Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Masyarakat makin mengenal Ombudsman untuk membantu penyelesaian masalah pelayanan publik.
Selama lima tahun menjabat, Alamsyah Saragih menangani kasus-kasus di sektor ekonomi yang menyedot perhatian publik.
Selain masalah rangkap jabatan komisaris BUMN, Alamsyah memantau penanganan kasus asuransi, ekspor benih lobster, hingga bansos Covid-19.
LIMA tahun menjabat komisioner Ombudsman Republik Indonesia, Alamsyah Saragih memutuskan purnatugas. Ia tidak ikut mendaftarkan diri ketika seleksi penerimaan komisioner Ombudsman periode 2021-2026 dibuka beberapa bulan lalu. “Saya memang ingin all-out dan tidak mau lanjut lagi karena saya yakin, meskipun lulus uji kompetensi, orang-orang belum tentu happy dengan saya,” kata Alamsyah, 54 tahun, dalam wawancara khusus dengan Tempo di kantornya, Rabu, 23 Desember lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menjelang demisioner pada akhir Januari nanti, Alamsyah masih sibuk mengisi berbagai acara diskusi. Ia juga sedang menyelesaikan laporan akhir hasil pemeriksaan sejumlah kasus, antara lain rangkap jabatan komisaris badan usaha milik negara serta perkara ekspor benih lobster yang menyeret mantan Menteri Kelautan dan Perikanan, Edhy Prabowo. Dalam kasus ekspor benur, Alamsyah memimpin tim untuk mendalami rantai pasok dan melihat potensi maladministrasi di setiap mata rantai.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mengampu sektor ekonomi di Ombudsman, Alamsyah menangani sederet kasus yang menyedot perhatian publik. Dalam menyampaikan temuannya, ia tidak jarang bersitegang dengan menteri atau petinggi instansi pemerintah. Ketika menelusuri program cetak sawah, misalnya, Alamsyah terlibat adu mulut dengan Panglima Tentara Nasional Indonesia saat itu, Jenderal Gatot Nurmantyo. Ia juga pernah bersitegang dengan salah seorang mantan Menteri Pertanian. “Kasus-kasus yang saya tangani sering kali karakternya eksplosif. Itu memang pilihan strategi,” ujar Alamsyah.
Kepada wartawan Tempo, Mahardika Satria Hadi dan Nur Alfiyah, Alamsyah menceritakan kasus-kasus yang pernah ia tangani, peran Ombudsman yang makin dikenal publik, juga tantangan yang dihadapi komisioner Ombudsman selanjutnya. Wawancara dilengkapi dengan perbincangan melalui aplikasi WhatsApp, Kamis, 31 Desember lalu.
Bagaimana evaluasi Ombudsman terhadap pelayanan publik dalam lima tahun terakhir?
Laporan kami berkembang menjadi lebih banyak layanan konsultasi. Jumlahnya mencapai 30 persen. Banyak kasusnya di perwakilan kami di daerah. Konsultasi itu masyarakat bertanya apa yang harus dilakukan, siapa pihak yang dihubungi, lalu diselesaikan sendiri dan direspons dan diselesaikan oleh pihak tersebut. Itu salah satu ukuran pengaruh kami naik. Publik tidak lagi melapor dan bersembunyi di belakang Ombudsman. Mereka makin paham. Yang penting ada garansi karena sudah berbicara dengan kami. Di sisi pemerintah, kami sudah banyak memiliki narahubung yang merespons cepat pengaduan warga.
Apakah rekomendasi yang dikeluarkan Ombudsman dijalankan?
Lebih dari 80 persen rekomendasi kami dijalankan. Terkadang ada beberapa kementerian ingin agar hal tertentu justru masuk rekomendasi Ombudsman supaya mereka mempunyai dasar administratif untuk bertindak lebih afdal. Rekomendasi yang kami keluarkan sangat sedikit. Kebanyakan laporan selesai dalam proses pemeriksaan, mediasi, konsiliasi. Kami mendorong itu.
Jika rekomendasi Ombudsman tidak dijalankan, apa konsekuensinya?
Sanksi administratif yang dijatuhkan atasannya sendiri. Kami yang akan mengejar atasannya. Dalam rekomendasi Ombudsman kadang ada fakta-fakta yang kalau tidak dijalankan harus kami publikasikan. Itu yang biasanya membuat para menteri atau pejabat sungkan. Lebih baik dicari jalan keluarnya. Kami terkadang juga menggunakan pengaruh atau determinasi lewat media untuk layanan publik yang jarang dilaporkan masyarakat tapi menyangkut hajat hidup orang banyak.
Contohnya seperti apa?
Misalnya pertanian. Petani sangat sedikit laporannya ke Ombudsman, tapi masalah di sektor pertanian sangat banyak. Contohnya keberatan petani tentang pupuk, impor beras, harga unggas yang kemarin sering jatuh, harga cabai, dan pembagian alat mesin pertanian yang menurut mereka justru tuan tanah yang mendapatkannya.
Bagaimana awalnya Anda menelisik persoalan sektor pertanian?
Saya mulai dengan evaluasi tujuh maladministrasi di tata kelola perberasan pada 2017. Kami melihat beberapa persoalan. Sering kali data produksi padi yang sudah dibahas di tingkat pemerintah kabupaten, misalnya, dibikin naik angkanya karena ingin terlihat berhasil. Data itu dibahas lagi pada level provinsi, naik lagi angkanya. Di level nasional dikejar target, naik lagi angkanya. Saya menyebut ini maladministrasi pendataan. Integritas datanya jelek.
Apa yang Anda lakukan ketika mendapati temuan itu?
Saya bersama teman-teman Badan Pusat Statistik (BPS) mendorong pendataan lewat satelit untuk data produksi. Kementerian Pertanian sepertinya tidak senang saat itu.
Mengapa Kementerian Pertanian tidak menyambut positif?
Kami dorong terus BPS. Butuh waktu dua tahun sampai keluar angkanya yang ternyata beda cukup jauh. Selisihnya sekitar 30 persen atau sekian ribu ton. Dampaknya, data yang selama ini digunakan harus dimoratorium.
Bagaimana reaksi Kementerian Pertanian ketika itu?
Ribut. Menterinya sampai telepon saya dan ngomel. Saya juga agak tersinggung dan sempat membentak dia, he-he-he…. Tapi setelah itu data bISA dibereskan supaya lebih presisi. Dulu juga ada program cetak sawah dan serap gabah petani yang melibatkan Badan Urusan Logistik. TNI dikerahkan. Saat itu TNI masih dipimpin Gatot Nurmantyo. Kami sempat tegang, ribut.
Penyebabnya apa?
Ketika menelusuri kasus ini, saya pernah mendapati babinsa (bintara pembina desa) yang mengatakan ada pimpinan Ombudsman menilai TNI melakukan maladministrasi. Dia tidak tahu bahwa orang yang diomongkan itu saya, he-he-he….
Apa temuan Anda di lapangan?
Kami menemukan jarak sawah terlalu jauh. Kelompok tani didorong untuk menanaminya. Selesai tanam, besoknya mereka tidak mau lagi. Waktu awalnya saja bagus. Setelah itu, sawah kembali jadi semak belukar karena terlalu jauh tempatnya. Menurut kami jadi tidak efektif. Karena itu, kami minta program tersebut dievaluasi. Begitu pula program serap gabah. Terjadi ketegangan lagi antara Ombudsman dan TNI. Kami juga memanggil beberapa anggota staf dari Kementerian Pertanian.
Bagaimana jalan keluarnya saat itu?
Setelah Pak Gatot diganti dengan Pak Hadi Tjahjanto, kami datang ke Markas Besar TNI di Cilangkap untuk menyampaikan laporan temuan kami. Dulu pelibatan TNI disebut upsus (upaya khusus). Beberapa waktu kemudian, tim dari TNI Angkatan Darat melakukan evaluasi. Mereka menyampaikan bahwa temuan Ombudsman valid. Beberapa hari kemudian keluar telegram KSAD (Kepala Staf Angkatan Darat), waktu itu Pak Mulyono, yang menghentikan program cetak sawah dan serap gabah petani.
Anda juga menangani kasus asuransi. Bagaimana hasilnya?
Saya pernah mempertanyakan Dewan Perwakilan Rakyat yang hanya memanggil Bumiputera dan Jiwasraya, tapi bukan Asabri. Akhirnya ramai di publik. Tapi setelah itu banyak yang melapor ke Ombudsman, baik nasabah maupun perusahaan yang terimbas. Pada Februari 2020, saya mewanti-wanti bahwa penegakan hukum terhadap Jiwasraya akan menyebabkan lima perusahaan asuransi lain terganggu gagal bayar. Sekarang jumlahnya lebih dari itu. Seharusnya dimitigasi. Ada koperasi yang punya aset Rp 7 triliun saja mati karena asetnya diblokir dan disita.
Apa catatan Ombudsman terhadap penanganan kasus asuransi?
Awalnya nasabah mengadu ke Otoritas Jasa Keuangan. Tidak direspons. Maka OJK menjadi pihak yang kami awasi. Kedua, asuransi bukan sekadar orang naruh duit, tapi diinvestasikan. Kami mengecek pengawasan OJK terhadap pasar modal. Kalau tidak ada pengawasan dan terjadi sesuatu, artinya ada maladministrasi. Kami cek itu hingga model laporannya. Ketiga, tata kelola di industri asuransi. Saya sampai berdiskusi dengan lima manajer investasi terbaik di Indonesia. Saya harus tahu, termasuk bagaimana mengelola deal dalam jual-beli saham, misalnya. Ketika terjadi penegakan hukum, kami juga mengawasi administrasi penyidikannya.
Dengan mengawasi OJK, Ombudsman menjalankan pengawasan terhadap lembaga pengawas?
Kami menyebutnya last resort. Kalau tidak ada lembaga pengawas, masyarakat langsung mengadu ke kami. Tapi kalau ada lembaga pengawas, kami arahkan ke sana dulu. Jika tidak berjalan, lembaga pengawasnya yang jadi pasien kami.
Mengapa persoalan asuransi luput dari pengawasan OJK?
OJK memang lemah untuk beberapa hal. Seperti kita ketahui, beberapa deputinya terjerat kasus. Menurut saya, problem di OJK itu, pertama, sangat legalistik. Kalau kerugiannya mencapai Rp 500 juta, mereka mengusahakan mediasi. Kalau lebih dari itu, dipersilakan ke pengadilan. Aspek perlindungan konsumennya lemah. Kami melihat aspek pengawasan OJK juga agak lambat. Untuk beberapa kasus bisa tegas, beberapa lainnya tidak bisa tegas.
Bukankah OJK memiliki kewenangan melindungi konsumen?
Untuk perbankan, menurut saya OJK sudah relatif lebih mapan karena mereka punya pengalaman. Tapi untuk industri keuangan nonbank, setting-nya macam apa? Kami pernah mengusulkan dilakukan peninjauan kelembagaan OJK. Tapi, karena pandemi, kami hentikan dulu.
Penyaluran bantuan sosial untuk warga yang terkena dampak pandemi Covid-19 diduga dikorupsi. Seperti apa penelusuran Ombudsman?
Kami sudah mengingatkan, skemanya terlalu banyak. Okelah, Presiden butuh eksis di awal dengan memberikan bantuan. Tapi setelah itu seharusnya tidak perlu lagi bansos seperti itu. Lalu ada situasi menjelang pemilihan kepala daerah dan kepala daerah meminati sekali bansos untuk diberikan dalam bentuk natura (bukan berupa uang). Tapi, kalau pengadaannya terpusat, jumlahnya besar, dalam bentuk natura, penunjukan langsung, godaannya memang sangat besar.
Sejauh mana Ombudsman memantau penyaluran bansos Covid-19?
Yang menjadi problem pengadaan. Kami melihat ada ketidaksesuaian. Kami bandingkan bansos di beberapa daerah dengan harga dan nilai yang sama. Dari sisi isinya, bansos di beberapa daerah lebih baik daripada bantuan pemerintah pusat. Tapi selisihnya berapa, Badan Pemeriksa Keuangan mungkin lebih tahu.
Anggota Ombudsman Ahmad Alamsyah Saragih menyampaikan data sebaran laporan masyarakat pada Laporan Tahunan Ombudsman 2019 di Jakarta, Selasa (3/3/2020). ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso
Bagaimana dengan data penerima yang sempat tidak sinkron?
Awalnya datanya tidak jelas. Saya pernah mengingatkan penegak hukum agar berhati-hati soal data. Jangan memidanakan seseorang kecuali orang itu memalsukan data. Ketika orang jatuh miskin dan belum terdata sebagai orang yang tidak mampu, kalau kemudian diberi bantuan, itu kompensasi yang wajar. Bagi Ombudsman, sangat wajar data kacau-balau, tapi diperbaiki sambil berjalan.
Anda juga tengah merampungkan laporan hasil pemeriksaan terhadap kebijakan ekspor benih lobster. Seperti apa evaluasinya?
Ombudsman melihat ada keinginan pemerintah beralih dari rezim konservasi ke rezim stok. Ini terlihat dari peraturan menteri yang diterbitkan Edhy Prabowo. Benih lobster boleh diekspor sepanjang merupakan hasil pembesaran dan telah melepasliarkan sebagian dari hasil pembesaran. Namun ekspor dilakukan oleh swasta, dengan maksud mencegah penyelundupan yang marak selama ini. Kami menangkap ada gejala inkonsistensi.
Apa yang keliru dari kebijakan tersebut?
Pertama, untuk benih lobster sumber daya alam yang belum bisa dipastikan keberlanjutannya, mengapa tak ditunjuk BUMN sebagai eksportir? Ini penting agar keuntungan dapat dinvestasikan ke pengembangan budi daya. Kedua, kami melihat ada yang tidak sinkron dalam pelaksanaan peraturan menteri. Ada ekspor yang begitu cepat, tapi banyak eksportir tak punya usaha pembesaran benih lobster. Padahal peraturan menteri mensyaratkan pembesaran atau budi daya lebih dulu. Ketiga, kami mendapat keluhan dari pengusaha tentang kargo tunggal. Nama kargo tersebut kami cek ke asosiasi kargo, tapi menurut mereka tak terdaftar sebagai anggota dan sepertinya kargo baru. Kami cek kepemilikannya dan menemukan relasi-relasi yang terindikasi maladministrasi, bahkan risiko korupsi. Ada juga kemungkinan pelanggaran terhadap persaingan usaha yang sehat. Juni lalu, kami sudah mengingatkan agar berhati-hati.
Untuk sektor pelayanan publik, apa saja yang masih bermasalah?
Ada dua hal yang akan panjang, yaitu masalah pertanahan dan kepolisian. Problemnya, kapasitas intelektual kita sebagai bangsa belum sanggup menyelesaikannya. Persoalan administrasi pertanahan yang sangat legalistik tidak pernah beres. Membebaskan lahan untuk bandar udara, misalnya, dengan pendekatan ganti rugi tanah yang membuat para pemilik lahan memburuk. Tidak pernah berpikir bahwa mereka bisa dikonsolidasi sehingga tetap bisa tinggal di sekitar bandara dan bisa mengakses manfaat ekonomi. Semestinya bisa ditata dengan baik.
Apakah pendekatan itu bisa dilakukan?
Negara lain bisa. Di Jepang ada model konsolidasi lahan. Jadi tidak cukup hanya mengambil keputusan yang pokoknya harus tegas dan cepat. Keputusan yang benar adalah mereka yang terimbas harus diafirmasi supaya mendapat manfaat dari program tersebut. Para pengambil keputusan di Indonesia belum sampai ke sana.
Bagaimana dengan kepolisian?
Kepolisian selalu mengeluhkan kekurangan personel dan anggaran terbatas dengan jumlah kasus menumpuk. Penjara kita penuh. Problemnya adalah hal-hal yang seharusnya bisa diselesaikan secara administratif diselesaikan secara legalistik, masuk ke pengadilan semua.
Seperti apa contohnya?
Kami pernah membereskan upaya ganti rugi oleh guru-guru yang terlibat pungutan liar agar mengembalikan uangnya. Mungkin satu sekolah totalnya Rp 150 juta. Kesannya besar, tapi itu dari uang pungli kecil-kecil. Jika mereka bisa mengembalikan uang dan tidak mengulangi perbuatannya, kenapa tidak? Jika tetap mengulangi, tinggal dipecat oleh dinas pendidikan.
Pendekatan seperti ini sering berhasil?
Kami sering melakukan itu. Awalnya kami dikritik dan dinilai sinis, termasuk oleh para aktivis. Kami dianggap permisif. Tapi terjadi perubahan. Belakangan, polisi mulai bisa menerima pendekatan itu. Inspektorat juga melakukan pembinaan. Jadi jangan seolah-olah semua kasus harus diusut pidananya, tapi giliran kejahatan besar semua takut. Ikut arah angin politik ke mana.
Bagaimana dengan penggunaan kekerasan berlebihan oleh polisi dalam sejumlah peristiwa besar, misalnya kerusuhan 21-22 Mei 2019 dan demonstrasi menolak revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi?
Itu wilayahnya Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, tapi kami selalu memberi dukungan. Kasus 21-22 Mei 2019, misalnya, kami menangani administrasi penyidikan anak-anak yang ditahan. Kami mendorong penyelesaiannya.
Kelanjutan penyelidikan rangkap jabatan komisaris BUMN bagaimana?
Saya masih terus berdiskusi dengan tim pemeriksa. Saya akan menyerahkan laporan akhir hasil pemeriksaan kepada Pak Erick Thohir (Menteri BUMN) pada Januari 2021. Ada beberapa perubahan struktural karena saya berharap ada perbaikan yang mulai diterapkan bertahap, misalnya, secara penuh dan ketat pada 2023.
Perbaikannya seperti apa?
Terutama yang berisiko secara hukum. Misalnya kandidat yang sudah jelas dilarang oleh peraturan pemerintah merangkap di BUMN tapi masih merangkap. Itu nanti penghasilan dan segala hak dia jadi ilegal dan berbahaya untuk seorang pejabat. Menurut saya, hal seperti itu harus dibereskan dan dibikin lebih ketat. Pak Erick juga berencana membuat talent pool untuk menyeleksi calon komisaris.
Sampai bulan lalu, tercatat ada belasan orang bekas anggota tim relawan Presiden Joko Widodo yang mendapatkan kursi komisaris BUMN. Tanggapan Anda?
Mau bagaimana lagi. Tapi kalau dibiarkan terus, kan, kacau. Karena itu, ada beberapa hal yang saya minta diperbaiki, tapi belum bisa sekarang karena sistem politiknya masih seperti ini. Terlalu naif juga kalau ngomong bahwa dia (orang titipan) harus memiliki kompetensi. Yang begitu pasti ada sehingga mungkin Pak Erick terpaksa mengakomodasi tapi diperketat syarat kompetensinya.
ALAMSYAH SARAGIH
Tempat dan tanggal lahir:
Pekanbaru, 27 September 1966
Pendidikan:
Sarjana Ekonomi Universitas Padjadjaran, Bandung (1987-1992)
Karier:
Community Based Housing Financial Specialist, National Cooperative Housing (ASPEK) and INS-UNDP (1995-2001); Local Governance Specialist, Initiative for Local Governance Reform, Bank Dunia, Jakarta (2002-2008); anggota Komisi Informasi Pusat (2011-2013); Ketua Komisi Informasi Pusat (2009-2013); Anggota Bidang Ekonomi Ombudsman Republik Indonesia (2016-2021)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo