Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wawancara

Apa Kami Harus Ganti Warna Kulit

Ketua Sinode Gereja Kemah Injil (Kingmi) di Tanah Papua Pendeta Benny Giay terus mendorong dialog antara pemerintah Indonesia dan kelompok-kelompok pro-referendum Papua yang bernaung di bawah organisasi Persatuan Gerakan Pembebasan Papua Barat (ULMWP). Benny mengatakan pemerintah harus menyelesaikan empat masalah utama yang menjadi sumber konflik dan perlakuan rasisme terhadap orang asli Papua. Ia pernah dituding sebagai pendukung separatis dan kapok menyokong Presiden Jokowi.

20 Juni 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Pendeta Benny Giay menyebutkan rasisme terhadap orang Papua berakar dari empat masalah yang telah terjadi sejak era sebelum integrasi.

  • Benny Giay mendorong pemerintah Presiden Joko Widodo membuka pintu dialog dengan kelompok pro-referendum untuk mencari jalan keluar atas permasalahan Papua.

  • Ia banyak terinspirasi oleh gerakan anti-apartheid di Afrika Selatan.

KETUA Sinode Gereja Kemah Injil (Kingmi) di Tanah Papua Pendeta Benny Giay menyayangkan pengadilan terhadap tujuh tahanan politik Papua dalam kasus makar. Ia menilai para terdakwa hanyalah korban pembelokan isu atas insiden rasisme di asrama mahasiswa Papua di Surabaya, Agustus tahun lalu. “Kalau polisi bergerak cepat menangkap para pelaku ujaran rasisme saat itu, mungkin tujuh pemuda Papua ini tidak akan divonis dalam kasus makar,” kata Benny, 65 tahun, dalam wawancara khusus dengan Tempo, Kamis, 18 Juni lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Majelis hakim Pengadilan Negeri Balikpapan, Kalimantan Timur, memvonis tujuh tahanan politik Papua itu 10-11 bulan penjara, Rabu, 17 Juni lalu. Meski vonisnya lebih rendah dari 5-17 tahun bui yang dituntut jaksa, mereka diputus bersalah hanya karena terlibat dalam unjuk rasa damai antirasisme. “Persoalan rasisme sengaja dibelokkan ke isu separatisme,” tutur Benny.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Benny, yang pernah menjadi ahli dalam persidangan tujuh terdakwa tersebut, mengatakan kasus makar itu adalah ekses dari diskriminasi, satu dari empat masalah yang menjadi akar konflik di Bumi Cenderawasih. “Negara harus menyelesaikan empat soal itu. Baru nanti kalau orang Papua masih membandel bisa dikenai pasal makar,” ujar paitua yang puluhan tahun memperjuangkan nasib orang asli Papua tersebut.

Dari kediamannya di Sentani, Kabupaten Jayapura, Benny berbincang dengan wartawan Tempo, Mahardika Satria Hadi, melalui sambungan telepon pada Selasa dan Kamis, 16 dan 18 Juni lalu. Teolog yang mendalami antropologi sosial ini bercerita tentang sejarah rasisme di tanah Papua, mampatnya jalan dialog dengan Jakarta, hingga kekecewaannya terhadap Presiden Joko Widodo.

Apa sebenarnya akar rasisme di Papua?

Ini sudah dipetakan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia dalam buku Papua Road Map pada 2009. Ada empat persoalan pokok yang menjadi sumber konflik di Papua. Salah satunya diskriminasi, yang ada dalam sejarah Papua sejak integrasi dimulai. Bahkan propaganda pada 1961-1962 menyebutkan pemerintah Indonesia datang untuk mengangkat orang Papua sejajar dengan suku-suku lain di Indonesia. Ini sudah bernada rasis dan merendahkan. Diskriminasi yang memarginalisasi orang Papua ini secara negara, lho.

Faktor selain diskriminasi apa?

Kedua, kegagalan pemerintah Indonesia dalam pembangunan ekonomi, kesehatan, dan pendidikan di Papua. Ketiga, perbedaan pandangan antara Papua dan Indonesia tentang sejarah integrasi Papua. Orang Papua berpikiran Indonesia datang menduduki tanah Papua karena kami bangsa lain. Sedangkan pemerintah Indonesia punya pikiran Papua wilayahnya. Perbedaan pandangan tentang status politik ini tidak akan selesai. Akibatnya, orang Papua melawan terus. Keempat, operasi militer jalan terus sampai hari ini dan pelanggaran hak asasi manusia tidak pernah selesai.

Apa yang seharusnya dilakukan pemerintah pusat untuk mengatasi konflik di Papua?

Selesaikan dulu empat masalah tadi. Ini kita sedang berbeda pendapat. Terjadi benturan kebudayaan dari pertemuan dua bangsa, seperti orang Indonesia dan Belanda dulu. Selama negara enggan menyelesaikan empat persoalan itu, orang Papua akan ribut terus dan masuk penjara terus. Ini semacam lingkaran setan. Orang Papua mengerti betul Papua dan Aceh itu sama, tapi perbedaan (sikap pemerintah pusat) sangat jelas di depan mata orang Papua.

Seperti apa perbedaan perlakuan pemerintah pusat terhadap Aceh dan Papua?

Aceh dan Papua provinsi terkaya sumber daya alamnya, tapi hasilnya kebanyakan dibawa ke Jakarta. Aceh dan Papua punya gerakan kemerdekaan, GAM (Gerakan Aceh Merdeka) dan OPM (Organisasi Papua Merdeka), tapi ada perbedaan dalam penyelesaian masalah di kedua daerah. Indonesia bisa berdialog dan berunding dengan Aceh. Setelah berunding, GAM tidak lagi dianggap separatis sehingga tak perlu ada operasi militer. Orang Papua sudah ada lembaga ULMWP (Persatuan Gerakan Pembebasan Papua Barat). Orang Papua ingin berdialog dan berunding.

Persoalannya di mana?

Itu juga pertanyaan kami. Apa kami harus ganti warna kulit dan rambut? Apa kami harus ganti agama? Di Aceh diizinkan mengibarkan bendera GAM. Di Papua jika mengibarkan Bintang Kejora bisa ditembak atau masuk penjara.

Benny Giay (kanan) bersama salah satu tahanan politik, Filep Karma, di Lapas Abepura, Mei 2015./Istimewa

Dorongan referendum di Papua masih kuat. Menurut Anda, apakah pemerintah tidak menuruti permintaan dialog karena Papua bisa melepaskan diri?

Aceh dulu meminta hal yang sama. Dulu GAM di Aceh juga ganas, tapi akhirnya bisa duduk bersama (dengan Jakarta). Kapan kami bisa bicara? Saya kira ada yang punya kepentingan untuk mempertahankan konflik di Papua.

Siapa pihak yang punya kepentingan itu?

Pada 16 Desember 2011, saya dan beberapa tokoh gereja di Papua diundang Pak SBY (Susilo Bambang Yudhoyono) ke Cikeas. Beberapa menteri hadir. Pertemuan itu dimediasi Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia. Saat itu Pak SBY mengatakan ada hardliners, kelompok garis keras yang tidak mau (pemerintah) berdialog soal Papua. Kelompok ini berpusat di Jakarta, Jakarta-sentris.

Siapa kelompok garis keras tersebut?

Nanti Anda tanyakan sendiri, ha-ha-ha…. Saya kira ada unsur-unsur dalam negara ini yang tidak mau (pemerintah berdialog soal Papua).

Apa yang Anda bicarakan dengan Yudhoyono waktu itu?

Dalam kitab suci kami ada empat rasul yang menggambarkan Yesus Kristus, yaitu Matius, Markus, Lukas, dan Yahya. Masing-masing punya perspektif sendiri. Dalam isu Papua, kita mesti menggunakan metode tafsir lintas ilmu. Selama ini, isu separatisme yang digunakan negara monotafsir. Kita mesti melihat separatisme sebagai protes sosial karena kebijakan dan arah pembangunan yang tidak memperhitungkan orang Papua. Wajar saja jika selama bertahun-tahun orang Papua mulai membayangkan satu negara baru, pikiran baru, masyarakat baru. Kelly Kwalik, tokoh OPM, disebut separatis. Kami orang Papua bilang dia nasionalis karena sedang memprotes ketidakadilan dan pembangunan yang eksploitatif di Papua. Sama dengan Sukarno dan Mohammad Hatta yang dulu dianggap separatis oleh Belanda dan dipenjarakan.

Anda juga bertemu dengan Presiden Jokowi. Apa yang Anda sampaikan kepada Jokowi?

Kami bertemu di Istana Presiden pada 26 Desember 2014. Sebelum itu, ada insiden penembakan lima pelajar di Paniai. Saya sampaikan ke beliau soal insiden tersebut.

Bagaimana respons Jokowi ketika itu?

Kami orang Papua agak susah memahaminya. Kadang-kadang kami berbicara, dia hanya diam. Mungkin karena beda budaya. Kami sangat ekspresif menunjukkan apa yang kami pikirkan, tapi kalau orang Jawa agak sulit, ya. Kami tidak tahu omongan kami diterima atau ditolaknya. Dia hanya diam, kami jadi pusing.

Apakah kunjungan Jokowi beberapa kali ke Papua merupakan bentuk perhatian khusus terhadap rakyat Papua?

Pak Jokowi mengunjungi Papua hanya pencitraan. Itu untuk kepentingan pemodal, perusahaan-perusahaan yang mau menggunakan infrastruktur. Dulu Belanda juga begitu, membangun jalan dari Banten ke Jawa Timur untuk memberadabkan orang di Jawa. Bahasa penguasa kan begitu. Sebenarnya Indonesia mengulangi sejarah negara-negara lain yang pernah menjajah bangsa-bangsa di dunia ketiga.

(Setelah terpilih lagi sebagai presiden, Jokowi kembali mengunjungi Papua. Papua menjadi daerah pertama yang ia kunjungi. “Saya di sini sudah 13 kali, terjemahkan sendiri artinya apa,” katanya setelah meresmikan Jembatan Youtefa di Kota Jayapura, 28 Oktober 2019.)

Mengapa langkah Jokowi mewujudkan dialog di Papua tak kunjung berhasil?

Dia menjadi presiden bukan di ruang kosong. Ada para pihak yang mesti dia ajak bernegosiasi, mungkin pihak yang sudah mapan dan “bermain” lama di sini. Itu tafsiran kami. Jokowi dan kami sama-sama dibuat tidak berdaya. Tapi dia presiden, kami rakyat biasa. Saya kira memang kami bodoh juga, he-he-he…. Kami tidak mengerti permainan-permainan tingkat tinggi.

Pada 2014, Anda salah satu yang mendukung Jokowi. Apa alasannya?

Harapan saya mungkin terlalu tinggi. Setelah lima tahun, dia tidak pernah sedikit pun menyentuh pihak-pihak yang membikin masalah di sini. Sejak dia terpilih, konflik di Papua jalan terus, kekerasan terjadi terus, termasuk penembakan lima pelajar di Paniai. Padahal itu pelanggaran hak asasi manusia.

Anda tidak lagi mendukung Jokowi pada pemilihan presiden 2019?

Ada banyak hal. Pada 2015, dia datang membebaskan para tahanan politik. Dia berjanji media asing akan diizinkan masuk Papua. Tapi besoknya Menteri Dalam Negeri dan Kepala Badan Intelijen Negara membantah pernyataannya. Jadi kami merasa ini Presiden bagaimana.

Anda diundang sebagai ahli dalam sidang kasus antirasisme di Pengadilan Negeri Jayapura pada 20 Januari lalu. Apa yang Anda sampaikan saat itu?

Saya bilang mulai hari ini pengadilan tidak boleh menggunakan pasal makar. Kasus ini terjadi karena empat akar masalah yang tidak selesai. Pembangunan yang Jokowi lakukan sebenarnya hanya mengurusi asap. Apinya empat masalah tadi. Presiden Jokowi harus mengambil jalan seperti SBY dan Jusuf Kalla untuk menyelesaikan masalah Aceh dengan mengundang pihak-pihak yang sakit hati di Papua.

Siapa saja pihak-pihak yang sakit hati itu?

Saya kira OPM, KNPB (Komite Nasional Papua Barat), segala macam faksi yang sekarang sudah bergabung di bawah ULMWP. Pada 30 September 2019, Pak Jokowi pernah menyatakan bersedia bertemu dengan kelompok pro-referendum.

Pendeta Benny Giay di Sentani, Papua, 17 Juni2020. (foto: Tabloid Jubi/Yance Wenda)

Di luar masalah konflik, mengapa Papua yang sudah mendapat otonomi khusus tidak juga maju?

Pembangunan di Papua untuk siapa? Banyak pemekaran, banyak dana, tapi tidak menyentuh soal-soal yang dianggap hakiki oleh orang Papua. Prioritas belanja anggaran otonomi khusus tidak berfokus pada apa yang dibutuhkan orang Papua. Ibaratnya, orang Papua sakit di kepala tapi kakinya yang digaruk. Tidak nyambung.

Korupsi di Papua seperti nyaris tak tersentuh. Bagaimana solusinya?

Korupsi sudah tersistematisasi dari pusat sampai ke sini. Sejak 2001, terjadi korupsi berjemaah saat orang Papua tiba-tiba mendapat banyak uang (lewat otonomi khusus). Dulu saya pernah menyampaikan orang-orang Papua yang nanti menduduki jabatan perlu diberi pemikiran alternatif. Mereka harus belajar sekurangnya enam-tujuh bulan ke negara-negara lain yang menerapkan otonomi khusus supaya pelaksanaan otonomi khusus di Papua bisa dengan cara pandang baru.

Sejauh mana pertikaian antar-elite politik memperkeruh keadaan tersebut?

Orang Papua sudah tergiring berpikir dalam kerangka Indonesia sejak 1960-an. Agak sulit menilai korupsi di Papua lepas dari Jakarta. Ditambah lagi tidak semua orang Papua itu malaikat yang saleh. Orang Papua di sini kalau tidak bisa saling percaya dapat “bermain” di Jakarta. Pernah ada bupati yang tidak taat kepada gubernur, dan karena otonomi daerah belum dihapus, dia bisa main dengan pusat untuk melawan gubernur yang menjalankan otonomi khusus di provinsi.

Pemerintah berencana menambah jumlah daerah otonomi baru di Papua dan Papua Barat. Apakah pemekaran wilayah dapat menyelesaikan persoalan masyarakat Papua?

Semua pemekaran ini tanpa usul dari bawah. Hanya kepentingan negara dan kepentingan keamanan. Menurut saya, ini rasisme. Orang Papua tidak didengar suaranya, dianggap tidak penting karena mungkin dianggap bangsa monyet.

Sejak kapan Anda bergelut dengan aktivisme untuk membela nasib rakyat Papua?

Sejak di seminari pada 1980-an saya sudah aktif karena ada mata kuliah tentang masalah rasisme. Saat itu, sistem apartheid di Afrika Selatan sedang kuat dan gereja-gereja di dunia mengarahkan untuk melawan. Jadi kami juga turun ke jalan. Ini bagian dari mata kuliah sejarah gereja, teologi, dan etika sosial.

Sejauh mana perlawanan terhadap apartheid menginspirasi Anda?

Waktu itu, mahasiswa Universitas Cenderawasih dipimpin Arnold Clemens Ap. Dia pahlawan budaya orang Papua. Dia dengan kelompoknya dipengaruhi oleh Steve Biko, mahasiswa kedokteran di Afrika Selatan yang memimpin gerakan Black Consciousness, kesadaran kaum kulit hitam. Mereka mengembangkan pikiran tentang bagaimana kami orang kulit hitam juga berguna. Ini berhadapan dengan sistem Indonesia yang menganggap orang kulit hitam kotor dan primitif. Jadi kami di sekolah teologi seminari juga terpengaruh gerakan Arnold Ap yang saat itu kuat sekali. Kami juga mempelajari gerakan-gerakan di Afrika Selatan.

Sebagian masyarakat Papua menganggap Anda seperti Desmond Tutu, tokoh agama dan aktivis yang menentang apartheid….

Jangan percaya itu karena mereka belum melantik saya (sebagai tokoh), ha-ha-ha…. Saya kira Desmond Tutu orang hebat, orang yang berjuang habis-habisan. Saya hampir bertemu dengan dia saat ke Afrika Selatan pada Agustus 2017. Tapi dia sedang sakit keras dan harus dilarikan ke rumah sakit. Saya diundang sebagai perwakilan gereja karena dulu pernah belajar tentang Afrika Selatan.

Bagaimana Anda menilai peran gereja-gereja di Papua dalam menyuarakan hak-hak orang asli Papua?

Pada 1964-1965, semua pemimpin agama dan badan pewarta Injil asing dipanggil ke Jakarta secara bergilir setiap Sabtu-Minggu. Mereka diindoktrinasi di Bogor selama satu minggu. Sebelum pulang, mereka disuruh menandatangani dokumen mendukung pemerintah Indonesia. Itu, ditambah kehadiran militer yang terlalu tinggi, membuat orang Papua dan juga gereja-gereja takut. Ini mempengaruhi cara berpikir gereja, beranggapan gereja harus bekerja sama dengan negara.

Apakah sikap gereja sekarang masih seperti itu?

Saya melihat gereja juga bersalah sebagai salah satu lembaga yang seharusnya membina masyarakat supaya bisa lebih terbuka dan kritis. Tapi gereja-gereja ini kan juga terbagi. Kami dikondisikan oleh sistem dan perkembangan sejarah sehingga orang bisa membedakan gereja yang pro-NKRI dan pro-Papua merdeka.

 


 

BENNY GIAY 

•  Tempat dan tanggal lahir: Onago, Nugini Belanda, 12 Januari 1955 • Pendidikan: Sarjana Muda di Universitas Cenderawasih, Jayapura (1977); Master Bidang Teologi di Asia Baptist Graduate Theological Seminary, Filipina (1985); Doktor Bidang Antropologi Sosial di Vrije Universiteit Amsterdam, Belanda (1995); Doktor Bidang Teologi di Sekolah Tinggi Agama Kristen Teruna Bhakti, Yogyakarta (2016) • Karier: Dosen di Jaffray Theological College di Makassar (1983), Pendeta di Gereja Kemah Injil (sejak 1987), Dosen di Sekolah Tinggi Teologi Walter Post Jayapura (sejak 1995), Ketua Sinode Gereja Kemah Injil di Tanah Papua (2010-2020) • Organisasi: Pendiri Forum untuk Rekonsiliasi Masyarakat Irian Jaya (1998) • Penghargaan: Tanenbaum Peacemakers in Action Award (2003)

 


 

Bagaimana Anda mengidentifikasikan gereja yang Anda pimpin?

Gereja yang saya pimpin pernah dituding sebagai gereja yang mendukung Papua merdeka.

Siapa yang menuding?

Berdasarkan dokumen rahasia yang menyebut Gereja Kingmi di Tanah Papua sebagai pendukung gerakan separatis. Saya sendiri juga dituding oleh Pak Pangdam XVII/Cenderawasih (Mayor Jenderal Erfi Triassunu) pada April 2011. Ada pihak yang tidak senang terhadap kami sehingga mengadu ke Pangdam. Yang saya sesalkan waktu itu, Pangdam tidak mencari informasi kepada kami. Tudingan itu akhirnya dicabut setelah para pemimpin gereja mendatangi Dewan Perwakilan Rakyat Papua.

Anda pernah mengalami tindakan represif?

Saya pernah dicekal pada 2001 ketika diundang menjadi pembicara dalam Kongres Rakyat Papua di Amerika Serikat.

Bagaimana masa depan Papua dalam bayangan Anda?

Masa depan Papua ada di tangan orang Papua yang mengerti di mana posisinya dalam hubungan dengan Indonesia hari ini dan dengan rasisme. Kami tidak punya posisi tawar dalam negara ini. Hentikan dulu segala macam omong kosong Papua merdeka. Itu hanya bisa terwujud kalau orang Papua sadar posisinya, seperti halnya orang kulit hitam di Afrika Selatan hingga Nelson Mandela dibebaskan. 

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Mahardika Satria Hadi

Mahardika Satria Hadi

Menjadi wartawan Tempo sejak 2010. Kini redaktur untuk rubrik wawancara dan pokok tokoh di majalah Tempo. Sebelumnya, redaktur di Desk Internasional dan pernah meliput pertempuran antara tentara Filipina dan militan pro-ISIS di Marawi, Mindanao. Lulusan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus