Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wawancara

Andhyta Firselly Utami, agar Anak Muda Bijak Berpolitik

Lewat Bijakmemilih, Andhyta Firselly Utami mengajak anak muda bijak berpolitik. Ia membuat platform itu bersama Abigail Limuria.

1 Oktober 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Bijakmemiilih.id, yang diluncurkan pada Maret 2023, meraih penghargaan internasional MIT Solve 2023.

  • Plaftorm itu berisi informasi seputar partai dan isu-isu yang menjadi perhatian, sikap, serta program mereka.

  • Pemahaman dan keterlibatan pemuda di isu kebijakan publik relatif rendah.

Setelah melewati tiga kali penyelenggaraan pemilihan umum (pemilu), Andhyta Firselly Utami mengaku kerap kerepotan mencari informasi seputar partai politik dan kandidat pemimpin yang ideal menurutnya. Dari sana, muncul ide membuat Bijakmemilih.id. Andhyta berharap situs web ini dapat digunakan anak muda untuk menentukan pilihannya secara lebih bijak pada Pemilu 2024.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Plaftorm itu berisi informasi seputar partai, seperti isu-isu yang menjadi perhatian, sikap, serta program apa saja yang didukung oleh mereka. Pada 11 September lalu, Andhyta dan kawan-kawan meluncurkan data rekam jejak partai dalam platform itu. Adapun data yang terangkum adalah nama parpol, anggota, capres dan cawapres, serta seputar korupsi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bijakmemilih diluncurkan pada Maret 2023. Sebulan kemudian, platform karya Andhyta dan rekannya, Abigail Limuria, itu meraih penghargaan internasional MIT Solve 2023. Penghargaan ini merupakan besutan salah satu universitas ternama Massachusetts Institute of Technology. 

“Kami submit bersama sekitar 1.500 dari 70 negara di seluruh dunia,” kata Andhyta ketika diwawancarai Tempo, Rabu, 27 September lalu. Seleksi menyisakan 15 kandidat yang memperebutkan enam penghargaan dari enam kategori. Pada akhirnya, Bijakmemilih memenangi kategori "Learning for Civic Action Challange".

Komisi Pemilihan Umum (KPU) mencatat sekitar 55 persen partisipan pemilu adalah pemilih muda berusia 17-40 tahun. Menurut Andhyta, itu menjadi salah satu alasan platform ini lebih menyasar anak muda milenial dan Gen Z, terutama pemilih baru. 

Andhyta mengatakan data dari platform buatannya merupakan hasil kolaborasi riset tim Think Policy yang ia dirikan dan tim What Is Up, Indonesia? (WIUI) yang didirikan Abigail Limuria. Mereka juga menyertakan link yang terkoneksi dengan sumber data yang mereka ambil dalam informasi yang tersaji di Bijakmemilih.id.

Berikut ini wawancara lebih lengkap tim Koran Tempo dengan Andhyta.

Bagaimana awalnya muncul ide membuat platform Bijakmemilih.id?

Sebelumnya, aku punya rasa gamang dan kegelisahan karena ada beberapa hal. Pertama, aku sebagai orang yang peduli isu krisis iklim dan beberapa isu lainnya. Namun selama ini aku melihat belum ada informasi, politikus mana yang mendukung isu yang aku pedulikan. Selama ini aku melihat informasi pemilu hanya berfokus pada data personal dan lain sebagainya, bukan berdasarkan isu apa yang menjadi concern calon pemimpin atau partai yang aku pilih.

Menurutku, anak muda saat ini bisa saja pedulinya bukan kepada personal calon, melainkan kecenderungan dan sikap terhadap isu tertentu. Ini yang aku lihat seperti ada yang putus.

Akhirnya, selama tiga pemilu ini aku kayak penasaran, dan kok enggak ada sih platform informasi yang memberikan isu relevan menyangkut partai dan bisa bikin orang muda bisa mencari informasi sendiri? Tidak bergantung kepada orang lain yang kepentingannya bisa berbeda dengan orang kebanyakan. Makanya aku berpikir, ‘Ayo deh, dibikin platformnya.’

Pendiri platform Bijakmemilih.id, Andhyta Firselly Utami (kanan) dan Abigail Limuria. Dok. Pribadi

Ini kerja sama Think Policy dengan WIUI?

Ya, aku kepikiran mengajak Abigail, founder WIUI. Sebab, aku tahu WIUI sewaktu pilkada Jakarta sebelumnya bikin contekan partai untuk pilkada. Isinya informasi tentang ideologi partai dan informasi lainnya di akun Instagram mereka. Jadi, aku ajak, ‘Maukah berkolaborasi?’ Kan, mereka sudah punya dokumen awal informasi partai. Bagaimana kalau kami tambahkan riset lebih dalam lagi. Akhirnya kami mengumpulkan data tentang sejarah pemilihan, terus ditambah sejarah partai.

Ketika kami membuatnya pada 2022, masih kasar awalnya. Beruntungnya, Abigail, yang pegang akun medsos WIUI, sering mendapat keresahan dari anak muda. Dari situ kami mengumpulkan informasi, apa saja yang dibutuhkan dan perlu diketahui pemilih muda. Akhirnya kami mempertemukan tim kami masing-masing, menyatukan suara berdasarkan informasi dari riset dan resensi pop cultureWIUI untuk anak muda, Think Policy ke kebijakan publiknya. Pada akhirnya kami bikin sekretariat untuk pengembangan platformnya.

Bagaimana proses pengembangannya dan seberapa antusias anak muda terhadap platform ini?

Secara organik, kami coba dulu skala kecil, ternyata antusiasmenya lumayan besar. Lalu kami bangun terus, bikin menjadi tiga fase. Fase pertama, Bijakmemilih berfokus pada isu. Jadi, pengguna bisa mengecek, mereka (partai) peduli dengan isu apa, dan bagaimana sikapnya terhadap isu tersebut.

Enam bulan setelahnya, fase kedua, track record partai. Itu kami luncurkan pada 11 September lalu. Fase ketiga itu akan kami keluarkan setelah kandidat presidennya terkonfirmasi pada November. Jadi, kami menunggu sambil riset dan akan kami luncurkan pada akhir tahun.

Dari data seminggu terakhir, page view Bijakmemilih sudah 1 juta. Hopefully growing terus.

Mengapa awalnya lebih berfokus pada pandangan terhadap isu?

Kami entry point-nya memang isu. Sebab, saat ini kami melihat anak muda banyak yang tertarik isu-isu tertentu, seperti perubahan iklim atau RKUHP. Jadi, masuknya dari situ. Di Bijakmemilih, anak muda yang peduli isu-isu tersebut bisa melihat partai mana yang peduli isu mereka. Bukan ke individu lantaran individu itu lebih membingungkan karena banyak.

 

Itu sebabnya informasi lebih cenderung tentang partai?

Ya. Di samping itu, selama ini, aku melihat pembuatan kebijakan publik di DPR ataupun DPRD diberikannya secara level fraksi partai. Jadi, aku merasa partai ini sebenarnya memainkan peran yang penting.

 

Dari mana informasi tentang ketertarikan anak muda dan isu tertentu?

Kami juga mengambil beberapa sumber survei seperti dari Indikator Politik Indonesia dan beberapa survei yang dilakukan menyangkut orang-orang muda. Juga ada beberapa isu yang muncul dari survei seperti itu. Kami filter lagi berdasarkan layer, apakah ada kepentingan di level nasional dan kami rasa ada perbedaan posisi antarpartai dan antarmasyarakat juga.

 

Bagaimana metode riset tim Bijakmemilih?

Kami punya dua layer editorial, yang melakukan riset awal. Kemudian ada review oleh expert di bidangnya untuk topik-topik tertentu. Setelah itu barulah di-review lagi bersama seluruh editorialnya.

Tapi selalu kami letakkan disclaimer. Karena Bijakmemilih ini sumber sekunder, kami berharap teman-teman yang pakai ini seperti layaknya sumber Wikipedia, bukan utama. Ini hanya titik awal untuk semua orang agar lebih mudah memahami serba-serbi pemilu.

Pendiri platform Bijakmemilih.id, Andhyta Firselly Utami (kiri) dan Abigail Limuria (kanan). Dok. Pribadi

 

Bagaimana riset menentukan sikap partai yang akhirnya dipakai sebagai sumber di Bijakmemilih?

Awalnya ini tantangan juga. Pertama, informasinya sangat tersebar dan, kadang-kadang, saat kami mengumpulkan informasi tentang posisi ideologi partai, ada yang faktual obyektif apa adanya. Ada pula yang subyektif dan interpretatif.

Misalnya ideologi, bisa jadi ideologi yang dipersepsikan karena ideologi kan subyektif. Ini tantangan. Akhirnya kami putuskan berfokus ke hal obyektif dan faktual saja. Kami menghindari yang sifatnya opini dan subyektif. Sebab, kalau kita ambil opini subyektif, pasti ada komentar kader a dan b kepada isu tertentu yang berbeda.

Untuk mengatasi itu semua, kami berfokus ke voting history karena sudah pasti resmi. Dalam undang-undang seperti UU Cipta Kerja atau Revisi RKUHP kan ketahuan partai A apa pendapatnya terhadap isu tertentu.

Untuk ideologi, kami kutip dari situs web resmi partainya. Jadi, bisa faktual, bukan interpretasi kami sendiri. Ada juga sumber sekunder, media, dan riset jurnal. Dan semua kami sertakan link sumbernya.

Anda tertarik terhadap isu lingkungan. Bagaimana isu ini masuk dalam Bijakmemilih?

Di level partai, kami melihat kebijakan mereka selama lima tahun ke belakang. Pertama menyangkut Undang Undang Cipta Kerja, yang di dalamnya ada revisi tentang Undang-Undang Lingkungan Hidup 2009. Lalu Undang-Undang IKN atau RUU EBT (Energi Baru Terbarukan).

Ini kan sebenarnya undang-undang yang dicanangkan berkontribusi terhadap pelindungan lingkungan, tapi kenyataannya masih banyak tantangan yang dipermasalahkan berbagai pihak. Banyak perdebatannya. Saya kira mungkin orang muda sudah banyak yang peduli. Jadi, kita bisa melihat bagaimana parpol ataupun anggota DPR terpilih mendorong peraturan yang lebih serius melalui Bijakmemilih.id.

 

Saat kuliah di Amerika pada 2016-2018, bagaimana Anda melihat pandangan anak muda soal politik dan demokrasi di sana?

Mungkin berbeda di berbagai wilayah. Tapi pada umumnya aku bisa bilang rata-rata orang muda di sana lebih luwes beropini terhadap berbagai isu. Ketika kita beropini, itu juga proses politik.

Misalnya di Amerika, yang umum ditemukan pandangan soal isu seperti aborsi, didukung atau tidak, itu proses politik. Atau isu imigrasi, pekerja internasional boleh masuk atau enggak. Aku lihat secara umum orang muda di Amerika lebih fasih terhadap isu publik. Yang membuat mereka lebih fasih juga (karena mereka) berpolitik sehingga lebih mengenal pilihannya. ‘Kalau gua setuju isu A, partai yang mendukung isu gua itu yang mana, Republikan atau Demokrat.’

Itu kenapa juga entry point Bijakmemilih itu isu. Kita harus terbiasa beropini. Kalau di sekolah, kita diajarin menghafal dan menurut. Kita enggak terbiasa beropini. Opini kita jadi sekadar warisan dan titipan. Seharusnya kita biasakan orang punya posisi terhadap isu dulu, baru bisa menentukan posisi politik.

 

Bagaimana ketertarikan politik anak muda di Indonesia saat ini?

Bisa dibilang lebih ke bingung dan kecewa. Tapi kembali lagi, yang paling valid, kita bisa melihat itu dari survei. Survei Indikator Politik, misalnya, hampir 70 persen anak muda itu khawatir atau sangat khawatir terhadap berbagai isu sosial. Tapi ada survei British Council yang menemukan cuma 8 persen anak muda yang teridentifikasi terlibat politik. Ini artinya orang-orang muda itu khawatir terhadap isu ekonomi lingkungan kesehatan, tapi mereka enggak tahu bagaimana menerjemahkan itu ke dalam political reengagement. Ada gap di situ yang perlu dijembatani, antara bagaimana kekhawatiran ini bisa diterjemahkan dalam partisipasi politik, baik pemilihan maupun tidak.

 

Selain Bijakmemilih, Anda sebelumnya membuat Think Policy yang juga berfokus pada kebijakan politik. Bisa diceritakan awalnya?

Think Policy awal mulanya dibuat saat aku selesai belajar di Harvard Kennedy School. Ada rasa seperti, sayang juga informasi dan pengetahuan tentang kebijakan publik ini belum menjadi hal yang menjadi perhatian umum di Indonesia. Sewaktu di Amerika, aku melihat pada tataran harian, orang mudanya banyak opini terhadap berbagai isu, dan akhirnya diterjemahkan dalam political reengagement setidaknya di level percakapan media sosial dan lain sebagainya.

Ketika kembali ke Indonesia, aku melihat pemahaman dan keterlibatan pemuda di isu kebijakan publik itu relatif rendah. Akhirnya aku coba bikin kelas kebijakan publik. Kami menyebutnya Think Policy Booth Camp. Aku dibantu salah seorang teman SMA. Setelah sekali booth camp, banyak yang ikut.

Akhirnya kami bikin event di luar, buat analisis singkat soal isu-isu dan lainnya. Ternyata bertumbuh, dari awalnya bentuknya organisasi berbasis komunitas, sekarang sudah bisa menjadi perusahaan sosial, yang menggabungkan sekretariat kerja full time dengan elemen gerakan juga.

 

Anda juga menulis buku berjudul Menjadi: Seni Membangun Kesadaran tentang Diri dan Sekitar. Bisa diceritakan tentang buku karya Anda itu?

Awalnya karena aku melihat dalam perjalanan aktivisme atau keterlibatan di isu kebijakan publik ini, kita banyak diajari masalah di dunia, seperti ketimpangan, ekonomi, dan lingkungan. Tapi kita jarang diajari soal pengembangan self-awareness, memahami diri kita terbentuk dari apa, bagaimana cara mengenal trigger kita. Isinya secara umum bagaimana kita memaknai berpikir kritis, sebagai perjalanan personal itu yang juga kita perlukan. Itu yang coba saya tuangkan di buku.

 

Adakah buku yang membentuk cara berpikir Anda sejauh ini?

Ada banyak buku yang aku baca dan kerangka berpikir yang aku tuangkan lagi di buku Menjadi. Kalau yang paling berpengaruh sampai sekarang mungkin justru tertarik fiksi sejarah, bukunya Pramoedya Ananta Toer, tetralogi Pulau Buru. Terutama dari aspek bagaimana kesadaran berbangsa orang muda dari karakter utamanya, Minke, terbentuk dari satu buku ke buku lainnya. Juga bagaimana dia mengobservasi ketimpangan yang terjadi pada saat itu. Hal tersebut membentuk kesadaran dia dan pertanyaan tentang apa yang terjadi di bangsanya.

Lainnya?

Selain itu ada buku Benedict Anderson tentang peran anak muda di revolusi (Revoloesi Pemoeda) 1945, yang menjadi acuan saya saat ini. Bukan sebagai buku yang sekadar meng-influence, tapi juga dalam konteks gerakan kepemudaan aku di Think Policy ataupun Bijakmemilih.id. Periode kesadaran kebangkitan nasional yang dibahas ini jadi periode penting. Jadi, aku banyak mendapat referensi bacaan dari buku-buku tersebut.

 ILONA ESTERINA 

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus