Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wawancara

Pemerintah Tak Melarang Vaksin Mandiri

Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy terus mengawasi penyaluran bantuan sosial Covid-19. Mulai tahun ini, semua bansos untuk masyarakat yang terkena dampak pandemi diberikan dalam bentuk uang tunai. Belajar dari kasus dugaan korupsi yang menyeret mantan Menteri Sosial, Juliari Batubara, tidak ada lagi bansos yang disalurkan dalam bentuk bahan pangan. Muhadjir mengatakan bansos tunai lebih aman dari para pemburu rente, walaupun memiliki kelemahan dalam pengawasan penggunaannya. Selain urusan bansos, Muhadjir terlibat dalam menggodok skema vaksinasi. Menurut dia, pemerintah tidak melarang masyarakat mencari vaksin berbayar yang dianggap lebih cocok, meskipun vaksinasi Covid-19 telah digratiskan. Muhadjir menilai Badan Pengawas Obat dan Makanan dapat mempercepat tahap mengeluarkan emergency use authorization tanpa memangkas prosedur.

9 Januari 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy mengatakan bantuan sosial untuk warga terdampak pandemi sepanjang 2021 disalurkan dalam bentuk uang tunai.

  • Pemerintah menyalurkan dana bansos sebesar Rp 85,82 triliun lewat program keluarga harapan, kartu sembako, dan bantuan sosial tunai untuk 38,8 juta orang.

  • Muhadjir Effendy mengatakan pemerintah tidak melarang masyarakat untuk mencari vaksin berbayar.

KASUS dugaan korupsi yang menjerat bekas Menteri Sosial, Juliari Batubara, membuat pemerintah mengubah skema penyaluran bantuan sosial untuk warga yang terkena dampak pandemi Covid-19. Pemerintah tidak lagi memberikan bantuan sosial dalam bentuk bahan pangan. “Semua dalam bentuk uang dan disalurkan ke seluruh Indonesia,” ujar Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy dalam wawancara khusus dengan Tempo, Selasa, 15 Desember 2020.

Pemerintah mulai menyalurkan bansos untuk 38,8 juta penerima pada Senin, 4 Januari lalu. Total dana yang disiapkan pemerintah untuk Program Keluarga Harapan (PKH), Kartu Sembako, dan bantuan sosial tunai sepanjang 2021 mencapai Rp 85,82 triliun. Muhadjir, 64 tahun, menuturkan skema bantuan langsung tunai dapat meminimalkan potensi penyalahgunaan oleh para pemburu rente. Namun, menurut dia, bantuan dalam bentuk uang tunai kerap dibelanjakan untuk selain bahan pokok dan kebutuhan anak sekolah, seperti rokok, minuman beralkohol, dan pulsa telepon seluler.

Selain ikut menangani penyaluran bansos, Muhadjir terlibat dalam penggodokan skema vaksinasi. Muhadjir, yang menjabat Wakil Ketua III Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KPCPEN), adalah salah seorang menteri yang semula mengusulkan adanya vaksin mandiri alias berbayar. Menurut dia, pengadaan vaksin, seperti halnya tes usap, tidak bisa sepenuhnya dikontrol pemerintah. “Karena itu, pihak swasta kemudian membuka (layanan) dan bersaing, termasuk harganya, berusaha meyakinkan mana yang lebih berkualitas,” ujarnya.

Muhadjir menerima wartawan Tempo, Stefanus Pramono, Mahardika Satria Hadi, dan Linda Trianita di kantornya. Didampingi beberapa deputi, mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan ini menceritakan persoalan seputar bansos Covid-19, tarik ulur vaksinasi, hingga tanggapan atas perkara dugaan rasuah yang menyeret Juliari Batubara. Wawancara dilengkapi dengan perbincangan melalui pesan WhatsApp pada Jumat, 8 Januari lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sewaktu menjadi Menteri Sosial ad interim, apa yang Anda lakukan untuk memperbaiki penyaluran bansos yang sempat bermasalah?

Wewenang pelaksana tugas terbatas, tidak boleh mengambil keputusan strategis. Saya hanya membenahi hal-hal yang sifatnya instrumental. Misalnya, untuk Program Keluarga Harapan, sedang diusulkan kalau bisa item untuk siswa dicabut karena duplikasi dengan Kartu Indonesia Pintar. Seandainya tidak dicabut, dikurangi kemudian dialihkan untuk bantuan tuberkulosis atau stunting. Lalu untuk bantuan sosial tunai harus dibenahi karena ada kelemahan.

Apa kelemahan bantuan sosial tunai?

Kami tidak bisa mengontrol penggunaannya oleh penerima manfaat. Itu kelemahan paling mendasar bantuan tunai. Berdasarkan survei internal kami, bansos tunai digunakan untuk pemenuhan bahan pokok, lalu kebutuhan anak sekolah, dan untuk beli rokok. Jadi orang miskin kita itu belanja rokoknya masih nomor tiga. Kami ada list negatif dan positif tentang item yang boleh dibeli dengan bansos tunai. Selain rokok, item yang termasuk negatif adalah pulsa dan minuman beralkohol.

Bagaimana cara mengatasi kelemahan itu di lapangan?

Apa pun pola yang kami bangun pasti ada titik lemahnya. Tinggal bagaimana kami memperkecil dampak negatifnya. Kami memberikan semacam buku panduan kepada penerima bansos untuk belanja sehingga tidak menyimpang. Ketika mereka akan diberi bantuan tahap berikutnya, kami cek belanjanya apakah sesuai dengan item yang ditentukan, di mana saja belanjanya sehingga tidak memakainya di e-warong. Kami bebaskan mereka belanja dan dari daftar itu kami akan memetakan kekuatan warung-warung di Jakarta yang potensial untuk tempat berbelanja, sekaligus bisa menghidupkan usaha mikro, kecil, dan menengah serta memotong mata rantai rent-seeker.

Apakah Anda merasa kecolongan ketika Juliari Batubara ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi pada 6 Desember tahun lalu?

Saya shock saja.

Mengapa?

Dia pekerja keras dan cepat kalau kerja. Dia memang sering tidak cocok dengan saya, tapi saya menikmati karena bisa punya partner. Saya selama puasa tahun lalu turun ke lapangan terus. Sampai sepuluh hari menjelang Lebaran saya dengan Pak Ari (Juliari) memastikan di lapangan, terutama untuk wilayah Jabodetabek. Karena itu, saya tahu persis detail kasus-kasus di lapangan.

Selama ini kementerian Anda tidak mengawasi pengadaan bansos bahan pangan pokok?

Itu sudah menjadi kewenangan kementerian teknis (Kementerian Sosial), sehingga saya tidak ikut campur.

Apa saja hasil pengawasannya?

Kondisi barang bagus, pengepakan bagus, dan distribusi bagus. Kalau ada kekurangan itu kecil-kecil. Misalnya, ada kasus di DKI Jakarta ketua rukun tetangga atau rukun warganya meminta uang kompensasi untuk mengantar bantuan ke rumah-rumah. Pihak transporter-nya tidak memberikan. Saya juga menjumpai bansos yang ternyata tidak dibagi perorangan, tapi ramai-ramai, dibagi rata terutama berasnya. Tapi kalau sudah di tangan masyarakat, kami enggak bisa melarang mereka.

Kasus-kasus seperti itu dijumpai di mana saja?

Di beberapa tempat di Jakarta. Ketua rukun tetangga menyepakati, daripada ribet, bantuan dibagi rata ke semua yang membutuhkan. Misalnya, dalam satu blok hanya 50 keluarga yang mendapatkan bansos, tapi yang ingin mendapatkan ada 100 keluarga. Ya sudah, dibagi rata. Saya kira baik saja, gotong royong.

Sampai sekarang hal itu masih terjadi?

Saya kira ndak, setelah kami tertibkan.

•••

Sebelum memutuskan vaksinasi Covid-19 gratis untuk masyarakat, pemerintah pernah menetapkan skema vaksin berbayar atau mandiri. Apa pertimbangannya?

Awalnya, vaksin mandiri untuk mereka yang memang ingin mandiri. Misalnya, orang itu ingin mendapat perlakuan lebih. Vaksin dibagi menjadi public good atau barang publik yang berada di bawah kendali pemerintah, juga sangat mungkin menjadi private good atau barang swasta. Pendekatan ini sudah terbukti, misalnya pada tes swab. Tidak semua tes swab bisa dikontrol pemerintah karena swasta kemudian membuka (layanan) dan bersaing, termasuk harganya, berusaha meyakinkan mana yang lebih berkualitas. Begitu pula vaksin.

Mengapa pemerintah akhirnya menggratiskan vaksinasi Covid-19?

Soal vaksin gratis itu keputusan final Presiden. Sebelumnya terjadi perbedaan pendapat di antara beberapa menteri, termasuk saya, dalam hal berapa kepantasan rasio antara vaksin gratis dan vaksin mandiri, perkiraan kerumitan yang terjadi kalau kebijakan itu dilaksanakan, definisi operasional tentang herd immunity, dan ketersediaan anggaran. Saya senang, dalam masalah yang pelik, Presiden selalu membuka ruang perdebatan di antara para pembantunya untuk beradu argumen, sebelum akhirnya beliau mengambil keputusan.

Berapa persen populasi di Indonesia yang nantinya mendapatkan vaksinasi?

Yang menjadi masalah adalah definisi tentang herd immunity. Vaksinasi bertujuan menciptakan kekebalan kawanan. Kalau menurut standar WHO (Badan Kesehatan Dunia) sebesar 70 persen dari populasi. Tapi yang tidak disebutkan oleh WHO adalah faktor viral load atau tingkat kepadatan virusnya.

Seperti apa pembahasan di kabinet mengenai hal itu?

Kalau Singapura bisa diasumsikan seluruh pulau Singapura itu viral load. Karena itu, populasi Singapura yang 6 juta orang harus dihitung sebagai populasi total. Artinya, diambil 70 persennya untuk divaksin. Sementara itu, di Indonesia virus tidak menyebar secara merata. Okelah, misalnya, gambaran secara kasar saja, sebetulnya Covid-19 melanda di Jawa, Bali, sebagian Sulawesi Selatan, Kalimantan Selatan, Sumatera Selatan, dan Sumatera Utara. Lalu apakah wilayah lain yang tidak memiliki tingkat kepadatan partikel virus yang luar biasa juga harus dihitung sebagai bagian dari populasi?

Bagaimana seharusnya?

Menurut saya, tidak. Untuk Indonesia, harus dihitung betul karena ini menyangkut biaya. Asumsinya, semakin banyak yang divaksin, semakin manjur dampaknya. Tapi ini kan urusannya uang dan sebagian besar uang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Kalau itu uang pinjaman, nanti yang menanggung juga rakyat. Presiden sangat mewanti-wanti tentang itu juga. Presiden meminta dihitung betul karena ini menyangkut anggaran.

Mengapa pemerintah akhirnya memutuskan menggratiskan vaksinasi kalau ada kendala keterbatasan anggaran?

Keputusan menggratiskan antara lain karena masalah anggaran yang akhirnya bisa diatasi. Kalau tidak salah, Bu Menteri Keuangan (Sri Mulyani) menyediakan Rp 73 triliun untuk vaksinasi.

Apakah Presiden yang selalu meminta skemanya berubah hingga akhirnya gratis?

Iya. Kalau yang skema awal 30 persen gratis dan 70 persen mandiri itu saya dan Menteri Kesehatan (mantan Menteri Kesehatan, Terawan Agus Putranto) yang mengusulkan.

Mengapa Anda dulu mengusulkan skema seperti itu?

Asumsi saya, nanti banyak sekali yang berminat untuk vaksinasi mandiri. Prinsipnya termasuk juga ditanggung rentenglah, gotong royong, karena ini kepentingan kita semua. Mereka yang mampu, walaupun mungkin mendapat asuransi BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) Kesehatan, ya kalau bisa keluarkanlah untuk kepentingan itu.

Sebagian masyarakat rela mengeluarkan uang dan lebih memilih vaksin merek lain daripada buatan Sinovac yang belum jelas kualitasnya.

Menurut saya tidak apa-apa. Tapi yang menjadi tanggung jawab pemerintah adalah public good harus aman. Mereka yang mendapat vaksin gratis itu kan barang publik, keamanan dan khasiatnya harus terjamin. Soal ada yang tidak percaya kemudian mencari alternatif lain, pemerintah tidak akan melarang. Makanya pemerintah membuka alternatif namanya vaksin mandiri.

Untuk mencapai herd immunity, apakah cukup dihitung sebesar 70 persen populasi dari wilayah-wilayah yang jumlah kasusnya tinggi?

Itu pandangan saya dan Presiden juga setuju dalam konteks itu. Tapi memang tidak mudah bagi kita membuat peta. Petanya sudah ada tapi belum detail. Sebab, masyarakat sudah telanjur diberi gambaran yang, menurut saya, agak menyesatkan tentang zona-zona berdasarkan warna.

Mengapa menyesatkan?

Menurut saya, dalam sisi tertentu bisa menciptakan kesalahpahaman. Bahkan dalam batas tertentu bisa menciptakan kepanikan atau kegelisahan.

Seperti apa contohnya?

Misalnya begini, okelah DKI Jakarta semuanya zona merah, tapi apa benar seluruh tempat di DKI merah? Kan enggak. Mestinya harus ada pemetaan yang lebih detail. Bahkan Presiden sebetulnya sejak awal sudah menyampaikan hal itu. Kalau sudah menjadi zona merah segera ditelusuri di mana sebetulnya kejadiannya. Lalu segera dilakukan isolasi terbatas, karantina terbatas. Misalnya satu kabupaten diklaim zona merah, ternyata di situ hanya terjadi di dua kecamatan. Setelah disusuri ternyata hanya terjadi di dua desa. Setelah ditelusuri lagi ternyata hanya satu RT. Ya, RT itu saja yang mestinya dikarantina, kemudian dilakukan tracing.

Bagaimana konsep yang akhirnya disepakati pemerintah?
Pak Airlangga (Menteri Koordinator Perekonomian dan Ketua KPCPEN, Airlangga Hartarto) menyebutkan bahwa ini memang terus bergerak. Tapi sementara yang sudah disepakati adalah 182 juta dosis. Itu hitungan maksimal karena belum dikurangi dengan jumlah orang berusia 19 tahun ke bawah dan 59 tahun ke atas yang nanti tidak mendapat vaksin (Sinovac). Kalau dikurangi itu jadinya 160-an juta. Karena itu, Presiden juga mengamanatkan supaya segera berburu vaksin yang bisa digunakan paling tidak untuk masyarakat berusia 59 tahun ke atas.

Menteri Koordinator bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy dalam diskusi tentang optimalisasi SDM di tengah pandemi COVID-19, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (2/12/2020). ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay

Apakah karena itu pemerintah sekarang juga menjajaki pengadaan vaksin buatan Pfizer-BioNTech?

Iya. Tapi ini juga harus negosiasi agak rumit karena cold storage vaksin Pfizer harus minus 70 derajat (Celsius). Itu yang agak kesulitan kecuali di perkotaan, misalnya Jakarta. Tapi Presiden sudah meminta agar hal ini mendapatkan perhatian. Karena, kalau tidak, saya juga termasuk yang enggak kena vaksin, he-he-he.

Apakah Anda memang ingin divaksinasi?

Saya kira ini bukan soal ingin atau tidak. Kalau harus divaksinasi, ya divaksinasilah.

Dengan status pandemi, apakah vaksinasi Covid-19 sebaiknya diwajibkan untuk seluruh masyarakat?

Sampai sekarang belum ada wacana mewajibkan.

WHO sudah mengimbau negara-negara untuk tidak mewajibkan penduduknya divaksinasi. Apakah pemerintah akan mengacu pada imbauan WHO?

Belum ada pembahasan. Sekarang ini masih pada tahap meyakinkan bahwa vaksin ini aman, tidak membahayakan, dan halal.

Badan Pengawas Obat dan Makanan belum mengeluarkan izin penggunaan darurat vaksin Sinovac. Mengapa vaksin sudah mulai didistribusikan dan vaksinasi dijadwalkan dimulai 13 Januari 2021?

Itu alasan efisiensi waktu. Biar cepat. Maka distribusi vaksin di satu sisi dengan telaah kehalalan, efficacy, dan keamanan vaksin dilakukan secara paralel.

Sebagian masyarakat masih meragukan kualitas vaksin Sinovac dan lebih memilih vaksin jenis lain yang barangnya belum tersedia atau jumlahnya tidak sebanyak Sinovac. Bagaimana pemerintah mengatasi persoalan ini?

Untuk telaah kehalalan, tim Majelis Ulama Indonesia sudah melakukan kajian pendahuluan dengan berkunjung ke pabrik vaksin di Tiongkok sebelum vaksin didatangkan. Untuk acuan prediksi mengenai efficacy dan keamanan vaksin, di samping berdasarkan kemajuan dalam proses uji klinis di Indonesia, adalah hasil uji klinis di beberapa negara yang akan menggunakan vaksin Sinovac, seperti Turki dan Brasil, yang hasilnya sangat menggembirakan. Kami memperkirakan hasil uji klinis di Indonesia nanti kurang-lebih sama. Perkembangan terakhir ada beberapa vaksin yang akan didatangkan. Walaupun vaksin dinyatakan gratis, kalau ada yang mau melakukan vaksin mandiri karena memiliki preferensi terhadap vaksin produk lain, saya kira masih dimungkinkan.

(Hasil sidang Komisi Fatwa MUI pada Jumat, 8 Januari lalu, menyatakan vaksin Covid-19 produksi Sinovac yang dibeli pemerintah Indonesia suci dan halal.)

Benarkah ada tekanan agar BPOM segera mengeluarkan izin penggunaan darurat vaksin Sinovac?

Kalau tekanan, tidak ada. Tapi untuk mempercepat proses, iya. Mempercepat proses itu bukan berarti prosedurnya boleh dilampaui. Karena itu, Presiden meminta dibikin semacam roadmap supaya diketahui prosedur apa saja yang harus dilalui BPOM, baik prosedur administratif maupun prosedur medis, untuk mengeluarkan emergency use authorization. Kemudian dilihat rentang waktunya, ini butuh berapa lama. Apakah mungkin diperpendek? Cuma begitu saja. Tidak ada tekanan.


MUHADJIR EFFENDY | Tempat dan tanggal lahir: Madiun, 29 Juli 1956 | Pendidikan: Sarjana Muda Fakultas Tarbiyah Institut Agama Islam Negeri Malang (1978); Sarjana Pendidikan Sosial Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Malang (1982); Magister Ilmu Administrasi Publik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta (1996); Doktor Ilmu Sosial Universitas Airlangga, Surabaya (2008) | Karier dan organisasi: anggota Dewan Pembina Ma’arif Institute (sejak 2010); anggota Dewan Pakar Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) Jawa Timur (2010-2015); guru besar sosiologi pendidikan luar sekolah di Universitas Negeri Malang (2014); anggota Dewan Riset Daerah Jawa Timur (sejak 2014); Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah Bidang Pendidikan Tinggi, Penelitian, dan Pengembangan (2015-2020); Rektor Universitas Muhammadiyah Malang (2000-2016); Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (2016-2019); Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (sejak Oktober 2019) | Penghargaan: Satyalencana Karya Satya XX (2010)

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus