Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
CEO situs berita Rappler, Maria Ressa, angkat bicara setelah dinyatakan bersalah dalam kasus pencemaran nama.
Maria Ressa menilai kasus hukum yang menjeratnya adalah bagian dari upaya pemerintah Presiden Rodrigo Duterte membungkam kebebasan pers.
Untuk melawan rezim otoriter dan membongkar praktik korup penguasa, Maria Ressa menekankan pentingnya kolaborasi jurnalisme investigatif lintas negara.
SEJAK Presiden Filipina Rodrigo Roa Duterte berkuasa empat tahun silam, chief executive officer portal berita Rappler, Maria Ressa, tak bisa lagi hidup tenang. Teror silih berganti menimpanya, dari serangan di dunia maya hingga persekusi yang bisa berujung bui.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada Senin, 15 Juni lalu, Pengadilan Negeri Manila menyatakan Ressa dan bekas penulis Rappler, Reynaldo Santos Jr., bersalah dalam kasus pencemaran nama pengusaha Wilfredo Keng. Hakim Rainelda Estacio-Montesa memvonis keduanya dengan hukuman maksimum 6 tahun penjara. “Kasus ini adalah satu dari delapan tuntutan pidana yang saya hadapi,” kata Ressa, 56 tahun, dalam wawancara khusus dengan Tempo melalui konferensi video, Senin, 22 Juni lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Beberapa organisasi jurnalis internasional menilai kasus yang bermula dari tuntutan Keng atas tulisan Santos di Rappler pada Mei 2012 itu bermotif politik. Vonis bersalah terhadap Ressa dianggap sebagai upaya membungkam pers yang kritis terhadap rezim karena Ressa dan medianya lantang mengkritik kebijakan “perang narkotik” Duterte, yang telah menewaskan puluhan ribu orang akibat aksi pembunuhan ekstrayudisial oleh polisi. Majelis hakim bahkan mendakwa Ressa dan Santos melanggar undang-undang siber yang baru diberlakukan empat bulan setelah tulisan terbit.
Teror terhadap Ressa bermula dari serangan daring (online) yang menjadi agresif setelah Rappler, pada 2016, menerbitkan artikel yang mengungkap cara para pendukung Duterte memanipulasi Facebook untuk membangun dukungan dan menumpas lawan-lawannya. Ancaman makin parah setelah pemerintah mencoba mencabut izin operasi Rappler pada 2018 serta mempidanakan Ressa. “Tahun lalu saya ditangkap dua kali dalam lima pekan,” ujar Ressa.
Dari ruang kerjanya di Manila, Ressa berbincang dengan wartawan Tempo, Wahyu Dhyatmika, Mahardika Satria Hadi, dan Abdul Manan. Jurnalis yang pernah satu dekade bertugas di Jakarta itu menceritakan kasus yang menimpanya, upaya pemerintah Duterte membungkam para pengkritiknya, hingga ancaman terhadap jurnalis di Asia Tenggara.
Bagaimana duduk perkara kasus yang menjerat Anda?
Artikel yang dipersoalkan itu kami terbitkan pada 2012, beberapa bulan sebelum undang-undang siber diberlakukan. Celah itu menjadi kunci akrobat hukum untuk membawa kasus ini ke pengadilan. Untuk menghukum saya, hakim Rainelda Estacio-Montesa menyetujui periode pengaduan diperpanjang dari 1 tahun menjadi 12 tahun. Ini bisa berdampak pada setiap orang Filipina. Lalu seseorang di Rappler pada 2014 memperbaiki kesalahan ketik, mengoreksi kata yang salah ketik, dari “evation” menjadi “evasion”. Hanya satu huruf dalam satu kata. Tapi, karena hal itu, saya dan mantan kolega saya, Ray, sekarang terancam masuk penjara hingga 6 tahun.
Sejauh mana kasus ini berpengaruh terhadap rutinitas Anda?
Kasus ini adalah satu dari delapan tuntutan pidana yang saya hadapi. Ada delapan surat perintah penangkapan untuk saya. Tahun lalu saya ditangkap dua kali dalam lima pekan. Saya ditahan semalam dan sempat dicegah membayar uang jaminan. Hak-hak saya telah dilanggar, hukum sedang dipersenjatai. Ini adalah penyalahgunaan kekuasaan.
Bagaimana Anda bisa dijerat banyak kasus pidana?
Pada Januari 2018, pemerintah mencoba mematikan kami dengan mencabut izin operasi Rappler. Itulah awalnya. Dalam waktu sekitar 14 bulan, mereka mengajukan 11 kasus dan penyelidikan. Sepanjang 2018, saya menghabiskan banyak waktu untuk menjalani pemeriksaan. Pada 2019, mereka mengeluarkan surat perintah penangkapan dan membawa kasusnya ke pengadilan. Ada saatnya saya berkali-kali mendatangi empat pengadilan dalam satu pekan. Saya menghabiskan 90 persen waktu saya di pengadilan.
Apa yang membedakan kasus ini dengan perkara-perkara lain?
Ada tiga kelompok kasus. Pertama, pencemaran nama di dunia maya. Ini kasus pertama dan membuat saya ditangkap. Kedua, penggelapan pajak. Enam bulan setelah memberi kami penghargaan sebagai perusahaan pembayar pajak teratas, pemerintah mengatakan kami mengemplang pajak. Dalam salah satu tuntutan disebutkan kami menghindari pajak karena kami perusahaan sekuritas. Kami jelas bukan pialang saham. Ketiga, saya menyebutnya kasus induk, yaitu pemerintah mencoba mencabut izin kami. Mereka mengatakan Rappler dimiliki pihak asing dan melakukan penipuan saham. Kami dituding melanggar Undang-Undang Anti-Dummy (peraturan yang berkaitan dengan penipuan sekuritas) dan mereka mengeluarkan surat perintah penangkapan untuk semua anggota direksi Rappler pada 2018.
Maria Ressa, di Manila, Filipina, 15 Juni 2020. Reuters/Eloisa Lopez
Bagaimana dampak dari putusan pengadilan ini terhadap Anda?
Pemerintah sekarang melabeli saya penjahat. Tahun depan akan menjadi tahun ke-35 saya sebagai jurnalis. Saya merasa beruntung bisa menyaksikan gerakan Indonesia menuju demokrasi, yang mengakhiri hampir 32 tahun pemerintahan Soeharto. Betapa menariknya menjadi bagian dari banyak hal yang terjadi di Indonesia. Tapi, sekarang, apalah artinya itu. Saya terancam masuk penjara.
Upaya hukum apa yang akan Anda tempuh?
Kami akan mengajukan permohonan banding. Saya merasa ini bukan putusan adil. Pemerintah, hakim Montesa, menargetkan saya secara khusus. Jika Anda membaca putusan kasus ini, bahasanya sangat menghina. Hampir terdengar seperti putusan untuk kasus berbeda karena dakwaan yang ditujukan adalah publikasi ulang. Jadi pembelaan kami adalah soal periode pengaduan yang diubah menjadi 12 tahun. Itu tidak konstitusional. Lalu soal isi berita yang sebenarnya tidak diubah.
Apakah kasus yang menimpa Anda dapat berimplikasi besar terhadap Filipina?
Ya, tentu saja. Lihatlah ini dalam konteks kejadian di Filipina pada 5 Mei lalu. Pemerintah menutup ABS-CBN, stasiun penyiaran terbesar. Terakhir kali hal itu terjadi pada 1972 ketika Ferdinand Marcos memberlakukan darurat militer. ABS-CBN ditutup selama 14 tahun. Sekarang ditutup lagi. Serangan terhadap jurnalis terus meningkat. Pemerintah ingin kami diam. Mereka ingin kami takut. Karena itu, saya merasa perlu berbicara karena ini berdampak kepada setiap orang Filipina. Ini semua berhubungan dengan demokrasi kami, kualitas demokrasi kami.
Anda melihat sederet kasus yang menimpa Anda tersebut murni persoalan hukum?
Ini jelas pelecehan. Ada upaya pemerintah mengintimidasi dan melecehkan saya dan Rappler serta secara tidak langsung para wartawan lain. Lihatlah apa yang terjadi pada ABS-CBN. “Kamu menantang kami (pemerintah), kamu akan ditutup.”
Mengapa Duterte juga kerap mengkritik Inquirer?
Inquirer adalah surat kabar terbesar. Harian itu pernah memuat foto korban perang narkotik. Kami menyebutnya “Pietà”, yaitu seorang wanita yang menggendong mayat seorang pria yang tewas. Foto itu membuat marah orang Filipina. ABS-CBN adalah stasiun televisi paling top. Adapun Rappler situs berita terbaik.
Sejak kapan serangan terhadap Anda dan Rappler terjadi?
Serangan terhadap Rappler telah berlangsung empat tahun. Awalnya dari serangan online. Satu kebohongan yang diulang berjuta kali akan menjadi fakta. Itulah yang dilakukan pemerintah. Salah satu kebohongan yang mereka tebarkan pada 2016 adalah Maria Ressa seorang penjahat, bukan jurnalis. Dengan kata lain, jurnalis sama dengan penjahat. Pada 2017, Presiden Duterte mengatakan hal sama, sehingga serangan makin parah. Pada 2019, serangan terhadap kami di media sosial menguat dan kini tudingan pemerintah seakan-akan terbukti oleh vonis bersalah dalam kasus pencemaran nama di dunia maya. Saya sangat marah dan bingung.
Apa yang membuat pemerintah Duterte merasa perlu membungkam pers?
Saya bertanya-tanya, apakah kami melewatkan berita besar, sehingga mereka ingin kami menutup mulut agar tidak menemukan apa yang mereka sembunyikan. Saya menghormati posisi presiden negara saya dan saya akan memberikan rasa hormat itu secara layak. Tapi saya pikir di era baru, saat kendali pemerintah atas informasi sangat besar, membuat keadaan lebih buruk daripada darurat militer. Saya pernah bertanya kepada Presiden Duterte, “Apakah Anda perlu rasa takut dan kekerasan untuk memimpin?” Dia bilang iya. Dia menggunakannya.
Kapan Anda menanyakan hal itu?
Saya terakhir kali mewawancarainya pada Desember 2016. Saat itu, perang melawan narkotik sudah terjadi. Ketika itu, saya hanya punya satu reporter perempuan yang khusus meliput perang narkotik. Setiap malam dia kembali dengan setidaknya delapan video tentang korban (penembakan) yang mayatnya baru saja dibuang di trotoar. Selama periode itu, angka kematian rata-rata 33 orang setiap malam. Jadi saya bertanya kepada Presiden Duterte tentang gaya kepemimpinannya. Dan dia mengatakan kekerasan online dan verbal adalah cara terbaik untuk memimpin.
Apa lagi kebijakan represif Duterte?
Selain perang terhadap narkotik, pemerintah memberikan “tanda merah” kepada siapa saja yang dituding berkaitan dengan partai komunis, yang dilarang di sini. Pelajar, aktivis, wartawan yang memprotes pemerintah bisa ditandai merah. Artinya, mereka dianggap seperti teroris. Dua pekan lalu, kongres mengesahkan rancangan undang-undang antiteror, yang tinggal menunggu tanda tangan Duterte untuk diberlakukan. Dengan aturan ini, pengkritik rezim bisa dicap teroris. Orang itu bisa ditahan tanpa surat perintah penangkapan dan dipenjara sampai 24 hari. Ini melanggar konstitusi, tapi disahkan kongres.
Apakah keadaan di Filipina bakal membaik setelah Duterte tidak lagi berkuasa?
Filipina selalu memiliki institusi lemah. Seperti Indonesia, kami digerogoti korupsi endemis, hukum dan ketertiban lemah. Presiden Duterte menjadi pemimpin paling kuat yang pernah dimiliki negara kami. Dia memanfaatkan lemahnya lembaga-lembaga negara di sekitarnya. Ketika mulai bekerja sebagai reporter pada 1986 di Filipina, saya melihat polisi berusaha pulih dari 21 tahun kekuasaan Marcos. Butuh satu dekade untuk membawa kembali nilai-nilai hak asasi manusia kepada polisi. Kini, dengan semua yang terjadi, pembunuhan dalam perang narkotik, penyalahgunaan yang dilembagakan, saya pikir akan membutuhkan satu generasi untuk membangun kembali.
Anda menjadi simbol perjuangan wartawan melawan rezim opresif dan otoriter serta mempertahankan kebebasan berekspresi dan kebebasan pers. Apakah hal ini menempatkan Anda dalam risiko lebih besar?
Pertama, saya merasa tidak nyaman dengan kasus ini karena saya seorang jurnalis. Sulit ketika Anda menjadi pihak yang diserang. Kedua, perhatian global terhadap saya menggambarkan begitu banyak jurnalis merasakan betapa berbahayanya menjadi wartawan saat ini. Wartawan sekarang sangat rentan karena adanya media sosial. Platform media sosial memungkinkan wartawan diserang dengan cara yang tidak pernah terjadi sebelumnya. Ditambah kekuasaan yang besar serta propaganda yang masif, sulit bagi wartawan untuk bertahan.
Tren persekusi dan kriminalisasi terhadap wartawan meningkat di negara-negara Asia Tenggara. Menurut Anda, apa yang sedang terjadi di kawasan ini?
Kebebasan pers di Asia Tenggara sedang mundur. Lihatlah Kamboja, Vietnam, dan negara lain di sekitar kita. Saya pikir media sosial berperan cukup besar. Dia faktor yang memungkinkan terpilihnya para pemimpin dengan gaya otoriter. Persekusi dan kriminalisasi bertujuan membuat wartawan takut. Jika takut, kita mungkin tidak akan melakukan investigasi.
Anda mengatakan Duterte berperan besar atas apa yang menimpa pers di Filipina. Bagaimana Anda melihat tren persekusi terhadap jurnalis di Indonesia?
Orang yang punya kuasa akan memperkuat kekuasaannya. Saya pikir “buku pedoman” diktator di seluruh dunia adalah mencoba memanipulasi orang. Presiden Duterte, sebelum mencalonkan diri, mengatakan dia pernah membunuh orang. Dia mengatakan hal itu kepada saya di depan kamera dalam sebuah wawancara. Saya tidak bisa berkata-kata karena terkejut. Tapi saya pikir Presiden Joko Widodo bukan tipe seperti itu. Hanya, masalah ini mengingatkan masyarakat Indonesia bahwa ada yang tidak normal. Kekuasaan harus diawasi.
Apa yang harus dilakukan wartawan, asosiasi wartawan, dan masyarakat sipil untuk mengatasi masalah ini?
Saya pikir ini saatnya kita berkolaborasi. Saya melihat bagaimana ICIJ (Konsorsium Jurnalis Investigasi Global) dan OCCRP (Proyek Pelaporan Kejahatan Terorganisasi dan Korupsi) melakukan investigasi lintas negara. Kita tidak bisa bekerja sendirian. Sangat berbahaya bagi wartawan Indonesia menguak korupsi di Indonesia. Sama halnya wartawan Filipina di sini. Investigasi lintas negara bisa menjadi salah satu cara bagi kita untuk saling membantu.
Berbicara tentang Covid-19, sejauh mana pandemi mempengaruhi kerja Rappler?
Lockdown karena Covid-19 membuat bisnis tak bisa berjalan seperti sebelumnya. Uang dari iklan menjadi lebih sedikit. Platform media sosial menghancurkan model bisnis berbasis iklan. Mereka mengambil sebagian besar iklan, tapi membiarkan semua serangan terhadap jurnalis berkembang di platform mereka.
Bagaimana Anda mempertahankan keberlanjutan Rappler?
Covid-19 memberi tantangan khusus untuk semua organisasi berita. Bagaimana kita meliput selama lockdown, bagaimana meliput ketika pemerintah makin berkuasa, bagaimana menjaga orang-orang agar aman. Rappler berisi 63 persen perempuan dan usia rata-rata kami adalah 23 tahun. Saya khawatir akan keselamatan mereka. Soal bagaimana kami bertahan secara bisnis saat iklan terus berkurang, rupanya ada hikmah di balik serangan pemerintah terhadap kami selama empat tahun. Ketika pemerintah memperkarakan kami pada 2018, para pengiklan takut. Pada April 2018, kami kehilangan 49 persen dari pendapatan iklan.
MARIA ANGELITA RESSA
• Tempat dan tanggal lahir: Manila, 2 Oktober 1963 • Pendidikan: Sarjana bahasa Inggris di Princeton University, New Jersey, Amerika Serikat (1986); Master bidang jurnalistik di University of The Philippines Diliman, Filipina • Karier: Wartawan (sejak 1986), Kepala Biro CNN Manila (1987-1995), Kepala Biro CNN Jakarta (1995-2005), Kepala Divisi Pemberitaan ABS-CBN, Filipina (2005-2011), Pendiri dan CEO Rappler (sejak Januari 2012) • Penghargaan: Democracy Award (2017), Gwen Ifill Press Freedom Award (2018), Free Media Pioneer Award (2018), Knight International Journalism Award (2018), Golden Pen of Freedom Award (2018), “Person of the Year” majalah Time (2018)
Bagaimana jalan keluarnya?
Kami membuat model bisnis yang berbeda. Dari laporan mingguan, saya mendapati bagaimana Rappler diserang secara online. Kami lantas membikin model teknologi dan data yang ternyata diinginkan banyak perusahaan lain. Mereka tidak tahu cara berurusan dengan media sosial dan teknologi. Jadi ini soal teknologi dan data. Kami membuat purwarupa model bisnis baru dan memberikannya kepada tim penjualan kami. Sejak 2018, model business-to-business ini telah tumbuh 12 ribu persen. Sumber pendapatan kami kini sangat beragam, tidak lagi bergantung pada iklan. Tahun lalu iklan hanya menyumbang 23 persen dari pendapatan. Rupanya, apa yang tidak bisa membunuh Anda membuat Anda lebih kuat, he-he-he....
Apa harapan Anda ketika mendirikan Rappler pada 2012?
Pada 2011, saya memulai Rappler sebagai halaman Facebook yang disebut MovePH. Ide awalnya kami ingin menggabungkan jurnalisme investigasi dengan teknologi dan komunitas. Kami ingin membangun komunitas aksi, dan “makanan” yang disantap komunitas itu adalah jurnalisme investigasi kami. Kami memberi mereka kisah-kisah yang akan membantu mereka membuat keputusan lebih baik. Saya pikir kami hanya akan bereksperimen untuk melihat dampak teknologi. Tapi, setelah berjalan satu tahun, hasilnya mengejutkan. Saya memulai Rappler dengan 12 orang, he-he-he....
Salah satu investigasi Rappler berhasil mengungkap jaringan buzzer pro-Duterte yang sangat terorganisasi. Bagaimana Anda membongkarnya?
Anda harus membuka data. Karena itu, saya merasa sangat percaya diri saat mengatakan pemerintah telah memanipulasi rakyat. Inilah sebabnya saya tanpa henti diserang di media sosial. Anda harus mendapatkan data sehingga bisa memetakan jaringan disinformasi. Saya memperlakukan mereka seperti organisasi teroris. Kami dapat memetakan seluruh ekosistem informasi di negara kami, kemudian menelusurinya karena kami mitra pengecekan fakta Facebook. Ketika kita melihat kebohongan, kita telusuri jaringan yang menyebarkannya. Ini seperti mencari pembuat bom dan lokasi mereka.
Apakah Anda pernah menyangka Rappler akan menjadi salah satu media paling kritis terhadap Duterte?
Kami tidak dengan sengaja mengambil posisi kritis kepada Duterte. Kami hanya menuliskan cerita. Itulah mengapa saya selalu menekankan slogan “Hold the Line” karena kami tidak mau diintimidasi. Kami terus memberitakan dan belakangan itu menjadi nyata: kami menjadi kritikus Duterte, he-he-he.... Jadi saya tidak menentang Duterte secara pribadi, tapi saya pikir kita harus mengawasi kekuasaan. Impunitas untuk membunuh harus dihentikan.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo