Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wawancara

Demi Herd Immunity, Anak Harus Divaksin

Ketua Umum Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Aman Bhakti Pulungan khawatir terhadap angka positif Covid-19 pada anak yang terus meningkat di Indonesia. Sejak pandemi merebak, IDAI mencatat sekitar 117 ribu anak telah terinfeksi penyakit akibat virus corona baru itu. Berdasarkan data IDAI, proporsi kasus konfirmasi Covid-19 pada anak mencapai 12,5 persen dengan tingkat kematian 3-5 persen. Menurut Aman, anak-anak merupakan kelompok paling rentan terpapar virus corona dari orang tua dan lingkungan sekitarnya. Dokter anak kerap menerima pasien Covid-19 anak dalam keadaan telah parah sehingga penanganannya tidak bisa maksimal. Dengan lonjakan angka kasus Covid-19 belakangan ini, Aman menyarankan penyelenggaraan sekolah tatap muka pada Juli nanti ditunda. Positivity rate yang jauh melebihi ambang batas 5 persen terlalu berisiko bagi anak.

19 Juni 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Ketua IDAI Aman Bhakti Pulungan mengatakan anak-anak sama rentannya dengan orang dewasa untuk terinfeksi Covid-19.

  • IDAI mencatat sekitar 117 ribu anak di Indonesia terinfeksi Covid-19.

  • Dengan melonjaknya kasus Covid-19 akhir-akhir ini, Aman merekomendasikan penyelenggaraan sekolah tatap muka ditunda.

DI tengah kembali meroketnya angka kasus positif Covid-19 di Indonesia, Ketua Umum Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Aman Bhakti Pulungan mengungkapkan fakta lain yang tak kalah mengkhawatirkan. Kerap luput dari perhatian publik, jumlah anak yang terjangkit penyakit akibat virus corona baru itu di Tanah Air adalah salah satu yang tertinggi di dunia. “Anak yang meninggal karena Covid mencapai 3-5 persen,” kata Aman, 63 tahun, dalam wawancara khusus dengan Tempo melalui konferensi video, Rabu, 16 Juni lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ketika tren kematian tenaga kesehatan dan warga kelompok lanjut usia menurun setelah ada vaksinasi, angka kematian anak-anak akibat penyakit ini justru meningkat. Aman mengatakan, sejak pandemi merebak, IDAI mencatat hampir 117 ribu anak terkonfirmasi positif Covid-19, sekitar 358 di antaranya meninggal. Dari jumlah itu, sekitar 50 persen adalah anak usia di bawah 5 tahun. Kelompok umur yang rentan berikutnya adalah usia 10-18 tahun.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menurut Aman, kasus Covid-19 pada anak harus ditangani secara lebih serius. Minimnya pengetesan sampel dan pelacakan kontak erat membuat banyak kasus anak tidak terlaporkan. Berdasarkan data IDAI, proporsi kasus konfirmasi Covid-19 pada anak mencapai 12,5 persen. Artinya, satu dari delapan kasus konfirmasi Covid-19 di Indonesia adalah kasus dengan pasien anak. IDAI telah merekomendasikan anak berusia di atas 2 tahun dites usap sebagai upaya deteksi dini. “Tapi orang tua umumnya tidak mau anaknya di-swab,” ujar Aman.

Kepada wartawan Tempo, Sapto Yunus, Mahardika Satria Hadi, Abdul Manan, dan Aisha Shaidra, Aman menuturkan bahwa anak-anak yang terinfeksi Covid-19 umumnya dibawa ke rumah sakit dalam kondisi sudah parah. Anak juga menjadi korban tindakan orang tua yang mengabaikan protokol kesehatan. Di tengah wabah yang mengganas, Aman belum merekomendasikan sekolah tatap muka. Ia mendesak agar vaksinasi Covid-19 pada anak segera dilakukan.

Bagaimana dampak penularan Covid-19 terhadap anak-anak?

Dampaknya cukup berat. Sejak Maret 2020, kami berkumpul setiap minggu dengan ketua-ketua cabang IDAI untuk mengamati perkembangannya. Kami bahkan sudah menemukan kasus long Covid, yaitu efek jangka panjang akibat terinfeksi Covid-19, termasuk MIS-C (sindrom peradangan multisistem pada anak). Efeknya ke jantung dan organ lain.

Seberapa berbahaya pengaruh long Covid pada anak?

Ini yang kami takutkan. Di negara lain datanya sudah cukup banyak. Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo sudah mulai menangani kasus long Covid anak. Tapi kan masalahnya tidak semua tempat atau provinsi bisa sama dalam menangani long Covid. Ini fenomena baru. WHO (Badan Kesehatan Dunia) saja belum pernah membahas efek long Covid pada anak. Mereka hanya membicarakan anak yang terkena Covid-19 dan anak yang terkena tapi tidak terdeteksi, lalu sembuh sendiri.

Seperti apa efek long Covid pada anak di negara lain?

Di Swedia, misalnya, lima anak usia 9-15 tahun mengalami gejala enam-delapan bulan setelah diagnosis, antara lain kelelahan, sesak napas, kesulitan konsentrasi, kesulitan kembali ke sekolah. Di Italia, studi dari sebuah rumah sakit menunjukkan 52,7 persen anak dengan Covid-19 masih merasakan gejala yang persisten hingga lebih dari 120 hari pascadiagnosis, yaitu berupa insomnia, kelelahan, nyeri otot atau sendi, dan masalah pernapasan.

Berapa banyak kasus infeksi Covid-19 pada anak yang tak terdeteksi?

Sebetulnya ada banyak. Hal ini menjadi berbahaya kalau testing kita kurang. Terus terang kami sangat khawatir dengan efek jangka lamanya. Malaysia saja khawatir. Mereka ada sekitar 80 ribu kasus Covid-19 pada anak, tapi itu dengan testing yang banyak. Jadi kalau dilihat dari seluruh jumlah kasus di Indonesia dengan jumlah kasus yang dilaporkan di IDAI, sebenarnya kami masih underreporting.

Menurut data IDAI, berapa jumlah anak yang terinfeksi Covid-19?

IDAI mencatat sampai 14 Juni lalu kasus konfirmasi positif hampir 117 ribu anak. Semuanya kasus terkonfirmasi positif yang masuk di dokter anak, dirawat oleh dokter anak, atau dirujuk ke dokter anak.

Lonjakan angka kasus Covid-19 terjadi setelah libur panjang Lebaran. Seperti apa dampaknya terhadap penambahan jumlah pasien Covid-19 anak?

Sejak Lebaran sekitar 3.000 kasus per minggu. Ini kasus positif dan diketahui oleh dokter anak. Masalahnya, banyak yang kami tidak tahu.

Bagaimana dengan jumlah anak yang meninggal?

Angka yang terkonfirmasi meninggal karena Covid ada 358 anak. Ini termasuk angka yang paling tinggi. Kalau kita totalkan semua, dari awal pandemi sampai sekarang, memang persentasenya kecil. Tapi, kalau kita lihat per daerah per minggu, saya bisa mengatakan anak yang meninggal karena Covid-19 sebanyak 3-5 persen. Kami belum mendapatkan data dari Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Tengah.

Mengapa jumlahnya berbeda dengan versi Satuan Tugas Penanganan Covid-19 yang mencatat angkanya sekitar 600 anak?

Bisa jadi Satgas memperoleh angka meninggal dari semua daerah.

Bagaimana IDAI menghimpun data lapangan tentang jumlah anak yang terpapar dan meninggal akibat Covid-19?

Kami meminta data dari semua dokter anak yang merawat pasien Covid-19. Kami juga meminta ketua IDAI cabang di semua provinsi menghubungi satuan tugas Covid-9 dan dinas kesehatan setempat. Beberapa daerah relatif gampang datanya, seperti Jakarta, Yogyakarta, Riau, dan Sumatera Barat. Tapi ada daerah yang sulit pengambilan datanya ataupun real-time-nya. Jadi hasilnya sering terlalu lama. Lalu masih ada beberapa daerah yang datanya harus diklarifikasi lagi oleh pemerintah daerahnya untuk memberi tahu pasien itu positif Covid-19 atau tidak.

Siapa yang mengklarifikasi?

Dinas kesehatan atau kadang bupatinya langsung.

Mengapa diklarifikasi lagi?

Mungkin mereka tidak mau kasusnya tercatat banyak di daerahnya. Tapi sekarang sudah berkurang, tidak sesusah dulu. Ada salah satu provinsi di Sumatera yang pengetesannya hanya dikerjakan oleh satu-dua laboratorium. Bagaimana kami bisa mendapatkan data?

Apakah IDAI memperbarui data setiap hari?

Kami update mingguan karena manual dari data semua anggota. Banyak daerah tidak gampang mendapatkan data anaknya.

Benarkah anggapan bahwa anak-anak memiliki kekebalan tubuh lebih baik daripada orang dewasa sehingga tidak perlu menerapkan protokol kesehatan secara ketat?

Salah. Itu sudah saya koreksi di WHO beberapa waktu lalu. Anak-anak sama rentannya dengan orang dewasa. Bahkan untuk balita cycle threshold value-nya lebih rendah. Dari semua 358 anak yang meninggal karena Covid-19, sebanyak 50 persen adalah balita, 30 persen anak usia 10-18 tahun. Kita harus berhati-hati menjaga dua kelompok umur ini.

Mengapa?

Anak balita daya tahan tubuhnya masih rendah. Mereka umumnya terlambat dibawa ke rumah sakit karena gejalanya sangat sumir dengan batuk-pilek biasa. Sedangkan anak umur 10-18 tahun mungkin viral load-nya lebih tinggi karena lebih sering beraktivitas ke luar rumah. Berbeda dengan anak umur 6-10 tahun, yang lebih gampang dijaga tidak pergi ke mana-mana.

Apa yang membuat anak-anak rentan tertular Covid-19?

Anak-anak pasti tertular dari orang dewasa. Jarang sekali anak-anak awalnya tertular dari anak-anak lain, apalagi balita. Balita adalah kelompok anak yang paling lemah. Bahkan kami mencatat anak usia di bawah 1 tahun juga ada yang meninggal karena Covid-19. Ini berarti dari orang tuanya. Pernah juga ada kasus anak kembar siam, ibunya negatif, salah satu anaknya positif Covid-19. Berarti lingkungan kita tidak ramah anak untuk Covid-19. Apalagi banyak anak tidak memakai masker.

Apakah pada anak-anak yang tertular Covid-19 bisa dipastikan orang tua dan orang di sekitarnya tidak berdisiplin menerapkan protokol kesehatan?

Iya. Kalau di rumah kan bertemu setiap hari dan tidak memakai masker lagi. Apalagi kalau orang tua dalam pekerjaannya membuka masker, masih bersosialisasi, berkumpul dalam acara sosial yang memang tidak perlu, misalnya arisan atau makan bersama di luar rumah.

Pada ibu hamil yang positif, apakah Covid-19 diturunkan kepada janinnya?

Sampai sekarang tidak terbukti.

Benarkah penanganan Covid-19 pada anak di banyak negara juga lambat dan tidak menjadi prioritas?

Karena pada awal pandemi kasus Covid-19 pada anak diduga sedikit. Di beberapa negara memang sedikit kasus yang serius. Di Malaysia, kalau tidak salah, ada satu anak yang meninggal. Di Singapura tidak ada anak yang meninggal karena Covid-19.

Apa kendala utama penanganan pasien Covid pada anak di Indonesia?

Pertama, keterlambatan. Sistem kita tidak cukup siap. Kedua, secara sosial dan kultur agak sulit bagi orang tua mengizinkan anaknya di-swab. Masih banyak orang tua yang menolak.

Mengapa orang tua menolak?

Mereka tidak mau saja. Katanya, “Anak-anak kenapa di-swab?”

Apakah ada kaitan dengan pemahaman masyarakat bahwa anak memiliki sistem imun lebih baik sehingga kecil kemungkinan terinfeksi virus corona?

Faktor itu ada juga, tapi orang tua umumnya tidak mau saja anaknya di-swab. Takut anaknya kesakitan. Selain itu, memang ada beberapa rumah sakit atau laboratorium yang gamang men-swab anak. Padahal alatnya sama saja. Sewaktu saya mengatakan anak usia di atas 2 tahun harus dites usap sebelum bepergian, beberapa dari mereka di daerah atau bandar udara menyatakan tidak sanggup atau tidak berani men-swab anak.

Apa dampak dari sulitnya melakukan tes usap pada anak?

Kami menerima pasien Covid-19 anak sudah dalam keadaan sangat parah. Jadi kami tidak mendapat banyak kesempatan untuk merawatnya. Terkadang meninggal di instalasi gawat darurat setelah beberapa hari dirawat. Kalau pasien sudah masuk ICU (ruang perawatan intensif), tingkat kematiannya tinggi sekali.

(Dalam konferensi pers bersama lima organisasi profesi dokter, Jumat, 18 Juni lalu, Aman Bhakti Pulungan mengatakan data nasional menunjukkan proporsi kasus konfirmasi Covid-19 pada anak mencapai 12,5 persen. Artinya, satu dari delapan kasus konfirmasi Covid-19 adalah kasus dengan pasien anak. Data Dinas Kesehatan DKI Jakarta pada 17 Juni 2021 menyebutkan jumlah anak yang terkonfirmasi positif bertambah 661, 144 di antaranya anak balita. Data Ikatan Dokter Anak Indonesia juga menunjukkan tingkat kematian anak mencapai 3-5 persen.)

Prof Dr dr Aman Bhakti Pulungan Sp A saat memeriksa kesehatan pasien anak-anak di klinik Anak AP and AP di Jakarta, Kamis 17 Juni 2021. TEMPO/Nurdiansah

Pada orang dewasa, terutama kalangan lanjut usia, komorbid menjadi faktor yang menentukan hidup-mati pasien Covid-19. Bagaimana dengan anak-anak?

Pada anak juga ada komorbid, antara lain obesitas, kelainan genetik, autoimun, ginjal kronis, gangguan jantung bawaan, tuberkulosis, kanker, hingga cerebral palsy. Selain itu, ada malanutrisi. Dampaknya, daya tahan tubuh anak terganggu, sama seperti pada orang dewasa. Kami pernah menangani anak penderita Covid-19 di Papua yang obesitas dan itu menjadi komorbid yang akhirnya memicu komplikasi MIS-C.

Apakah penanganan pasien Covid-19 anak belum mendapat perhatian serius dari pemerintah?

Pemerintah sudah memberi perhatian. Tapi, ketika testing dan tracing kurang, pasien anak datang ke kami dalam keadaan parah, mau diapain, dong?

Apakah pemerintah tidak memprioritaskan testing dan tracing untuk anak-anak dari kelompok umur yang rentan?

Saya dari dulu mengatakan anak harus dites PCR (polymerase chain reaction) sebelum traveling. Tapi tetap saja tidak dilakukan. Katanya anak sampai umur tertentu tidak perlu di-PCR.

Idealnya bagaimana?

Seharusnya setiap kelompok umur harus di-swab PCR. Tapi ditawar dengan tes swab antigen. Kan, banyak cerita hasil tes antigen negatif, tapi aslinya positif. Lalu tracing seharusnya tetap 30 kontak erat per kasus positif. Sejauh testing dan tracing kurang, jumlah kematian tetap akan meningkat karena anak lebih cepat turun kondisinya.

Pemerintah sedang mengkaji kemungkinan melakukan vaksinasi terhadap anak-anak sambil menunggu hasil uji klinis. Apa rekomendasi IDAI tentang vaksinasi Covid-19 pada anak?

Di Amerika Serikat sudah selesai uji klinisnya dan sudah diberikan. Di Cina dan Uni Emirat Arab juga sudah mulai diberikan. Di Amerika dan Uni Emirat Arab memakai vaksin Pfizer. Cina menggunakan Sinovac dan Sinopharm. Kalau uji klinis selesai, Indonesia seharusnya awal tahun depan sudah bisa memvaksin anak-anak. Kalau bisa, pemerintah mendukung ini secepatnya. Lagi pula, untuk mencapai herd immunity, anak juga harus divaksin.

Mengapa anak-anak juga harus divaksin?

Kalau mau mencapai herd immunity, kita harus memvaksin 70-80 persen populasi. Jumlah anak di Indonesia sekitar 90 juta atau 30 persen populasi. Jadi tidak mungkin mencapai herd immunity dari vaksinasi orang dewasa saja. Anak juga akan susah sekolah jika belum diimunisasi.

Apakah efektif vaksinasi influenza sebagai benteng sementara untuk anak-anak?

Efeknya, ya, untuk mencegah influenza. Paling tidak mencegah anak sakit flu, tapi tidak mencegah Covid.

Pemerintah sedang menyiapkan penyelenggaraan sekolah tatap muka terbatas mulai Juli nanti. Bagaimana IDAI menyikapinya?

Kami sebenarnya ingin sekolah tatap muka bisa dilakukan. Kami melihat disrupsi sistem edukasi berdampak ke human capital. Angka putus sekolah dan pernikahan anak meningkat. Kesehatan mental anak juga bermasalah. Namun syarat pertamanya adalah positivity rate harus di bawah 5 persen. Saat ini positivity rate kita sudah 37 persen. Dan kami tetap menganggap tidak ada daerah hijau atau merah karena enggak ada batas, kok. Tolonglah, kita melihat ini secara bijaksana. Laboratorium kita tidak banyak yang bisa mendeteksi genome sequence untuk varian baru virus Covid. Varian baru ini cepat sekali. Kita tidak tahu orang muda sakit dua-tiga hari tiba-tiba meninggal. Bisa jadi karena varian baru. Ada satu lagi aspek yang kami minta dipenuhi kalau sekolah mau dibuka, yaitu harus ada juga laboratorium yang bisa untuk genome sequence di daerah itu.

Bagaimana jika pemerintah berkukuh menggelar sekolah tatap muka terbatas bulan depan?

Saya rasa pemerintah akhirnya menyerahkan keputusan terakhir di tangan orang tua dan sekolah.

Guru dan tenaga pendidik di beberapa daerah sudah divaksin. Apakah hal itu tidak cukup untuk mencegah risiko penularan Covid-19 pada murid?

Bukan jaminan. Kita lihat saja sekarang banyak yang sudah divaksin juga bisa positif. Vaksinasi tidak mencegah seseorang tertular Covid. Memang waktu awal vaksinasi kita melihat angka kematian tenaga kesehatan berkurang. Tapi sekarang sudah mulai banyak lagi. Asumsi saya karena varian baru virus corona.


AMAN BHAKTI PULUNGAN | Tempat dan tanggal lahir: Medan, 23 November 1957 | Pendidikan: Dokter Umum Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, Medan (1984); Dokter Spesialis Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta (1996); Doktor Ilmu Kedokteran Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (2015); Guru Besar Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (2021) | Karier: Penguji Evaluasi Nasional Program Pendidikan Dokter Spesialis Universitas Indonesia (sejak 2002); Konsultan Senior Endokrinologi Anak Departemen Kesehatan Anak UI (sejak 2002); Koordinator Subspesialisasi Endokrinologi Anak Departemen Kesehatan Anak UI (2013-2017); Kepala Bagian Endokrinologi Departemen Kesehatan Anak UI (2013-2017); Associate Professor di Departemen Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran UI (2014-2021); Anggota Komite Penempatan Dokter Spesialis Kementerian Kesehatan (sejak 2017); Guru Besar Departemen Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran UI (sejak 2021) | Organisasi: Anggota Ikatan Dokter Indonesia (1987-sekarang), Anggota Dewan Penasihat Ikatan Dokter Indonesia (2018-sekarang), Ketua Bidang Keilmuan Ikatan Dokter Anak Indonesia (2011-2014), Ketua Umum Ikatan Dokter Anak Indonesia (2014-sekarang), Presiden Asosiasi Dokter Anak Asia Pasifik (2018-sekarang), Komite Eksekutif Asosiasi Dokter Anak Internasional (2019-sekarang), Direktur Eksekutif Asosiasi Dokter Anak Internasional (2021-sekarang) | Penghargaan: Bakti Karya Husada Dwi Windu dari Menteri Kesehatan (2004, 2009), Satya Lencana Karya Satya dari Presiden RI (2009)

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus