Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wawancara

Tjhai Chui Mie: Toleransi Tidak Boleh Sepihak

Tjhai Chui Mie, aktor penggerak toleransi di Singkawang. Singkawang meraih skor toleransi tertinggi tiga kali berturut-turut.

22 Oktober 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Kota Singkawang menjadi langganan mendapat gelar Kota Toleran sejak 2018.

  • Perbedaan agama dan budaya bisa berjalan selaras di Singkawang.

  • Merajut kerukunan dengan komunikasi kompak lintas tokoh agama.

Selain disebut sebagai Kota Seribu Kelenteng, Kota Singkawang punya julukan lain dalam beberapa tahun terakhir. Kota yang terletak di ujung barat Kalimantan Barat ini punya label baru sebagai kota paling toleran di Indonesia.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sejak 2018, Singkawang mendapat penilaian sebagai Kota Toleran. Penghargaan tersebut diberikan Setara Institute, lembaga swadaya masyarakat yang berfokus pada demokrasi, kebebasan politik, dan hak asasi manusia. 

Pada 17-19 Oktober lalu, Singkawang menjadi tuan rumah Festival HAM, sebuah acara perayaan tahunan yang digagas International NGO Forum on Indonesian Development (INFID). Dalam festival kali ini, INFID berkolaborasi dengan sejumlah pihak, dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Kantor Staf Presiden, hingga pemerintah kota. 

Direktur Eksekutif INFID Iwan Misthohizzaman mengatakan alasan pemilihan Singkawang sebagai lokasi festival adalah penyematan sebagai kota paling toleran. Lagi-lagi penilaian dari Setara Institute menjadi patokan. Ya, Setara Institute mengganjar Singkawang sebagai kota paling toleran di Indonesia versi 2022.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Berdasarkan riset Indeks Kota Toleran Setara Institute 2022, Singkawang mengantongi nilai tertinggi, yakni 6,58, yang berarti mendekati 7 atau nilai paling sempurna. Data tersebut dipublikasikan di laman resmi Setara Institute pada 6 April lalu.

Iwan menilai capaian prestasi itu tidak terlepas dari peran Tjhai Chui Mie, Wali Kota Singkawang yang menjabat sejak 2017 hingga 2022. Pada masa kepemimpinannya, Singkawang meraih skor toleransi tertinggi selama tiga kali, yakni pada 2018, 2021, dan 2022.

Skor itu didapat dari beberapa aspek penilaian, seperti ada-tidaknya kebijakan diskriminatif, peristiwa intoleransi, heterogenitas agama, dan pernyataan publik pemerintah kota. Peneliti Setara Institute, Ikhsan Yosari, mengatakan pemimpin daerah punya pengaruh besar dalam aspek toleransi di daerahnya. "Ini berarti pemimpin Singkawang, khususnya wali kota, ada di garis depan pemajuan toleransi di daerahnya," kata dia.

Menurut Iwan, Tjhai Chui Mie mampu mempraktikkan toleransi pada keputusan dan kebijakan yang diambil. Salah satunya dengan menjadi ketua panitia pembangunan Masjid Agung di Singkawang. Adapun Tjhai Chui Mie beragama Buddha.

Kepala Kantor Kementerian Agama Singkawang Muhlis juga menjadi saksi kebijakan toleransi ala Tjhai Chui Mie. Beberapa kebijakan yang dibuat pada masa pemerintahannya diapresiasi sejumlah pihak. Salah satu kebijakan itu adalah mengajak tokoh agama lain terlibat dalam pembangunan rumah ibadah agama lainnya.

"Saya pernah diajak meletakkan batu pertama pembangunan kelenteng. Saat itu saya juga Ketua MUI (Majelis Ulama Indonesia Singkawang)," kata Muhlis.

Ketua Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama Singkawang Edy Purwanto Achmad pun ikut memuji kemampuan lobi Tjhai Chui Mie. Menurut Edy, ia tanggap mencari dana untuk pembangunan rumah ibadah di daerahnya.

Seperti pembangunan tiga pintu gerbang besar yang melambangkan suku di Singkawang hingga pembangunan masjid yang berhasil mendapat dana sponsor lebih dari Rp 20 miliar. "Karena itu, beliau yang sebelumnya ketua pembangunan sekarang dipercaya sebagai ketua harian pembangunan Masjid Agung," ujarnya.

Ilona Esterina Piri dari Tempo berkesempatan mewawancarai Tjhai Chui Mie di sela pergelaran Festival HAM. Perempuan yang juga kader Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan itu bercerita tentang toleransi, kebijakannya selama menjabat, sampai kenangannya sewaktu lahir dan tumbuh di Singkawang. Berikut ini wawancara dengan Tjhai Chui Mie. 

Mantan Walikota Singkawang, Tjhai Chui Mie (ketiga dari kiri) di Pondok Pesantren Al-Faqih, Singkawang Utara. Dok. tcm.ilmci.com


Bagaimana cara Anda menjaga gelar Singkawang sebagai Kota Toleran sampai tiga kali?

Saya dan Wakil Wali Kota Singkawang dilantik pada 17 Desember 2017. Kami sama, baik sisi budaya maupun keagamaan. Dulu Singkawang hanya dikenal dengan festival Cap Go Meh. Sedangkan untuk acara lainnya, hampir jarang dilakukan. Setelah kami terpilih, hal pertama yang kami lakukan adalah Ramadan Fair. Kami menghias seluruh kota. Satu minggu sebelum puasa sudah selesai.

Ada pasar. Jualannya dikemas sedemikian rupa sehingga orang bisa datang ke Singkawang bukan hanya untuk ibadah, tapi juga menikmati dan buka puasa bersama. Kita ingin masyarakat muslim yang merayakan Ramadan merasa senang. Ada kegembiraan saat merayakan dan tidak ada perbedaan suasananya. 


Selain itu?

Kami juga membangun tiga pintu gerbang Tidayu, yakni Tionghoa, Dayak, dan Melayu. Masuk dari Sambas, ada gerbang besar, namanya Mahligai Pesisir, nuansanya Melayu, Kesultanan Sambas. Di timur ke Bengkayang, ada pintu gerbang perbatasan model Dayak. Untuk pintu gerbang Pontianak masuk ke Singkawang, namanya pintu gerbang Cap Go Meh. 


Dalam pembukaan Festival HAM, Anda mengatakan toleransi berdampak pada perekonomian. Bagaimana maksud Anda?

Ya, tanpa toleransi akan merugikan semua orang. Tidak ada yang diuntungkan, terutama generasi penerus. Negara kita akan makin hancur dan akan menjadi negara miskin. Yang menjadi susah, kita sendiri juga yang mengalami.

Saya selalu sampaikan kepada masyarakat, misalnya begini, setelah ngobrol, Bapak marah-marah, Bapak berkelahi, lalu Bapak lapar atau enggak? Lapar, kan? Terus, kalau sudah kamu marah-marah, berkelahi sama orang, lalu pulang ke rumah, istri minta makan atau enggak? Artinya, setiap hari Bapak harus punya uang. Tanpa toleransi, daerah kita tidak aman. Investor juga enggak mau masuk.


Bagaimana pengalaman Anda sebagai ketua panitia pembangunan masjid dan menjadi ketua kegiatan lintas agama?

Dulu, setelah saya terpilih dan dilantik sebagai wali kota, saat itu pas dekat Idul Fitri. Akhirnya kami punya gagasan ingin merayakan Idul Fitri seperti hari keagamaan lainnya. Singkawang juga harus dihias. Waktu kami rapat, tak ada yang mau jadi ketua. Oke, kali ini saya jadi ketua. Karena tidak mungkin masuk di anggaran lagi, waktu itu, ya anggaran juga tidak cukup. Jadi saya langsung menggalang dana dan sebagainya.

Langsung kami rapat terus bersama Dinas Pariwisata. Kami buat kegiatan itu. Pengalamannya adalah kita semua merasa, melihat, merasa bahagia, ya kami buat kegiatan ini. Karena ada suasana baru di Kota Singkawang, selain bagi yang merayakan Idul Fitri, orang yang bukan muslim turut merayakan. Di mana para penjual makanan, karena dengan menghias kota ini, membuat masyarakat lain datang, khususnya dari Kalimantan Barat.

Mereka lewat jalan darat bisa ke Kota Singkawang. Jadi ramai di Singkawang. Mereka Jumat sore datang, lalu Minggu pagi sudah pulang. Jadi meningkatkan ekonomi. Kemudian suasananya berbeda dan membuat orang bahagia. Kami merasa, "Wah, ternyata apa yang kami buat kebijakan ini bikin orang senang juga." Saat Natal, ada Singkawang Christmas Day. Kami juga hias. Cap Go Meh juga. Bagaimana disebut toleransi kalau cuma sepihak? Itu namanya bukan toleransi. 


Bagaimana cerita Anda menjadi Ketua Panitia Masjid Agung Singkawang?

Saat saya menjabat wali kota, saya bongkar Masjid Agung. Saya bongkar seluruhnya, bangun yang baru, dengan anggaran kurang-lebih Rp 55 miliar. Jadi saat itu target saya harus selesai sebelum masa jabatan berakhir. Tapi, apa boleh buat. Pada 2019, 2020, dan 2021, kan belum keseluruhannya untuk aktivitas serta ekonomi kita kena wabah Covid-19.

Makanya, agak terhambat masalah anggaran kami, kurang-lebih Rp 29 miliar. Kemudian ada yang bantu Rp 25 miliar dari pemerintah provinsi dan sebagainya. Kami masih kurang Rp 20 miliar. Jadi saya diangkat sebagai ketua pembangunan. 

Tjhai Chui Mie saat menjabat sebagai Walikota Singkawang. Dok. tcm.ilmci.com


Lalu apa yang terjadi?

Saya menggalang dana lagi, lalu kami dibantu sejumlah donatur (perorangan, perusahaan, dan pejabat negara). Kami menggalang dana lagi, terkumpul kurang-lebih Rp 25 miliar. Artinya, saya mau diangkat sebagai ketua pembangunan masjid karena itu adalah tanggung jawab. Saya bukan melihat bahwa ini demi kepentingan apa. Tidak. Sebab, ketika saya membangun masjid, itu bukan saat hendak mencalonkan diri, melainkan setelah jadi wali kota. Ya, kami bangun gerbangnya, kemudian bangun masjidnya.

Karena tidak selesai, saya merasa apa yang kami sampaikan kepada masyarakat bahwa masjid ini harus dibangun, tapi ternyata tidak selesai. Ya, baru 65 persen. Nah, ini sudah bisa. Hanya tinggal bagian interiornya. Jadi memang pengalaman baru itu. Ya ada reaksi pro dan kontra. Saya bilang, orang mau ngomong apa, itu hak mereka. Tapi kewajiban saya adalah saat saya sudah membangun masjid ini, harus diselesaikan sesuai dengan janji. Itu saja. 


Bagaimana mulanya Anda terjun ke politik? Pada 2009, Anda mulai bergabung sebagai caleg. Awalnya disebutkan bahwa Anda pernah menolak terjun ke dunia politik. Bagaimana ceritanya?

Sebetulnya, dengan pengalaman yang dulu sebagai anak pengurus RT, misalnya mengurus administrasi, akta lahir, dan paspor yang selalu terkendala itu, membuat saya enggak senang dengan politiknya. Saya tidak pernah punya cita-cita masuk ke politik. Tapi, seiring waktu, di sosial saya direkrut. Jadi misi masuk ke politik adalah keterwakilan perempuan 30 persen. Saya diajak.

Saya sebetulnya sudah harus bergabung di partai itu sejak 2004. Saat itu masih sistem nomor urut. Saya masuk-masuk saja. Pokoknya minta nomor urut terakhir, yang intinya saya tidak mau jadi anggota Dewan karena hanya ingin mendukung. 

Kemudian, periode berikutnya (2009), saya baru diminta benar-benar untuk jadi calon anggota legislatif dan diberi pengertian bahwa kita sudah reformasi. Kamu juga harus bisa ikut berpartisipasi langsung, jangan ikut melihat masa lalu. Karena saya diberi pengertian itu, akhirnya pada 2009 saya ikut dan mendapat suara terbanyak. Kebetulan saat itu, memang mungkin kuasa Tuhan, garis tangan atau apa, mendapat suara terbanyak dari partai kecil. Dulu saya dari PIB, Partai Indonesia Baru. Kemudian ada aturan baru yang mengatakan bahwa yang menjadi Ketua DPRD adalah partai pemenang. Jadi saya ditunjuk dan dipercaya sebagai Ketua DPRD Singkawang.


Lalu bagaimana Anda bergabung dengan PDIP?

Saya akhirnya bergabung di PDIP, diajak oleh Bapak Cornelis (Gubernur Kalimantan Barat 2008-2018). Waktu itu beliau Ketua DPD PDIP. Beliau meminta saya, karena saya dua kali mendapat suara terbanyak di Kota Singkawang, tapi saya tidak boleh jadi Ketua DPRD lagi. Saat itu saya sempat menolak. Saya bilang mau tetap jadi Ketua DPRD. Saya tidak mau calon wali kota. Tapi Bapak Cornelis meminta saya harus ikut jadi calon wali kota. Akhirnya mau.


Sebagai wali kota perempuan dari etnis Tionghoa pertama, bagaimana perasaan Anda saat itu?

Mungkin banyak yang meragukan. Saya ingin kota ini maju. Saya ingin Singkawang ada sejarahnya. Saya sebagai perempuan bisa bekerja. Kata siapa perempuan tidak bisa merangkul dengan rukun? 

Di Singkawang, perempuan-perempuan yang nikah di luar negeri itu banyak sekali karena mereka adalah pahlawan-pahlawan keluarga, karena ekonomi. Bagaimana kalau Singkawang ini bisa maju sehingga mereka tidak perlu lagi bekerja ke luar negeri. 

Selain itu, misalnya anak-anak yang kuliah ke luar negeri, kuliah di Jakarta, tidak pernah balik. Karena apa? Tidak ada wadahnya di sini. Maka perjuangan kami untuk kota yang lebih baik. Itu yang saya kejar. Selain itu, untuk infrastruktur seperti bandara, saya kejar sampai hari ini. Mudah-mudahan pada 24 Januari 2024 bisa diresmikan oleh Bapak Presiden. Kami berusaha menunjukkan bahwa kami bisa memajukan Singkawang. Kalau saya sih merasa bisa. Saya lihat dari Ibu Megawati Soekarnoputri sendiri. Ibu Mega juga pemimpin partai kami. Beliau pernah jadi presiden kelima waktu itu. 


Bagaimana cara Anda membangun komunikasi dengan tokoh agama lain? 

Saya rasa tidak dibeda-bedakan dan tidak ada yang membeda-bedakan saya. Justru saya didukung. Contohnya Pak Muhlis (Kepala Kementerian Agama Kota Singkawang). Saya ada kegiatan apa, saya tanya, dan beliau selalu oke saja. 

Dia juga mengajak saya. "Bu, saya nanti undang tokoh-tokoh agama. Kita bikin saat di rumah dinas." Artinya mereka peduli. Walaupun saya bukan muslim, mereka ngajak ke acara seperti safari Jumat dan safari subuh. 

Katanya, "Pokoknya nanti Ibu jalan setelah kami selesai ini." Jadi, saat ada hal yang saya tidak tahu, dia akan kasih tahu. "Ibu nanti misalnya ada peletakan batu pertama bangun masjid, bangun surau, Ibu nanti pakai jilbab, ya." Jadi saya pikir hal-hal kayak ini sangat baik. Makanya awalnya saya takut. Akhirnya saya pikir, agama keturunan Adam dan Hawa ini ternyata baik begitu kita berkomunikasi. 


Apa saja acara safari subuh dan Jumat di masjid? 

Saya hadir terakhir. Kan, biasanya ada ceramah. Habis itu, saya ngomong sebentar, apa yang bisa saya sampaikan habis salat. Saya bercerita tentang bagaimana cara menjaga toleransi, apa yang harus kita lakukan.  


Bagaimana Anda sebagai etnis minoritas di Indonesia melihat toleransi dulu dan sekarang?

Kalau saya, waktu kecil, saya rasakan warga keturunan susah, ya. Ini cerita balik lagi, ya. Mungkin sekadar cerita karena sekarang sangat jauh lebih baik. Dulu paspor itu ada perbedaan sangat jauh. Karena saya adalah anak RT, saya sering mengurus surat-surat orang. Itu saja sangat sulit. Surat lahir juga. 

Kalau kita keturunan, itu lebih dari enam bulan sejak lahir, harus lewat pengadilan dan sebagainya. Sama dengan Imigrasi. Kalau kita bikin paspor, harus ada SBKRI (surat bukti kewarganegaraan Republik Indonesia) dulu, ya. Tapi kemudian sudah enggak ada lagi seperti itu. Apalagi saat ini saya saja sudah bisa memimpin satu daerah. Artinya, sudah hilang yang namanya diskriminasi-diskriminasi itu.


Bagaimana cara Anda membagi waktu dengan keluarga saat menjadi wali kota?

Kalau cerita soal bagi waktu, itu sangat sulit, ya. Saya tidak ada waktu yang terjadwal untuk keluarga. Jadi saya membagi waktu dengan melihat peluang. Misalnya setiap Jumat. Sebagian besar ada yang salat Jumat, sedangkan saya tidak salat Jumat. Hari itu saya ambil untuk bisa makan siang bersama keluarga. Jadi di sela itu saja. Tidak ada jadwal khusus untuk keluarga. 

Mengapa begitu?

Karena takut mengecewakan keluarga. Saya pernah menjadwalkan untuk jalan bersama keluarga waktu Idul Fitri. Ternyata ada kunjungan petinggi pejabat ke Kota Singkawang. Akhirnya tiket yang sudah dipesan semua tidak jadi dan anak-anak kecewa. Maka, sejak saat itu, saya tidak ada namanya terjadwal untuk bersama anak-anak. Begitu saya lihat, misalnya saya lihat besok agak longgar. Besok kita begini, ya. Jadi semua dadakan begitu.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus