, saya juga ambil kelas gamelan. Jadi, lumayan mahir. Saya jadi sangat menghargai budaya kita, benar-benar hebat. Orang-orang asing juga banyak belajar dan kagum.

Anda suka bertanam dan berkebun?

Sejak kecil. Setelah tambah besar, makin suka. Tapi kalau di Surabaya sulit berkebun. Kalau di Yogyakarta bisa nanam cabai atau tomat, he-he-he. Nah, sewaktu di UC Berkeley itu saya sengaja ambil kelas cocok tanam, ada kebunnya. Kami juga mempelajari hama. Mungkin saya satu-satunya yang jurusan bisnis nyasar ke agriculture. Dari situ mempelajari hal-hal teknis. Pulang dari kelas biasanya bawa pulang kol, tomat, atau sayuran lain. Jadi, ada kebanggaan juga, sekaligus healing, he-he-he.

Apa rutinitas Anda sebelum beraktivitas?

Saat melek, memang ada keinginan buka hape dulu, he-he-he. Mikir mau ngapain. Tapi kemudian saya singkirkan itu dulu. Saya pikirkan tiga orang yang bikin saya mensyukuri hari itu. Tidak harus keluarga, ya, bisa siapa saja. Itu masih di kasur. Saya pikirkan dan saya bersyukur. Itu bisa langsung nge-set mind and body saya hari itu. Setelah itu doa pagi, baru mengecek hape. Setelah itu baru ngopi, sarapan ringan, lalu berangkat ke kantor. Saya menyetir sendiri, kurang-lebih 30 menit sambil dengar lagu-lagu rohani atau lagu-lagu ceria yang bikin happy.

Kalau sedang senggang biasanya melakukan kegiatan apa?

Paling nonton Netflix, yoga, atau Zumba yang intensitas tinggi sampai gobyos atau main harpa  di rumah. Atau, kalau enggak, teleponan dengan keluarga.

Ada jenis film kesukaan?

Saya suka genre horor, romantik, dan komedi. Saya juga suka yang inspiring atau rohani yang semuanya rating-nya bagus, ya. Ada satu film yang terakhir saya tonton, Incantation, horor. Kalau drakor—drama Korea—enggak begitu mengikuti yang berseri gitu, takut kecanduan.

Suka baca buku?

Dulu waktu kecil suka biografi, tapi yang dibikin komik, seperti biografi Helen Keller. Tokoh dunia.

Apa pengalaman paling berkesan dalam perjalanan hidup Anda?

Dulu pernah ikut palang merah di Amerika Serikat sebagai volunter. Saya coba-coba ide ciptakan event, kasih tos ke orang asing yang lewat. Itu kan enggak mudah, harus keluar dari zona nyaman. Ternyata dengan tos itu bikin mereka happy, impact-nya besar, dilihat dari muka mereka. Dari acara yang sepertinya kecil, remeh itu, ternyata saya mendapat bronze award dari White House. Itu enggak nyangka banget.

 

Debeasinta Budiman. Foto: Gondo Siswanto

Biodata:

Nama: Debeasinta Aliza Budiman

Lahir: Yogyakarta, 18 Agustus 1993

Pendidikan:

- Jurusan Administrasi Bisnis Walter A. Haas School of Business, University of California Berkeley, Juli 2013-Desember 2014
- Bisnis Transfer Diablo Valley College, Juli 2011-Mei 2013
- SMA Stella Duce 1, Yogyakarta, Juli 2008-Mei 2011
- SMP Stella Duce 1, Yogyakarta Juli 2005-Mei 2008
- SD Tarakanita, Yogyakarta, Juli 1999-Mei 2005

Pengalaman kerja/karier:

- Co-founder & Vice President of Product Development Aplikasi Super, Maret 2020-sekarang
- Founder The Real Bakpiaku, Juni 2019-Maret 2020
- Marketing Manager PT Salimas Citra Kencana, Mei 2016-Mei 2019
- Analis Pencarian Lokasi Google, Maret 2015-Februari 2016
- Business Development Intern Gliding Eagle Inc, Desember 2014-Februari 2015
- Marketing Intern Multinational Exchange for Sustainable Agriculture, Mei-Juni 2014
- Mentor Young Entrepreneurs di Haas, Januari 2013-Mei 2014
- Marketing Intern Taubman Company, Sunvalley Mall Management, Mei-Juli 2012

Pengalaman lain:

- Direktur Marketing Haas Business School Association, Agustus 2013-Mei 2014
- Kepala Humas Palang Merah Amerika di Pleasant Hill, Maret 2012-Mei 2013
- Wakil Presiden Internal Diablo Valley College Phi Beta Lambda, September 2012- Mei 2013
- Humas marketing Diablo Valley College Phi Beta Lambda, Januari-September 2012
- Koordinator alumni Diablo Valley College Phi Beta Lambda, September-Desember 2011
- Sekretaris Alpha Gamma Sigma Honor Society, Desember 2012-Mei 2013
- Bendahara Alpha Gamma Sigma Honor Society, Januari-Mei 2012
- Wakil Presiden Keanggotaan Toastmasters International Voice of the Vikings, Mei- September 2012
- Komite Finansial SIFE Diablo Valley College, September-Desember 2011

 

Penghargaan:

- Forbes Asia 30 Under 30 2022
- Forbes Indonesia 30 Under 30 2022
- Valedictorian pada Diablo Valley College
- Bronze award U.S. Presidential Service Award dari Gedung Putih
- Alpha Gamma Sigma Honor Society Statewide Dedication and Service Scholarship
- Robert Mantovani Leadership, Service, and Academic Scholarship
- Diablo Valley College Academic Scholarship
- Peringkat III Kompetisi Etika Bisnis
- Peringkat II Kompetisi Pemberdayaan Sumber Daya Manusia
- Peringat III Kompetisi Khotbah Katolik

 

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus