TEMPO.CO , Jakarta: Ketua Komisi Penyiaran Indonesia Judhariksawan mengungkapkan banyaknya aduan dari masyarakat mengenai frekuensi publik yang digunakan untuk berkampanye. "Ada keresahan masyarakat tentang penggunaan spektrum frekuensi ranah publik oleh segelintir pihak yang memiliki akses leluasa untuk pribadi atau kelompoknya," kata dia usai penandatangan kesepakatan bersama pelaksanaan kampanye pemilu melalui media penyiaran di kantor Badan Pengawas Pemilu, Jakarta, Jumat, 28 Februari 2014. (Baca: 9 Komitmen Bersama Soal Iklan Kampanye)
Menurut Judhariksawan, colong start kampanye tersebut dilakukan pihak yang memiliki kapasitas kapital lebih besar (pemilik stasiun TV) daripada peserta pemilu lainnya. Sehingga, hal tersebut menyebabkan ketidakseimbangan kampanye dan bisa meresahkan publik. "Mengingat publik tahu masa kampanye dimulai 16 Maret," ujarnya. (Baca: Moratorium Kampanye Mulai Diterapkan)
Ia pun berharap dengan adanya kesepakatan bersama tentang pelaksanaan kampanye pemilu melalui media penyiaran yang ditandatangani KPI, KPU, Bawaslu, dan KIP (Komisi Informasi Pusat) itu bisa menghentikan iklan partai politik sampai masa yang ditentukan. "Demi menjaga informasi yang akurat, seimbang, adil, serta pendidikan politik yang baik," kata dia.
Ia juga menduga selama ini publik tahu peserta Pemilu hanya yang tampil di televisi saja. Karenanya, lembaga penyiaran (televisi) yang menggunakan frekuensi publik wajib mengedukasi publik dan mendukung pelaksaanaan pemilu agar mengurangi golongan putih (golput). "Ini sebagai upaya bersama dalam memberikan perlindungan kepada publik terkait pemberian informasi yang berimbang," kata dia.
LINDA TRIANITA
Terpopuler:
Ketua MUI: Saya Boleh Terima Gratifikasi
Pemilik Rekening Gendut Jadi Wakapolri
Rp 15 Juta Tarif Karaoke di Tempat Adik Atut